Share

4. RANIA BUTA

"Pak le, nanti pulang kerja belikan Runi mainan ya? Kemarin di telepon sebelum berangkat ke Jakarta, Pak Le bilang mau bawakan Runi mainan dari kampung, mana nggak adakan mainannya? Pak le lupa ya?" celoteh Runi yang menghadang langkah Rakha saat lelaki itu hendak keluar untuk memakai sepatu.

Rakha sudah rapi dengan setelan formalnya. Kemeja putih dan celana bahan hitam. Pagi ini dia hendak mendatangi perusahaan Dirgantara Grup yang mengundangnya untuk interview.

Rakha tersenyum kecil seraya mengangkat tubuh kurus Runi ke atas pangkuannya. "Maaf ya, Pak Le lupa. InsyaAllah hari ini sepulang bekerja nanti Pak Le akan mampir belikan Runi mainan, Runi mau dibelikan mainan apa?" tanya Rakha sambil membereskan poni sang keponakan yang berantakan.

"Boneka Barbie, Pak Le,"

"Oke deh, boneka barbie siap meluncur ke tangan Runi hari ini,"

"Asiik, makasih ya Pak Le. Runi doakan semoga hari ini apapun yang Pak Le lakukan di luar sana di beri kemudahan sama Allah, supaya Pak Le bisa bantu Bapak mengurus Ibu. Runi sudah kangen sama masakan Ibu. Tiap hari Bapak selalu masakin Runi telor dadar, kalau nggak telor ceplok, Runi bosen!"

Celoteh Runi memancing tawa Rakha keluar meski sebenarnya, hatinya justru teriris mendengar kejujuran bocah berumur tujuh tahun itu. Runi memang masih sangat membutuhkan sosok Mba Siti sebagai Ibunya.

Kuat Mbak...

Lekaslah sembuh, supaya Runi tidak kesepian lagi...

Bisik Rakha membatin.

Usai berpamitan pada Runi dan Wisnu yang saat itu juga sedang sibuk mengurus keperluan Runi untuk sekolah, Rakha pun beranjak dari petakan rumah kontrakan yang berdiri di pinggiran kali.

Deretan kontrakan yang bangunannya bahkan sudah terlihat tak layak huni.

Tapi berhubung uang sewanya sangat murah, jadilah tempat tersebut destinasi utama bagi para pendatang dari luar kota yang hendak mengadu nasib di Ibukota. Seperti layaknya Wisnu dan Siti. Mereka yang memilih Ibukota sebagai tempat menetap setelah mereka menikah.

Semalam, Rakha sudah diberitahu letak perusahaan Dirgantara Grup oleh Wisnu.

Wisnu bilang, dari sini dia hanya perlu naik metromini jurusan blok M dan menyambung lagi naik metromini jurusan kemayoran baru. Rakha hanya perlu mengatakan pada kenek bis agar di turunkan di depan perusahaan Dirgantara Grup.

Rakha celingukan menunggu metromini yang dimaksud. Beberapa kali dia menguap. Semalam Wisnu mengajaknya ngobrol sambil minum kopi dan main catur. Lewat tengah malam Rakha baru bisa memejamkan mata. Dan berhubung ini adalah hari kamis, Rakha terbiasa melaksanakan puasa sunah. Jadilah pukul tiga dini hari tadi, dia terbangun untuk sahur dan melaksanakan tahajud. Dia tidak tertidur lagi sampai waktu shubuh tiba karena terus larut dalam dzikirnya. Hingga waktu menunjukkan pukul setengah enam, Rakha langsung bersiap untuk berangkat.

Dan itu artinya dia hanya tertidur dua sampai tiga jam tadi malam. Pantas jika rasa kantuk begitu terasa menyerang dengan begitu dahsyatnya pagi ini.

Setelah menunggu beberapa menit akhirnya metromini yang dia tunggu-tunggu pun tiba. Rakha menaikinya dan sengaja mengambil posisi di pojokan. Dia hanya ingin beristirahat sejenak sebelum tiba di terminal Blok M.

Hingga akhirnya, Rakha pun benar-benar terlelap di dalam metromini itu.

*******

"Mas! Mas! Bangun Mas! Udah sampe Blok M nih!" tegur sebuah suara yang lamat-lamat di dengar oleh Rakha.

Lelaki berkemeja putih itu terperanjat hebat seraya merapikan rambut dan kemejanya. Dia berdiri setelah memberikan uang ongkos pada si kenek metromini yang tadi membangunkannya.

"Mas, coba periksa lagi barang-barangnya, ada yang hilang nggak?" tanya si kenek sebelum Rakha benar-benar turun.

Masih dalam keadaan setengah sadar, Rakha langsung mengecek saku celana kirinya. Ponselnya masih ada. Lalu beralih ke saku celana kanan.

"Astagfirullah, dompet saya?" gumam Rakha yang langsung kembali ke arah tempat dia duduk di dalam metromini tadi. Dia melongok kolong tempat duduknya mencari keberadaan dompetnya.

"Udah nggak bakal ada di situ, Mas pasti udah jadi korban copet, makanya Mas, lain kali kalau di dalam metromini jangan tidur! Apalagi tidur sampe pules begitu, situ abis ngeronda ya tadi malem?" suara si kenek kembali terdengar.

Tubuh Rakha mencelos. Bahunya merosot seketika. Wajahnya memucat. Dia merogoh saku kemejanya dan hanya ada uang dua ribu perak kembalian ongkos dari sang kenek tadi. Selebihnya, semua uang yang dia miliki ada di dompet.

"Mas, kalau dari sini naik metromini ke arah kemayoran ongkosnya berapa ya kira-kira?" tanya Rakha pada sang kenek metromini.

"Paling lima ribu perak," jawab sang kenek acuh tak acuh.

Setelah mengucapkan terima kasih, Rakha pun turun dari metromini itu dan berjalan lunglai mencari metromini arah tujuan kemayoran. Otaknya berputar mencari cara agar dia mendapat uang lebih untuk ongkos.

Sebuah jam tangan yang melingkar di tangan kanannya menjadi jawaban atas kekalutannya. Rakha pun melepas jam itu dan menawarkan jamnya pada beberapa manusia yang dia temui di terminal. Berharap ada sosok malaikat yang bisa dia temui di sini.

Benar kata Wisnu, Jakarta itu kejam. Tidak boleh lengah sedikit, jangankan barang-barang yang bisa raib, nyawapun bisa menjadi taruhan jika kita tidak pandai-pandai menjaga diri.

"Ini sih jam biasa, Mas. Buat apa saya begituan?" ucap seorang laki-laki pemilik warung rokok yang dimintai tolong oleh Rakha.

"Bayarin berapa aja deh, Pak. Saya di buru waktu nih, mau interview kerja, tadi kecopetan di bis, saya cuma perlu uang untuk ongkos ke kemayoran," ucap Rakha apa adanya. Kemeja putihnya sudah bermandikan peluh karena dia sudah terlampau jauh berjalan. Kenapa mendapatkan secuil pertolongan di Jakarta sangat sulit? Bahkan orang-orang itu terkesan menyepelekan cerita Rakha, seolah dirinya sedang mengada-ngada. Tak ada yang perduli dengan kesulitannya.

"Kalau cuma buat ongkos ke kemayoran sih saya mau bayarin," sahut si pemilik warung rokok itu. Dia mengambil alih jam tangan milik Rakha dan menukarnya dengan selembar uang lima ribu perak. "Nih, udahkan?"

Cukup lama Rakha terdiam dengan tatapan yang tak lepas dari selembar uang di tangannya. Dia tersenyum tipis seraya mengucapkan terima kasih pada si pemilik warung rokok tadi sebelum berlalu. Padahal, dia tahu jam tangan itu tidak semurah ini. Jam tangan itu ori. Pemberian dari seorang teman saat dia masih berkuliah di Kairo. Setidaknya, jika Rakha menjualnya dengan harga lima ratus ribu, pasti jam tangan itu masih laku. Sayangnya, hari ini dia benar-benar tak memiliki pilihan lain selain melepas jam itu agar dia bisa segera berangkat ke kemayoran.

Di dalam metromini menuju perusahaan Dirgantara, Rakha tak mau lagi memejamkan mata. Dia kapok. Bahkan dia terus menerus waspada, takut-takut ponselnya pun ikutan di copet juga. Sebab saat ini, hanya ponsel itu satu-satunya barang berharga yang Rakha miliki.

Waktu sudah menunjukkan pukul 08.45 saat Rakha sampai di perusahaan Dirgantara Grup. Dan itu artinya dia sudah terlambat 45 menit dari waktu yang telah di tentukan.

Dengan membaca basmalah, Rakha melangkahkan kakinya memasuki area gedung yang menjulang tinggi itu.

Perusahaan ini benar-benar perusahaan besar. Sebab gedungnya saja sudah seperti gedung hotel bintang lima. Terka Rakha sambil mengamati ke sekeliling gedung.

Sesampainya di bagian resepsionis Rakha langsung menyampaikan maksud kedatangannya pagi ini.

"Maaf ya, Mas. Tapi jadwal interview sudah dimulai sejak jam delapan tadi, ini sudah hampir jam sembilan, perusahaan ini tidak bisa mentolerir calon karyawan yang tidak disiplin, Mas. Percuma saja saya membiarkan Mas masuk, toh kedatangan Mas pasti tidak akan di terima oleh Pak Rizwan nanti, ini Mas CV nya, bawa pulang saja," jelas sang resepsionis.

"Tolong Mba, saya tadi kecopetan, makanya saya telat datang, tolong lihat dulu CV saya," ungkap Rakha yang masih terus berharap.

"Maaf Mas, itu sudah peraturan perusahaan. Saya hanya menjalaninya,"

"Tapi, Mba..."

"Pagi Pak Dev..." suara sang resepsionis terdengar menyapa seseorang yang baru saja masuk dari arah pintu utama tepat di belakang Rakha.

Rakha pun menoleh sekilas.

Di dapatinya seorang lelaki bertubuh atletis dengan jas hitam yang melekat pas di tubuhnya kini berjalan melewati meja resepsionis dengan dua ajudan yang mengikuti langkahnya di belakang. Rakha hanya bisa menangkap sekilas wajah lelaki itu dari samping.

Apa mungkin dia atasan di kantor ini? Pikir Rakha membatin.

Tanpa pikir panjang, dia meraih CVnya di atas meja resepsionis dan mengejar langkah lelaki itu yang berjalan menuju lift.

"Pak- pak... Tunggu Pak," panggil Rakha dengan napas terengah-engah.

Lelaki itu menoleh ke arah suara diikuti oleh ke dua ajudannya. Alisnya tampak bertaut. Sang resepsionis ikut berlari menghampiri Rakha. Dia tak menduga Rakha akan melakukan hal nekad seperti itu.

"Kamu panggil saya? Siapa dia Rin?" tanya laki-laki bernama Dev itu pada Rini sang resepsionis.

"Maaf Pak. Dia ini sebenarnya peserta interview yang di rekomendasikan Pak Rizwan hari ini, tapi dia datang terlambat, makanya saya meminta dia untuk pulang saja. Percuma, Pak Rizwan tidak akan menerima CV-nya," jelas Rini dengan wajah setengah panik.

Tatapan Dev beralih pada Rakha yang berdiri tepat dihadapannya.

Rakha yang saat itu masih dalam keterkejutannya tepat saat bola matanya menangkap jelas wajah lelaki dihadapannya saat ini.

Bukankah dia itu Kakaknya Rania?

Pekik Rakha dalam hati.

Sampai akhirnya Rakha pun teringat dengan kata-kata yang diucapkan Wisnu tempo hari di rumah sakit.

"Yang Mas tahu, Rania berasal dari keluarga terpandang di Jakarta. Ayahnya pemilik perusahaan Dirgantara,"

Bagaimana mungkin Rakha melupakan hal itu? Ternyata dunia itu memang sangat sempit.

"Bisa saya lihat CV kamu?"

Pertanyaan yang di ajukan Dev membuyarkan lamunan Rakha.

Dengan sigap Rakha pun memberikan map coklat yang dibawanya.

Satu persatu Dev memeriksa berkas di tangannya. Alisnya kembali bertaut saat dia mendapati sesuatu yang menurutnya sulit dipercaya.

"Kamu lulusan Al-Azhar di Kairo? Cumlaude?" tanya Dev dengan ekspresi antara percaya dan tidak percaya.

Rakha mengangguk cepat. "Benar, Pak,"

Kepala Dev terlihat mengangguk beberapa kali, sampai akhirnya sebuah kalimat terucap dari mulutnya.

"Ikut ke ruangan saya sekarang,"

Rakha tersenyum sumringah.

Setidaknya, dia masih memiliki kesempatan.

******

"Sudah pernah bekerja di perusahaan lain sebelumnya?" tanya Dev pada Rakha setibanya mereka di dalam sebuah ruangan besar bertuliskan "Ruangan Direktur Utama".

"Belum, Pak," jawab Rakha apa adanya.

"Kenapa nggak menjadi ustadz atau penceramah aja? Pasti kamu hafizhkan?"

Rakha tersenyum tipis disertai anggukan kecil kepalanya. "Sebelumnya saya memang bekerja sebagai tenaga pengajar di pesantren, Pak. Sekaligus mengisi acara kajian dari satu desa ke desa lain, sewaktu saya masih tinggal di bantul, kampung halaman saya, karena saya baru tiga hari tinggal di Jakarta,"

"Bantul? Jogja?" tanya Dev singkat.

"Iya Pak. Rumah saya di pesisir pantai parang teritis,"

"Oh ya? Itukan kampung saya juga," pekik Dev dengan senyuman lebar.

"Wah, kebetulan sekali kalau begitu, Pak," sahut Rakha lagi. Meski dalam hati pikirannya terus berputar pada sesuatu yang semakin membuatnya yakin akan satu hal.

Jika memang benar kampung halaman laki-laki bernama Dev ini adalah di pesisir pantai parang tritis, itu artinya Rania juga pernah berada di sana.

Dan bukan menjadi hal yang tidak mungkin jika kenyataannya dia dan Rania memang sudah pernah bertemu sebelumnya.

Meski sampai detik ini, Rakha masih belum mampu mengingat lebih jelas, dimana dan kapan tepatnya dia dan Rania bertemu.

*****

Hari ini memang menjadi hari sial sekaligus hari keberuntungan Rakha.

Meski dia harus kehilangan dompetnya, Rakha berusaha ikhlas karena Allah yang maha baik, telah memberinya pengganti berupa pekerjaan dengan gaji yang terbilang cukup besar.

Setelah tahu bahwa Rakha adalah orang berpendidikan bahkan dengan nilai cumlaude yang berhasil di raihnya di Al Azhar, Rakha langsung di tempatkan di bagian Divisi perencanaan, dimana Divisi itu adalah Divisi terpenting di perusahaan dan tidak sembarang orang bisa menjadi bagian dari Divisi itu.

Sore itu di saat waktu pulang kantor tiba, Rakha keluar dari ruang kerjanya di sertai beberapa orang lain yang kini menjadi rekan satu Divisinya.

Rakha berjalan ke arah lift tapi sayang, lift itu sudah penuh saat dirinya hendak masuk. Rakha pun memilih untuk mengalah. Dia kembali melangkah mundur.

Rakha masih menunggu lift saat tiba-tiba beberapa karyawan yang tadinya berdiri di sampingnya untuk menunggu lift terlihat menyingkir teratur.

"Iya, Mah, ini Dev baru keluar kantor, Dev langsung ke rumah sakit sekarang,"

Pantas saja karyawan lain menyingkir, nyatanya sang bos besar mereka hendak lewat.

Saat itu Dev berdiri di sisi Rakha yang melakukan hal yang sama seperti karyawan lainnya, menyingkir sedikit. Sekedar memberi ruang lebih untuk sang direktur.

"Tadi ponsel Dev lowbet makanya Dev charger," ucap Dev lagi di telepon. Rakha dan beberapa karyawan lain terlihat mendengarkan. "Emangnya kenapa sih Mah? Rania baik-baik ajakan?"

Mendengar nama Rania disebut, Rakha langsung memanjangkan telinganya.

"APA? RANIA SUDAH SADAR?"

"...."

"Halo, Mah..."

"...."

"Halo, ada apa sih Mah? Kenapa Mamah nangis?"

"....."

"Apa? Ra-Rania buta?"

Mendengar hal itu, wajah Rakha mendadak pias.

Ya Allah, musibah apalagi ini?

Bisiknya membatin.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sherly Ademarlini
yah qlo gw sih g mau ya dikasih 5000 ,,
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status