Sampai dua minggu berlalu, Kak Alyssa belum juga menjawab bagaimana kabar papa, terutama di mana dia sekarang. Aku semakin merasa rindu juga bersalah karena tinggal di sini menikmati semua fasilitas yang ada, tetapi belum juga menjalani bakti seperti semula.Aku terlalu banyak melakukan dosa selama ini yang bermula pada kata durhaka karena membangkang orang tua. Memilih meninggalkan rumah dan keluarga demi Mas Dimas yang belum tentu bisa tulus mencintai. Bodoh, seharusnya julukan itu tersemat padaku. Padahal saat mama masih hidup, dia selalu mengingatkan bahwa harta paling berharga adalah keluarga.Jalan yang aku tempuh salah, mungkin itu menjadi sebab kenapa pernikahan aku tidak bahagia. Terlebih karena belum pernah merasakan menjadi ibu. Aku mendesah pelan, menatap pantulan diri di dalam cermin. Sudah banyak perubahan yang terjadi padaku termasuk body, mulai terbentuk seperti dulu lagi.Hari ini Kak Alyssa harus ke luar rumah karena ada urusan di kantor, padahal sekarang weekend. Ak
Mas Dimas membulatkan kedua mata, tidak sampai berteriak. Aku tahu dia menahan diri karena menyadari kami berada di tempat umum. Kalau saja dia berani mengangkat tangan untuk memukul, maka harga dirinya seketika jatuh."Itu tidak sepadan dengan perlakuan ibu kamu sama aku, Mas. Disiram sambel pedas, air panas. Kamu pikir aku lupa?""Karena kesalahan kamu sendiri, Ana. Seandainya kamu mau akur sama ibu, nggak bakal kayak gini.""Bagaimana dengan Nila?"Mas Dimas tidak langsung menjawab. Dia sibuk mengambil tisu dalam tas kerjanya, lalu melap sambil terus menggerutu dengan suara pelan. Aku tersenyum menang, padahal perang belum dimulai. Mas Dimas sekeluarga harus membayar semua kesalahannya di masa lalu.Aku sudah cantik dan memiliki banyak uang, orang-orang yang melihat pasti takut menyalahkan aku meskipun seandainya sekarang menelanjangi Mas Dimas. Mudah saja menjatuhkan lelaki bajingan itu, cukup mengatakan pada mereka kalau aku adalah istri yang diperlakukan seperti babu, kemudian d
"Jangankan iPhone, harga dirimu sekeluarga aja mampu aku beli, Mas!" Aku menjawab penuh penekanan, memberi tatapan tajam karena amarah sudah mendarah daging dalam jiwa.Kulihat Mas Dimas mengangkat tangan kanan, hendak menampar. Aku tidak secupu dulu, dalam seminggu terakhir sudah melatih diri agar bisa meniru Kak Alyssa yang berani pada siapa saja asal dirinya berdiri dalam kebenaran. Dan sekarang, aku mulai menangkis tangannya. Seorang lelaki berkacamata hitam mendekati kami."Bro, kalau kamu laki, jangan memukul perempuan.""Dia ini istri saya, kamu jangan ikut campur.""Mau istri atau bukan, tetap saja tidak dibenarkan memukul perempuan. Mentang dia istri, kamu mau seenaknya menyiksa mbak ini?"Mas Dimas terlihat semakin marah, dia menarik kasar kerah baju lelaki itu. Namun, ternyata Mas Dimas kalah kuat. Lelaki tadi melepas kacamata hitamnya. Dia tampan dan juga berkarisma. Paling penting karena mengerti bahwa perempuan ada bukan untuk disakiti."Lagian kami sudah cerai, kok, Mas
"Apa? Kamu mau bilang aku ini pelacur?" Aku tertawa kecil, tidak peduli jika ada satu orang berdiri dari jarak dekat. Entah siapa dia, tetapi orang tersebut menjadikan kami pusat perhatian. "Sandra, suamiku sudah bersamamu, kami bahkan berpisah gara-gara kamu. Sekarang mau memfitnah lagi?" "Suami kamu selingkuh karena muak sama kamu. Punya istri kok gak bisa ngurus diri, buluka–" "Aku bulukan karena Mas Dimas itu nggak modalin. Mau istri cantik ya kasih duit buat perawatan, lah dia ngasih makan aja ogah! Tunggu saja giliranmu dijadikan babu sama keluarganya. Aku mah bersyukur bisa cerai sama bajingan itu, tinggal menunggu surat cerai. Satu lagi, bilang sama pacar kamu itu buat move on. Jangan ganggu aku lagi!" Sandra memberi tatapan tajam pada Mas Dimas yang mengatup rapat bibirnya. Di mata lelaki itu terpancar binar penyesalan. Oh, aku sungguh tidak suka berada dalam situasi sekarang. Mereka berdua adalah duri dalam hidupku yang harus dipatahkan. Sebelum mereka kembali membuat ona
POV Dimas______________________________"Pokoknya aku yakin banget kalau Ana itu perempuan nggak bener, Mas. Kamu ketemu dia pertama di mana, sih sampai mau nikahin dia?"Aku menghela napas mendengar pertanyaan Sandra. Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah setelah berhasil memergoki Ana. Tadi, aku terkejut bukan main ketika melihatnya memeluk seorang lelaki seumuran ibu. Bahkan Ana berteriak senang mengaku mencintai lelaki itu.Kalah diingat-ingat, namanya Arsenio. Seperti tidak asing di telinga, siapa dia? Mereka terlihat sangat dekat, aku jadi semakin penasaran. Kami baru saja cerai bahkan surat resmi belum keluar. Ada perasaan aneh menjalar di dalam hati, tetapi aku terlalu gengsi untuk mengakui semua itu.Sebenarnya aku mencintai Ana dengan tulus karena merasa yakin kalau dia adalah gadis yang baik. Meskipun tidak tahu pasti latar belakang Ana, kami tetap menikah. Sebuah pernikahan yang ditentang keras oleh ibu. Kami menjalani kehidupan dengan berpindah kontrakan dari satu te
"Kamu kenapa melamun terus, Mas? Gak biasanya kamu kayak gini. Masih mikirin Ana?""Bu-bukan gitu, Sandra. Aku bukan memikirkan Ana–""Kalau gak mikirin Ana, berarti mikirin omongan aku. Kamu nggak mau aku nginap di sini, terus tidur sama aku, kan?"Aku mengedikkan bahu agar Sandra mengerti. Setelah itu melangkah cepat masuk rumah ketika pintu utama terbuka. Perasaan campur aduk. Kami memang pernah melakukan dosa itu satu kali, tetapi sungguh aku tidak mau mengulanginya lagi.Pada malam ketika aku meniduri Sandra, ada noda merah di tempat tidur. Itu berarti dua masih perawan dan baru pertama kali melakukannya. Noda pada malam pertama membuat aku semakin merasa bersalah sehingga memilih bertahan, tepatnya terkekang. Sulit meninggalkan Sandra saat ini.Tiba di ruang tengah, aku langsung menghempaskan bokong ke lantai, bersandar pada dinding kamar Nila. Pikiran melayang entah ke mana. Aku tidak percaya kenapa bayangan Ana menari-nari di depan ma
POV Zanna_________________"Bagaimana rencanamu selanjutnya?"Aku yang sedang memoles bedak dengan skincare melirik sekilas pada Kak Alyssa. Hari ini dia cuti kerja, jadi bisa berlama-lama di dalam kamar. Oh, padahal sudah pukul sembilan pagi dan dia belum juga keluar? Mungkin ada harta karun yang ingin dia curi."Sudah kubilang akan menemui Mas Dimas hari ini untuk menanyakan sesuatu yang penting, Kak. Tenang saja, aku gak bakal balik sama dia. Amit-amit, kayak gak ada lelaki lain aja di dunia ini.""Yakin kamu gak cinta lagi sama dia? Jangan sampai ngebohongin aku, malah baper lagi.""Aku berani sumpah, Kak." Sengaja aku berdiri untuk mensejajarkan pandangan kami. Jelas sekali Kak Alyssa tidak percaya, terlihat pada raut wajahnya. "Mas Dimas sudah mengkhianat, artinya dia emang nggak cinta. Biasanya suami istri bertahan karena memikirkan perasaan anaknya, tetapi aku sama si Bajingan itu belum punya anak, Kak."Tidak ada suara lagi,
"Nggaklah, yang matang justru lebih menantang. Lagi pula aku udah cinta dan sayang banget sama Tuan Arsenio. Dia tajir dan tampan, meskipun usianya udah tua, tapi awet muda.""Jadi, semua yang kamu punya itu dari dia?"Aku mengangguk cepat membiarkan Mas Dimas semakin berprasangka buruk. Kalaupun dia menyebarluaskan pembicaraan kami, itu tidak menjadi masalah. Orang lain di luar sana pasti ada yang tahu kalau kami adalah anak dan papa.Mas Dimas pasti malu sendiri. Dia tidak akan pernah menduga bahwa aku adalah Zanna Amani Zaroun karena selama ini tidak pernah menyebut nama belakang karena hanya ditandai dengan huruf Z. Suatu hari, jantungnya mungkin berhenti berdetak, sementara alirah darahnya seketika beku ketika kenyataan sudah di depan mata Mas Dimas."Ana, lelaki tua sepertinya pasti sudah punya istri. Kamu tega menyakiti hati perempuan lain? Pikirkan perasaan anaknya juga. Gimana kalau kamu jadi anaknya, pasti marah kalau papa kamu selingkuh, kan?""Istrinya sudah lama meninggal