Share

Bab 3 Masa Lalu

"Nasya sayang. Ayah nggak bermaksud menyakiti kamu." Ini pertama kalinya aku mendengar secara langsung kata jahat yang keluar dari mulut putriku.

Nasya memang sudah sering memperlihatkan wajah kecewa jika Mas Adi pergi begitu saja demi memenuhi keinginan Rahman. Walaupun tidak pernah di ucapkan pada Mas Adi, Nasya berulang kali mengatakan padaku jika ia jadi benci pada Rahman. Karena sudah merebut semua perhatian Mas Adi dari Nasya.

Kemarin malam saat demam Nasya semakin tinggi, Nasya terus mengigau jika dia benci pada Ayahnya. Ucapan yang aku kira hanya bunga tidur karena demam yang di derita Nasya tadi malam. Rupanya itu adalah ungkapan kecewa yang sebenarnya pada Mas Adi.

"Nggak mau. Suruh Ayah pergi sekarang Bu." Jerit Nasya tidak terkendali.

"Lebih baik Mas Adi pergi sekarang. Nggak enak sama pasien lain kalau suara tangis Nasya sampai keluar dari kamar ini."

Mas Adi menganggukan kepalanya lalu mulai melangkah pergi dari kamar ini. Saat Mas Adi berjalan keluar dari kamar, aku menegur Nasya. Sekaligus memberikan nasihat pada putriku agar tidak bersikap seperti tadi.

"Kenapa Kak Nasya bersikap seperti itu? Ibu tidak pernah mengajari Kak Nasya untuk jadi anak yang kurang ajar pada Ayah, Ibu dan Mama."

Ya Allah maafkan hamba yang terlalu keras pada Nasya. Karena aku tidak ingin menanamkan kebencian di hati putriku. Tidak ada jawaban dari Nasya selain sesegukan kecil. Tenggorokan Nasya juga pasti masih sakit. Di tambah tiba-tiba menangis lalu berteriak pada Mas Adi.

Aku tidak tahu kemana Mas Adi pergi. Apakah dia masih di rumah sakit ini atau justru sudah pulang ke rumah istri keduanya. Karena Rumi jelas tidak akan mau di tinggal lebih lama. Apalagi jika Rumi sampai tahu Mas Adi datang menemuiku di rumah sakit.

Tiba-tiba aku teringat dengan kejadian di masa lalu. Saat pertama kali bertemu dengan keluarga Mas Adi aku baru tahu jika Abah menikah dua kali. Pertama dengan Ibu Mas Adi setelah melakukan taaruf. Yang kedua dengan Umi karena surat wasiat dari mendiang suami pertama Umi. Setelah pertemuan itu, aku sempat ragu untuk melanjutkan hubunganku dengan Mas Adi. Karena aku takut jika dia juga akan melakukan poligami seperti Abah dengan alasan yang berbeda.

Aku lalu mengutarakan rasa khawatirku itu pada Mas Adi. Karena aku takut jika dia akan menjadikan alasan Abah menikah lagi agar bisa dapat ijin dariku untuk melakukan poligami. Padahal dari cerita Ibu dan Umi, aku taku jika Abah sangat berat saat melakukan praktik ini. Terutama ketika hati beliau masih sangat condong pada Ibu. Sehingga Abah pernah dzalim pada Umi sebagai istri kedua.

"Poligami memang di perbolehkan. Bahkan tanpa ijin istri pertama. Tapi, dalam pelaksanannya sungguh sangat berat Nad. Abah sendiri melakukan poligami pada Ibu dan Umi karena terpaksa. Bahkan Abah pernah berlaku tidak adil pada Umi karena terpaksa menikah dengannya. Memikirkan masa lalu, aku bahkan tidak berani berpikir untuk melakukan poligami seperti Abah. Punya satu istri saja sudah kewalahan. Apalagi harus punya dua?"

Kelakar Mas Adi kala itu yang membuatku percaya untuk menerima pinangannya. Hubunganku dengan Mas Adi juga terjadi melalui proses taaruf, Bedanya kami sudah lebih dulu saling mengenal sebagai senior dan junior di kampus yang sama. Berbeda dengan Abah dan Ibu dulu.

Tiga tahun pernikahan kami lewati dengan bahagia. Kehadiran Nasya semakin menambah warna dalam pernikahan kami. Mas Adi adalah suami dan Ayah yang sangat baik. Ia tidak segan untuk terlibat langsung dalam pekerjaan rumah tangga. Setelah pulang kerja Mas Adi akan bermain dengan Nasya agar aku bisa mandi dan memasak makan malam kami. Bahkan Mas Adi juga rela begadang saat Nasya tengah sakit.

Aku kira aku yang akan menjadi satu-satunya wanita dalam hidup Mas Adi, hingga suatu hari sikap Mas Adi berbeda. Dia lebih sering menatap hpnya. Bahkan saat sedang menjaga Nasya. Mas Adi juga pergi bekerja tanpa membawa bekal dariku lebih dulu. Kejadian itu berlangsung selama satu minggu. Hingga Mas Adi akhirnya meminta ijin padaku untuk menikah lagi.

Mas Adi memperlihatkan foto perempuan bernama Rumi yang memakai seragam karyawan toko milik keluarga kami. Rumi adalah salah karyawan yang bekerja di toko baju utama milikku dan Mas Adi. Tidak bisa di pungkiri jika Rumi memiliki wajah ayu khas orang Jawa. Dengan aura yang memikat membuat setiap pria akan menolehkan kepala pada perempuan muda itu.

Aku hanya bisa terdiam. Tidak bisa menjawab pertanyaan Mas Adi apakah aku akan setuju jika dia menikah lagi dengan Rumi atau tidak. Hanya satu pertanyaan saja yang keluar dari mulutku. "Apa salahku mas?" Hanya itu. Mas Adi seketika berlutut di depan kakiku.

"Kamu tidak salah apapun Nada sayang. Mas yang salah karena sudah membagi perasaan Mas pada Rumi. Daripada Mas terus melakukan zina mata, bukankah lebih baik Mas menikah dengan Rumi?" Alasan yang sangat klasik. Padahal bisa saja Mas Adi terus menundukan pandangan agar tidak melihat pesan Rumi atau perempuan lain.

Malam itu, aku menelpon Mamaku untuk menyampaikan segala keluh kesah. Bahkan terlintas dari bibirku ingin minta cerai yang segera di larang oleh Mama. Justru Mama bertanya padaku, apakah aku punya alasan kuat untuk bercerai dari Mas Adi selain masalah poligami? Sebagai suami dan seorang Ayah, Mas Adi sudah melakukan yang terbaik untukku dan Nasya. Memang tidak ada kesalahan lain Mas Adi yang membuatku bisa menggugat cerai dirinya. Karena itulah aku tidak bisa menggugat cerai Mas Adi.

Pagi harinya aku mengatakan jika aku setuju Mas Adi menikah lagi. Tapi, ada orang lain yang tidak setuju yaitu Ibu kandung Mas Adi dan Umi yang merupakan Ibu tiri Mas Adi. Atau istri kedua Abah. Pagi itu kedua wanita paruh baya itu ikut bergabung di meja makan setelah Nasya masuk ke dalam kamar untuk berganti baju.

"Poligami itu bukan hal yang mudah Di. Kamu tidak bisa langsung mencontoh poligami yang di lakukan Abah pada Ibumu dan Umi. Kamu tahu sendiri Abah dan Umi menikah karena tepaksa."

"Aku tahu Umi. Lagipula Nada juga sudah memberikan ijin padaku. Dengan kerpibadian Nada, aku yakin jika Nada dan Rumi bisa menjadi madu yang kompak seperti Ibu dan Umi." Kekehnya kala itu.

Tanpa mau tahu jika situasi keluarga kami dan keluarga Abah jelas berbeda. Ibu mengijinkan Abah menikah dengan Umi karena amanat dari mendiang suami Umi agar Abah yang meneruskan asrama beserta yayasan sekolah milik keluarga Umi. Apalagi saat itu Umi juga sudah punya satu anak perempuan dengan mendiang suaminya. Kakak tiri Mas Adi.

Pernikahan Mas Adi dengan Rumi di adakan enam bulan kemudian. Dengan pesta pernikahan yang sama seperti dulu saat aku menikah dengan Mas Adi. Meskipun semua saudara Mas Adi juga tidak setuju dengan keputusan ini, tapi hal itu tidak membuat Mas Adi mundur.

Aku tidak mau menemani hingga resepsi selesai. Begitu juga dengan Umi dan semua saudara Mas Adi. Jadilah hanya Abah dan Ibu yang menyalami para tamu. Setelah menikah lagi dengan Rumi. Mas Adi mengijinkan aku bekerja dari rumah. Tentu saja sebagai bayaran karena aku mengijinkannya menikah lagi.

Pekerjaan yang aku lakukan juga membuatku tidak perlu keluar dari rumah. Aku bekerja sebagai pemilik toko online. Aku mengambil stok dagangan dari pabrik garmen milik orang tuaku lalu menjualnya secara online. Awalnya sangat sulit tapi berkat bantuan teman-teman dan semua saudari iparku, usaha toko online itu berjalan pesat. Semua ini aku lakukan agar aku bisa punya lebih banyak waktu dengan Nasya.

Awalnya hubunganku dan Rumi tampak baik-baik saja. Aku juga berusaha menjadi kakak madu yang baik untuk Rumi. Seperti yang di lakukan Ibu terhadap Umi dulu. Lalu, sifat asli Rumi muncul setelah usia pernikahan Mas Adi dan Rumi mencapai tiga bulan. Sifat Rumi berubah seratus delapan puluh derajat, Karena tidak ingin mengadukan hal ini pada Mas Adi, aku lebih memilih menjauh dari Rumi.

Hubunganku dan Rumi menjadi kaku serta canggung. Aku juga tidak segan untuk menunjukkan sikap jika aku semakin menjauhi Rumi. Di tambah dengan kelahiran Rahman yang membuat Mas Adi sangat senang. Karena sejak dulu Mas Adi memang ingin punya anak perempuan dan anak laki-laki. Hanya saja aku memang belum hamil lagi sehingga belum bisa memenuhi keinginannya.

Sejak Rahman lahir, Rumi jadi lebih manja pada Mas Adi. Saat Mas Adi berada di rumahku, dia sering menelpon atau melakukan video call. Bahkan memaksa Mas Adi untuk datang ke rumahnya. Aku mengijinkan karena Rumi baru menjadi Ibu. Selain itu, aku juga ingin melihat sejauh mana Mas Adi bisa bersikap adil di antara aku dan Rumi. Jika dia mulai condong pada Rumi, apakah Mas Adi bisa berubah lebih adil seperti Abah?

Mas Adi memenuhi semua permintaan Rumi dan Rahman. Karena kata Mas Adi, Rumi tidak punya uang karena ia hanya Ibu Rumah Tangga. Sedangkan jika aku yang meminta, Mas Adi akan menghitung sisa uang lebih dulu. Bahkan kadang sudah habis sehingga aku terpaksa menggunakan uang tabungan yang berasal dari gajiku selama bekerja.

Karena terlalu memikirkan banyak hal, tidak terasa adzan subuh sudah berkumandang. Aku menatap Nasya sejenak yang sudah kembali tertidur. Lalu, aku pergi ke kamar mandi untuk mengambul wudhu dan menunaikan sholat subuh di dalam kamar rawat Nasya.

***

Tiga puluh menit setelah aku menunaikan sholat subuh, pintu ruang rawat Nasya tiba-tiba terbuka. Aku tidak menolehkan kepala karena mengira jika orang yang membuka pintu adalah Mas Adi. Bagaimanapun juga aku masih marah padanya. Namun, saat suara langkah kakinya terdengar berbeda baru aku mendongakan kepala.

Di depanku sudah berdiri adik maduku dengan wajah angkuhnya. "Jangan jadikan Nasya sebagai alasan untuk menahan Mas Adi menemuiku mbak. Rahman juga berhak dapat kasih sayang dari Ayahnya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status