Share

Buanglah Mantan Pada Tempatnya

“Mainan Padma? Badai, ini kamu kan?”

Saat kebisingan sudah hilang dari sekitarnya, barulah Badai sadar siapa yang bicara dengannya barusan.

Refaldy Hardjaja.

Badai masih sibuk mengarang alasan di otaknya ketika Padma yang tadi belum mengenakan penutup telinganya dengan sempurna, masih bisa mendengar apa yang diteriakkan Badai.

Perempuan itu meminta maaf pada pelatihnya untuk menunda sebentar latihan mereka.

“My phone.” Padma mengulurkan tangannya pada Badai, meminta ponselnya dari Badai.

Setelah Badai menyerahkannya, Padma langsung bicara pada sang ayah begitu melihat caller ID yang tertera.

“Halo, Pa. Maaf, tadi itu Badai. Kayaknya dia jadi agak-agak mengkhawatirkan karena tanpa sarapan udah kuajak ke lapangan tembak.”

Badai mendengus mendengar alasan karangan Padma. Perempuan itu menjawab pertanyaan sang ayah dengan singkat dan tersenyum saat mendengar pesan-pesan terakhir dari sang ayah.

“Udah teleponnya?” Badai terkejut saat Padma kembali menyerahkan ponselnya. “Aku belum minta maaf sama Om Refaldy.”

“It’s okay. Papa ngira kamu lagi ‘cemburu buta’.” Padma terlihat masih tak percaya sang ayah menggunakan istilah itu untuk seorang Badai Tanaka. “Lebih baik daripada Papa ngira kamu lagi sakau.”

“Siapa suruh nama kontak papamu jadi ‘Sayangku’.” Untuk menutupi rasa malunya, Badia mengambil jalan pintas, yaitu menyalahkan apa saja selain dirinya. “Kupikir mantanmu yang kamu ceritakan di klub itu yang telepon.”

“Kalaupun yang tadi adalah mantanku, kenapa kamu bilang kamu mainan baruku?”

Padma tentu saja heran. Pasalnya, mengakui kalau dirinya adalah mainan baru Padma justru bukan seperti tabiat player atau manusia normal pada umumnya.

Badai berdeham untuk meredakan kecanggungannya. “Kalau aku bilang aku ini pacarmu, mantanmu itu akan mikir kalau kamu perempuan lemah yang lagi cari pelarian.

“Kalau aku ngaku sebagai mainanmu, maka kesannya kamu nggak nangisin kepergiannya karena kamu udah dapet mainan baru dengan cepat,” jawab Badai dengan lancar. “Hei, aku membantu pencitraan kamu lho, Hon.”

“Kamu—“

“Penuh strategi,” sela Badai sambil menjentikkan jemarinya. “Aku tahu, Honey.”

“Kamu banyak akal bulusnya. Makanya banyak perempuan terjebak sama kamu.” Padma memicingkan matanya dengan sebal karena betapa percaya diri dan jemawanya Badai saat ini.

“Bukan terjebak,” koreksi Badai. “Tapi menjebakkan diri bersamaku. Anggap aja itu skill utamaku.”

Badai meraih bahu Padma dan membalik tubuh perempuan itu, lalu mendorongnya ke tempat ia berdiri semula. “Udah sana, latihan. Aku mau liat kamu dari belakang. Nanti aku fotoin.”

“Difotoin? Buat apa?” Insting Padma langsung curiga. “Awas aja kalau buat macem-macem ya!”

“Nggak kok. Buat dipamerin ke grup keluarga aja kalau kita jadi menikah,” jawab Badai dengan enteng. “Om dan tanteku udah takut kalau aku makin lama sendiri, nanti aku jadi Columbus, kata mereka.”

“Columbus?”

“Columbus-nya perempuan.” Badai memamerkan senyuman maut yang biasanya berhasil membuat perempuan mana pun bertekuk lutut padanya. “Kalau Columbus menjelajah dan menemukan rute benua Amerika, kalau aku ya penjelajah wanita.”

“Columbus pasti nggak sudi dibandingkan sama kamu.” Padma berusaha setengah mati agar tak mengumpat, kemudian ia mengoreksi ucapan Badai sebelumnya. “Lagipula kita baru akan menikah kalau kamu lolos probation, Badai. Nggak usah pamer dulu, bisa?”

Badai hanya memutar kedua bola matanya, lalu kembali ke tempat duduknya semula. Padma sendiri mencoba memfokuskan pikirannya sejenak, kemudian meraih handgun dari holster-nya dan memulai latihannya.

Di sisi lain, Badai terus menatap Padma dengan raut wajah takjub. Dari sekian banyak olahraga di dunia ini, kenapa Padma bisa memilih menembak sebagai olahraga yang ia tekuni?

Padahal dengan tubuh rampingnya itu, Padma mungkin lebih cocok jika berada di kolam renang.

“Ck, jangan mikir kotor kalau nggak mau di-dor Padma, Dai,” gumam Badai pada dirinya sendiri.

Selama hampir dua jam, tatapan Badai fokus terarah pada Padma yang berdiri di tempatnya dengan senjata di tangan. Kalau sekarang mereka ada di film aksi, maka Badai percaya kalau Padma adalah pemeran utama yang merupakan pewaris keluarga kaya tapi diam-diam dia bisa menjatuhkan lawannya dengan mudah.

Ya, ya, ya, Badai terlalu banyak berkhayal.

“Kamu nggak bosan?”

Pertanyaan Padma langsung dijawab gelengan oleh Badai. Ia membuka penutup telinganya begitu melihat Padma menghampirinya. Badai sendiri juga bingung bagaimana ia bisa tidak bosan hanya menonton Padma latihan.

“Ayo, aku udah selesai,” ajak Padma pada Badai. “Kamu ditawarin kenapa nggak mau?”

Satu jam yang lalu Padma memang menawarinya untuk belajar. Di sana memang terdapat para pelatih yang bersedia mendampingi para pemula untuk menembak. Tapi Badai memilih untuk tetap di tempatnya dan mengawasi bagaimana Padma berlatih.

“Aku mau menggunakan waktu dua jamku untuk melihat bidadari berlatih menembak.”

“Receh banget gombalanmu. Coba lagi lain waktu, B.”

“B?” Rasanya baru kali ini ada yang memanggilnya B yang dilafalkan seperti huruf B dalam bahasa Inggris.

“B for Badai.” Padma menaruh senjatanya dan melepas holster, kacamata, serta penutup telinganya. “Setiap saat manggil kamu Badai itu kepanjangan.”

Badai pun melakukan hal yang sama. “Aku suka dipanggil seperti itu. Kesannya singkat tapi istimewa.”

Padma hanya mengangguk-angguk. “Gombal dan berkata-kata manis memang keahlian utama player.”

“Bibirku bisa berguna untuk hal lain selain menggombal. Kamu pernah mencobanya kok.”

Padma menduga kalau ia tahu dengan pasti apa yang dimaksud Badai, makanya ia mendelik pada lelaki itu. “Contohnya?”

“Untuk berciuman dan memuaskan kamu.”

“Uhuk!”

Seseorang yang terbatuk karena tak sengaja mendengar obrolan tersebut langsung mengalihkan perhatian keduanya. Padma langsung melangkah dengan cepat keluar dari gedung tersebut dan Badai mengikutinya sambil tertawa.

“Mau ke mana lagi habis ini?” tanya Badai saat membukakan pintu mobilnya untuk Padma.

“Sency, aku lapar.”

***

Usai memesan menu makan siang untuk mereka, Padma mengamati Badai dengan intens. Lelaki itu tak sadar kalau Padma tengah mengamatinya karena ia sedang melihat-lihat ke sekitar.

Padma menangkap kilatan tertarik di mata Badai dan ketika ia mengikuti arah pandangannya, Padma bisa melihat kalau yang baru saja menarik perhatian Badai adalah seorang perempuan cantik dengan pakaian yang cukup ketat membalut tubuhnya.

“Ada yang salah?”

Pertanyaan Badai mendapat gelengan dari Padma. Lelaki itu tersenyum saat menyadari Padma baru saja mengamatinya. “Jangan cemburu. Aku cuma sadar ada orang cantik dan itu wajar. Tapi aku tetap di sini dan nggak menghampirinya."

“Siapa juga yang cemburu?” Perempuan berambut panjang itu mendengus pelan. Saat ia baru saja akan mengeluarkan argumennya, ponsel yang ia letakkan di atas meja kembali bergetar dan kini menampilkan nomor tak dikenal.

“Nggak kamu angkat?”

“Yang ini baru mantanku.” Padma menjawab dengan santai. “Makanya nggak aku angkat.”

Sebelum Padma bisa mencegahnya, Badai sudah mengambil ponsel tersebut. “Kok nomornya nggak kamu simpan lagi?”

“Semua orang yang berlalu dari hidupku, akan kubuang semua jejaknya sampai nggak bersisa.”

“You’re so cold, Padma,” komentar Badai sambil menggeleng dengan dramatis. “Kali ini akan kubantu kamu membuang dia jauh-jauh dari hidupmu. Karena kata pepatah, buanglah mantan pada tempatnya.”

“Badai—“

“Halo,” sapa Badai begitu menggeser layar ponsel Padma untuk menjawab panggilan dari Galih, mantan kekasih Padma. “Mau bicara dengan Padma? Sorry, bro, kami lagi memilih cincin kawin, jadi sepertinya calon istriku nggak bisa bicara denganmu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status