"Pacarnya kak Fani, kan?" tanya Jeslyn, memotong ucapan Glen.
Glen mengangguk puas. Falri masih termangu. Berbeda dengan Fani yang berubah geram.
"Diam lo, bocah!" sentak Fani.
"A-aku cuma ngomong setahuku aja, kak," jujur Jeslyn seraya memainkan tangannya.
"Kak Fani," ucap Falri, menatap tidak menyangka ke arah Fani.
"Gue bisa jelasin semuanya, Ri!"
"Lo mau jelasin apa?" tanya Glen seraya menatap remeh ke arah Fani. Dia mengeluarkan ponselnya kemudian memecet dan memberikannya kepada Falri. "Lo lihat ini! Video tentang kelicikan tiga serangkai duri."
Falri menerima, meneliti video yang berisi perbincangan singkat antara Fani, Mamanya, dan orang yang nyaris mirip dengan Papanya.
"Gian ... kamu harus kuat, ya. Aku pastiin Falri bakalan mau donorin ginjalnya sama kamu," ucap Fani dengan optimis.
Gian mengangguk lemah. "Semoga."
"Pokoknya kamu jangan pernah putus asa, menantu tersayang," ujar Dira, Mama Fal
Malam ini, Falri lebih memilih untuk menetap di hotel sementara. Dia masih ingin lari dari masalah yang datang. Falri juga butuh waktu istirahat.Pintu nomor 32. Itu lah kamar hotel yang akan diinap Falri semalaman. Falri masuk ke dalam kamar kemudian menutup pintunya. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur empuk.Beruntung dia membawa blackcard dan sejumlah uang merah. Falri menghembuskan nafas kasar. Dia menatap langit-langit kamar dengan perasaan berkecamuk."Mama, Kak Fani, kenapa kalian tega sama Naufal?" tanyanya, lirih.Falri mengusap wajahnya kasar. Dia bangkit dari bangunnya kemudian melangkahkan kaki menuju balkon kamar.Malam ini tidak ada bulan. Tidak ada juga ribuan bintang indah yang bertebaran di langit. Langit malam ini begitu sepi. Ditemani dengan awan-awan mendung yang akan sebentar lagi menurunkan hujan.Falri menikmati udara dingin malam. Dia terus menatap kosong ke jalanan yang masih ramai padat. Begini lah hidup di Jakarta.
Falri dan Deslyn masih berada di taman. Mereka bermain bersama di salah satu tempat permainan di taman. Jeslyn belum menampakkan batang hidungnya.Falri merasa menyesal sekaligus bahagia bisa bertemu dengan Deslyn. Menyesal karena pernah meninggalkan anak kecil seimut ini. Dan, bahagia karena masih memiliki kesempatan untuk bertemu dan berbincang dengan Deslyn. Meskipun sampai saat ini, dia masih belum diakui Papa."Om, Deslyn cape," keluh Deslyn.Falri tertawa. "Terus sekarang mau apa, hm?""Mau makan, Om! Deslyn lapar, hehe."Falri mengacungkan kedua jempolnya. "Kita ke restoran, oke?""Ayo!" seru Deslyn kemudian menggandeng tangan Falri.Falri ikut menggandeng tangan Deslyn. Tangan mereka berdua saling bergandengan. Si tangan mungil dengan tangan orang dewasa.Falri mengeratkan genggamannya pada Deslyn saat menyebrang jalan. Mereka berdua berniat makan di restoran seberang.Sesampainya di depan restoran. Deslyn lan
Falri sudah berada di apartemen, atau lebih tepatnya di ruangan TV. Deslyn sudah dibawa pulang dengan Jeslyn sejak sore hari tadi. Sedangkan Glen baru saja pergi keluar. Katanya, ada urusan penting.Falri menguap lebar. Merasa bosan menonton sinetron yang sedang disiarkan di TV. Entah kapan sinetron ini selesai. Selalu saja ada konflik yang diselesaikan dengan cara yang mudah ditebak penonton. Membosankan!Beruntung Falri tidak pernah memerankan sinetron. Dia lebih suka dan memilih menjadi pemeran tokoh film. Uang job peran utama film nyatanya jauh lebih tinggi dibanding pemeran sinetron.Falri mematikan televisinya. Kemudian beralih bermain ponsel. Jemari tangannya berselancar di aplikasi yang membesarkan namanya. Instagram, namanya.Banyak notifikasi spam dari beberapa akun yang tidak dikenal. Dibiarkan saja oleh Falri. Toh, apa peduli dirinya?Falri menghembuskan nafas gusar. Lagi, lagi ponsel tidak bisa mengalihkan rasa bosannya. Dilemparnya p
Falri memilih pulang setelah puas mengelilingi taman kota. Falri menaiki bus dengan tujuan halte dekat gedung apartemen-nya.Falri memasang ear phone di telinganya kemudian menyetel musik bergenre pop. Di tengah menikmati musik, bahu kiri Falri ditepuk.Falri melepas earphone seraya menoleh ke kiri. Falri tersenyum canggung. "Ada apa, ya?""Falri, kan? Aktor film yang lagi booming di media sosial, kan? Yang katanya udah punya anak?"Dari mana dia tau?Falri mengernyit halus. "Maksudnya?""Lho, gak liat postingan terbaru dari akun Si Turah?"Falri menggeleng sekilas."Liat aja, Mas. Saya permisi, mau turun dari bus duluan. Mari."Falri mengangguk seraya tersenyum. Kemudian, jemari tangannya kembali berselancar di akun Si Turah. Falri tercengang saat melihat postingan foto terbaru dari situ.Foto yang menampilkan kebersamaannya dengan Deslyn saat di restoran tadi siang. Falri menahan nafas sejenak, kemudian meneliti foto itu.
Saya bukan Papa-mu.Kalimat singkat itu mampu membuat Falri termangu sejenak. Dia yakin, seyakin-yakinnya jika pria di hadapannya itu adalah Papanya, Bram."Papa, nggak lucu, deh," kata Falri."Saya nggak ngelawak," sahutnya.Falri menggelengkan kepala berkali-kali. "Lantas kalau bukan Papa saya. Bapak ini siapa?""Saya, Gian."Falri tersentak mendengar nama itu. Nama yang saat ini dia benci. Karena orang dari pemilik nama itu, Mama dan Kakaknya berdusta kepadanya.Falri menggeram marah. Dia mencoba menetralkan degup jantungnya. Malam ini, Falri tidak boleh emosi. Demi mencari kebenaran tentang Papanya."Om Gian?""Ya, saya Gian. Kembaran Papa-mu."Falri tersenyum tipis seraya berkata, "Om, sudah sehat?"Om Gian mengernyit. "Saya memang selalu sehat. Memang saya sebelumnya sakit apa?"Yang di video itu? Agh!Jawaban dari Om Gian membuat Falri tercengang. Dia tertampar kasar oleh kenyataan penuh drama ini.
Falri terbangun dari tidurnya saat dibangunkan oleh seorang nelayan. Falri mengucek matanya seraya bangkit duduk. Dia menatap sekitar yang sudah dilauti teriknya matahari.Falri menatap nelayan di hadapannya. Kemudian, menghembuskan nafas panjang."Mas, kalau tidur di rumah saja." Nelayan itu memberi saran.Falri mengangguk. "Iya, Pak. Terima kasih sudah membangunkan saya. Saya pamit dulu."Nelayan itu hanya tersenyum.Falri kemudian berdiri dan mulai melangkahkan kaki. Dia tidak membawa kendaraan. Gedung apartemen dengan tempat ini berjarak sekitar dua kilometer.Setidaknya Falri masih kuat berjalan sampai sejauh itu. Dulu saja dia berjalan kaki dari rumah ke sekolah yang berjarak lima kilometer. Hanya saja berbeda orang di sampingnya.Jika kini tidak ada siapa-siapa. Maka, dulu ada Jeslyn. Jeslyn, cintanya.***Falri sudah berada di depan pintu apartemen. Dia menghembuskan nafas kasar, bertubi-tubi drama datang. Tetapi ap
Fani dan Dira memilih bungkam daripada menjawab pertanyaan Falri. Mulut dua wanita itu seperti terkunci rapat-rapat."Ma, Kak, kenapa kalian tega?" Falri meneteskan air matanya usai mengucapkan pertanyaan ini.Tetesan air mata disusul dengan tetesan air mata lagi. Wajah Falri sudah memerah dan basah karena menangis."Kenapa kalian tega? Kenapa semua orang tega?"Tubuh Falri merosot jatuh ke lantai. Dia menangis tersedu-sedu di bawah lutut Fani dan Dira.Berbeda dengan Falri, Dira dibuat menegang ketika Falri bersujud lutut di hadapannya sembari terus menyerukan kalimat lirih. Fani tak kuasa menahan tangis, dia mendekati Falri lalu memeluk adik semata wayangnya itu."Maaf." Hanya kata 'maaf' yang diucapkan Fani secara berulang-ulang. Fani merasa gagal sebagai seorang Kakak.Dira masih diam. Tetapi air matanya tidak turut mengikuti egonya. Sebagai seorang Ibu, hati Dira merasa tercabik-cabik melihat keadaan anak putranya."Ka
Falri melirik ke arah sumber suara. Dia terperangah ketika tau siapa yang meneriaki namanya.Falri menghentikan kegiatannya. Glen sendiri sudah babak belur habis-habisan karena Falri."Ngapain Kak Fani ke sini?" tanya Falri.Ya, yang barusan meneriaki namanya adalah Fani.Fani diam, tidak menjawab. Dia malah menghampiri Glen dengan air mata yang terus membanjiri.Falri membeku. Tidak mengerti maksud semua ini apa.Tiba-tiba Fani membelai lembut pipi Glen. Dia terus memanggil Glen dengan sebutan ---"Sayang, kamu nggak apa-apa?" tanya Fani, lirih.Glen mengangguk lemah. "Gak papa."Fani masih menangis. Dengan tenaga yang masih tersisa, Glen mengusap air mata Fani."Jangan nangis," kata Glen seraya memamerkan senyuman meskipun itu terasa sakit.Fani meredakan tangisnya. Dia menoleh ke arah Falri yang masih diam membeku. Fani menatap nyalang adiknya itu."Apa yang lo lakuin, Fal?! Lo mau matiin pacar gue!"