Rumah itu terlihat megah. Namun, auranya terasa begitu sunyi. Reanna menatap rumah besar bercat tembok putih yang memiliki pilar-pilar besar itu tanpa berkedip dari posisinya berdiri saat ini, berdecak kagum pada bangunan bergaya romawi klasik tersebut. Ia baru saja sampai di kediaman dr. Adams beberapa saat lalu."Ayo kita masuk."Suara yang berasal dari sampingnya membuyarkan lamunan Reanna. Ia menutup pintu mobil hitam itu, lantas mengekori langkah panjang pria pirang yang lebih dahulu berjalan di depannya.Dokter tampan itu membuka pintu rumahnya, kemudian menatap Reanna, mempersilahkan gadis itu memasuki rumahnya terlebih dahulu. "Masuklah."Dan ... ruang tamu bernuansa putihlah yang pertama kali menyambut pandangan Reanna. Terdapat beberapa sofa yang terlihat begitu empuk yang mengitari sebuah meja kaca berbentuk oval di sana, sedangkan pada setiap dindingnya tergantung berbagai macam lukisan artistik, juga terdapat sebuah potret seorang wanita berparas jelita yang mencuri perha
"Ini tasnya. Handphonenya masih ada di dalam. Kamu boleh mengeceknya terlebih dahulu." Tangan besar itu menyodorkan tas milik Reanna pada pemiliknya.Dan dengan sigap Reanna menerimanya. "Tidak perlu. Sekali lagi terima kasih, Pak dokter. Berkat Anda, saya bisa kembali menemukan tas saya beserta isinya."Gadis manis itu menghela napas lega. Handphone di dalam tas itu sangat berharga baginya, karena hanya handphone itulah yang bisa menghubungkan dirinya dengan keluarganya yang tinggal di kota kecil yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya sekarang.Ia anak rantau. Ia datang ke kota besar ini beberapa tahun yang lalu untuk meneruskan pendidikannya berkuliah di universitas terbaik di kota ini. Dan beberapa bulan lalu ia baru saja lulus dari dunia perkuliahan.Ia sudah menyebar beberapa Curriculum Vitae ke berbagai perusahaan di kota ini. Namun, sampai detik ini tidak ada satu pun panggilan kerja untuknya.Yah, mencari pekerjaan memang begitu sulit di jaman sekarang, hingga ia ak
Mobil hitam itu melaju dengan pelan, perlahan-lahan menepi kemudian berhenti tepat di depan sebuah toko bunga, Carnation florist. Sesaat kemudian keluarlah seorang pria dengan menggendong putrinya dari dalam mobil tersebut. Langkah panjangnya tergesa memasuki pintu kaca toko, membuat lonceng yang terpasang di atas daun pintu itu berbunyi. Sepertinya ia sedang terburu-buru.Tisha yang berjaga di meja kasir segera menyambut calon pelanggannya dengan senyuman cerah andalannya."Selamat datang di Carnation florist. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" sapa gadis itu, ramah.Ketika mata biru itu menatap tepat pada kedua iris mata Tisha, gadis itu terdiam. Ia seperti pernah melihat pria itu sebelumnya."Saya ingin memesan sebuah karangan bunga," ucap pria itu, menyentak Tisha dari lamunan."Ah, iya. Baiklah." Tisha berucap dengan sedikit kikuk, tangan kanannya mengangsurkan sebuah buku kecil beserta pulpennya pada pria di depannya. "Silakan tulis nama pengirim, nama penerima, alamat tujuan, ser
Suara getaran handphone di sisinya mengalihkan perhatian Reanna. Gadis itu segera meraihnya, menatap layar lcd yang menyala. Ada satu pesan masuk di dalamnya, Reanna tak membuang waktu untuk langsung membukanya.'Saya akan sampai sepuluh menit lagi.' Begitulah isinya.Ia sudah menduganya, tentu saja dr. Adams yang mengirim pesan. Seperti kata pria itu tadi pagi, dokter itu selalu menghubunginya satu jam sekali hanya untuk menanyakan keadaan putrinya."Kamu masih lama, Re?" pertanyaan Tisha membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya dari ponsel pintarnya."Papanya akan sampai sebentar lagi," jawab Reanna. Tangan kirinya yang bebas kembali mengelus pelan rambut lembut Kia yang tertidur berbantalkan pahanya."Sepertinya dia kelelahan." Tisha turut mengamati wajah tertidur itu. Kia terlihat seperti seorang putri kerajaan yang cantik jelita di matanya. Lihat saja, bahkan ia masih terlihat begitu cantik ketika terlelap."Sepertinya begitu. Dia banyak bermain tadi." Reanna membenarkan ucapan
Suara dentingan lonceng menyita atensi ketika pintu kaca itu terbuka, disusul dengan masuknya sosok jangkung yang menggendong gadis kecil berkuncir dua—yang terlihat menangis terisak—pada lengan kirinya.Tisha yang berjaga di meja kasir sudah terlihat sibuk pagi ini. Kepalanya menunduk dengan kedua tangannya sibuk meneliti sebuah catatan kecil di mejanya. Saat ia merasa seseorang memasuki tokonya, ia menyapa tanpa melihatnya."Selamat datang di Carnation florist, ada yang bisa kami bant–" ketika gadis itu mengangkat wajah, ia tidak jadi melanjutkan ucapannya setelah menyadari siapa orang yang berdiri di hadapannya. "Ah, Pak dokter datang lagi.""Reanna sudah datang?" tanya pria itu, langsung pada tujuannya. Tangan kanannya sibuk mengelus punggung Kia yang sesenggukan karena menangis."Itu dia." Jari telunjuk lentik itu menunjuk salah satu sudut tempat itu, pada sosok Reanna yang sedang merangkai bunga imitasi di pojok ruangan.Setelah pandangan mata biru itu menemukan sosok yang ia car
Nathan menatap sebuah map di tangannya, membaca segala informasi tentang pasien yang duduk di hadapannya itu dengan teliti. Wanita cantik yang memiliki rambut lurus sebahu itu terlihat pucat."Nona Olivia Atmaja. Anda datang sendirian?" pria itu menatap tepat pada mata pasiennya. Ia sedikit heran, pasalnya kebanyakan ibu hamil yang memeriksakan kandungannya ke sini selalu di dampingi suami mereka, apalagi dengan keadaan wanita di hadapannya yang terlihat sedang tidak baik."Iya, Dok. Calon suami saya sedang sibuk akhir-akhir ini." Jawab pasien yang bernama Olivia itu dengan senyuman canggung.'Hamil di luar pernikahan rupanya.' Nathan membatin.Ia tidak habis pikir, entah kenapa di jaman sekarang kasus seperti ini sering sekali ia temui.Pria itu menggeleng singkat. Yah, itu memang bukan menjadi urusannya. Ia hanya merasa miris saja, apalagi ia memiliki seorang anak perempuan. Jujur saja ia merasa khawatir.Ia segera mengenyahkan pemikiran tersebut dari kepalanya, dan kembali fokus pa
Keheningan menyelimuti mereka, hanya alunan musik lembut yang mendominasi seisi mobil tersebut. Sedangkan gadis kecil yang sedari tadi aktif itu kini telah tertidur nyenyak di kursi belakang. Mereka baru saja pulang dari makan malam beberapa menit yang lalu, mungkin saja Kia kelelahan.Reanna menatap dalam diam jalanan di depannya, sesekali mata indah itu melirik pada pria yang sedang fokus menyetir dengan tenang di sampingnya.Entah kenapa di mata gadis itu, dr. Adams terlihat begitu tampan saat wajahnya terlihat serius mengemudi. Apalagi dengan pencahayaan yang minim, rahang itu terlihat lebih tegas, sedangkan hidungnya begitu mancung. Sosok di sampingnya terlihat seperti patung pahatan yang begitu sempurna di kedua matanya.Yah, Reanna hanya merasa kagum. Tidak lebih.Bukankah wajar jika seorang perempuan menyukai lelaki tampan?Gadis itu segera memalingkan pandangannya kembali pada jalanan yang terlihat lengang itu ketika menyadari mata biru sang pria sedikit melirik ke arahnya. Ia
Reanna menatap pantulan wajahnya pada kaca meja rias di depannya. Gadis itu terlihat begitu menyedihkan. Kantung matanya terlihat begitu gelap, matanya pun bengkak. Ya, ia menangis semalaman setelah pulang dari kafe tadi malam. Lagi-lagi ia gagal untuk tidak menangisi lelaki itu, sesuai janjinya pada dirinya sendiri.Bertemunya ia dengan Kalandra seakan membuka kembali luka lama. Semua kenangan indahnya bersama pria itu terus berputar di kepala, dan berakhir dengan ingatan buruknya tentang pengkhianatan, dan tentang kehamilan Olive.Ia kembali memperhatikan wajahnya sekali lagi, kemudian mengoleskan concealer pada bawah matanya, berusaha menutupi jejak kesedihannya.Namun, suara dentingan bel rumahnya yang tiba-tiba berbunyi membuat Reanna tersentak. Tidak biasanya. Ia memang jarang menerima tamu, apalagi di pagi buta seperti ini.Ia segera menaruh wadah kosmetiknya di atas meja, kemudian bangkit dan melangkah menuju pintu depan, melihat siapa yang datang ke kediamannya sepagi ini.Da