Share

Cinta Cita ~ 7

“Apa kabarnya Pandu?” Cita tersenyum miring menatap hamparan gedung ibukota, dari jendela kamar inap Harry. Kedatangan David pagi tadi ke rumah sakit, mendadak mengingatkan Cita perihal mantan suami pertamanya. Pria yang menyulut banyak luka, hingga banyak kehilangan yang Cita derita. “Apa masih betah amnesia sampai sekarang?”

“Mamimu … juga ngasih pertanyaan yang sama, sama pak David,” ujar Harry setelah menelan bubur yang disuapkan oleh Sandra.

“Semarah-marahnya Mami sama Arya, tapi Mami masih bisa toleran sama dia.” Sandra sebal sendiri jika mengingat ulah keluarga mantan besannya dahulu kala. “Apalagi keluarga Arya dari awal memang baik, juga tulus. Tapi kalau pak David sama keluarganya, hiiiih, Mami itu pengen! CK!” Saking tidak bisa berkata-kata lagi, Sandra akhirnya menarik napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri sendiri, lalu kembali menyuapi Harry.

“Lagian, Papa masih aja mau nemui pak David,” celetuk Cita lalu beralih menuju sofa. “Harusnya nggak usah. Bilang kalau Papa nggak bisa dibesuk.”

“Betul!” Sandra setuju dengan pernyataan putrinya. “Untung aja bu Tessa nggak ikut. Kalau dia datang, Mami bisa langsung naik darah ngelihat orang itu. Sudah tahu anaknya salah, masih aja dibela!”

“Mi, sudah, Mi,” pinta Harry sembari menggeleng kecil. Kalau hanya sekadar membesuk, Harry masih mau menerima David mengingat hubungan baik mereka dahulu kala. Namun, untuk urusan lain, Harry sudah memutuskan semua hubungan dengan pria itu.

Sebenarnya, ada hal lain yang didapat Harry dengan adanya musibah yang menimpa Cita kala itu. Kasih yang dulunya enggan ikut campur dalam urusan perusahaan Lukito, akhirnya mau bergabung dan mengelola perusahaan.

“Terus, apa jawab pak David, Mi? Waktu Mami tanya masalah Pandu.” Cita penasaran, bagaimana kehidupan pria itu selama ini. Bagaimana dengan Laura, serta anak yang dilahirkan wanita itu.

Sandra berdecak kesal terlebih dahulu sebelum memberi jawaban. “Masih amnesia katanya! Paling, bu Tessa yang—”

“Mami …” Harry menepuk-nepuk punggung tangan Sandra, untuk menenangkan sang istri. “Sudah … dijaga tekanannya. Mending nggak usah bicarain mereka lagi, daripada Mami nanti ikut-ikutan ngamar.”

Sandra lagi-lagi berdecak, sambil menyuapi Harry. Sejak musibah yang menimpa putri mereka, Harry memang sudah banyak berubah. Pria itu jauh lebih baik, sabar, dan lebih perhatian pada Sandra.

“Cita …” Harry menggeleng pada putrinya. “Nggak usah lagi bicarain mereka. Papa nggak mau Mami sakit kepala terus sakit.”

Cita merengut, tetapi tidak berani membantah karena papanya benar. Jika Sandra ikut sakit, maka Cita akan repot sendiri karena dirinya masih berada di kursi roda. Cita juga tidak tahu, sampai kapan dirinya akan berpura-pura lumpuh di depan semua orang. Entah kapan pun itu, yang jelas bukan dalam waktu dekat.

“Nando sudah berangkat, Cit?” tanya Sandra mengalihkan pembicaraan mereka. Setahu Sandra, Nando berencana pergi ke Singapura hari ini.

“Sudah, tapi besok sudah balik lagi katanya,” jawab Cita.

“Kamu ngerti, kan, kalau Nando itu sebenarnya suka sama kamu?” Sandra harap, putrinya bisa membuka hatinya lagi dan Nando sepertinya adalah sosok yang tepat.

“Aku tahu,” angguk Cita. “Tapi aku sudah nggak tertarik dan aku sudah nggak mau nikah lagi.”

“Tapi kamu masih muda, Sayang,” ujar Sandra sambil menyuapi Harry. “Nando itu laki-laki baik. Jadi, sudahi drama lumpuhmu itu dan berbahagialah sama dia.”

“Aku sudah nggak mau nikah lagi,” ulang Cita dengan perlahan. “Dan aku juga nggak cinta sama mas Nando. Dulu … aku memang sempat suka sama dia, tapi makin ke sini …” Cita menggeleng. “Aku cuma nganggap dia seperti, kakak. Nggak lebih.”

“Kalau weekend nanti, coba ajak Nando jalan-jalan,” bujuk Sandra. “Siapa tahu—”

“Aku mau nemani papa aja.” Cita membaringkan diri di sofa dan meringkuk. Detik itu juga, ia kembali mengingat semua ucapan Duta padanya. Padahal, Cita sudah tidak mau ambil pusing masalah Arya dan semua hal kecuali keluarga dan urusan perusahaan. “Siapa tahu sabtu ini papa sudah bisa pulang, jadi kita bisa istirahat di rumah. Kalau sudah betul-betul sembuh, kita balik ke Singapur.”

~~~~~~~~~~~~~~~

Sejak menerima berkas dan bicara dengan orang yang memberinya informasi tentang Cita, Nando hanya bisa terdiam. Firasat Pras benar, Cita ternyata sudah bisa berjalan setelah melakukan berbagai fisioterapi dengan disiplin. Bahkan, Harry dan Sandra juga mengetahui hal tersebut.

Semua informasi yang didapat Nando, benar-benar berada di luar ekspektasinya. Karena itulah, begitu Nando sampai di Jakarta, ia langsung pergi ke rumah sakit, tanpa menghubungi siapa pun. Nando hanya ingin menuntaskan rasa penasarannya dan meminta penjelasan pada Cita.

“Apa … ini?” tanya Cita saat menerima sebuah map dari Nando.

“Itu … bacalah, Cit,” ujar Nando kemudian duduk pada sofa dan memandang Harry serta Sandra yang berada di sebelah pria itu secara bergantian. Banyak pertanyaan yang ada di benak Nando, tetapi ia tidak bisa mengutarakannya sekaligus.

“Mas …” Cita menelan ludah, setelah membaca beberapa hal yang ada di lembar pertama. “Ini … kenapa?”

“Kenapa?” Nando balik bertanya. “Kenapa harus pura-pura? Selama ini aku … peduli sama kamu, Cit.”

Sandra bergegas turun dari ranjang pasien, untuk menghampiri Cita. Perasaannya sudah tidak enak dan Sandra sepertinya bisa menebak, ke mana arah ucapan Nando.

Lantas, Sandra benar!

Ketika ia mengambil map yang tengah dibaca Cita, Sandra pun menutup mulutnya dengan tangan kiri. Sandra menggeleng menatap Harry, lalu menyerahkan map tersebut pada sang suami.

“Aku mau pura-pura atau nggak, itu bukan urusan Mas Nando.” Cita memutar kursi rodanya membelakangi Nando. Ada perasaan tidak enak, karena selama ini Cita telah berbohong dengan pria yang sudah sangat baik pada dirinya dan keluarganya. “Dan aku nggak perlu minta maaf untuk itu, karena aku nggak salah.”

“Nando …” Sandra jadi serba salah karena putrinya yang keras kepala. “Bisa kita bicara di luar sebentar? Ada yang mau Tante bicarakan.”

“Tante—”

“Cita nggak akan bisa diajak bicara,” sela Sandra sudah tahu tabiat Cita yang berubah. “Percaya sama Tante.”

Melihat Cita yang masih memunggunginya dan tidak mengeluarkan kalimat lagi, Nando akhirnya mengangguk. Ia berpamitan pada Harry sebentar dan keluar sesuai permintaan Sandra.

“Tolong jangan menghakimi Cita, karena keputusannya yang betul-betul di luar nalar,” pinta Sandra setelah menutup pintu. Ia mempersilakan Nando duduk di kursi tunggu, lalu Sandra menyusul kemudian. “Semenjak pisah sama Arya, Cita banyak berubah. Dia rajin fisioterapi, tapi nggak pernah mau datang ke psikolog lagi. Pokoknya, Cita berubah, Ndo.”

“Jadi selama ini …” Nando menyugar rambutnya sebentar. “Maksud saya, selama ini dia selalu baik-baik aja waktu kita ngobrol. Nggak ada yang berubah, Tan.”

“Kamu sudah lihat Cita di dalam, kan?” tanya Sandra. “Dia itu … ya, begitu aslinya, Ndo. Keras kepala dan sudah nggak bisa dinasehati sama sekali. Beda sama Cita yang dulu. Apalagi semenjak Cita bisa jalan, dia makin keras ke—”

“Apa? Cita … sudah bisa jalan …

 

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Siti Juli
mami keceplosan, dan di denger siapa tadi?
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
siapa kira2 jodoh Nando? jd penasaran......
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
poorrrr Nando
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status