"Ririn pingsan, Pak!" seru mak Wati
"Kenapa bisa, Mak?" tanya Pak Yanto sambil bertanya kepada istrinya.
Tak lama Ririn membuka matanya, dilihatnya banyak tetangga dan juragan juga, gadis itu mencoba bangun walau kepalanya masih pusing, Mak Wati memberikan teh hangat untuk putrinya.
"Kamu kok bisa pingsan di kandang kambing, Nduk?" tanya Mak Wati.
"Tadi Ririn lihat sesuatu yang mengerikan, Mak," jawab Ririn lemah
"Gendruwo lagi, Mbak?" tanya Rini.
Ririn hanya mengangguk sambil bergidik ngeri ingat apa yang dilihatnya tadi, tak lama para warga pamit begitu juga dengan juragan sedangkan Adam menatap gadis yang juga menatapnya dengan datar.
"Sekarang kamu istirahat, biar besok enggak telat," kata Mak Wati.
"Iya Mak," jawab Ririn.
Tak lama Ririn berjalan ke kamarnya untuk istirahat.
*****
Mentari pagi mulai mengintip dari celah-celah langit, dedaunan yang masih basah terlihat segar terselimuti embun. waktu menunjukan pukul lima empat puluh menit. Ririn yang sudah bersiap untuk pergi ke kota dengan keluarga juragan Halim sudah bangun menjelang subuh.
Gadis itu keluar kamar, dilihat Bapak sedang duduk sambil merokok di ruang tamu. Lelaki paruh baya itu saat melihat anaknya keluar kamar tersenyum, terlihat kesedihan dari raut wajahnya saat akan melepaskan putri pertamanya untuk merantau.
"Sudah siap, Nduk?" tanya Bapak
"Sudah Pak," kata Ririn sambil mengambil sepatunya.
"Rin, ini ada uang tidak banyak, tapi bisa buat pegangan kamu selama sebulan," ujar Pak Yanto.
"Terimakasih Pak, nanti kalau sudah gajian Bapak ambil sama Juragan ya," kata Ririn sambil tersenyum.
Bapak hanya menggelengkan kepalanya saat mendengar apa yang diucapkan anaknya, jika kemarin ia sangat senang Ririn akan bekerja di kota, tapi entah mengapa ada rasa bersalah di hatinya kepada putri sulungnya itu.
"Rin, nanti di sana jaga diri, jangan keluyuran dan patuh apa kata Bu Mirna," pesan Mak Wati kepada anaknya.
Mamak datang sambil membawa bungkusan, kemudian ia memberikan kepada anaknya. Wanita itu sudah tidak bisa menahan air matanya, saat melihat anak pertamanya yang akan meninggalkan keluarganya di desa.
"Mak, jangan nangis. Ririn nantikan pulang juga ke desa," hibur Ririn sambil memeluk wanita yang begitu disayanginya itu.
"Ingat pesan Mamak, dan jaga diri selama di sana," ucap mak Wati
"Iya Mak," siap Mak
Rini datang sambil berlinang air mata, ia begitu sedih saat Kakaknya akan pergi. Namun, gadis kecil itu yakin kalau Ririn akan pulang kembali ke desanya.
"Mbak keluarga juragan sudah siap," kata Rini.
Ririn segera pamit kepada kedua orang tuanya, tangis haru mengiringi kepergian gadis itu. Dari jalan Adam melihat itu hanya tersenyum.
Setelah itu Ririn pergi naik motor bersama Bagas, hanya dengan lima belas menit mereka sudah sampai dermaga. Ririn begitu takjub saat speedboat besar datang dengan keadaan kosong. Gadis itu hanya kagum, karena juragan sengaja menyewa satu speedboat untuk keluarganya.
Sasa yang duduk di pangkuan Ririn, walau sudah dilarang oleh Ayahnya. Perjalanan dari dermaga ke kota akan menempuh waktu tiga jam lebih untuk sampai pelabuhan Bekang.
Ririn begitu menikmati perjalananya, hingga tanpa terasa mereka sudah sampai di pelabuhan Bekang. Sesampainya di Bekang mereka langsung disambut anak buah Juragan yang ada di kota Palembang.
Tanpa menunggu lama mereka naik mobil menuju ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin 2. Selama di perjalanan Ririn sibuk mengobrol dengan Sasa. Tanpa gadis itu sadari Adam dan Mama Mirna memperhatikan bagaimana keduanya terlihat bahagia.
Mobil memasuki Bandara, Ririn yang tadinya wajahnya cerah sedetik kemudian terlihat pucat. Ini pengalaman pertamanya untuk naik pesawat. Banyak pikiran yang sebelumnya tidak terlintas olehnya.
Saat Ririn turun dari mobil, langsung di hampiri oleh Bagas. Pemuda itu tahu kalau gadis di sebelahnya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Tenang, ada aku disini," ujar Bagas sambil menggenggam tangan Ririn yang ia rasakan dingin.
Mama Mirna yang melihat wajah Ririn pucat menjadi khawatir, Ia menghampiri gadis itu yang sedang mengobrol dengan Bagas cucunya.
"Rin, apa kamu sakit Nak?" tanya Ibu Mirna sambil memegang kening Ririn.
Ririn merasa gugup saat ditanya oleh Ibu Mirna, gadis itu takut akan batal kerja lagi. Bagas yang melihat kekhawatiran sahabatnya itu hanya tersenyum.
"Ririn hanya takut naik pesawat, Nek," Kata Bagas sambil mengedipkan matanya ke Ririn yang terlihat antara malu dan kesal kepadanya.
Adam yang mendengar itu hanya terkekeh, karena sedari tadi dia memperhatikan perubahan raut wajah Ririn.
Sesampai di Bandara Ririn hanya diam, sesekali menjawab pertanyaan gadis kecil yang sedang duduk di sampingnya. Dia melihat Adam sibuk dengan Bagas entah apa yang tengah dilakukan kedua pria itu.
"Rin, Ibu dan Bagas duluan ya," pamit ibu Mirna membuatnya hanya mengangguk.
"Unda, Sasa sama Nenek dulu. Da-da ...." Kata Sasa sambil melambaikan tangan ke arahnya
Adam dapat menangkap kebingungan Ririn hanya tersenyum, ia yakin kalau gadis di sampingnya itu tidak tahu kalau Bagas Ibunya akan ke Bandung.
"Mereka akan mengantar Bagas dulu ke Bandung, setelah itu baru ke Jakarta," ujar Adam.
"Bapak enggak ikut?" tanya Ririn dengan polos.
"Enggak Rin, saya besok harus sudah bekerja," jawab Adam.
Adam yang mendengar kalau penumpang tujuan Jakarta segera naik ke pesawat lewat Gate 1 segera berdiri, tapi ia kemudian melihat Ririn yang terlihat gelisah sambil meremas kedua jemari tanganya.
"Jangan takut," ucap Adam sambil menggenggam tangan Ririn yang sudah terasa dingin.
Gadis itu hanya tersenyum, kemudian dia berjalan beriringan dengan Adam tanpa melepaskan genggaman tangannya. Saat sampai dalam pesawat ada lelaki seumuran Bagas sudah duduk di deretkan kursinya, Adam dengan ramah permisi karena nomor kursinya terletak di dekat jendela.
"Rin masuk!" titah Adam.
Ririn masuk langsung duduk, Adam yang melihat gadis di sebelahnya hanya duduk saja tersenyum, Pria itu menarik napas dalam dia lupa kalau ini pertama kalinya wanita yang ada di sebelahnya naik pesawat.
Adam mendekat ke arah Ririn, kemudian ia memakaikan sabuk pengamannya, gadis itu terkejut karena jarak keduanya begitu dekat. Adam yang lihat perubahan dari mimik wajah wanita itu hanya terkekeh.
"Buang jauh-jauh otak kotor mu, gadis aneh!" hardik Adam sambil menyentil kening Ririn.
Ririn melotot saat mendengar apa yang dikatakan oleh pria yang menyebalkan di sampingnya, tapi marahnya seketika hilang dan berganti dengan kepanikan saat terdengar bunyi gemuruh di pesawat.
Ririn spontan mencekal tangan Adam dengan kuat, membuat yang empunya terkejut. Namun, saat pria itu tahu hanya senyum tipis yang mengembang di bibirnya.
"Udah lepaskan tangan saya," kata Adam sambil tersenyum.
"Maaf," ucap Ririn yang merasa malu.
Kini keduanya baru bisa menikmati perjalanan dengan tenang, Adam yang melihat Ririn sudah terlelap hanya tersenyum tipis. Setelah satu jam akhirnya pesawat sampai di Bandara Soekarno-Hatta.
Adam membangunkan wanita di sampingnya, Ririn yang terkejut sambil cemberut menatap Adam yang membangunkanya dengan cara menyentil keningnya lagi.
"Ayo turun, kita sudah sampai," ajak Adam sambil berdiri yang di ikuti Ririn.
Keduanya jalan beriringan, sesampai bagasi Adam mengajak Ririn untuk menunggu barangnya. Setelah lima belas menit keduanya keluar, pria itu tersenyum saat melihat sopir Ibunya sudah datang.
"Siang Den," sapa Mang Ujang sambil tersenyum menatap Adam.
"Mang Ujang sudah lama?" tanya Adam basa-basi kepada lelaki yang kini tersenyum menatapnya.
"Baru lima menit, Den," jawab Ujang
Adam memperkenalkan Ririn kepada mang Ujang, saat Adam akan masuk mobil terdengar suara yang tak asing memanggilnya.
"Mas Adam," sapa Fani sambil mengatur napasnya karena berlari mengejar mantan suaminya.
"Fani!" kata Adam terkejut, karena selama berpisah baru kali ini bertemu lagi.
"Mas apa kabar?" tanya Fani sambil menatap Ririn dari atas sampai bawah.
"Baik, maaf aku duluan," pamit Adam langsung menarik tangan Ririn supaya cepat masuk mobil.
"Jalan mang!" titah Adam.
"Tadi itu siapa, Pak?" tanya Ririn yang penasaran.
"Bundanya Sasa." Jawab Adam datar.
"Cantik seperti artis," kata Ririn sambil tersenyum.
"Dan juga Baik," sahut Adam.
Ririn langsung menatap wajah Pria yang ada di sampingnya, gadis itu hanya heran apa benar wanita yang meninggalkan anak dan suaminya masih tergolong wanita baik.
"Pak. Istri baik itu, tidak akan pernah meninggalkan suami dan anaknya untuk pria lain!" ujar Ririn.
Deg, Adam terkejut dengan apa yang dikatakan gadis aneh di sampingnya. Memang benar apa yang dikatakannya. Kalau Fani istri yang baik tidak akan meninggalkan dirinya dan Sasa demi pria di masa lalunya.
Mobil yang dikemudikan oleh mang Ujang, tanpa terasa sudah sampai di depan rumah berlantai dua. Ririn begitu takjub melihat halaman yang luas dan taman dipenuhi berbagai bunga yang terlihat terawat. Adam selama di mobil hanya diam, pria itu kembali lagi dingin sejak bertemu dengan mantan istrinya di Bandara tadi. Melihat majikanya cuek kepada wanita yang duduk di sebelahnya, mang Ujang mengajak Ririn turun, sedangkan gadis itu tidak menyadari kalau pria di sebelahnya tadi sudah tidak ada lagi di mobil. "Mang, ini rumah Ibu Mirna?" tanya Ririn sambil menatap pintu besar di depanya. "Iya Non," jawab mang Ujang. "Mang, jangan panggil, Non. Saya ke sini mau kerja." ujar Ririn sambil mengikuti mang Ujang yang berjalan lebih dulu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti, tanpa terasa Ririn sudah hampir tiga tahun bekerja di rumah Ibu Mirna. Gadis itu setiap bulan minta tolong ke majikanya untuk mengirimkan uang gajinya ke juragan Halim. Semenjak ia merantau belum pernah sekali pulang, karena menurutnya daripada uangnya buat ongkos pulang lebih baik dikirim ke orang tuanya! apa lagi sekarang Bapak sedang ingin membangun rumah, karena rumahnya yang dulu dindingnya sudah mulai rapuh. Rumah di kampung yang dulunya hanya berdinding anyaman bambu, kini Bapak menggantinya dengan papan. Gadis itu juga begitu senang saat juragan dan istrinya berkunjung ke Jakarta. Ibu Hany mengatakan kalau keluarganya di kampung baik-baik saja dan sekarang rumahnya sudah bagus. Ririn yang mendengar itu, ingin sekali dia pulang, rasa rindu dengan
Tak lama handphone Adam bergetar, pesan dari Mamanya menyuruhnya menjemput Sasa dan membawanya ke rumah sakit tak jauh dari tempatnya berada. Adam tanpa pamit ia langsung membayar makananya, pria itu baru ingat kalau sudah meninggalkan Ririn di sekolah tadi. "Astagfirullah, kok bisa aku tinggalin gadis aneh itu!" kata Adam dengan memukul kemudi dengan keras. Sampai di sekolah Adam melihat putrinya sudah menunggunya, Sasa yang melihat Ayahnya yang datang hanya sendiri merasa sedih. "Maaf. Ayah terlambat, sayang." Kata Adam sambil menggendong putrinya. "Ayah, Bunda mana?" tanya Sasa saat masuk ke mobil Ayahnya. "Bunda, mungkin sudah ada di rumah, Nak." Jawab Adam dengan lembut
Pagi ini tak secerah biasanya, matahari tampak malu-malu menunjukkan sinarnya. Awan hitam menutupi keindahan dari pencerah bumi, pertanda akan segera turun hujan. Di kamar yang besar, Ririn sedang melihat ke arah jendela sambil termenung, entah apa yang dipikirkannya Setelah hampir dua minggu ia istirahat, dia tidak pernah lagi bertemu Adam. Pagi ini semua libur karena hari weekend. Ibu Mirna selalu mengajak cucunya untuk berjalan pagi ke taman. Tadi Ririn hendak ikut, tapi wanita paruh baya itu melarangnya karena luka di kaki dan tangannya belum kering betul. Ririn keluar dari kamar saat jam menunjukan pukul sebelas siang, rumah terlihat sepi. Dia berjalan menuju dapur, dilihatnya Bik Imah sedang membuat sesuatu. Gadis itu mendekati wanita paruh baya itu sambil mengejutkannya. "Dor," teriak Ririn mengejutkan Bik Imah. "Copot-copot, copot!" latah bik Imah sambil melempar spatula dari tangannya. "Ririn!" teriak Bik Ida yang terkena sasaran spat
Setelah satu minggu istirahat, Ririn sudah bisa berjalan normal. Bik Imah benar-benar merawatnya seperti yang diperintahkan oleh Adam. Pria itu tidak main-main semenjak kejadian seminggu yang lalu dia sering menanyakan keadaan kaki gadis aneh itu. Sasa yang melihat Bundanya sudah bisa berjalan lagi begitu senang, gadis kecil itu langsung memeluk Ririn yang berjalan menghampirinya. "Bunda sudah sembuh?" tanya Sasa dengan senyum yang menggemaskan. "Alhamdulillah sudah, sayang. Sasa enggak sekolah, Nak?" tanya Ririn merasa heran karena sudah jam sepuluh anak asuhnya masih ada di rumah. "Hari ini tanggal merah, Bunda,"Jawab Sasa sambil menarik tangan Ririn untuk duduk bersamanya di gazebo. "Oh, maaf Bunda lupa," ujar Ririn s
Adam saat menyadari apa yang dirasakan, tapi sedetik kemudian ia segera menepisnya, enggak mungkin dia memiliki perasaan lebih dengan gadis aneh itu. Adam berkumpul dengan yang lainnya di ruang keluarga, Ada Halim dan istrinya, sedangkan Bagas masih celingak- celinguk melihat ke arah tangga. "Om, Ririn mana? kenapa enggak turun-turun?" tanya Bagas sambil gelisah. Adam menatap ponakannya itu sambil menarik napas panjang, entah mengapa ada rasa tidak suka, saat ada yang menanyakan pengasuh anaknya itu. Jika ia tak mengingat masih ponakannya mungkin akan dimakinya. "Dia capek, jadi istirahat langsung," jawab Adam "Oh," kata Bagas singkat. Adam beranjak dari duduknya, ia m
Siang hari udara begitu terik, Ririn menarik napas saat Ibu Mirna menghubunginya untuk membantu di butik. Sasa yang masih terlelap membuatnya enggan untuk membangunkan gadis kecil itu. Jika nanti dia terbangun masih ada Pak Adam dan bi Imah yang menjaga anak asuhnya. Ririn yang sudah bersiap kini pamit dengan Bik Imah dan Ida, saat ia sedang berjalan mengendap-endap tiba-tiba merasa ada yang menarik kerah bajunya. Dia membalikan badan, seketika matanya membola melihat Adam menatapnya datar. "Mau kemana?" tanya Adam sambil melepaskan tangannya dari kerah baju Ririn. "Eh, itu anu, Pak," Kata Ririn gugup sambil menggaruk kepalanya. "Anu apa, hem?" tanya Adam semakin mengintimidasi gadis di depannya. "Itu,
Pagi ini Ririn sedang membantu Sasa untuk bersiap ke sekolah, anak asuhnya itu selalu ingin mandiri untuk menyiapkan segalanya, tapi setelah itu ia tidak lupa mengeceknya ulang khawatir ada yang tertinggal. Selesai bersiap keduanya berjalan ke arah meja makan, di mana sudah ada Ibu Mirna, Bagas dan Adam. Ririn hanya tersenyum kepada semuanya setelah itu ia pergi ke dapur untuk membantu Bik Imah mencuci peralatan kotor bekas masanya tadi. Bagas sesekali memicingkan matanya ke arah dapur, bukan ini yang dia inginkan. Pria itu rindu akan senyum dan tawa gadis yang selalu menolak perasaannya, baginya ini bukan akhir selama Ririn masih sendiri. Begitu juga dengan pria dingin itu, ia tidak suka saat melihat keponakannya sedang memperhatikan seseorang yang sedang sibuk di dapur yang tak lain Ririn, setelah selesai