Share

Drama Mobil Mogok

~Dalam hidup terkadang kita memang harus dipertemukan dengan orang-orang yang tidak tahu diri. Maka nikmatilah!"

Pakaian di dalam lemari tersusun rapi. Susunannya sudah sesuai dengan keinginan Danar. Disusun berdasarkan warna dan kegunannya. Pakaian kerja dengan pakaian kerja, pakaian untuk santai sore, disatukan dengan pakaian untuk santai. Bahkan pakaian-pakaian itu juga sudah tersusun rapi berdasarkan gradasi warnanya. Kinerja Sagita dalam merapikan pakaian di lemari memang patut diacungi jempol. Malam itu, bukan hanya susunan pakaian itu saja yang rapi, tapi susunan rencana Danar juga sudah rapi.

 "Kamu boleh ikut juga kok Git! Kumpul-kumpul sama temen aku. Udah lama jugakan kita enggak ngecamp. Camping ke alam itu juga bagus buat kamu yang tiap hari hanya menghabiskan waktu di rumah."

 Sagita menarik napas dalam-dalam. Udara yang dihirupnya seolah tidak berisikan oksigen melainkan hanya berisi gas kekecewaan. Menghirupnya hanya membuat napas Sagita kian sesak. Jelas sekali tadi mereka berdua masih membahas soal rencana pindah rumah. Danar malah membelokkan topik pembicaraan ke rencana camping dengan teman-temannya.

 "Jangan mengalihkan pembicaraan Mas Danar! Aku cuman mau pindah rumah. Bagiku kalau kita sudah bisa pindah dari rumah ini, itu sudah lebih-lebih dari liburan camping di alam bebas. Aku bisa bebas sebebas-bebasnya. Bahkan jika aku sedikit kreatif aku bisa memasang tenda di dalam rumahku sendiri. Hei, siapa yang mau melarang? Tidak ada. Cuman kita berdua di rumah. Beda cerita kalau kita di rumah ini. Yang ada ibunya Mas akan meneriaki aku orang gila karena membuat tenda dalam rumah."

 "Kita enggak mungkin pindah sekarang, Git! Orangtua Mas belum setuju. Ya gimana lagi Git? Mas juga enggak mau kita terus-menerus sepeti ini."

 "Ya kalau enggak mau, kita pindah dong Mas. Apa susahnya tinggal pindah? Gampang kok kalau mau pindah Mas. Kita tinggal cari kontrakan yang dekat dengan tempat kerja kamu."

 "Git! Ayolah, ini udah malam. Mas bosan tiap hari harus membahas masalah pindah rumah. Rumah ini kurang nyaman apa coba? Kurang besar apa? Kamu udah satu tahun tinggal di sini. Seharunya udah bisa terbiasa dengan sikap orangtua Mas. Mas sadar jika terkadang orangtua Mas memang suka semberono kalau berbicara. Namun ya mau gimana lagi. Kita tetap harus menghormati mereka."

  Sagita hanya diam. Sebelah tangannya meremas bantal yang sedari tadi di pangkunya. Selalu begini, selalu menemui jalan buntu ketika mereka tengah membahas urusan pindah rumah. Seperti memang tidak ada celah untuk mereka keluar dari rumah itu.

 "Mas sudah mengiyakan ajakan teman-teman Mas untuk ikut kegiatan camping itu. Kamu sendirikan tahu kalau mas ini mantan anak MAPALA, Mahasiswa pecinta alam. Jadi enggak ada salahnya dong kita sekali-sekali menikmati suasana alam bersama teman-temannya Mas. Ayolah!"

 Sagita mengangguk. Dia tidak keberatan sebenarnya untuk urusan pergi camping bersama dengan teman-temannya Danar. Ini bukan kali pertama Sagita diajak oleh suaminya untuk berkemah bersama teman-temannya. Bebaerapa kali Sagita memang sering diajak.

 "Banyak teman perempuan Mas Danar yang ikut?"

 "Cuman dua. Itupun gebetannya mereka, Yoga sama Jidan. Nanti kamu tidur di tenda bareng sama mereka ya! Mas gabung bersama teman-temannya Mas yang laki-laki."

 "Oke! Enggak masalah Mas. Sagita ikut maunya Mas aja."

 "Nah, gitu dong Git! Kamu tuh harus nurut kalau jadi istri. Kalau seperti inikan Mas senang. Memang rasanya Mas enggak salah pilih istri. Kamu istri yang paling tepat buat Mas." Danar mengedipkan matanya.

 "Iya okelah Mas. Enggak masalah juga sih kita pergi camping. Bila perlu yang lama sekalian. Biar aku bisa lama ninggalin neraka ini."

 
Sagita sibuk berbicara dengan dirinya sendiri di dalam hati. Dia justru ingin cepat acara camping itu diadakan. Tentu agar dia bisa pergi menyegarkan pikiran. Melarikan diri dari kenyataan.

 Tok! Tok! Tok!

  Seseorang mengetuk pintu kamar Sagita dan Danar. Sagita melangkahkan kaki dengan cepat menuju pintu. Jika terlambat sedikit saja, bisa berbahaya. Mertuanya pasti akan marah. Pernah sekali dia sedikit lama untuk membuka pintu. Mertuanya langsung marah besar sampai membanting-banting barang di rumah. Hal itu yang membuat Sagita merasa trauma jika lama membuka pinta kamar.

 "Iya Pak! Ada apa ya?" tanya Sagita pada bapak mertuanya.

 "Danar mana? Itu ada perempuan di depan rumah. Mobilnya mogok, Bapak yakin itu mobil harus didorong dulu baru mesinnya bisa nyala. Bapak sudah tua, enggak kuat mendorong sendiri. Tetangga kita Pak Parman juga enggak di rumah. Kasihan perempuan itu. Mana sudah malam lagi ini."

 "Oh iya Pak! Sebentar!"

 Tidak menunggu lama. Danar segera keluar, ingin membantu mendorong mobil yang mogok itu. Sagita juga ikut keluar penasaran dengan situasinya. Sebuah mobil jenis sedan terparkir di sebuah jalan tepat di depan rumah. Seorang wanita dengan rok merah muda selutut dan baju kemeja putih sebahu terlihat sedang mengelap keringat di dahinya. Wajahnya jelas tampak cemas dengan kondisi mobil itu. Begitu melihat wanita itu, Danar langsung memekik.

 "Delia!"

 "Hei, Danar? Kok kamu ada di sini?"

 Delia mengerjapkan matanya seolah tidak percaya dirinya melihat Danar. Wajahnya terlihat sangat bahagia sekali. Sementara itu Sagita justru sebaliknya. Dia merasa ini sebuah kebetulan yang sangat menjengkelkan.

 "Rumah kamu di sini?" tanya Delia dengan nada setengah tidak percaya.

 "Iya Del. Aku tinggal di sini. Kamu sendiri ngapain malam-malam di sini Del? Terus ini mobil kamu kenapa?"

 "Aku tadi habis berkunjung dari rumah teman Dan. Dan enggak tahu ini mobil kenapa. Mau aku bawa ke bengkel, tapi bengkel terlalu jauh. Aku bingung harus minta tolong ke siapa."

 "Kamu tenang aja ya Delia! Ini mobil pasti bisa kok. Coba sebentar biar aku cek dulu kondisinya."

 "Kamu tahu soal mobil?" Delia bertanya dengan penuh harap. Berharap jika Danar paling tidak bisa membuat mobil itu berjalan sampai bengkel.

 "Tidak terlalu banyak tahu. Tapi coba aku periksa."

 "Loh! Kalian saling kenal ya?" Bapak bertanya.

 "Iya Pak! Ini Delia, teman lama Danar. Dulu kami satu SMA."

 "Oh gitu! Kalau gitu kamu coba benarin dulu ini mobilnya Danar. Kamu lihat apa yang salah. Delia masuk saja dulu di rumah. Istirahat. Wajah kamu terlihat lelah sekali. Git! Gita! Siapin minum buat Delia! Buruan! Kasihan perempuan cantik seperti dia ini malam-malam malah terlunta-lunta di jalan."

 "Gimana-gimana? Terlunta-lunta? Masih seger gitu kok!"

 Sagita berusaha untuk berdamai dengan hati kecilnya sendiri. Dia hanya mengangguk tipis untuk kemudian segera beranjak menuju dapur.

 "Hei Git! Kamu belum tanya ini Delia mau minum apa," ibu mertua Sagita berteriak.

 "Manawari mau minum apa? Masa iya pakai acara ditawari segala. Terserah aku dong mau buatin dia minuman apa. Syukur dikasih minum."

 
"Kak Delia mau minum apa?" tanya Sagita pada Delia yang sudah duduk di atas kursi teras rumah.

 "Jus jeruk kalau ada ya! Gulanya jangan banyak ya. Udah gitu pakai es. Esnya juga sekedar aja. Jangan terlalu dingin tapi juga jangan terlalu normal suhu airnya. Oh iya, peras jeruknya juga hati-hati ya! Jangan sampai ada biji jeruknya yang termasuk ke gelas. Biji jeruk itu rasanya pahit. Saya enggak suka yang pahit-pahit."

 "Whaaat? Kok akhlakless banget ini orang! Enggak ada akhlak! Masih untung aku mau buatin minum. Malah minta yang enggak-enggak. Kurang ajar! Enggak aku kasih racun tikus aja minuman kamu itu udah syukur! Makhluk macam apa dia ini?"

 Tanpa senyum Gita segera beranjak menuju dapur. Tangannya gatal sekali seperti ingin memukul-mukul sesuatu. Dia ingin melampiaskan kekesalannya. Sayangnya Sagita tidak tahu harus melampiaskan kekesalannya kemana. Jadilah malam itu adalah malam yang menyebalkan bagi Sagita.

 

 

 

  

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lie Miang
jadi malas baca wanita lemah cuma bisa omong dihati
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status