❤ Selamat Membaca ❤Pagi itu Zie dibuat khawatir karena ratusan pendukungnya berdemo di depan LPA. Mereka menyayangkan keputusan Zie mundur dari pemilihan wali kota dengan alasan yang kurang bisa diterima. Padahal, dirinya sudah digadang-gadang akan menjadi pemimpin yang bisa membawa perubahan bagi masyarakat, banyak pendukung Zie yang merasa kecewa. Mereka menuntut penjelasan dan berusaha menahan Zie untuk tidak menyerahkan surat pengunduran diri sebagai calon wali kota ke badan yang menangani pemungutan suara.Zie bingung bahkan mondar-mandir di ruang kerja, dia memilih untuk tidak menemui para pendukung di luar. Ia menghubungi Surya – pria yang merupakan ketua tim pemenangannya dalam pemilihan nanti. Zie meminta Surya untuk mengendalikan masa di luar kantor, dia berjanji akan menemui perwakilan pendukungnya untuk diajak berdiskusi bersama.Sementara itu di ruangan lain di LPA, dua orang pria dan satu wanita sedang berbincang membicarakan keputusan Zie yang tak lain adalah direktur
❤Selamat Membaca❤ Marsha terdiam beberapa menit, hingga membuat orang-orang yang ada di dekatnya heran, apa yang sebenarnya ingin ditanyakan olehnya ke Zie dengan tatapan serius seperti ini. Namun, pada akhirnya ibunda bocah bernama Serafina itu merasa tak tega membongkar aib sahabatnya sendiri. “Kenapa kamu mundur mencalonkan diri sebagai wali kota? Padahal aku yakin kamu pasti akan terpilih.” “Hah … apa?” Zie kaget, dia tak menyangka bahwa pertanyaan Marsha adalah masalah pencalonan dirinya dan bukan kehamilannya. Gadis itu nampak lega, meski agak canggung juga saat keputusan yang dibuat dipertanyakan alasannya. “Aku masih memikirkan itu, aku bahkan belum mendatangi kantor badan pemungutan suara untuk mengundurkan diri secara resmi,” jawab Zie. Marsha menganggukkan kepala lalu memilih membahas hal lain. Salah satunya tingkah Serafina yang semakin menggemaskan. Bocah yang sebentar lagi masuk SD itu memiliki bakat di bidang marketing. Setiap kali ada kegiatan market day di TK nya
❤Selamat Membaca❤Sean meninggalkan kelab dengan perasaan campur aduk menuju rumah. Ia tidak membalas sapaan pembantu dan bergegas menaiki anak tangga untuk masuk ke dalam kamar. Tanpa melepaskan baju, Sean pergi ke kamar mandi lalu berdiri di bawah shower dan menghidupkannya. Pria itu sengaja menggunakan air dingin untuk menenangkan otak yang panas karena mendengar ucapan Aaera tadi.Sean menunduk dan membiarkan air menetes dari rambut juga bajunya yang kuyup. Ia mengusap muka, mengidap klaustrofobia jelas bukan keinginannya.Jika mengingat peristiwa yang dialaminya saat masih kecil. Ia benar-benar merasa menderita. Tidak ada yang ingin memiliki trauma dan ketakutan seperti apa yang Sean miliki. Disekap berhari-hari oleh orang jahat yang menculiknya lalu setelah berhasil kabur, harus terjebak di dalam lift selama berjam-jam menunggu diselamatkan.Pria itu bahkan berusaha menghilangkan fobianya dengan menjalani terapi ke psikiater. Namun, hasilnya tetap sama, Sean tidak bisa mengendal
"A-a-apa?” Zie terperangah.“Kamu pikir bisa menyembunyikan kehamilanmu itu sampai kapan? Aku menawarkan pernikahan semata-mata agar harga dirimu dan harga diriku terjaga.”“Jadi bukan hanya bentuk tanggung jawab, begitu ‘kan?” Zie bertanya dengan mimik kecewa.“Aku belum siap memiliki anak, apa lagi dari wanita yang sama sekali tidak aku cintai.”“Kamu tidak perlu memikirkan harga diriku, Sean!” jawab Zie cepat. Hatinya mencelos mendengar ucapan Sean soal tak mencintai.Diabaikan oleh Sean sudah menjadi hal yang biasa dia terima, jadi jika hanya sepenggal kalimat yang membuat dada nyeri, tentu tidak akan membuat Zie kembali menteskan air mata. Mungkin tidak untuk saat ini.“Marsha dan Rai sudah tahu masalah ini, apa yang akan kamu lakukan jika mereka bicara ke orangtuamu? Apa kamu akan bilang aku tidak mau bertanggungjawab, aku jelas menawarkan hal itu.” Sean agak ngotot juga agar gadis di depannya ini menyetujui idenya.Namun, Zie tetap pada pendirian. Ia tidak ingin menjerumuskan d
Sore harinya, Marsha nampak datang ke rumah sakit di mana Raiga bekerja. Ia mendaftar dan mengantri seperti pasien pada umumnya. Marsha tersenyum mencibir, melihat antrian yang tak begitu banyak, dia mengira bahwa sepupunya itu bukanlah dokter kandungan yang menjadi idola bumil-bumil kebanyakan. Namun, prasangkanya seketika terpatahkan saat dia menerima nomor antrian dari petugas di bagian pendaftaran.“Ti-ti-tiga puluh?”“Iya Bu, Anda masuk kuota tambahan,” jawab petugas.“Kuota tambahan? memang ada kuota ketengan di sini?”“Ibu bisa aja,” ujar petugas sambil mengulum tawa.Marsha geleng-geleng sambil memasukkan KTPnya ke dalam dompet. Pada akhirnya dia memilih duduk dan menunggu seperti pasien yang lain. Wanita itu memandangi ponsel untuk memastikan jam berapa saat dia mulai menunggu. Jika bukan karena ingin tahu perkembangan masalah Zie dan Sean secara live, dia jelas malas datang ke sana.Selama hampir satu jam, Marsha melihat lima pasien yang baru datang masuk dan keluar dari rua
Setelah menemui Zie, Sean malah merasa semakin tidak tenang. Tak pernah dia bayangkan gadis yang dulu selalu bersikap manis padanya sekarang sangat keras kepala, dan bahkan seperti membencinya. Sean mengemudikan mobil pelan, hingga saat berada di lampu merah dia malah termenung menyanggah sisi kepala dengan siku bertumpu pada jendela mobil. Sean ingat ucapannya saat menolak pernyataan cinta Zie dulu, agak kejam bahkan sedikit menghina. Namun, hal itu dia lakukan karena sebuah kesalahpahaman yang ternyata baru disadarinya sekarang. "Zie, dia bukan gadis nakal yang bisa disentuh sembarangan oleh pria," gumam Sean. Ia menegakkan badan lalu menginjak pedal gas untuk kembali melajukan mobilnya pulang. "Marsha, ini semua gara-gara dia. Aku jelas ingat mendengar pembicaraan mereka, dia ingin mengadukan padaku kalau Zie sudah tidak perawan," sesal Sean. "Sial!" umpatnya mengingat noda darah di sprei kamar hotel tempatnya merenggut mahkota Zie.Sean berdecak lalu mencengkeram erat kemudi. S
Esok harinya, Zie datang ke badan yang mengurusi pemilihan suara. Di sana dia meminta maaf karena sudah menciptakan kegaduhan atas pengunduran pencalonannya. Kedatangannya pun disambut baik, bahkan Surya dan beberapa pendukungnya nampak lega karena Zie berubah pikiran. Kini harapan Zie hanya satu, semoga dia kalah dalam pemilihan walikota itu. Zie kembali ke kantor LPA. Ia duduk di depan laptop lalu menuliskan surat pengunduran diri dari lembaga, yang sudah membesarkan namanya. Emma sang sekretaris yang dengan tega menusuk Zie dari belakang, mencoba mencari tahu apa yang sang atasan lakukan. Gadis itu masuk berpura-pura menawarkan kopi untuk Zie tapi ditolak. "Ma, aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan karena aku berniat mundur dari sini.""Hah... Apa kak? Apa kakak serius?" tanya Emma. Sejak awal dia memang diminta Zie untuk memanggil dengan sebutan kakak. "Iya, aku akan menyerahkan suratnya hari ini, semua orang tahu calon wali kota tidak boleh memegang jabatan saat mencalo
Zie tentu saja terperangah, dia tidak menyangka Sean akan datang membawa orangtuanya bahkan sebelum waktu yang mereka sepakati habis. Gadis itu bahkan belum duduk tapi Daniel sudah berucap kembali.“Maaf Pak Air, saya sebagai orangtua Sean merasa sangat bersalah.”Napas Zie menjadi lebih cepat, dadanya bergemuruh. Rasanya dia ingin melarikan diri dengan terjun ke dalam lubang yang gelap untuk menjauhi semua orang. Apa yang diucapkan Daniel jelas menandakan bahwa Sean sudah jujur dengan apa yang terjadi. Sedangkan dirinya saja, sama sekali belum jujur ke mama apa lagi papanya.“Tunggu! bersalah? apa maksudnya?”Airlangga kebingungan. Pria itu menoleh Gia dan membuat Zie semakin merasa buruk. Gadis itu langsung berlutut di depan pria baik hati, yang dengan ikhlas merawat meski sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengannya itu. Zie menangis tersedu, hingga semakin membuat Airlangga dan Gia kebingungan.“Zie, ada apa?”Sean dan orangtuanya hanya bisa melihat tak bisa berkata apa-apa