Suara azan subuh berkumandang. Aku duduk terpekur dengan ujung mata yang masih basah. Semalam penuh mata ini tak bisa terpejam. Mas Ichsan masih nyaman di dalam selimut kami. Mungkin ia kelelahan setelah semalam berpacu menuntaskan denyar rindu yang sempat tertunda. Lagi-lagi tetes bening mengalir tanpa henti. Ada yang perih di dalam sini saat mengingat kejadian tadi. Sebongkah daging yang bernama hati. Bagaimana tidak, di puncak kenikmatan yang tengah kami arungi, bukan namaku yang ia sebut. Tetapi ... Dayu.
Dayu? Entah kebenaran macam apalagi yang harus kucecap kali ini. Apakah Ida Ayu Ambarukmi yang dia maksud? Siapapun itu, pasti dia perempuan yang penting bagi suamiku.
Pelan-pelan membangunkan Mas Ichsan dengan satu kecupan di pipi. Sementara bendungan di ujung mata hampir saja lepas kendali.
"Mas, dah subuh. Ayo bangun!" ujarku lembut, meski dengan suara sedikit bergetar.
"Mas ... Mas ... dah subuh, ayo bangun," ulangku sambil mengusap bahunya berkali-kali.
Pelan-pelan Mas Ichsan membuka mata, jarak wajah kami mungkin hanya sekitar lima belas senti. Dia memicing, lalu seperti agak terkejut dan melebarkan mata. Aku tersenyum.
"Rinda?"
Deggg! Seperti ada yang terantuk tepat di dalam sini, dada.
"Iya lah, Mas! Masa' zombi, sih!" Aku tertawa lirih mencoba menormalkan suasana. Mas Ichsan tersenyum, tapi kutahu betul ada yang sedang berkecamuk dalam pikirannya.
"Dah azan, ya?"
"Dari tadiii! Mas sih, gak bangun-bangun mulai tadi," ketusku.
"Ngantuk, Rin. Lemes. Gara-gara kamu, nih!" rutuknya.
Aku mengernyit, tak paham maksudnya. "Hah, kok gara-gara aku?"
Mas Ichsan menarikku mendekat, lalu berbisik di telinga. "Kamu tambah pinter sekarang, Rin!" ujarnya.
Aku baru sadar apa maksudnya. Detik berikutnya, kamipun tertawa. Tawa yang hanya di bibir saja, sedang di dalam sini sakitnya masih terasa.
Rutinitas pagi berjalan seperti biasa. Setelah sarapan dan berkemas, kami berangkat mengantar Mama. Mas Ichsan memegang kemudi, sedangkan mama di sampingnya. Aku memilih kursi belakang, menempatkan posisi di tengah-tengah agar lebih leluasa mengobrol dengan mereka berdua sambil mengawasi jalanan. Di mobil kami yang kecil ini, tentu bisa melakukannya dengan mudah.
Aku senang berkendara di jam kerja seperti kali ini. Jalanan cukup lengang. Mungkin karena sebagian orang sedang beraktivitas di dalam ruangan. Lagi pula di kota kecil kami ini arus kendaraan memang tak terlalu padat, tak seperti di kota besar yang selau diwarnai kemacetan. Nanti, setelah memasuki jalur pantura, biar kugantikan Mas Ichsan menyetir. Aku dan Mama masih belum sepenuhnya yakin pada Mas Ichsan.
Perjalanan cukup santai dan menyenangkan. Kulihat, beberapakali Mama memandang kearah putra kesayangannya. Dari ketiga putranya, hanya suamiku yang mewarisi lebih banyak karakter Mama yang lembut, bijak dan penyabar. Ia juga yang mewarisi kulit putih dan wajah rupawan miliknya.
***
Beberapa jam telah berlalu. Kami sedang di perjalanan pulang setelah mengantarkan Mama. Papa sempat meminta kami menginap, namun kubilang kalau jatah liburku hanya sehari. Besok harus kembali ke kantor untuk melaporkan hasil trainingku kepada Pak Afnan. Ah, mengingat bossku itu sama halnya dengan membuat otakku ternoda.
Semilir angin sore menelusup masuk dari jendela yang sengaja kubuka. Tujuannya, biar segala keolengan terbang lewat sana. Di depan sana, berdiri kokoh Monumen 1000 Km Anyer - Panarukan. Kuperlambat laju kendaraan. Lama rasanya tak singgah di tempat ini. Dulu sepulang mengunjungi Mama, kami akan menepi dan memesan es kelapa muda di warung kecil tak jauh dari sini.
"Mau berhenti, Mas?" tawarku dari balik kemudi. Mas Ichsan bergeming.
Kusentuh bahunya, "Mas," panggilku.
"Mau berenti di tempat biasa?" ujarku sambil menunjuk ke depan. Mas ichsan terlihat sedang berpikir.
"Nggak deh, katanya pingin ke pantai? Sekalian aja di sana," simpulnya.
Kupercepat laju kendaraan menuju sebuah pantai yang dulu sering kami kunjungi. Pantai dengan pemandangan yang masih alami, tanpa tiket, dan tanpa fasilitas wisata apapun. Kecuali beberapa warung yang menyediakan beberapa cemilan dan menu sederhana.
Kami memesan beberapa cemilan sekaligus menitipkan kendaraan pada pemilik warung, lalu berjalan memasuki beberapa blok lahan bakau, hingga sampai di bibir pantai yang nyaris tanpa deburan ombak. Sunyi. Dari tempat ini, jika sunset telah muncul, kami bisa menikmatinya sepuas hati. Jarang sekali ada yang berkunjung, apalagi di hari aktif seperti ini. Aku menaruh minuman dan beberapa cemilan yang tadi kubeli.
"Mau?" tawarku pada Mas Ichsan
."Kok minum kopi?" tanyanya heran, melihat botol kopi kemasan di tanganku."Iya, biar nggak ngantuk!" jawabku asal.
Mas Ichsan menggeleng. Dia memang tak suka kopi. Nikotin dan caffein adalah caraku di masa lalu untuk menenangkan pikiran. Sangat berseberangan dengan Mas Ichsan yang sedari dulu terbiasa menjalani pola hidup sehat.
"Nanti aku aja yang nyetir, kamu tidur aja," suruhnya.
"Aku lagi pingin nyetir, enak, kayak lagi main game. Lagipula uda beberapa hari kan nggak bawa mobil. Tar aku lupa caranya," kataku beralasan.
"Halah, mana bisa sih lupa! Yaudah, kalo gitu tidurnya sekarang aja."
Mas Ichsan melepas jaketnya, melebarkannya di atas pasir pantai.
"Sini tidur!" Perintahnya sambil menepuk paha.
Kurebahkan kepala di pangkuannya, sedangkan badan beralaskan jaket miliknya.Aku memejamkan mata. Bukan untuk tidur, tapi untuk menetralkan segala kecamuk yang ada di dalam kepala. Mas Ichsan mengelus pelan kepalaku. Bukan malah bahagia yang terasa, tapi sesak kembali menelusup di dada. Teringat perlakuannya tadi malam, menyentuhku dengan penuh kelembutan, menerbangkan hingga nyaris ke awan. Lalu dengan satu kata, dia menghempas angan ke dasar jurang kekecewaan.
Dayu? Siapakah sebenarnya dia.
Aku cukup paham bahwa di saat-saat tertentu, ODS memang sulit membedakan antara realita dan khayalan. Pikiran bawah sadarnya kadang mencuat ke alam sadar. Tapi kenapa nama itu malah terlintas di saat-saat kami tengah mereguk madu asmara. Ada kemungkinan karena mereka pernah berada di situasi yang sama. Bercinta!
Ada yang terasa panas di ujung mata.
"Mas," panggilku masih tetap pada posisi semula. Dengan suara lirih agar tak terdengar getarnya.
Dia menunduk. Kuketahui dari suaranya yang semakin mendekati telinga."Apa, Rin?" lirihnya.
"Mas nggak pingin cerita sesuatu sama aku?" tanyaku.
"Cerita? Cerita apa?" Mas Ichsan mungkin bingung apa maksudku.
"Cerita soal ... " Kuhentikan kalimat.
Bodoh bodoh bodoooh! Jangan bersikap bodoh, Rinda! Jangan sampai pertanyaanmu malah membuat kondisi jiwanya semakin memburuk seandainya dia mencoba menggali ingatannya secara paksa. Tahan Rinda! Tahan! Jangan gegabah. Jika itu terjadi, maka perjuanganmu selama ini tak ada artinya. Lagipula, bukankah tak satu dua kali Mas Ichsan berhalusinasi. Ah, Rinda, mungkin hanya perasaanmu saja. Bisa jadi Dayu itu hanya ilusi, atau mungkin ....
"Rin?" Mas Ichsan mengagetkanku.
"Ehh iya," jawabku.
"Cerita apa?" ulangnya lagi
."Soal kemarin waktu aku nggak di rumah, iya soal itu. Ngapain aja sama Mama?" Sekuat hati kujaga nada suaraku agar tetap ceria. Detik berikutnya celoteh Mas Ichsan hanya berupa sayup-sayup yang tak kuketahui maknanya. Aku sibuk bermain dengan pikiranku sendiri. Sibuk menerka-nerka. Juga sibuk menekan rasa penasaran yang semakin menyeruak di dada.Melihat bahuku terguncang, Mas Ichsan menyadari satu hal.
"Rin, Rin? Kamu nangis? Rin!"
Aku terisak di pangkuannya. Tak sanggup lagi menyimpan sesak di dada.
"Rin! Rin!" ulangnya.
Aku bergeming. Mas Ichsan memelukku yang masih dalam pangkuannya. Lama ... kunikmati hangat pelukannya. Sambil menguatkan diri sendiri. Meyakinkan hati bahwa semua akan baik-baik saja.
"Kamu kenapa?" tanyanya lagi.
Aku bangkit, duduk di depannya. Mas Ichsan membantuku mengusap air mata. "Enggak, cuman pingin nangis aja. Mungkin capek, stress karena kerjaan atau lagi kangen Bunda di rumah, lama kan aku gak pulang. Campur aduk rasanya," jawabku sekenanya. Berharap suamiku percaya.
"Aneh kamu, Rin! Gak jelas!" ejeknya. Lalu Mas Ichsan mencubit kedua pipiku cukup keras.
"Awwww!" pekikku.
Detik berikutnya, gelitikan di pinggangnya sudah berhasil membuat Mas Ichsan berteriak minta ampun.
Biru nabastala bertukar jingga. Pesona senja memanjakan mata yang masih sedikit basah. Senja adalah keindahan sementara yang akan berakhir ketika malam mulai menjelma. Tak ubahnya seperti kebahagiaan hidup yang selama ini selalu timbul tenggelam beraturan. Sebagaimana senja yang selalu datang dan hilang dalam ritmenya yang teratur.
Aku mencintai senja beserta segala keterbatasannya. Keterbasan waktu untuk menikmatinya. Sepertihalnya aku mencintai segala keterbatasanmu.
Pesona senja. Aku tersenyum mengingatnya. Akun literasi yang setahun belakangan ini menjadi tempatku menumpahkan segala keluh di hati. Ah, jadi teringat Kaffah.
Kaffah? Sepertinya aku tahu kemana harus meminta bantuan untuk menuntaskan rasa penasaran yang kini berkecamuk di dada. Meski sudah kusangkal rasa curiga, tapi hati ini tetap saja gelisah.
***
next
"Selamat datang kembali, Ibu Arinda," sambut Mayang saat aku memasuki ruangan yang masih lengang.Gadis itu akhir-akhir ini memang selalu datang lebih awal."Halah, kek yang dari mana aja!" Aku tertawa, menaruh tas dan duduk manis mengeluarkan handphone. Sepertinya tadi ada panggilan masuk, tapi kubiarkan saja karena masih di jalan."Kan calon manager!" Mayang mengedipkan satu mata."Jare sopo? Sotoyyy!" sangkalku sambil mendorong pipi mulusnya dengan telunjuk.Pandanganku kembali tertuju pada gawai di tangan. Astagaaa, Pak Afnan. Kira-kira ada apa ya? Apa kutelepon balik aja? Eh, tapi nanti Mayang curiga. Aku mendongak menatap Mayang. Takut dia mengintip. Ah, amaan."Beritanya dah nyebar seantero kantor, lho, Mbak!" ujar Mayang dengan nada menggoda."Berita apa?" tanyaku khawatir. Jangan-jangan gosip antara aku dan Pak Afnan."Berita Mbak dan Pak Afnan," jawab Mayang setengah berbisik."Haaah?!" Aku terhenyak, lalu kemu
Masih terbayang di benak apa yang dikirim oleh Kaff pagi tadi. Ia berhasil meretas blog milik Mas Ichsan, menelusurinya, lalu mengirimkan beberapa puisi dan curhatan yang tersimpan dalam draft yang tersembunyi di sana.Suamiku memang suka menulis, kutahu itu sejak dulu. Namun yang ia tulis hanya tips-tips seputar dunia IT. Hobi mereview beberapa produk yang berkaitan dengan bidang keahliannya, baik digital maupun non digital.Kenyataan yang terjadi berkata lain, Mas Ichsan yang kupikir jauh dari kata melankolis, ternyata sebaliknya. Puisi-puisi miliknya begitu syahdu dan romantis.Ah, Mas ... padahal sebaris pun tak pernah kau buatkan puisi untukku, istrimu.Dayu ... Ida Ayu Ambarukmi. Seseorang yang masih menempati posisi khusus di hati suamiku saat ia menulis puisi itu. Lalu, di mana posisiku sebagai istri? Hanya pelarian semata? Lagi-lagi ujung mataku basah. Kutepis semua ingatan. Ini kesalahan karena mencari tahu tentang sesuatu yang bukan porsi
Menghadapi cahaya, walau menyilaukan, lebih baik daripada berjalan dalam kegelapan. Sebab dalam kesilauan dirimu masih bisa melihat sekitar, meski matamu terasa sakit." Kaffah Ar RayyanAku tersenyum membaca quotes yang sengaja dibuat khusus untukku.Sudah tengah malam, Mas Ichsan terlelap dengan satu lengan memelukku dari belakang. Dapat kutebak dari napasnya yang teratur.Jariku bergerak lincah menyentuh beberapa icon, lalu membaca screen shoot yang tadi siang dikirim oleh Kaff. Dia kirimkan hanya tulisan yang berisi info penting semehingga aku tak perlu lagi memilahnya. Mungkin dengan cara ini bisa kuketahui apa yang sebenarnya telah terjadi.Bismillah ... apapun kenyataanya, semoga tak pernah mengubah rasa cintaku
'Mlumah, mengkurep, modot, mlebu, metu.'Mo Li Mo, Sebuah nasihat yang kudengar dari ceramah penghulu usai prosesi ijab kabul kami dahulu. Mungkin terkesan saru jika diartikan sebagai bagian aktivitas hubungan suami istri. Namun ternyata, begitu banyak pesan yang tersirat di baliknya.Dalam bahasa jawa, mlumah artinya telentang. Pasangan suami istri harus saling terbuka mengenai hal apapun, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Keduanya harus saling percaya untuk berbagi masalah dan mencari penyelesaiannnya.Mengkurep berarti tengkurap. Maksudnya yaitu, pasangan suami istri harus bersifat tertutup mengenai urusan rumah tangga. Bahkan kepada orang tua atau mertua. Simpan rapat-rapat semua hal yang terjadi dalam rumah tangga, jangan sampai ada orang yang tahu.Modod dalam bahasa jawa bisa diartikan elastis. Bisa memanjang dan memendek sesuai kebutuhan. Diharapkan pasangan suami istri bisa bersikap demikian, menjalani kehidupan rumah tangga dengan fleksibel.
"Saya terima nikah dan kawinnya Danastri Pusvarinda Sumiradjaya binti Raden Haryadi Sumiradjaya dengan mas kawin tersebut, tuunaai!""Sah?""Saaah ...."Teriring doa juga selaksa nasihat dari para orang bijak. Dua orang manusia telah resmi menjadi partner dalam segala hal. Bersiap melalui perjalanan panjang dengan bahtera baru yang bernama pernikahan.Air mata haru mengalir tak tertahan saat lelaki di sampingku dengan lembut mengecup kening. Mulai detik ini telah resmi ia ambil alih semua tanggung jawab atasku dari tangan Ayah.Masih terekam jelas di dalam benak, rangkaian prosesi ijab kabul kami dahulu.Mengingatnya selalu berhasil menghadirkan embun bening di sudut mata. Bukan sedih, tapi bahagia.Ada saat di mana biduk pernikahan sedang diuji. Oleng ke kanan, oleng ke kiri, menabrak tebing, bahkan nyaris karam terhempas badai.Jika hal itu terjadi, maka kembalilah pada kenangan masa lalu. Untuk sekadar mengin
Deru mesin mobil terdengar sedang mendekat. Aku mengintip dari celah jendela untuk memastikan ke mana mobil tersebut bergerak. Saat roda itu mengarah memasuki pagar, dapat kupastikan jika itu memang tamu Mas Ichsan."Mas, tuh kayaknya ada tamu. Trus aku gimana?" ujarku kebingungan."Nggak papa, tetep aja di situ," jawab Mas Ichsan santai. Sepertinya dia memang sudah tahu kalau akan kedatangan tamu."Aku pulang aja ya? Nggak enak, masa aku di sini?"Mas Ichsan tak menanggapi. Ia berdiri dan berjalan menuju teras."Assalamualaikum ....""Waalaikum salam ...." jawabku lirih.Dua orang wanita berjilbab memasuki rumah.Aku berdiri, menampilkan senyum sesopan mungkin. Mencium tangan si wanita setengah baya dan berjabat tangan dengan wanita lainnya yang menurutku masih muda.Kata Ibu, etika ketika bersalaman dengan orang yang lebih tua adalah dengan mencium tangannya. Tak peduli siapapun itu, entah kenal atau tidak. Pria maupun w
Sebuah kolam dengan aneka jenis ikan berkejaran di sekitar air mancur menjadi pemandangan yang begitu melegakan setelah kami lalui saat-saat menegangkan. Warna-warni bunga krisan terlihat begitu memesona. Namun sayangnya, masih kalah oleh pesona lelaki di depan ini, yang dengan percaya diri telah berhasil meluluhkan hati Ayah dan Ibu untuk memberikan restu.Dia yang mencintaiku bukan dengan kata-kata, namun berupa langkah nyata. Dia yang tak pernah menawarkan harapan apapun, namun tiba-tiba menaut jari manisku dengan sebuah cincin di depan Ayah. Dia yang tak pernah sekalipun berucap cinta, namun kini kutahu lewat tingkah dan tatapannya itulah wujud cinta yang sebenarnya.Kami duduk pada gazebo di halaman belakang rumah orang tuaku. Minggu depan, lamaran resmi akan digelar sekaligus juga menentukan tanggal pernikahan. Selaksa puji syukur tak henti terucap dari bibir yang penuh dosa. Tuhan masih menyayangiku, bahkan saat gunung-gunung dosa ini tak lagi dapat terhitung ju
Ada yang lebih menarik daripada mengingat kemarau musim lalu ketika hujan mulai menghampiri. Ada yang lebih penting daripada menyesali masa lalu, sementara masa depan menawarkan kehidupan yang lebih baik.Biarkan musim berlalu begitu saja sesuai porsi dan waktunya. Biarkan masa lalu menguap, hilang, terlupakan dan berganti dengan cerita masa depan.________Sebulan setelah acara lamaran resmi, pernikahan kami digelar cukup megah dengan prosesi adat jawa. Terlihat beberapa kali Ayah menempelkan ibu jari dan telunjuk di kedua sudut matanya.Ayah ... maafkan putrimu seandainya nanti membuat layu rangkaian melati di sanggul ini.Konon, jika pengantin wanita sudah kehilangan kesucian, rangkaian melati yang ia pakai pada prosesi pernikan akan menjadi cepat layu dan hilang wanginya.Hidup dalam keluarga yang masih menjunjung tinggi adat istiadat, membuatku sedikit takut. Bagaimana seandainya melati ini benar-benar layu sebelum pesta berakhir. Keluarga