SUDAH berulang kali dia datang ke restoran Nayla, sampai semua pelayan dan pekerja di dapurnya mengenal baik seorang Irin. Apalagi, Syila kerap membawanya masuk ke dapur dan meminjam salah satu tempat untuk digunakan sebagai tempat belajar memasak.Awalnya, tentu saja Irin menolak, karena takut mengganggu pekerjaan yang lainnya di dapur. Namun, ternyata tidak seperti itu. Nayla memang memiliki satu tempat khusus untuk calon koki baru belajar masak di restorannya. Entah apa tujuan dia melakukannya, Irin tidak tahu pasti.Saat Syila mengajarinya, terkadang koki lain pun mendekati mereka dan turut membantu Syila memberikan saran padanya. Seperti Nando juga keponakannya Naga yang membantu mereka tanpa diminta, "Kasihan juga si Rein kalau terus-terusan lo jadiin kelinci percobaan kayak gitu!" dalih kompak mereka berdua.Irin sedang menunggu kedatangan Syila, duduk diam di salah satu kursi pelanggan sambil memesan sesuatu untuk dimakan. Saat dia melihat seorang gadis muda datang bersama Nay
REIN terpaksa harus pulang malam, karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan hari itu juga. Begitu dia sampai apartemennya, ia bisa melihat Irin sedang menunggu kedatangannya.Rein terdiam, lalu menelan ludah dengan susah payah. Apakah memang begini rasanya bila sudah menikah? Ada seseorang yang siap menunggumu pulang dan menyambut lelahmu setelah seharian mencari nafkah?Rein merasa hatinya menghangat. Bibirnya tertarik pelan dan membentuk seutas senyuman. Dia mendekati Irin yang tak menyadari kedatangannya, lantaran sejak tadi perempuan itu fokus menonton televisi di depannya. Dengan wajah lelah dan setengah mengantuk, dia memaksakan diri untuk tetap terjaga dan menantikan kedatangannya. Rein menyentuh bahu Irin pelan dan membuat perempuan itu terlonjak dan menoleh ke arahnya. "Lo udah pulang? Sejak kapan?" Irin menatapnya penasaran."Baru aja sampai, terus langsung nyamperin lo yang lagi nonton tv sendirian. Kesepian, Rin?" tanyanya balik."Iyalah, nggak ada temennya. Di sini s
REIN memakan masakannya dengan lahap. Irin hanya tersenyum manis sambil turut makan di sampingnya. "Buset, kayak nggak makan sebulan aja, Bang!"Rein tersedak dan Irin dengan sigap mengambilkan air minum untuknya. "Makannya pelan-pelan aja kenapa? Gue nggak minta banyak-banyak juga. Kalau lo suka, besok bisa gue bikinin lagi kok, tenang aja!"Rein menghapus jejak air mata di pelupuk matanya, karena tersedak saat makan sambal pedas memang sesuatu sekali rasanya. Dia suka pedas, sepertinya Irin tahu masalah itu, karena sambal bikinannya memang nikmat sekali di lidahnya.Namun yang membuatnya tersedak bukan karena ia memakannya secara terburu-buru, melainkan panggilan Irin padanya beberapa saat lalu.Walaupun mereka lahir di tahun yang sama, tapi sebenarnya Irin lebih tua darinya. Rein pernah marah dan ngambek saat dia dipanggil 'dek' oleh Irin, ketika mereka masih bermain bersama dulu. Karena Rein tidak mau lagi bermain bersamanya, Irin pun menghapus panggilan ajaibnya dan tak lagi mema
JIKA mereka memang serius ingin menjalani pernikahan ini untuk selamanya, maka langkah pertama Irin harus memberikan hak Rein sebagai suaminya.Sesuatu yang sejak awal tidak pernah ingin Irin berikan padanya, karena dia takut hubungan mereka akan berubah setelah mereka berpisah.Irin memejamkan mata, menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napas secara perlahan sebelum mulai bicara. "Rein!""Apa?" Rein menatapnya waspada. Sepertinya laki-laki takut jika Irin mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan perceraian di antara mereka.Segitu takutnya dia sampai memasang wajah defensif dan siap menyerang balik kapan saja. Irin mengenal Rein dengan baik. Dia sangat yakin itu, karena selama ini mereka tumbuh bersama. Jadi dia bisa memahami apa yang sedang berada di pikiran laki-laki itu, setelah mengatakan semua itu padanya.Irin tersenyum tipis, wajahnya memerah saat dia memutuskan untuk menanyakannya. "Lo masih mau tidur sama gue, nggak?"Rein mengerjap, ekspresi wajahnya yang terlihat po
WALAUPUN dia sangat menginginkannya, tapi Rein tidak mau memaksa. Jadi, dia membiarkan Irin memutuskan sendiri kapan dia mau memberikan hak Rein sebagai suaminya.Rein melepaskan tangan Irin dan ia tersenyum penuh makna. "Sekarang?"Irin tampak menelan ludahnya susah payah. "Lo yakin mau sekarang?" Dia sepertinya masih meragukan keinginan Rein malam ini.Rein mengangguk. Tentu saja dia yakin, karena memang sudah lama sejak terakhir kali dia menyalurkan hasratnya sebagai seorang pria, bahkan jauh sebelum Irin resmi menjadi istrinya."Oke, tapi pindah tempat dulu," pinta Irin sembari melirik sekitar. Tidak mungkin mereka mau melakukannya di sana, kan?"Kenapa harus pindah tempat? Emangnya lo nggak mau nyoba suasana baru gitu?"Pertanyaan itu dengan sukses membuat Irin memasang wajah dongkol setengah mati. "Lo mau ngelakuin di sini? Serius? Masa gue harus berdiri?"Rein mengerjapkan matanya. Dapur apartemennya memang tidak terlalu besar, tapi itu bukan alasan bila tidak ada tempat menari
SEPERTINYA mereka memang harus bercerai secepatnya. Bukan karena masalah tidak akur, tidak cocok, beda pendapat atau apa pun itu, tapi karena Irin tidak sanggup mengimbangi nafsu Rein yang ternyata sangat luar biasa.Minimal tiga kali, tapi mintanya sampai lima kali. Sumpah! Sudah gila apa gimana dia, sampai bisa melakukannya sebanyak itu?Mana saat itu dia dalam keadaan kelelahan setelah lembur sampai tengah malam. Terus, bagaimana kalau dia dalam keadaan prima? Sepuluh ronde semalam gitu?!Irin bergidik ngeri membayangkan malamnya bersama Rein setelah ini. Sumpah, Irin tidak pernah menyangka Rein punya performa menakjubkan dalam urusan ranjang. Pantas saja dia tidak pernah absen ke kelab malam untuk mencari wanita jalang.Irin mendesis. "Pantes aja, kalau diem di rumah terus beneran bakal karatan kali itu burungnya."Walaupun begitu, Irin akui kalau Rein memang ahli dalam urusan percintaan di atas ranjang. Dia melakukan sesuatu yang luar biasa bersamanya. Dan bukannya takut ataupun
REIN nyaris tertawa saat menemukan Irin sedang menatapnya waspada. Dia baru saja pulang kerja, bahkan dia masih menenteng tasnya. Dia juga masih bau keringat, belum sempat mandi apalagi sampai ganti pakaian.Namun, Irin menyambut kedatangannya dengan tatapan waspada laksana seorang mangsa yang sedang mengawasi predator yang akan memburunya.Rein tersenyum simpul. Dia mendekati istrinya yang langsung mengambil langkah mundur. "Lo kenapa sih, Rin?" tanyanya seperti biasa, seperti yang Irin minta sebagai syarat sebelum mereka bercinta.Irin mendelik. "Masih bisa nanya lagi!" sewotnya."Jangan bilang lo takut gue minta lagi yang semalam, ya?" Rein menahan tawa yang ingin menyembur itu dengan sekuat tenaga. Apalagi saat dia melihat Irin hanya diam saja dengan wajah memerah luar biasa. "Tenang aja kali, gue nggak akan minta jatah sekarang, kok."Irin menyipitkan mata dan langsung memandanginya dengan tatapan tidak percaya. "Serius?"Rein mengangguk, lalu tersenyum lebar. Dia tidak bisa meny
IRIN menggoyang-goyang bahu Rein yang sedang menyendok makan malamnya. Alhasil, Rein harus makan dengan susah payah, karena dia perlu menjaga keseimbangan sendoknya agar makanannya tidak jatuh ke meja."Maksud omongan lo tadi gimana sih, Rein? Gue nggak paham." Irin masih mencoba untuk mengejar.Walaupun Rein sudah mengabaikannya sejak tadi, tapi ternyata dia keras kepala sekali. Irin terus memaksa Rein menjawab maksud dari kata-katanya sebelum ini."Omongan gue yang mana?" Rein balik bertanya, sembari menaruh sendok di atas piring dan menghentikan acara makan malamnya sejenak."Yang lo bilang, gue lawan main yang menyenangkan itu ... maksudnya gimana, sih?" Irin memperjelas maksudnya.Wajahnya menunjukkan jika dia sedang penasaran tingkat dewa, bahkan kepolosan tatapan matanya itu membuat Rein ingin jadi ingin menodainya."Masa masih perlu dijelasin?" Rein lagi-lagi balik bertanya, kali ini dengan muka polos yang disengaja."Iyalah! Gue nggak paham, beneran!" desak Irin sembari menja