“Apa kabarnya Pandu?” Cita tersenyum miring menatap hamparan gedung ibukota, dari jendela kamar inap Harry. Kedatangan David pagi tadi ke rumah sakit, mendadak mengingatkan Cita perihal mantan suami pertamanya. Pria yang menyulut banyak luka, hingga banyak kehilangan yang Cita derita. “Apa masih betah amnesia sampai sekarang?”
“Mamimu … juga ngasih pertanyaan yang sama, sama pak David,” ujar Harry setelah menelan bubur yang disuapkan oleh Sandra.
“Semarah-marahnya Mami sama Arya, tapi Mami masih bisa toleran sama dia.” Sandra sebal sendiri jika mengingat ulah keluarga mantan besannya dahulu kala. “Apalagi keluarga Arya dari awal memang baik, juga tulus. Tapi kalau pak David sama keluarganya, hiiiih, Mami itu pengen! CK!” Saking tidak bisa berkata-kata lagi, Sandra akhirnya menarik napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri sendiri, lalu kembali menyuapi Harry.
“Lagian, Papa masih aja mau nemui pak David,” celetuk Cita lalu beralih menuju sofa. “Harusnya nggak usah. Bilang kalau Papa nggak bisa dibesuk.”
“Betul!” Sandra setuju dengan pernyataan putrinya. “Untung aja bu Tessa nggak ikut. Kalau dia datang, Mami bisa langsung naik darah ngelihat orang itu. Sudah tahu anaknya salah, masih aja dibela!”
“Mi, sudah, Mi,” pinta Harry sembari menggeleng kecil. Kalau hanya sekadar membesuk, Harry masih mau menerima David mengingat hubungan baik mereka dahulu kala. Namun, untuk urusan lain, Harry sudah memutuskan semua hubungan dengan pria itu.
Sebenarnya, ada hal lain yang didapat Harry dengan adanya musibah yang menimpa Cita kala itu. Kasih yang dulunya enggan ikut campur dalam urusan perusahaan Lukito, akhirnya mau bergabung dan mengelola perusahaan.
“Terus, apa jawab pak David, Mi? Waktu Mami tanya masalah Pandu.” Cita penasaran, bagaimana kehidupan pria itu selama ini. Bagaimana dengan Laura, serta anak yang dilahirkan wanita itu.
Sandra berdecak kesal terlebih dahulu sebelum memberi jawaban. “Masih amnesia katanya! Paling, bu Tessa yang—”
“Mami …” Harry menepuk-nepuk punggung tangan Sandra, untuk menenangkan sang istri. “Sudah … dijaga tekanannya. Mending nggak usah bicarain mereka lagi, daripada Mami nanti ikut-ikutan ngamar.”
Sandra lagi-lagi berdecak, sambil menyuapi Harry. Sejak musibah yang menimpa putri mereka, Harry memang sudah banyak berubah. Pria itu jauh lebih baik, sabar, dan lebih perhatian pada Sandra.
“Cita …” Harry menggeleng pada putrinya. “Nggak usah lagi bicarain mereka. Papa nggak mau Mami sakit kepala terus sakit.”
Cita merengut, tetapi tidak berani membantah karena papanya benar. Jika Sandra ikut sakit, maka Cita akan repot sendiri karena dirinya masih berada di kursi roda. Cita juga tidak tahu, sampai kapan dirinya akan berpura-pura lumpuh di depan semua orang. Entah kapan pun itu, yang jelas bukan dalam waktu dekat.
“Nando sudah berangkat, Cit?” tanya Sandra mengalihkan pembicaraan mereka. Setahu Sandra, Nando berencana pergi ke Singapura hari ini.
“Sudah, tapi besok sudah balik lagi katanya,” jawab Cita.
“Kamu ngerti, kan, kalau Nando itu sebenarnya suka sama kamu?” Sandra harap, putrinya bisa membuka hatinya lagi dan Nando sepertinya adalah sosok yang tepat.
“Aku tahu,” angguk Cita. “Tapi aku sudah nggak tertarik dan aku sudah nggak mau nikah lagi.”
“Tapi kamu masih muda, Sayang,” ujar Sandra sambil menyuapi Harry. “Nando itu laki-laki baik. Jadi, sudahi drama lumpuhmu itu dan berbahagialah sama dia.”
“Aku sudah nggak mau nikah lagi,” ulang Cita dengan perlahan. “Dan aku juga nggak cinta sama mas Nando. Dulu … aku memang sempat suka sama dia, tapi makin ke sini …” Cita menggeleng. “Aku cuma nganggap dia seperti, kakak. Nggak lebih.”
“Kalau weekend nanti, coba ajak Nando jalan-jalan,” bujuk Sandra. “Siapa tahu—”
“Aku mau nemani papa aja.” Cita membaringkan diri di sofa dan meringkuk. Detik itu juga, ia kembali mengingat semua ucapan Duta padanya. Padahal, Cita sudah tidak mau ambil pusing masalah Arya dan semua hal kecuali keluarga dan urusan perusahaan. “Siapa tahu sabtu ini papa sudah bisa pulang, jadi kita bisa istirahat di rumah. Kalau sudah betul-betul sembuh, kita balik ke Singapur.”
~~~~~~~~~~~~~~~
Sejak menerima berkas dan bicara dengan orang yang memberinya informasi tentang Cita, Nando hanya bisa terdiam. Firasat Pras benar, Cita ternyata sudah bisa berjalan setelah melakukan berbagai fisioterapi dengan disiplin. Bahkan, Harry dan Sandra juga mengetahui hal tersebut.
Semua informasi yang didapat Nando, benar-benar berada di luar ekspektasinya. Karena itulah, begitu Nando sampai di Jakarta, ia langsung pergi ke rumah sakit, tanpa menghubungi siapa pun. Nando hanya ingin menuntaskan rasa penasarannya dan meminta penjelasan pada Cita.
“Apa … ini?” tanya Cita saat menerima sebuah map dari Nando.
“Itu … bacalah, Cit,” ujar Nando kemudian duduk pada sofa dan memandang Harry serta Sandra yang berada di sebelah pria itu secara bergantian. Banyak pertanyaan yang ada di benak Nando, tetapi ia tidak bisa mengutarakannya sekaligus.
“Mas …” Cita menelan ludah, setelah membaca beberapa hal yang ada di lembar pertama. “Ini … kenapa?”
“Kenapa?” Nando balik bertanya. “Kenapa harus pura-pura? Selama ini aku … peduli sama kamu, Cit.”
Sandra bergegas turun dari ranjang pasien, untuk menghampiri Cita. Perasaannya sudah tidak enak dan Sandra sepertinya bisa menebak, ke mana arah ucapan Nando.
Lantas, Sandra benar!
Ketika ia mengambil map yang tengah dibaca Cita, Sandra pun menutup mulutnya dengan tangan kiri. Sandra menggeleng menatap Harry, lalu menyerahkan map tersebut pada sang suami.
“Aku mau pura-pura atau nggak, itu bukan urusan Mas Nando.” Cita memutar kursi rodanya membelakangi Nando. Ada perasaan tidak enak, karena selama ini Cita telah berbohong dengan pria yang sudah sangat baik pada dirinya dan keluarganya. “Dan aku nggak perlu minta maaf untuk itu, karena aku nggak salah.”
“Nando …” Sandra jadi serba salah karena putrinya yang keras kepala. “Bisa kita bicara di luar sebentar? Ada yang mau Tante bicarakan.”
“Tante—”
“Cita nggak akan bisa diajak bicara,” sela Sandra sudah tahu tabiat Cita yang berubah. “Percaya sama Tante.”
Melihat Cita yang masih memunggunginya dan tidak mengeluarkan kalimat lagi, Nando akhirnya mengangguk. Ia berpamitan pada Harry sebentar dan keluar sesuai permintaan Sandra.
“Tolong jangan menghakimi Cita, karena keputusannya yang betul-betul di luar nalar,” pinta Sandra setelah menutup pintu. Ia mempersilakan Nando duduk di kursi tunggu, lalu Sandra menyusul kemudian. “Semenjak pisah sama Arya, Cita banyak berubah. Dia rajin fisioterapi, tapi nggak pernah mau datang ke psikolog lagi. Pokoknya, Cita berubah, Ndo.”
“Jadi selama ini …” Nando menyugar rambutnya sebentar. “Maksud saya, selama ini dia selalu baik-baik aja waktu kita ngobrol. Nggak ada yang berubah, Tan.”
“Kamu sudah lihat Cita di dalam, kan?” tanya Sandra. “Dia itu … ya, begitu aslinya, Ndo. Keras kepala dan sudah nggak bisa dinasehati sama sekali. Beda sama Cita yang dulu. Apalagi semenjak Cita bisa jalan, dia makin keras ke—”
“Apa? Cita … sudah bisa jalan …
“Apa? Cita … sudah bisa jalan?”Sandra menelan ludah dan menoleh dengan amat perlahan. Berharap, pendengaran Sandra kali ini, salah. Namun, tidak.“Bu … Gemi.”“Apa Cita beneran sudah bisa jalan?” Gemi berhenti di samping Sandra, lalu mengangguk singkat pada Nando.Sandra gelagapan. Ia bingung dan tidak tahu harus memberi penjelasan seperti apa. Tidak mungkin Sandra berbohong, karena Gemi pasti sudah mendengar sedikit ucapannya pada Nando. Namun, bila Sandra mengatakan sejujurnya, Cita pasti akan marah kepadanya.“Bu Sandra,” tegur Gemi, karena mantan besannya itu hanya terdiam dan tampak sedikit panik. Gemi semakin curiga, Cita memang sudah bisa berjalan dan hal tersebut sudah terjadi sejak lama. Namun, keluarga Lukito sengaja menyembunyikannya. “Apa betul, Cita sudah bisa jalan?”“Emm.” Sandra kembali menelan ludah. Ia tersenyum canggung, lalu berdiri. Arya pasti menghubungi Gemi dan meminta ibunya datang untuk bicara dengan Sandra. “Bu Gemi di Jakarta? Ke sini sama siapa?”Gemi mem
“Jadi yang dibilang Leoni betul!” Arya mondar mandir di hadapan Gemi, sambil mengacak-acak rambutnya. Ternyata, selama ini Cita sudah bisa berjalan dan hanya berpura-pura lumpuh di depan semua orang. Bahkan, Kasih juga tidak tahu menahu tentang hal tersebut.“Firasat pak Pras yang betul,” Gemi meluruskan, berdasarkan cerita Leoni ketika menelepon. Mungkin, Pras melihat satu kejanggalan ketika menjenguk Harry di rumah sakit. Oleh sebab itu, Pras berani berasumsi demikian.“Terus sekarang gimana, Ma?”“Seka … halooo cucu Oma.” Gemi melebarkan kedua tangan, saat melihat cucunya berlari ke arahnya. Menjeda obrolannya dengan Arya sebentar, karena gadis kecil yang manja itu akan segera tidur sebentar lagi. “Sudah mau bobok?”Gadis kecil yang kerap disapa Caca itu mengangguk. “Bobok sama Oma.”Gemi kemudian menangkup wajah mungil cucunya, lalu memberi ciuman dengan gemas. “Sama mama dulu, soalnya oma mau bicara sama om Arya.”Sambil mengerucutkan bibir mungilnya, Caca menatap Arya. “Jangan l
“Yakin, tetap mau ada di kursi roda?” Kasih membungkuk dan bicara tepat di telinga Cita, dari belakang. Sedikit memberi provokasi, Kasih rasa tidak mengapa. Cita harus membuka mata, bahwa selama ini gadis itu hanya menyiksa diri sendiri. “Mereka senang-senang, tapi kamu masih sibuk miara sakit hati … sendirian.”“Aku …”Kasih buru-buru memutar kursi roda Cita agar menghadapnya. Kemudian, ia mengambil gelas di tangan Cita dan meletakkannya di meja bar. Setelahnya ia berjongkok dan tersenyum. “Cita, kami semua sayang sama kamu dan cuma pengen kamu hidup bahagia. Sekarang aku tanya, apa selama ini kamu bahagia?”Kasih melirik sebentar pada kedua orang yang sudah mendapatkan meja dan duduk di sana. “Jawab jujur!”“Kak …” Cita tidak bisa mengungkapkan perasaannya saat ini.“Kamu yang datangi mereka, atau aku?” Kasih kembali menekan Cita.Cita sedikit memutar kursi rodanya. Tatapannya berlari ke area resto, untuk mencari kedua orang yang telah dililhatnya. Saat menemukan mereka, Cita kembal
“Maaf, ya, Tan.” Kasih memeluk Gemi sebentar, lalu mengurainya. Mereka berdua memang jarang bertemu dikarenakan jarak yang membentang. Namun, semua teman akrab kedua orang tuanya, pasti sudah dianggap seperti keluarga bagi Kasih. “Ada masalah dikit di kantor, jadinya aku telat.”“Sudah selesai masalahnya?” tanya Gemi kemudian mempersilakan Kasih duduk di hadapannya. Mereka bertemu di sebuah kafe, yang letaknya tidak jauh dari rumah Chandi. Kasih yang mengusulkan hal tersebut, karena tidak ingin merepotkan Gemi.Sebenarnya, Kasih bisa saja datang ke rumah Chandi, tetapi ia khawatir akan bertemu Arya di sana. Paling tidak, bukan untuk saat ini. Lebih baik Kasih menjelaskan semua hal pada Gemi, karena wanita itu pasti bisa lebih bijak menyikapinya daripada Arya.“Sudah,” angguk Kasih lalu memesan kopi pada pelayan yang baru menghampiri meja mereka. Setelah pelayan tersebut pergi, barulah Kasih kembali fokus pada Gemi.“Like mother, like daughter,” ucap Gemi setelah mendengar pesanan Kasi
Saking senangnya, Sandra sampai tidak bisa berkata-kata saat melihat Cita datang ke rumah sakit, tanpa menggunakan kursi roda. Entah apa yang dilakukan Cita bersama Kasih kemarin, sehingga putrinya pagi ini datang dengan kondisi normal. Bahkan, Cita tidak bercerita apa pun padanya, ketika Sandra menelepon.Ini sungguh sebuah kejutan yang menyenangkan.“Apa kemarin terjadi sesuatu?” selidik Sandra langsung membawa Cita duduk di sofa berdampingan.“Aku … ketemu Pandu sama Laura di restonya Kak Duta.” Cita tidak akan menutupi satu hal ini di depan orang tuanya.“Cita—”“Kamu baik-baik aja?” Harry mendadak duduk tegak, setelah mendengar putrinya bertemu dengan Pandu. “Apa dia—”“Aku nggak papa, Pa.” Cita dan Sandra dengan kompak menghampiri Harry. “Papa nyender aja, nanti capek.”Sandra reflek mengusap punggung Harry, lalu membawa sang suami kembali bersandar dengan perlahan.“Papa nggak capek,” ucap Harry lalu menyentuh tangan Sandra. “Justru Mamimu yang kelihatannya capek.”“Nanti malam
“Hei, Cit!” Saat mendengar ada Cita berada di restonya dari salah satu pegawai, Duta yang sedang berada di dapur segera menghampiri gadis itu. “Sendiri?” “Hei, Kak,” balas Cita menatap Duta sebentar, lalu kembali melihat ikan-ikan yang berada di kolam. “Tadinya janjian sama Kak Kasih, tapi dia mendadak nggak bisa datang. Kak Duta kalau mau kerja, dilanjut aja. Aku di sini sudah nggak punya tujuan soalnya. Kayak … asing aja ada di Jakarta.” Tidak hanya itu, Cita pergi dari rumah sakit karena Lee dan Gemi akan membesuk Harry. Mungkin, saat ini kedua orang itu sudah berada di rumah sakit dan membicarakan banyak hal dengan Harry, juga Sandra. “Ohh …” Duta berjalan melewati Cita, lalu mengambil tempat makan ikan dan menyerahkannya pada gadis itu. “Kenapa nggak ke kantornya Kasih.” Duta segera meralat, karena Cita juga salah satu dari pewaris Lukito Grup. “Maksudku, coba ikut kerja di sana dan—” “Aku nggak tertarik dengan perusahaan papa di Jakarta,” sela Cita sambil membuka tutup tempat
“Rumah ini, kelihatan lebih luas dari yang dulu.” Tanpa sungkan, Cita langsung masuk ke ruang keluarga Atmawijaya. Melihat ruangan yang tampak minim perabotan dan hamparan karpet yang hampir menutupi seluruh lantai ruangan. Mungkin karena itulah, ruang keluarga Atmawijaya saat ini terlihat lebih lega.Akan tetapi, tatapan Cita mendadak berhenti di satu sudut sofa. Ada sebuah boneka barbie yang duduk manis di sana dan Cita mulai bisa menyimpulkan sesuatu. Perubahan dekorasi rumah tersebut, kemungkinan dilakukan karena ada seorang anak kecil yang tinggal atau sering datang dan bermain di ruang keluarga.Anak Pandu dan Laura.Cita sempat mendengar, Pasha dan Erinalah yang mengambil bayi tersebut dan mengasuhnya. Namun, Cita tidak tahu, apakah hal tersebut masih dilakukan pasangan suami istri itu hingga saat ini?Atau, justru Pandu dan Laura sudah mengasuh anak mereka sendiri.Dengan sengaja, Cita berjalan menuju sudut sofa tersebut dan duduk di sana tanpa dipersilakan. Cita mengambil bon
Setelah menutup pintu mobil, Lex terdiam sejenak memandang sedan hitam yang tampak asing baginya. Berasumsi di rumahnya ada tamu, barulah Lex menoleh pada Arya yang menghampirinya.“Sepertinya ada tamu.” Lex mengajak Arya masuk dan pria itu tampak terus menatap mobil yang terparkir di sisi halaman yang berbeda. “Kenapa, Ar?”“Ohh, nggak papa, Om,” jawab Arya terus mengikuti Lex dari belakang dan berhenti di ruang tamu.“Nggak ada orang.” Jika Elok membawa tamunya masuk melebihi ruang tamu, itu berarti istrinya sudah sangat akrab dengan tamu tersebut. “Tunggu di sini sebentar.”“Iya, Om,” jawab Arya masih memikirkan sedan, yang terparkir di halaman rumah Lex. Ada sebuah firasat yang mengusiknya, sehingga Arya memutuskan kembali pergi ke depan. Ia menatap sedan tersebut, tetapi tidak kunjung mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya.Akan tetapi, saat Arya baru saja berbalik dan berniat kembali ke ruang tamu. Ia melihat sosok pria paruh baya, yang beberapa hari lalu ditemuinya di rumah