"Walaupun orang sederhana tapi Refaldy punya etika dan sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Nggak kaya kamu dan istrimu, Mas."Mungkin ucapanku ini sedikit lancang dan terlihat kasar untuknya. Tapi biarlah, biar mereka semua sadar."Rum, aku balik ya. Mas, Mbak, saya balik dulu. Assalamualaikum.""Iya, Waalaikumsalam. Maafkan keluargaku, ya."Refaldy berpamitan pulang, mungkin ia merasa tidak enak hati melihat pertengkaran antara adik dan kakak seperti ini."Kalau mau sama Arum harus kaya!" teriak Mbak Ayu dengan ketus yang sedaritadi hanya memantau perdebatan kami.Refaldy menoleh dan menatap Mbak Ayu dengan wajah datar, lalu menoleh ke arahku juga dengan tatapan kasihan. Mungkin ia kasihan dengan hidupku."Nggak hanya kaya, tapi juga berattitude, Mbak," sahut Refaldy.Setelahnya ia tancap gas dan pergi dari halaman rumahku. Aku pun masuk ke dalam rumah dan menemui Ibu juga Bapak.Kucium punggung tangannya dengan takzim lalu duduk di tengah-tengah Ibu dan Bapak.Sepertinya jang
"Sudah jangan berdebat, semuanya duduk dan makan bersama!" bentak Bapak.Mbak Delia menghentakkan kakinya seperti anak kecil, lalu menatapku dengan tatapan tak suka. Cih, peduli amat.Kami semua duduk lesehan di lantai, makanan sudah terhidang di sini. Ibu mulai mengambilkan nasi beserta lauknya untuk Bapak."Sini biar Ibu ambilkan nasi untukmu, Nak." Ibu mengulurkan tangannya namun Mas Aron malah memutar bola mata. Ingin rasanya aku colok kedua matanya itu. Tidak sopan banget seperti itu pada Ibu."Nggak selera, Bu. Biasanya aku di Jakarta makan makanan yang enak," dalihnya."Iya, benar. Kami semua biasanya makan enak. Lah, ini, apaan, Bu. Cuma ayam, sayur bening dan tahu tempe beserta sambal dan lalapannya," sambung Mbak Wisna yang dianggukin oleh suaminya."Makan aja apa yang sudah tersedia di sini. Masih bisa makan aja sudah bersyukur. Memangnya dulu kalian makan apa waktu kecil?!" ketus Bapak.Mas Aron, Mbak Ayu dan Mbak Wisna terdiam dengan ucapan Bapak yang menohok.Bapak menar
Mas Aron mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Rahangnya mengeras dengan gigi gemeretak."Kamu sudah sangat keterlaluan, Arum. Aku ini Masmu, bukan teman, sahabat atau pacarmu yang bisa seenak kau bentak-bentak! Sopan santun sedikit padaku!"Plak!Satu tamparan ia layangankan di pipi kananku, membuat pipi ini kemerahan dan menimbulkan rasa panas hingga perih.Aku tersenyum miris menatapnya. Mas Aron menatapku balik dengan sengit, napasnya memburu seperti hewan yang siap menerkam buruannya."Mana lagi yang ingin kau tampar, Mas. Ini, atau ini!"Aku menyodorkan wajahku pada Mas Aron seraya mendorong dorong tubuhnya."Selain kau gagal jadi anak Bapak dan Ibu! Kau pun gagal mendidik anakmu juga gagal jadi seorang Kakak!" bentakku."Apa kalian pikir nggak dosa buat orang tua sampai menangis begitu. Ingat, susahmu dulu sama siapa? Setelah sukses seperti kacang lupa kulitnya! Wong pada dableg kabeeeh!"Tutatap satu-satu wajahnya dengan penuh kesal dan juga amarah. Ingin rasanya kupuk*l kep
"Apa-apaan sih kamu, Rum. Kamu sudah benar-benar kurang ajar sama kita!" bentak Mas Aron."Si Arum kayanya sudah gila nih!" sahut Mbak Delia."Orang kampung, kelakuannya juga kampungan!" maki Mas Dion."Kutampar kamu, Rum, menyebalkan sekali!" Mbak Wisna menimpali.Masih banyak lagi umpatan serta caci maki dari mereka kepadaku. Kutatap mereka tanpa rasa takut apalagi merasa bersalah, karena memang aku tak bersalah."Nantangin kamu, Rum?" bentak Mbak Ayu.Aku masih diam tak merespon caci maki dari mereka. Dan itu membuat mereka semua semakin kesal padaku."Pantes, nggak ada cowok kaya yang mau sama kamu. Kelakuan kamu menyeramkan seperti ini, yang naksir paling mentok standar. Cuma punya motor!" sindir Mbak Delia."Mau pulang sendiri, atau aku usir?" tekanku pada mereka."Kamu ngusir kami?" tanya Mbak Ayu sengit."JAWAB! Mau pulang sendiri atau mau aku usir!"Aku berteriak sangat kencang membuat mereka semua kaget dan saling tatap satu sama lainnya."Demi Allah. Biar Allah miskinkan kal
"Mas ngomong kaya gitu seolah-olah tidak pernah buat kesalahan pada kami, terutama sama Bapak dan Ibu?""Ya Allah ... Mas benar-benar berubah setelah merantau. Mbak Ayu dan Mbak Wisna pun berubah setelah menikah. Apa kalian salah pergaulan dan lingkungan, Mas? Arumi kangen dengan kalian yang dulu."Kakiku lemas seperti tak bisa menopang tubuh ini. Tangisku pun pecah seketika teringat kebersamaan kami dahulu."Nggak ada yang berubah dari diriku. Kalian aja yang terlalu sensitif dan baperan, Rum," katanya dengan enteng."Jadi maksudnya Bapak, Ibu dan Arumi yang salah gitu, Mas, bukan kalian? Oh, ya, kalau begitu Arumi coba untuk nggak baperan dan sensitif seperti apa yang Mas bilang." Wajahnya berubah binar, Mas Aron tersenyum seraya menganggukkan kepalanya pelan."Nah, gitu dong, Rum. Zaman sudah semakin modern. Jangan jadi orang yang kampungan lagi. Kalau bisa nanti kamu cari pasangan yang bisa naikkan derajatmu," katanya semringah.Tanpa peduli dengan omongannya aku segera kembali m
"Makasih, Dev. Padahal kita nggak punya hubungan darah, tapi kamu baik banget sama aku," kataku terharu."Jangan kaya gitulah, Rum. Kita ini saudara seiman dan setanah air," sahutnya tersenyum.Setelah menunggu beberapa menit makanan pun jadi satu per satu. Lalu Devi pun mengajakku untuk membeli minuman boba yang kekinian. Devi juga membelikan untuk Bapak dan ibuku."Arumi!" Seseorang memanggilku.Aku menoleh ke sumber suara tersebut dan mencari siapa orang yang memanggilku.Seorang pria menaiki motor sport memakai helm juga masker melambaikan tangannya padaku."Habis jajan, Rum?" tanyanya.Suaranya sangat familiar tapi aku belum tahu siapa lelaki dibalik masker itu. Ia lantas membuka helm serta maskernya."Refaldy," gumamku."Habis jajan apa?" tanyanya lagi."Ini beli martabak sama makanan yang lain."Pantas saja aku tidak mengenalinya, karena beberapa kali bertemu dan mengantarkan aku pulang ia menggunakan motor matic bukan motor sport."Ini yang mau ngajak kamu kerja, Rum?" tanya D
Senin pagi, hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba. Aku sudah mempersiapkan semuanya semalam sebelum tidur untuk melamar pekerjaan dengan Refaldy juga Ratna.Refaldy bilang tak usah pakai atasan kemeja putih serta bawahan hitam seperti pada umumnya orang melamar pekerjaan. Ia hanya menyuruhku untuk berpakaian rapih serta sopan.Syukurlah Refaldy berkata seperti itu. Jadi Bapak dan Ibu tak akan curiga padaku jika aku sudah tak kerja lagi di toko roti.Nanti aku akan bilang jika memang sudah mendapatkan pekerjaan yang baru. Semoga saja aku diterima pekerjaan di sana."Sudah mau berangkat, Nduk?" tanya Bapak ketika aku sedang bersiap-siap."Nanti jangan lupa sarapan dulu, Nduk." Ibu mengingatkan."Iya, Pak, Bu. Doain biar semuanya lancar hari ini," kataku."Aamiin. Ibu sama Bapak selalu mendoakan kamu serta anak-anak kami yang lain."****Sebuah mobil Toyota Alphard berwarna hitam berjalan ke arah rumah orang tuaku. Aku tidak tahu siapa itu yang datang, mungkin saja teman atau kerabatnya k
"Dinner berdua?" tanyaku lagi untuk memastikan ucapan Refaldy. Apakah ia serius atau bercanda saja.Tapi mimik wajahnya memang terlihat serius, tak ada raut bercanda atau hanya sekedar basa-basi saja."Iya berdua," ucapnya meyakinkan."Bagaimana?" tanyanya lagi meminta jawaban."Aku belum pernah dinner berdua dengan lelaki.""Kalau begitu, ajak kedua orang tuamu," katanya sambil tersenyum."Hah?"Aku bingung harus menjawab apa lagi. Ingin menolak tetapi aku tidak enak, apalagi Refaldy sudah sangat baik kepadaku.Tapi ....Untuk dinner berdua pun aku merasa canggung karena sebelumnya aku memang tidak pernah dinner dengan lelaki berduaan. Apalagi yang bukan mahramku.Lalu ... bagaimana ini."Kamu sedang tidak menolakku secara halus 'kan?" tanyanya dengan wajah penuh harapan."Ma--mau kapan dinnernya?" ucapku gugup."Nanti malam, Rum, siap kan?" Refaldy sangat antusias sekali, sementara dari tadi Ratna terus mengulum senyum mendengarkan obrolan kami."Eheeem." Ratna berdehem.Refaldy me