Gilang tidak punya jalan keluar, selain kembali ke rencana awal. Jika dibandingkan dengan Kiya, jelas saja papanya itu lebih percaya pada wanita itu daripada Gilang sendiri. Ulah Gilang selama inilah, yang membuat seluruh kepercayaan Adi hilang kepadanya. Karena itulah, Gilang butuh orang seperti Kiya untuk meyakinkan Adi, dirinya saat ini sudah berubah dan bisa diberi kepercayaan untuk masuk ke jajaran direksi Jurnal.
“Kalau suka, dilamar, Jangan tunggu jadi CEO, baru dinikahin.”
Gilang sontak membeku beberapa saat. Lamunannya tentang Kiya menguap detik itu juga. Kemudian, ia menoleh pelan pada Elok yang tersenyum, dengan pandangan yang tertuju ke halaman rumah. Apa kakaknya tahu mengenai perjanjian yang telah disepakatinya dengan Kiya? Atau, hal tersebut hanyalah sindiran semata, tanpa ada maksud apa-apa.
Lantas, Gilang pun terkekeh hambar untuk menanggapi ucapan Elok tersebut. “Lagi ngomongin siapa, Mbak?” tanyanya pura-pura tidak tahu.
“Kamu, sama Kiya?” todong Elok tanpa ingin berbelok-belok. Ia sedikit memutar posisi duduknya, lalu mengusap perut yang sudah membesar. “Kiya itu pekerja keras, dia jujur, dan … overall dia itu baik. Nggak neko-neko anaknya.”
“Don’t judge a book only by its cover, Mbak.”
“Aku nggak lagi ngejudge Kiya.” Elok menoleh tanpa mengulas senyum. “Aku kenal sama Kiya itu nggak setahun dua tahun, Lang. Lebih dari itu, sampai aku sama papa bisa percaya 100 persen sama dia.”
“Itu karena kita banyak uang.” Gilang memberi senyum miring pada Elok. “Coba kalau kita bukan siapa-siapa, memangnya dia mau seloyal itu sama kita? Bullshitlah, Mbak.”
“Kamu ini kenapa, sih, Lang?” Elok jadi bingung sendiri. Bila ada surat perjanjian antara Gilang dan Kiya akan menikah, mengapa sikap adiknya itu terkesan tidak peduli. Sebenarnya, apa yang mendasari hingga surat perjanjian itu dibuat? “Kenapa bawaannya sensi terus sama Kiya?”
Gilang bersedekap. Menghela panjang karena tidak bisa menjawab pertanyaan Elok dengan pasti. “Dia itu nggak tulus, Mbak. Di matanya cuma ada uang, uang dan uang.”
Elok semakin bingung. Yang ia tahu, Kiya bukanlah seorang gadis matre, yang selalu mementingkan uang di atas segalanya. Namun, mengapa pandangan Gilang justru seperti itu?
“Lang—”
“Nggak tahulah, Mbak.” Gilang berdiri dan berniat masuk ke dalam rumah. Namun, sebelum ia melangkah, Gilang menatap Elok dan kembali menghela. “Mulai besok, tolong ajari aku semua hal tentang Jurnal. Terutama masalah yang sering ada di direksi. So, jadikan aku asistenmu mulai besok.”
Kedua alis Elok hampir tertaut mendengar perkataan Gilang. Hampir tidak percaya bila sang adik bisa tiba-tiba berubah dan memiliki niat serius untuk memegang Jurnal. “Serius?”
“Yaiyalah.”
“Terus Kiya?”
“Dia …” Gilang menoleh sejenak pada gadis yang baru saja ditanyakan Elok. “Terserah. Aku sudah nggak butuh dia lagi.”
“Lang, wait, kenapa—”
“Aku ke dalam dulu, Mbak,” kata Gilang memotong ucapan Elok karena tidak ingin lagi meneruskan pembicaraan mereka. Sudah cukup rasanya bekerja dengan Kiya selama beberapa bulan ini, dan Gilang hampir bisa meraih kepercayaan Adi. Jadi, Gilang rasa ia tidak lagi membutuhkan Kiya. “Biar aku panggilkan mas Lex.”
“Aku sudah di sini,” ucap Lex baru saja berhenti di belakang kursi Elok.
Gilang tersenyum. Ikut senang karena melihat Elok yang kembali ceria dan dipenuhi kebahagiaan. “Dicariin dari tadi, Mas.”
Gilang segera berlalu, sembari menepuk pelan pundak kakak iparnya. Namun, langkahnya terhenti di tangga teras saat melihat Adi baru saja keluar dari rumah.
“Mau ke mana, Lang?” Adi terus saja berjalan dan berhenti di depan putranya. Beberapa bulan belakangan ini, Gilang memang menunjukkan kemajuan yang pesat. Putranya itu lebih fokus dengan masalah perusahaan, dan sudah tidak pernah lagi pergi ke luar untuk bersenang-senang, sampai tidak pernah pulang ke rumah seperti dulu.
“Aaa, nggak ada,” ucap Gilang tiba-tiba tidak bisa berpikir apapun. “Cuma mau ke dalam.”
“Ngapain di dalam.” Adi membalik tubuh Gilang lalu merangkulnya. Mengajak kembali ke halaman rumah, untuk berbaur dalam pesta gender reveal sederhana yang diadakan Elok. “Nggak ada orang.”
Gilang tidak dapat mengelak. Ia kembali ke tempat semua, lalu duduk melihat jalannya acara sembari terus menatap Kiya. Sejak Gilang mengetahui status gadis itu yang sebenarnya, ia semakin menjaga jarak. Lebih banyak diam, dan hanya bicara ketika membahas masalah pekerjaan saja.
Gilang akui, Kiya memang menguasai hampir semua lingkup pekerjaan Elok. Gadis itu sangat profesional, dan fokusnya tidak pernah terpecah sama sekali. Namun, kebohongan Kiyalah yang membuat Gilang tidak bisa bersikap ramah seperti dahulu kala.
~~~~
“Mau bicara apa, Lang?”
Setelah pesta sederhana Elok digelar, Gilang meminta waktu untuk bicara empat mata dengan Adi di ruang kerja. Melihat wajah serius putranya, maka Adi menghilangkan senyum yang sejak tadi menghiasi wajahnya.
“Aku sudah siap masuk lagi ke Jurnal.” Gilang berujar penuh percaya diri, agar Adi juga bisa yakin dengan dirinya.
“Panggilkan Kiya, kalau begitu,” pinta Adi.
Gilang sedikit terkesiap. Mengapa Adi harus memanggil Kiya? Sementara pembahasan mereka hanya perlu diputuskan oleh Adi seorang?
“Kenapa?”
“Papa mau dengar sendiri dari Kiya, apa kamu betul-betul siap terjun ke Jurnal, atau cuma …” Adi mengangkat kedua bahunya sekilas. “Sebenarnya, bagaimana hubunganmu dengan Kiya, Lang? Kenapa nggak ada kemajuan? Katanya kalian dekat, tapi, kenapa kelihatan berjarak? Kalian putus?”
Gilang mengerjap pelan. Di mata papanya, Gilang dan Kiya memang menyatakan kedekatannya, sesuai dengan surat perjanjian yang pernah dibuat. Gilang ingin membuktikan, bahwa ia tidak lagi main perempuan dan bisa setia pada satu gadis saja, yakni Kiya. Di samping itu, Gilang juga sudah menunjukkan keseriusannya dalam memahami seluk beluk pekerjaan Elok dari Kiya selama ini.
Namun, Gilang rasa sudah cukup untuk semuanya. Ia ingin terjun langsung ke dalam Jurnal, dan menghadapi kenyataan yang sebenarnya.
“Setelah dijalani … sepertinya kita lebih cocok jadi partner kerja.” Satu kebohongan, pasti akan ditutup dengan kebohongan lainnya. Itulah yang sedang Gilang perbuat saat ini, untuk meyakinkan Adi.
“Itu karena kalian nggak pernah … jalan berdua.” Haruskah Adi turun tangan kembali, untuk menyatukan Gilang dan Kiya? Seperti halnya dengan putrinya dan Lex? “Kalian berdua itu selalu ketemu di rumah, dan cuma ngurusin pekerjaan. Pergilah keluar sekali-kali, bawa Kiya.”
Setelah kecelakaan, Gilang hampir tidak pernah keluar rumah dalam waktu yang lama. Sangat berbeda dengan Gilang dahulu kala. Yang terkadang tidak akan pulang ke rumah, bila Dianti tidak menelepon dan memintanya untuk pulang.
“Aku lebih suka ada di rumah.” Dengan kondisi Gilang yang sudah tidak sempurna ketika melangkah, ia tidak punya kepercayaan diri bila harus tebar pesona seperti dahulu kala. Gilang lebih suka mengkoordinir event organizernya dari balik meja, tanpa harus ikut turun ke lapangan. Kecuali, untuk menemui sponsor-sponsor besar, barulah Gilang langsung turun tangan. Itu pun, Gilang akan segera pulang ke rumah bila semua sudah selesai.
“Lang, Papa tahu kamu itu lebih ahli merayu perempuan daripada Papa.” Entah sudah berapa banyak wanita yang dikencani oleh Gilang dahulu kala. Adi sampai sudah tutup telinga, bila mendengar berbagai macam gosip tentang putranya itu. “Jadi, ajaklah Kiya makan malam dan bicarakan lagi hubungan kalian dengan situasi yang berbeda.”
“Pa, bisa kita nggak bicara tentang Kiya?” Gilang harus mengalihkan topik pembicaraan sesegera mungkin. “Aku mau masuk ke Jurnal lagi.”
Adi mengangguk paham dengan keseriusan putranya. “Oke, keluar dan panggilkan Kiya lebih dulu. Papa mau bicara empat mata sama dia.”
“Bokap gue mau ngomong.” Gilang menarik paksa Kiya, ke sudut ruang tersembunyi di bawah tangga. “Gue barusan bilang mau balik ke Jurnal, tapi bokap minta ketemu sama lo dulu.”“Kenapa Mas Gilang nggak berunding sama saya dulu,” ujar Kiya bicara dengan perlahan. “Harusnya—““Bilang ke bokap, kalau gue sudah siap,” putus Gilang terburu. “Terus, masalah hubungan kita, bilang juga sudah selesai, karena kita lebih cocok jadi partner kerja. Nggak lebih dari itu. Paham, lo?”Kiya mengangguk. “Lain kali, semua masalah harus dibicarakan dan direncanakan—““Ki, mending lo diam, terus masuk ke ruang kerja.” Gilang sudah tidak sabar menunggu keputusan Adi. “Pokoknya lo bilang, seperti yang sudah gue kasih tahu barusan. Ngerti, kan, lo? Entar gue tambahin gajian lo bulan ini. Jangan khawatir.”Mentang-mentang Kiya melakukan semua hal demi uang, bukan berarti Gilang lantas memperlakukannya seperti sekarang. “Mas, ini bukan Cuma masalah uang. Tapi—““Udahlah nggak usah muna,” putus Gilang lagi. “Lo
“Sekali lagi saya ingatkan, jangan perlakukan Gilang dengan istimewa,” pesan Adi saat berhenti di depan meja Kiya. “Gilang Mahardika bukan anak pemilik Jurnal, dan dia di sini CUMA karyawan biasa. Tiga bulan bulan pertama, anggap dia anak magang dan jangan mau diperintah sama dia. Paham, Kiya?”Kiya yang sudah berdiri dari kursinya segera mengangguk. “Baik, Pak.”“Pagi semuaaa.” Elok menahan tawa saat melihat Gilang berdiri di balik mejanya. Ia menghampiri sang adik, lalu berdiri di sebelah Gilang dan merangkulnya. “CEO, kan?” bisiknya di telinga Gilang, sambil menepuk keras dada pria itu. “Semangat!”Hanya itu, kemudian Elok melepas tawa sambil berlalu menuju ruangannya. Sekilas, Elok memberi anggukan formal pada Adi, tetapi tidak berniat berhenti melangkah ataupun menegur sang papa.Sementara Gilang, spontan memegang dadanya yang nyeri karena ulah Elok barusan. Akhirnya, daripada harus kembali mengurus Event Organizer miliknya, Gilang memilih menjadi asisten Kiya. Bersabar selama sa
Kiya menelan ludah. Menatap Adi dan Elok yang berada di depannya secara bergantian. Kemudian, ia tertunduk dan menghela panjang karena memikirkan nasibnya saat ini. Gilang sungguh keterlaluan, karena sudah membongkar rahasia yang selama ini Kiya simpan rapat-rapat. Hanya satu harapan Kiya saat ini, jangan sampai kedua orang itu memecatnya. Banyak hal yang belum Kiya selesaikan, termasuk biaya sekolah Duta yang memang tidak murah. Karena ingin memberi semua yang terbaik, maka Kiya juga menyekolahkan putranya di tempat yang terbaik pula. “Jadi Ki, saya mau dengar semuanya dari mulut kamu sendiri,” pinta Elok. “Pak Adi dan saya di sini, sudah nganggap kamu itu seperti keluarga sendiri, jadi, ceritakan semuanya dan nggak perlu sungkat.” “Dan jangan ada lagi yang ditutupi,” tambah Adi bersedekap tegak menatap Kiya. Sulit dipercaya, bila Kiya memang benar sudah memiliki suami dan seorang putra. Bahkan, usia putranya lebih tua satu tahun daripada Kasih. Sementara itu, selama ini Kiya sela
Gilang menutup pintu ruangan Elok dengan kasar, sehingga membuat sang kakak yang baru saja duduk di kursinya kembali berdiri dan menghardik pria itu.“Apa-apaan, sih, Lang!” Elok menghela panjang, sambil mengusap perutnya dengan kedua tangan. “Belum waktunya lahiran, aku sudah brojol duluan gara-gara kamu!” “Itu!” Gilang menghampiri Elok, sembari mengarahkan telunjuk ke arah luar ruangan. “Si Kiya itu makin besar kepala gara-gara papa nggak mecat dia!”“Lang.” Elok membuang napas kecil, lalu kembali duduk di kursinya. Ia bersandar pelan, kemudian menyalakan perangkat komputer di mejanya. “Setelah aku sama papa ngobrol empat mata, yang bermasalah di sini itu sebenarnya kamu, bukan Kiya.”“Aku?” Gilang menunjuk wajahnya sendiri. Ia menarik kursi yang berseberangan dengan Elok, kemudian menghempas kasar tubuhnya di sana. “Aku nggak ada masalah, Mbak. Tapi Kiya sudah bohongin keluarga kita selama ini.”“Dan dia punya alasan untuk itu.” Elok berusaha sabar, kerena sudah membahas permasala
“Siang, Pak Pemred,” sapa Elok menghampiri Bumi lalu mengulurkan tangan lebih dulu. “Lama kita nggak bersua, ya! Apa kabar? Antariksa baik, kan? Pak Dewa gimana? Galak, nggak?”Bumi segera berdiri, lalu menyambut jabat tangan Elok dengan suka Cita. Ia juga memberi kekehan, karena Elok langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. “Lebih galak dari Bu Elok.”Elok tertawa kecil, lalu mempersilakan Bumi untuk duduk kembali. Ia melihat secangkir kopi yang sudah ada di hadapan, dan tersenyum. Satu langkah kecil ini, bisa membuat Gilang sedikit menurunkan egonya di hadapan semua orang.“Tapi bukan pak Dewa yang ngurus Antariksa, Bu,” lanjut Bumi seraya duduk dengan perlahan. “Pak Reno! Kabar awalnya bu Rindu yang diminta masuk Antariksa, tapi beliau nggak mau karena sibuk ngurus anak sama kuliah.”“Ah! Ya, ya, ya.” Elok jadi memikirkan permintaan Lex untuk berhenti bekerja, setelah anak mereka lahir nantinya. Namun, Elok masih bernegosiasi agar bisa tetap bekerja membantu sang papa di Ju
“Sore Pak Lex,” sapa Kiya yang baru saja berdiri dan hendak pergi ke ruangan Adi. Ia melihat Lex berjalan menuju mejanya, dan memberi anggukan singkat pada saat Kiya menyapanya.“Sore, Ki.” Lex membalas saat sudah berhenti di depan meja Kiya. Ia tersenyum kecil pada Gilang, lalu ikut menyapanya. “Sehat, Lang?”“Sehat, Mas.” Gilang balas tersenyum dan menyapa, sembari membereskan barang-barang di mejanya. Ia melirik sejenak pada Kiya, yang selalu saja terlihat memiliki energi lebih untuk menghadapi semua hal.“Bu El, ada di ruangan pak Adi,” kata Kiya setelah mendengar Gilang membalas sapaan Lex. “Biar saya panggilkan sebentar dan silakan menunggu di ruangan bu Elok.” Kiya mempersilakan Lex masuk ke ruangan istrinya, dan membukakan pintu terlebih dahulu. “Silakan, Pak.”“Terima kasih.” Lex mengangguk dan segera pergi menuju ruangan Elok, setelah kembali menegur adik iparnya.Kiya berbalik, dan segera pergi ke ruangan Adi. Mengetuk pintunya dua kali, kemudian masuk dan menghampiri kedua
“Apa-apaan ini?” Langkah Adi terhenti saat hendak menyeberang ke ruangan Elok. Ia memutar tubuh, lalu menghampiri Kiya yang mematung dan masih berjongkok di hadapan Gilang. Adi tidak meninggikan nada bicaranya. Ia hanya penasaran, apa yang Kiya lakukan sambil berjongkok di hadapan putranya.Mereka tidak mungkin berbuat hal yang bukan-bukan, karena posisi Kiya dan Gilang sangat terbuka. Namun, tetapi saja semua itu membuat rasa penasaran Adi tergelitik.“Kakinya Mas Gilang kambuh lagi, Pak,” lapor Kiya akhirnya membuka mulut. “Harusnya, Mas Gilang itu masih tetap terapi.”“Skala sakit, Lang?” tanya Adi berusaha tidak memperlihatkan kekhawatirannya, karena ia tahu benag Gilang tidak suka dikasihani. “Dari satu sampai sepuluh.”“Lima … enam.”Adi menghela, lalu melihat Kiya yang membuka kaos kaki Gilang. “Kiya, berhenti. Kamu bukan perawat Gilang, dan biarkan dia lakukan itu sendiri.”“Oh …” Mendadak, Kiya jadi serba salah. Namun, ia tetap melepas kaos kaki Gilang lalu meletakkannya di d
“Sudah lihat semua foto dan dokumennya?” tanya Lex kemudian berdiri dari kursinya, dan mempersilakan sang istri duduk di tempat tersebut. Lex mengambil kursi meja rias Elok, lalu meletakkannya di samping Elok. Mereka melihat layar laptop berdua, dan membaca lagi dokumen yang ada di flash disk yang diberikan Bumi.“Aku baru sempat lihat foto-fotonya, tapi belum sempat baca dokumennya.” Elok menoleh pada Lex, yang tetap lurus melihat layar dengan serius. Suaminya itu, memang tidak bisa dipancing jika sedang serius seperti sekarang. Padahal, Elok sudah mengenakan slip dress dan sengaja menurunkan satu tali spaghettinya dari bahu, tetapi Lex tetap saja sibuk membaca dokumen di depan mata. Belum lagi, Elok juga sudah memakai wewangian dengan aroma yang lembut, tetapi Lex …“Kamu sempat tanya siapa suami Kiya?” tanya Lex sembari menurunkan dokumen di layar, sedikit demi sedikit.“Nggak.” Elok meraih lengan kiri sang suami lalu memeluknya. “Tapi, sepertinya teman SMA-nya. Karena, mereka nika