Di bawah langit kelabu dengan awan-awan hitam bergulung itu, suasana perkotaan tampak sepi membisu. Tak ada satu pun manusia yang berkeliaran di jalanan sunyi itu. Bangkai kendaraan yang telah ringsek karena saling bertabrakan ada di mana-mana, beberapa menabrak tiang rambu lalu lintas, beberapa lagi menabrak toko-toko dan sisanya masih utuh.
Seisi kota tampak kacau. Dipenuhi kerangka manusia yang bertebaran di segala tempat.
Apa yang sudah terjadi? Dan mengapa semua ini bisa terjadi? Tidak ada yang bisa menjawabnya, semua orang sudah mati.
Satu hal yang pasti, seminggu setelah konser terbesar Ellie berlangsung, orang-orang mulai mengalami gejala penyakit yang sama dalam waktu serentak.
Di antara gejala-gejalanya adalah mereka mengalami penurunan imun tubuh secara drastis. Terdapat ruam pada hidung dan tenggorokan mereka. Suhu tubuh sangat panas, melebihi lima puluh derajat celsius, yang paling tinggi sampai tujuh puluh derajat. Gila bukan? Sudah pasti dia akan langsung mati, jika temperatur tubuhnya setinggi itu.
Mereka juga terbatuk-batuk disertai darah segar kehitaman, yang kemudian disusul dengan kematian massal.
Tidak ada lagi manusia yang tersisa, itu mungkin anggapan yang benar. Namun, kurang tepat, karena di antara tulang belulang yang berserakan itu tampak seorang laki-laki berbaju biru lusuh berjalan seorang diri. Sekujur tubuhnya kotor dan juga sangat bau, lebih busuk daripada mayat.
Embusan angin menerpa wajah pria bermata cokelat itu yang ternyata adalah Argo. Sudah seharian ia melangkahkan kakinya sendirian, hanya berteman pemandangan ngeri, tanpa tahu arah tujuan yang pasti.
Ke mana pun ia menebarkan pandangannya, hanya ada tulang belulang dan bangunan yang rusak. Kerusuhan pernah terjadi di tempat ini. Orang-orang mengamuk karena rumah sakit tidak lagi menerima pasien dan pihak pemerintah tak memberikan solusi yang memuaskan. Banyak fasilitas menjadi korbannya, tetapi ujung-ujungnya mereka semua mati. Tidak dapat menyelamatkan diri sendiri apalagi keluarga.
Apa yang terjadi? Apakah sudah terjadi epidemi? Jika benar, kenapa begitu mendadak? Masa inkubasinya kenapa sangat cepat? Dan kenapa hanya aku yang selamat? Argo membatin.
Hanya dalam waktu dua hari semua orang dari lansia sampai bayi telah terinfeksi, dan akhirnya meregang nyawa. Salah satu diantara korbannya adalah Meina.
Bukannya mendendam, Argo malah semakin bertanya-tanya. Ia ingin mencari tahu penyebab epidemi ini dan dari mana asalnya. Selain daripada itu, ia juga ingin mencari orang lain yang selamat dari epidemi.
Argo telah memeriksa salah satu kerangka, untuk mengira-ngira berapa lama dirinya tak sadarkan diri. Ini bukan kali pertamanya ia menganalisis mayat.
Sekitar dua bulan atau lebih.
Pertama-tama, sebelum mencari penyebab epidemi, Argo hendak pergi ke rumah Shinta. Mungkin dia juga selamat.
Sesampainya di depan rumah sederhana yang berada di dekat permukiman terbuang (dinamakan begitu karena orang-orang yang tinggal di tempat ini adalah mereka yang terbuang dari masyarakat modern, atau mereka yang tidak menerima kemajuan teknologi yang terlalu pesat), Argo terdiam. Menatap rumah kecil yang hanya ditinggali oleh Shinta itu. Gadis yatim piatu yang sudah hidup mandiri sejak SMP. Bekerja sendiri, makan sendiri, tinggal sendiri, semuanya sendiri.
Argo sedikit ragu untuk masuk. Takut jika yang ditemukannya hanyalah kerangka Shinta yang berbalut kain biru, dengan cincin tunangan melingkar di jari manisnya. Ia tak sanggup melihat tulang belulang orang yang disayanginya untuk kedua kalinya, setelah sang adik.
Cahaya dari luar segera menyeruak masuk, menerangi seisi rumah satu kamar tersebut sewaktu Argo menguatkan diri untuk membuka pintu. Lantai dan dindingnya tampak diselimuti oleh debu yang sangat tebal. Laba-laba pun bersarang hampir di setiap sudut ruangan.
Segera Argo masuk ke kamar Shinta yang dipasangi logo Ellie di depan pintunya—idolanya.
Perhatian Argo segera tertuju pada dua kerangka di kamar itu. Satu terkujur di atas pembaringan, sedangkan yang satu lagi meringkuk di depan ranjang.
Kerangka yang terbaring di atas ranjang itu sudah pasti Shinta, terlihat dari cincin yang melingkar di jari manisnya. Namun, kerangka siapa yang meringkuk di dekatnya? Bukankah ia hanya tinggal sendiri?
Mungkin itu kerangka sahabatnya dari permukiman terbuang, Nadila.
Argo segera membawa kerangka tunangannya itu ke depan halaman rumah dengan hati-hati, begitupun kerangka Nadila yang sudah menjaga Shinta, untuk dikuburkan.
Sebelum mengubur dua kerangka tersebut, Argo mencabut cincin permata yang melingkar di jari kerangka Shinta. Ia akan menyimpannya sebagai kenangan terakhir.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan senjata dari arah permukiman kumuh. Daerah yang bisa dibilang bebas hukum, karena tak ada polisi yang berani menyentuh permukiman tersebut.
Penasaran, Argo segera bergegas menuju permukiman itu.
Di tengah-tengah permukiman padat yang terdiri dari banyak rumah susun itu, tampak sekelompok pria bersenjata api berdiri di antara mayat-mayat yang bersimbah darah.
Mereka adalah penjarah, kriminal atau berandalan yang hidup sesukanya, setelah tahu hukum dan aturan negara sudah tak berlaku lagi.
Seorang gadis belia duduk bersimpuh di hadapan ibunya yang sekarat. Tidak berkata apa-apa, selain menangis dan menatap orang-orang yang telah membunuh ibunya dengan sorot mata penuh kebencian.
"Kita apakan gadis ini, Arden?" tanya salah satu penjarah.
"Sebaiknya jangan dibunuh, Bos! Lihat, dia lumayan cantik juga, dia bisa jadi penghibur kita di markas," saran penjarah lain yang bertubuh kekar.
Pemimpin dari para penjarah yang bernama Arden itu tersenyum menjijikkan. Ia membungkuk, kemudian menyentuh dagu si gadis manis dengan jempol dan telunjuknya yang kasar. Memaksa gadis berambut hitam itu berciuman dengannya.
Gadis itu meronta-ronta, berusaha memberontak tetapi apalah daya tenaganya tidak cukup kuat. Tak mungkin bisa melawan. Ia terpaksa menerima ciuman si pria kurus.
Selama beberapa detik lamanya bibir keduanya saling menempel, hingga si pemimpin penjarah menyudahinya. Pada saat itulah gadis itu segera meludahi wajahnya yang garang.
Sontak ia naik pitam. Ia segera menampar pipi gadis malang itu hingga meninggalkan bekas berwarna merah. "Sialan!"
Gadis itu terkapar. Belum kering air matanya karena kesedihan dan kemarahan, kini sakit di hatinya semakin bertambah lagi. Dendamnya semakin membara. Sakit sekali. Namun ia tak mengeluh sedikitpun.
"Bawa anak itu!" perintah Arden seraya membersihkan wajahnya. "Dia memang perlu sedikit diajari tata krama, tapi bisa kita jadikan pelayan yang baik."
"Tenang saja, kami akan mengajarinya tata krama dengan baik."
Para pria penjarah itu segera menghampiri tubuh si gadis yang masih terbaring tak berdaya. Menyeringai lebar. Namun, tiba-tiba seseorang melempari mereka dengan batu.
"Siapa itu?"
Mereka segera mengedarkan pandangannya ke sekitar dan melihat bayangan hitam berkelebat, memasuki gang sempit. Seseorang bersembunyi di sana.
"Biar aku yang memeriksanya!"
Salah seorang penjarah berkepala botak segera menghampiri gang itu dengan tangan menggenggam resolvernya. Siap menembak kapan saja.
Saat ia tiba di depan gang, tiba-tiba seseorang menyerang wajahnya, disusul dengan sebuah tendangan yang menghantam perut buncit pria botak ini. Serangan mendadak yang tak dapat terelakkan. Ia terhuyung mundur kemudian roboh ke tanah. Mengerang, merasakan perutnya yang terasa seperti habis dipukul dengan tongkat baja.
Di gang sempit itu tampak Argo sedang berdiri dengan resolver milik si penjarah telah berpindah ke tangannya. Memakai sebuah kacamata berlensa satu yang sudah lama tak dipakainya.
Bukan kacamata biasa. Itu adalah kacamata khusus yang ia dapatkan dari seorang penemu sekaligus gurunya, untuk memudahkan dalam menyelidiki kasus. Dulu ia adalah seorang detektif kepolisian, tetapi sudah berhenti dari pekerjaannya sejak tiga tahun yang lalu. Namun, meskipun sudah berhenti menjadi detektif, ia tetap menyimpan dan membawanya ke mana pun.
Kacamata itu memiliki beragam fungsi, di antaranya dapat melihat sidik jari, dapat mendeteksi gerakan yang sangat cepat dan menganalisa seseorang—seperti tinggi badan atau berat badan.
"Siapa kau, ha?" bentak Arden seraya menodongkan pistol makarov.
"Jangan berpikir berlebihan!" Argo balas mengarahkan resolvernya sembari menatap dengan sorot mata yang menakutkan.
Tanpa memperlihatkan keraguan, Argo menembak dua anak buah Arden hanya dengan dua tembakan yang tepat mengenai kening mereka. Keduanya jatuh terkulai, tak bergerak lagi.
"Sialan!"
Arden segera menembakkan senjatanya sepuluh kali, sampai pelurunya habis. Namun, Argo dapat menghindari semua timah panas itu berkat kacamata lensa satunya.
Kacamata itu memungkinkan Argo untuk mengetahui ke mana peluru akan bersarang.
Sambil menghindar, Argo berlari mendekati Arden kemudian menembak tepat di keningnya. Pria kurus tinggi itu tersentak dan akhirnya jatuh terkulai.
Sekarang tinggal satu penjarah lagi.
Pria bertubuh gemuk itu gemetaran. Ia segera menjatuhkan senjata beratnya. Bersimpuh. Meminta ampun.
"Ja-jangan bunuh aku, aku hanya ikut-ikutan saja, aku terpaksa."
Argo menghela napas. "Bangunlah! Kau boleh pergi!"
"Be-benarkah?" Pria itu menengadahkan wajahnya yang basah oleh keringat dan air mata. Menangis seperti bayi.
"Tapi jangan sampai aku melihatmu mengusik orang lain lagi!" tegas Argo seraya menodongkan resolvernya ke wajah pria gemuk itu.
"Ba-baiklah."
Pria itu menelan segera berlari ketakutan. Tengkuknya bergidik saat melihat sorot mata Argo yang setajam silet, menggores semua keberaniannya. Namun, ia tidak bisa berlari cepat dengan tubuhnya yang gemuk itu.
Maaf, kalian sudah bertahan dari epidemi, tapi malah mati di tanganku, batin Argo.
Sementara itu, gadis yang diselamatkannya tampak terkagum-kagum, bak melihat seorang pahlawan seperti di film-film. Ada sedikit binar di matanya yang dingin.
"Kau baik-baik saja?" tanya Argo seraya mengulurkan tangannya.
Gadis itu mengangguk sebelum menerima uluran tangan Argo.
"Aku Argo. Siapa namamu, Nona?"
"Cheryll …," lirih gadis itu.
Argo menatap mayat-mayat yang tergeletak di sekitarnya. Ada sekitar sepuluh orang, termasuk para penjarah yang dibunuhnya. Wanita separuh baya itu sudah pasti ibu Cheryll, sedangkan ketujuh mayat lain mungkin adalah para penyintas yang tetap tinggal di sini.
"Sepertinya kamu sudah tidak punya siapa-siapa lagi di sini, mau ikut denganku?" ajak Argo.
Cheryll mengangguk setuju.
Setelah mengambil dua senjata yang tergeletak beserta amunisinya, Argo segera pergi bersama-sama dengan Cheryll. Meninggalkan permukiman terbuang dan jasad yang bergeletakan di sana. Namun, ia melupakan satu hal. Masih ada satu anggota penjarah lagi yang sepertinya masih mendendam.
Pria botak itu mengambil senapan temannya yang telah mati. Hendak menembak Argo yang semakin menjauh.
Beberapa detik sebelum ia menarik pelatuk senapan itu, tiba-tiba tubuhnya jatuh terkulai. Darah memancar dari ubun-ubunnya.
Di salah satu atap rumah susun, tampak sepasang sosok misterius. Salah seorang dari mereka yang berbaring itu pastilah seorang penembak jitu. Sedangkan sosok gemuk yang berdiri dibelakangnya mungkin adalah partnernya.
Siapakah mereka?
"Hei, Argo," kata Cheryll dengan suara yang lebih tegas. Argo yang sedari tadi melihat ke kiri dan kanan jalanan, segera melirik gadis berusia lima belas tahun itu. "Apa?" "Tolong ajari aku menembak!" pinta Cheryll seraya menghentikan langkahnya. "Tadi itu kau sangat hebat. Caramu menembak dan menghindari peluru penjahat itu benar-benar keren." Argo pun berhenti kemudian menghela napasnya. "Kenapa kau ingin belajar menembak?" tanyanya. "Aku …." Ekspresi Cheryll mendadak terlihat geram. "Aku ingin membunuh orang-orang kurang ajar itu, mereka … mereka selalu saja mabuk-mabukan dan menyakiti ibuku! Tak jarang ibuku menangis dibuatnya! Ibuku selalu menjawab 'ibu baik-baik saja' saat aku bertanya kenapa dia menangis. "Tapi aku tahu, aku tahu semuanya, dia bekerja sebagai pelacur untuk menghidupiku, bahkan setelah banyak orang yang mati
Argo hanya menghela napas setelah membaca catatan itu. Lalu berkeliling ke seisi ruangan, berharap ada petunjuk lain. Namun, nihil, ia tidak menemukan apa pun. Dokter bernama Mia itu mungkin tahu sesuatu, pikir Argo. Ia memutuskan untuk mencarinya. Akan tetapi harus mencari ke mana? Tidak ada petunjuk ke mana Mia akan pergi. Di dalam komputer itu mungkin tersimpan data profil para pegawai yang bekerja di rumah sakit ini. Sayangnya sudah tidak berfungsi lagi. Argo memukul komputer tersebut setelah beberapa kali mencoba menyalakannya, dan tanpa diduga-duga, komputer pun menyala. Sebelum mencari biodata lengkap para pekerja di tempat ini, terlebih dahulu Argo membuka laman internet. Mungkin di sana ada petunjuk tentang epidemi ini. Di dalam internet, ia menemukan banyak sekali video live streaming yang memperlihatkan kerusuhan saat orang-orang mat
"Apa yang terjadi di sini?" Argo dan Cheryll terbelalak saat melihat kamp penyintas yang mereka datangi telah hancur porak poranda. Bangunan museum dan kemah-kemah sederhana di sekitarnya telah dilalap api. Tidak ada yang tersisa, kecuali puing-puing yang terbakar. "Kebakarannya belum lama," gumam Argo setelah menganalisis tempat itu. Mungkin sekitar satu atau dua jam yang lalu, dan aku rasa tidak ada korban yang selamat, atau bisa jadi mereka telah melarikan diri, pikirnya. Tiba-tiba terdengar suara seseorang batuk dari dalam museum, sewaktu mereka mendekati bangunan tersebut. "Kau mendengarnya? Sepertinya barusan ada yang batuk dari dalam," ujar Cheryll seraya menatap pria berambut hitam pekat di sampingnya. "Kelihatannya masih ada orang yang selamat di dalam museum. Aku akan menolongnya," ujar Argo seraya berlari ke arah lubang besar di dinding mu
Di halaman belakang museum itu terdapat taman bermain anak-anak. Ada banyak sekali permainan di sana. Mulai dari ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, sampai komidi putar pun ada. Tampak masih ada kerangka anak kecil yang belum disingkirkan dari sana. Argo duduk di atas bangku taman sambil menatap ke arah perempuan yang berjalan menghampirinya dengan membawa nampan berisi dua gelas teh hijau. Tersenyum manis. Perempuan berambut kuning jagung yang tak lain dari Mia itu duduk di samping Argo. Hanya dipisahkan oleh nampan. Sejenak keduanya terdiam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Memperhatikan Cheryll yang tengah push-up di depan permainan komidi putar, peluh membasahi keningnya. Mulutnya komat-kamit berhitung, "dua puluh lima, dua puluh enam, dua puluh tujuh …." "Dia benar-benar anak yang sangat bersemangat, ya," mulai Mia. "Ya, dan dia juga sangat keras ke
End Spray, Enofer, lalu idol yang mempromosikannya adalah Ellie E. O. A. E. Argo menggumamkan kata-kata tersebut beberapa kali, dengan kedua mata terus mengawasi langit yang semakin gelap. Ia mencoba membongkar setiap suku kata atau hurufnya, kemudian mencocokkannya dengan berbagai kosakata. Tiba-tiba ia tersentak kaget kemudian bangun—menyadari sesuatu yang mengejutkan. "E, O, A, E dan Enofer, kalau perkiraanku benar, itu bisa berarti 'end of an era,' yang artinya akhir zaman. Mungkinkah Edward Fuller yang telah merencanakan semua ini?" Ia menggelengkan kepalanya. Tidak, itu tidak mungkin, dia sudah mati setelah menciptakan Ellie, atau bisa jadi, dia telah dibunuh oleh seseorang dan Ellie diambil alih oleh orang tersebut untuk melancarkan rencananya, pikirnya. Ada banyak spekulasi di dalam kepalanya saat ini. Wajahnya terlihat sangat serius. Ia terlarut dalam pikirannya yang hanya berisi keingintahuan
"Apa? Ada pintu rahasia di sini?" "Jadi, Dira pergi melalui lorong ini, huh? Syukurlah, dia bukan diculik oleh hantu." "Sekarang semuanya menjadi masuk akal. Kerja bagus, Argo." Semua orang berdiri di depan lorong yang gelap itu. Tak ada yang mengira ada pintu rahasia di basemen. Tentu saja, jika bukan karena Argo dengan kacamatanya, mereka tidak akan pernah tahu. Sewaktu Argo memeriksa ke dalam lorong, tampak banyak sekali obor kayu yang ditempelkan pada dinding-dinding batu di sepanjang koridor. Entah menuju ke mana. Ada satu obor yang menghilang, mungkin telah diambil oleh Nadira untuk menerangi jalan. Sepertinya lorong rahasia ini sudah ada bahkan sebelum museum dibangun, terlihat dari lumut dan debu yang menyelimuti dindingnya. Jejak kaki Nadira terlihat jelas di sana. "Apa k
Kesunyian yang mencekam menyelimuti bangunan museum itu kala malam semakin larut. Hujan telah reda dua jam yang lalu dan gemuruhnya suara guntur tak terdengar lagi. Di dalam kamp atau museum itu, semua orang masih menunggu kelompok yang sedang mencari Nadira dengan harap-harap cemas. Terutama Agatha yang sangat mengkhawatirkan keselamatan nasib cucunya. Tiba-tiba suara ketukan pintu memecahkan keheningan dan ketegangan yang memenuhi seisi ruangan. Sontak semua orang terperanjat kaget. Mereka segera membukakan pintu tanpa berpikir panjang. Mereka berpikir mungkin itu adalah Nadira beserta Mia, Rizal, Argo dan Cheryll. Akan tetapi orang yang ada di depan pintu itu bukanlah Nadira atau pun regu pencarinya. Mereka adalah sepasang pria dan wanita separuh baya yang mengenakan jas hujan berwarna hitam. "Delon! Wahna! Syukurlah kalian sudah
Cheryll memberikan kotak pertolongan pertama itu kepada Mia, tetapi pada saat yang sama tiba-tiba terdengar suara berdesing. Sebuah misil, tetapi ukurannya dua kali lebih kecil. Senjata menyerupai roket tersebut mengenai atap museum di sebelah kanan dan menghancurkannya. "Kyaa!" Para wanita yang berdiri tak jauh dari sana menjerit histeris. Mereka segera berlari menjauh—menghindari puing-puing atap yang berjatuhan. Profesor Agatha yang berada di dalam museum pun terkejut. Ia ingin tahu apa yang sedang terjadi di luar, apalah daya kedua kakinya sudah tiada dan kaki palsu itu belum bisa digunakan. Penasaran, ia turun dari kursi goyangnya kemudian merangkak, menghampiri pintu. "Misil?" kaget Argo. Pandangan matanya segera tertuju ke arah rudal itu berasal. Samar-samar dari kejauhan di dekat kincir pembangkit listrik tenaga air, tampak sosok s