Mobil sedan itu memasuki pekarangan rumah mewah nan megah di kawasan Pondok Indah. Satpam rumah langsung membukakan pintu samping mobil, lalu Prakas turun dari mobil dengan wajah bingung. Tubuhnya yang tinggi itu memasuki rumah. Dia memiliki kulit putih dan rambut agak modis dengan sedikit poni. Prakas sangat tampan dan digilai para perempuan. Bagaimana pun dia harus terlihat sempurna karena perusahaannya adalah perusahaan yang bergerak dibidang kosmetik terkenal yang mulai mendunia. Produk yang dijual perusahaannya bukan saja kosmetik untuk perempuan saja, melainkan produk-produk untuk pria juga seperti parfum dan lainnya.
Tiba-tiba perempuan berumur 45 tahun dengan pakaian modis dan terlihat terawat itu datang menghampiri Prakas dengan cemas.
“Prakas, semalam kamu kemana? Kenapa tidak pulang ke rumah?” tanya perempuan itu. Dia adalah Nyonya Prameswari, ibu kandung Prakas yang menjanda sudah dua tahun lamanya.
“Aku tidur di tempat temen, Mah,” jawab Prakas.
“Lain kali telepon, Mamah,”
Prakas mengangguk lalu pamit ke kamarnya. Di dalam kamar, dia langsung merebahkan diri di atas kasur. Prakas masih memakai setelan jas lengkap dengan dasinya. Bayangan-banyangan semalam terus terngiang di pikirannya. Dia ingat ketika dia hampir terjatuh saat memasuki kamar hotel itu karena terlalu mabuk, tiba-tiba ada tangan yang memegangi tubuhnya. Prakas menoleh padanya dengan terkejut.
“Kamu siapa?” tanya Prakas heran dengan pandangan mata yang agak buram.
“Aku Miona, Mas,” jawab Miona dengan gugup dan takut.
“Jangan panggil Mas, panggil aku Prakas,” protes lelaki itu.
Miona mengangguk.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Prakas lagi.
“Bukannya kamu yang nyewa aku?” jawab Miona.
“Maksudnya?” tanya Prakas heran. Dia masih dalam kondisi mabuk.
“Katanya kamu mau cari perempuan yang masih perawan, dan kamu sudah transfer ke mami buat bayar aku,” jawab Miona dengan polos.
Prakas menatap wajah Miona dengan tatapan serius. Pandangannya yang buram mendadak terang saat melihat kecantikan perempuan di hadapannya itu. Lelaki itu tiba-tiba mendaratkan bibirnya ke bibir gadis itu. Miona kaku dan diam. Tak berapa lama Prakas langsung menarik tangan Miona ke atas kasur. Lelaki perjaka itu melepas pakaiannya satu demi satu lalu melepas pakaian Miona secara perlahan. Miona memejamkan mata. Pasrah.
Lalu...
Prakas berhenti mengingat itu. Dia bangkit dari atas kasurnya. Dia merasa tidak enak hati dan sangat merasa bersalah. Prakas akhirnya keluar dari kamarnya. Mamanya heran melihat anak tertuanya buru-buru berjalan ke arah luar.
“Kamu mau kemana, Prakas? Makan malam dulu, mama udah siapin,” tanya Prameswari heran.
“Aku pergi dulu, Mah,” jawab Prakas, lalu dia segera keluar dari rumah dan menaiki mobilnya. Prakas menyetir mobilnya sendiri tanpa supir.
Mobil itu berhenti di parkiran apartemen. Prakas langsung turun dari mobil dan mencari lift. Saat dia tiba di depan pintu sebuah apartemen di lantai 30, dia memencet bel. Seorang lelaki yang seumuran dengannya keluar dan heran melihat kedatangan Prakas. Dia adalah Doni, dalang dari pemesanan perempuan perawan itu.
“Prakas?”
Prakas menarik kerah baju Doni dan memukuli wajahnya tanpa ampun. Doni mencoba melawan hingga dia pun berhasil meninju pipi Prakas sekali.
“Lo kenapa?” tanya Doni heran sambil menahan sakit di bibirnya yang mulai berdarah.
“Nggak usah tanya kenapa? Lo ngapain nyewa cewek buat gue?” tanya Prakas yang tampak sangat emosi.
“Lo nggak nyadar kalo lo sendiri yang mau?! Harusnya lo seneng, gue udah bayar perempuan itu 60 juta. Kok lo malah mukul gue?” ucap Doni emosi.
“Harusnya lo sebagai sahabat jagain gue di saat gue mabok, bukan jerumusi gue kayak gitu! Gue tahu gue masih perjaka, tapi gue nggak mau nyakitin cewek! Gue maunya ngelepas perjakaan gue sama perempuan yang gue sayang biar gue bisa tanggung jawab,” teriak Prakas.
“Yaudah! Lo tanggung jawab aja ama pelacur itu! Perawannya kan Lo yang ambil? Lagian juga paling dia sibuk jual diri lagi!” teriak Doni.
Satu tinju lagi mendarat ke pipi Doni. Prakas lalu pergi dari sana. Doni mengepalkan tangan dan memilih untuk masuk ke apartemennya.
Prakas menghentikan mobilnya di parkiran pantai Ancol. Dia keluar dari mobil lalu berjalan di jembatan pejalan kaki yang melintasi air lalut. Prakas berhenti lalu memandangi gelapnya lautan di hadapannya. Tiba-tiba dia teringat pesan Pak Imam saat Prakas meminta Pak Imam untuk menemaninya meeting di Bali tahun lalu.
“Lelaki sejati itu nggak pernah nyakitin perempuan, dia sangat menghormati perempuan dan mejaga kesuciannya,” ucap Pak Imam kala itu.
Mereka sedang mengobrol di sebuah cafe yang menghadap pantai Kuta. Prakas hanya diam. Selama ini papahnya selalu sibuk mengurus perusahaan hingga dia kurang mendapat perhatian. Mamahnya juga sama, sibuk berkumpul dengan istri-istri pengusaha dan selebriti terkenal di Indonesia. Pak Imam lah yang peduli padanya sejak kecil. Saat papahnya membawa Prakas kecil ke kantor, papahnya selalu menitipkan Prakas pada Pak Imam. Sejak itulah mereka akrab dan hingga sekarang sampai Prakas mewarisi perusahaan ayahnya.
Saat itu juga, Prakas meraih handphonenya, dia ingin menceritakan semua kebingungannya pada Pak Imam. Bagaimana pun dia harus tenang dan mendapatkan solusi agar tidak merasa bersalah lagi telah melakukan itu semalam.
“Halo,” jawab seorang perempuan tua di seberang sana.
Prakas heran, biasanya Pak Imam tak pernah memberikan handphonenya pada siapapun.
“Saya Prakas, Pak Imamnya ada?” tanya Prakas.
“Prakas siapa?” tanyanya lagi.
Selama ini Pak Imam memang tak pernah mengenalkan keluarganya pada Prakas dan pada almarhum ayahnya. Prakas juga tak pernah tau Pak Imam tinggal di mana? Siapa istrinya dan siapa anak-anaknya?
“Temen kerjanya di kantor, Pak Imamnya kemana?” tanya Prakas heran.
Tiba-tiba terdengar suara tangisan di seberang sana. Prakas heran.
“Saya istrinya, sekarang Bapak di rumah sakit, dia di ruang ICU,” jawab perempuan itu.
Prakas terkejut mendengarnya. Setelah itu dia menanyakan alamat rumah sakitnya. Setelah tahu, Prakas langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit itu. Sampai di depan rumah sakit, dia melihat seorang ibu-ibu dan seorang anak lelaki yang masih remaja sedang menangis duduk di depan ruangan ICU.
“Pak Imamnya di mana?” tanya Prakas dengan sedih.
Ibu-ibu itu tampak heran melihat Prakas. Dia langsung mempersilakan Prakas masuk ke ruangan ICU itu. Prakas langsung masuk dan matanya langsung berkaca-kaca saat melihat kondisi Pak Imam yang kritis itu. Selang oksigen tersambung ke hidung Pak Imam. Lelaki Tua itu tampak tidak sadarkan diri.
“Pak, Bapak...” panggil Prakas dengan lirih. Prakas memegang tangan Pak Imam. Sekarang dia merasakan hal sama saat melihat kondisi papahnya kritis dulu.
Tiba-tiba tangan Pak Imam bergerak. Prakas lega melihatnya.
“Pak!” ucap Prakas memanggilnya.
Lelaki Tua itu menoleh ke arah Prakas dengan lemah.
“Prakas...” panggilnya lirih.
“Iya, Pak. Bapak kenapa?”
“Umur bapak mungkin nggak akan lama lagi, bapak merasa bersalah sudah menolak niat baik kamu selama ini, maafkan bapak...” ucapnya lemah.
Air mata Prakas mulai deras.
“Nggak apa-apa, Pak. Bapak mau nemenin saya selama ini itu udah cukup. Bapak udah kayak papah aku sendiri selama ini,” ucap Prakas mulai terisak.
“Carilah perempuan yang baik, sekarang mungkin saatnya kamu memiliki pendamping...” pinta Pak Imam, setelah itu dia diam, seperti mengucapkan dua kalimat syahadat.
Prakas berteriak memanggil dokter. Dokter dan perawat datang bersamaan dengan perempuan tua dan anak lelakinya. Dokter berusaha menggunakan alat pemacu jantung, namun tak lama kemudian nyawanya tak bisa tertolong lagi. Kini, lelaki yang sudah dianggapnya seperti ayahnya sendiri itu telah pergi untuk selama-lamanya. Prakas menangis sesenggukan, bersamaan dengan tangisan perempuan tua dan anak lelakinya itu.
Tak lama kemudian, seorang perempuan berambut panjang datang lalu langsung berteriak dengan tangisnya.
“Bapaaak! Bapaaak!” teriak perempuan itu.
Prakas langsung menoleh pada perempuan yang masih menangis itu. Prakas kaget saat melihat wajah perempuan itu dengan jelas.
“Miona Salsabila?”
Prakas diam-diam keluar dari ruangan itu saat mendapati Miona ternyata anak gadis Pak Imam. Tubuhnya mendadak lemas. Dia buru-buru melangkah menuju parkiran mobilnya. Prakas tak mau Miona mengetahui keberadaannya di sana. Beruntung gadis itu memang tidak menyadari keberadaannya. Saat sudah berada di dalam mobil lelaki itu tampak tercengang. Dia masih tak percaya. Lelaki itu pun langsung melajukan mobilnya dengan bingung. Di perjalanan, Prakas teringat lagi akan kejadian malam itu dengan Miona. Saat Prakas sudah melepaskan keperjakaannya, dia terbaring lemas dengan kantuk yang mulai datang. Dia masih bisa mengingat jelas suara tangisan Miona yang sedang memeluk kakinya. Samar, Prakas melihat Miona membuka kulkas lalu mengambil sebotol minuman beralkohol di dalamnya lalu menenggaknya dengan banyak. Lalu Miona mengguncang tubuh Prakas, membangunkannya dari kantuk. “Apa?” tanya Prakas yang masih dalam kondisi mabuk. Mi
Miona duduk di bangku paling belakang di dalam busway itu. Pemandangan kota Jakarta di luar jendela busway tampak indah. Namun hatinya sedih, air matanya mulai berjatuhan. Dia berusaha mengelapnya dengan tangannya sendiri. Handphonenya sedari tadi berbunyi. Telepon dari mucikarinya yang dipanggilnya Mami. Sebenarnya semenjak kejadian malam itu dengan Prakas, dia tak mau lagi menjual dirinya ke lelaki hidung belang. Tapi karena tadi sore, para rentenir itu datang lagi menagih sisa hutang ibunya yang belum dibayarkan, dia terpaksa menerima tawaran maminya itu, dan ternyata yang memesannya untuk kedua kali adalah lelaki yang sama. Lelaki yang arogan dan aneh menurutnya. Air mata Miona kembali mengalir deras. Dia merasa bersalah pada bapaknya. Dia teringat saat kejadian malam itu yang membuat penyakit jantung bapaknya kumat. Ya, saat itu Miona sedang memarahi Ibunya, dia baru pulang bekerja di sebuah restoran di Jakarta. Saat itu dia dapati banyak lelaki seram di
Pagi itu, para pelayan sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Prakas sudah duduk dan sudah bersiap untuk pergi ke kantor. Nyonya Prameswari mengiris roti sambil memandangi wajah Prakas yang terlihat lesu. “Kemarin, Ibu Andiri main ke rumah, dia bawa Adelia ke sini. Tenyata Adelia makin cantik sekarang. Dulu pas mama liat di acara perusahaan sewaktu papanya bawa dia ke sana, dia masih kecil. Sekarang setelah dia pulang dari Australia, dia makin cantik, Prakas.” Prakas hanya tersenyum mendengarnya. Adelia adalah anak Pak Hartono yang menjadi komisaris di perusahaanya. Pak Hartono telah menanam saham sebanyak 40 persen di perusahaannya. “Kamu kapan ngenalin pacar ke mamah?” tanya Nyonya Prameswari tiba-tiba. Prakas menatap wajah mamahnya dengan tersenyum. “Sabar ya, Mah. Nanti kalo udah ada, pasti aku kenalin ke mamah,” jawab Prakas. Nyonya Pramesw
Sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah sederhana Miona. Prakas turun dari mobil. Para ibu-ibu yang sedang ngerumpi di hadapan rumah Miona tampak heran. "Dia siapa?" "Nggak tau, pacarnya Miona kali!" "Nggak mungkin! Bos rentenir kali! Nagih hutang sama ibunya Miona." "Iya, kali ya?" Saat Prakas menoleh sesaat pada mereka, ibu-ibu tercengang. "Kok wajahnya kayak Prakas pengusaha muda yang sering digosipin sama artis-artis itu ya?" "Iya! Ada apa dia ke rumah ibu Maryam ya?" Ibu-ibu di sana bingung karena tak menemukan perkiraan jawaban. Prakas mengetuk pintu. Maryam membuka pintu. Senyumnya merekah saat melihat Prakas sudah tiba dengan senyum menawannya. "Masuk!" Maryam menarik tangan Prakas ke dalam seolah bersikap kepada anaknya sendiri. Para ibu-ibu di sana saling melihat dengan tak percaya. Semakin penasaran. Prakas duduk dengan bingung. Dia melihat-lihat ke arah dalam. Gugup jik
Miona menunduk malu di hadapan perempuan tua itu. Dia memegangi pipinya yang sakit sehabis ditampar perempuan tua itu. Para tamu yang sedang menikmati makan malam di dalam restoran itu terpusat padanya. Heran."Kalo sampe kamu sebarin gosip yang nggak-nggak lagi ke orang-orang, saya bisa tuntut kamu!" teriak perempuan tua itu pada Miona.Miona hanya terisak, malu. Tak lama kemudian seorang lelaki Muda, manager di restoran itu datang untuk menengahi mereka."Maaf, Bu, ada apa sebenarnya?" tanya manager itu dengan heran."Dia ini udah nyebarin gosip ke orang-orang tentang saya! Katanya sayalah yang menjadi penyebab ibunya terjerat hutang pada Rentenir! Padahal ibunya sendiri yang suka main judi! Saya nggak pernah ngajakin ibunya main judi! Saya malu!"Ibu itu hendak menjambak rambut Miona yang menunduk pasrah. Tak lama kemudian Prakas tiba-tiba datang menghalangi aksi ibu-ibu itu untuk mencelakai Miona. Miona tercengang melihat Prakas t
Prakas melangkah ke ruang keluarga rumahnya yang begitu luas. Dia kaget saat melihat Adelia, anak Pak Hartono yang menjadi komisaris di perusahaannya sedang bercengkrama dengan mamahnya. Dia langsung melangkah menuju kamarnya, pura-pura tidak melihat."Prakas!"Prakas menghela napas mendengar suara panggilan dari mamahnya. Prakas menoleh pada Prameswari yang terlihat senang mendapati anak tertuanya pulang."Iya, Mah.""Sini! Ada Adelia nih!" ajak Mamahnya.Adelia tampak tersenyum malu pada Prakas. Lelaki itu terpaksa berjalan menuju mereka, berpura-pura tersenyum."Hai, Adelia. Gimana kabarnya?" tanya Prakas sambil duduk di sofa menghadapnya."Aku baik kok, kamu gimana?""Ya, gitulah," jawab Prakas tampak malas.Prameswari berdiri sambil menoleh ke Prakas, "Mamah tinggal bentar ya? Mama lupa tadi mau nelepon temen mamah, mau nanyain soal arisan!"Prakas lemas. Dia tahu mamahnya sengaja membiarkan mer
Prakas melangkah cuek melewati Miona yang terpaku menatapnya. Dia juga tak tahu harus bersikap bagaimana saat tak sengaja menemukan gadis pemilik rumah itu bersamaan datang ke sana. Gadis itu tampak tersinggung melihat lelaki itu seolah tidak mengetahui keberadaannya. Dia langsung buru-buru menghalangi langkah Prakas yang hendak mengetuk pintu. "Ngapain ke sini?" tanya Miona heran. "Urusan gue ke sini bukan soal lo!" jawab Prakas tegas. "Soal apa?" "Bukan bisnis buat lo juga, jadi gue nggak perlu ngasih tahu," jawab Prakas. "Lo ke rumah gue, itu artinya bakal berurusan juga sama gue. Kasus video viral kita juga belum reda, gue nggak mau kedatangan Lo ke sini jadi nambah bahan gosip buat tetangga," tegas Miona. "Tenang aja! Masalah itu nggak usah Lo pikirin," pinta Prakas. "Tadi jalan sama siapa? Pacar?" tanyanya tiba-tiba. Miona mengernyit. "Ngapin nanya? Bukan urusan lo!" Prakas manyun. "Bintang itu
Prakas berdiri di hadapan kaca yang membentangkan pemandangan kota Jakarta di bawah sana. Dia sedang berada di ruangan kantornya. Dia teringat akan ucapan mamanya semalam. Cinta tak bisa dipaksa. Pikirnya. Dia tak mau di jodohkan dengan orang yang tidak dicintainya.Dan selama dia hidup, baru sekali dia merasakan mencintai perempuan begitu dalam. Yaitu saat masih SMA dulu. Gadis itu bernama Aruna. Hanya sebatas menyukai karena perempuan itu sudah memiliki kekasih. Kini dia tak tahu lagi bagaimana kabar gadis itu. Sejak lulus SMA dia kehilangan jejak. Bahkan dia sendiri tak menemukan jejak sosial medianya. Tak ada nama Aruna yang sesuai dengan foto gadis itu di sosial media.Tak berapa lama kemudian terdengar suara ketukan pintu."Masuk!" teriak Prakas.Pintu ruangan terbuka. Rupanya yang datang adalah sekretarisnya."Pagi, Pak.""Pagi. Ada apa?""Pak Warto lagi ada di depan ruangan Bapak. Dia ingin bertemu Bapak, k