Aku memulai perjalanan ke Vancouver pada akhir bulan Februari. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana beberapa bunga sudah mulai mengintip malu di sela-sela hujan yang mengguyur Vancouver di bulan Februari. Lamunanku buyar saat Bang Nanda meletakkan sepiring tahu gimbal di depanku.
Bang Nanda satu bulan ini lebih cerewet daripada Bang Ridwan dan kedua kakakku. Dia hampir setiap pagi menanyakan kabarku, dan selalu sudah siap di parkiran apartemen kalau aku akan pergi ke suatu tempat.
Dia juga setiap minggu selalu menemaniku berbelanja, dia tidak lagi mengejek makanan sehatku, karena aku juga akan memaksanya untuk memakan menu harianku yang rata-rata mentah.
Kecerewetannya bertambah saat aku sudah memberitahunya tanggal keberangkatanku ke Vancouver. Seperti hari ini, dia beberapa kali memintaku memeriksa informasi rumah sakit terdekat di Vancouver nanti, mengingatkanku untuk selalu berada di keramaian, padahal aku ingin menenangkan diri, ingin mencari tempat yang t
Vancouver adalah kota yang bisa memberikanku dua pemandangan sekaligus, laut dan pegunungan. Aku sangat suka laut, mungkin karena aku tinggal di daerah pesisir, laut selalu membuatku rindu. Saat menyapa laut, aku bisa berubah menjadi anak kecil yang kegirangan mengejar dan berlari bersama ombak yang menyapu bibir pantai.Setelah mengobrol cukup lama dengan Prof. David, aku dan Kate hanya sempat melihat-lihat perpustakaan utama kampus. Perpustakan ini memiliki banyak koleksi novel, yang hanya sempat kubaca beberapa. Saat otakku sudah mengepul untuk tugas dan penelitian, aku menyempatkan diri untuk membaca satu novel dalam sebulan untuk menyeimbangkan pikiranku.Di perpustakan ini juga aku mencari inspirasi dan tambahan referensi dalam membuat beberapa artikel untuk keperluan klien-klienku. Berbekal rasa ingin tahu, aku mencoba membiasakan diri untuk membaca buku-buku yang jarang aku masukkan dalam daftar bacaanku. Hal ini aku lakukan untuk memperkaya artikel yang
Aku hanya berbaring seharian di tempat tidur setelah kembali dari Vancouver. Aku sudah menumpuk terlalu banyak pekerjaan yang aku abaikan sama sekali selama di Vancouver. Aku ingin segera menuntaskan pekerjaan tertundaku, tetapi Dokter Acha lebih dahulu memintaku melakukan pemeriksaan.Ditambah lagi ada Bang Nanda yang jadi lebih siaga. Aku jadi khawatir dengan hubungan Bang Nanda bersama wanita yang pernah dia ceritakan padaku, aku jadi tidak enak menerima perlakuan terlalu berlebihan darinya.“Bang, nanti Kana bisa pergi sendiri kok. Bang Nanda enggak perlu setiap saat menemani Kana, ya,” pintaku saat kami menuju rumah sakit.Bang Nanda hanya mengangguk, dia terlihat murung hari ini. Entah apa yang mengganggu pikirannya hari ini, padahal dia selalu ceria saat bertemu denganku.Dokter Acha kemudian segera memeriksa kondisiku, menyarankan agar aku istirahat total untuk dua minggu ke depan. Dia juga memintaku untuk tidak mengabaikan menu makana
Pertanyaan dari Kak Silvia masih terngiang-ngiang, bahkan sampai aku bertemu dengan Kak Jovanka di sebuah kafe di Jalan Diponegoro, di Surabaya.“Ngelamun aja nih,” sapa seseorang yang kukenali sebagai Kak Jovanka.Seperti foto yang selalu dia pasang pada profil kontaknya, dia terlihat sangat cantik dan muda, jauh lebih muda dari usia yang pernah dia ceritakan padaku.“Hai, Kak,” sambutku.“Maaf lama, tadi harus menjemput bocah di sekolah dahulu,” ungkapnya.“Enggak diajak ke sini, Kak?”“Bocahnya yang enggak mau, dia malah minta diantar ke rumah omanya, jadilah aku makin lama di jalan tadi,” urai Kak Jovanka menjelaskan keterlambatannya.Memang benar, ya. Kalau kalimat yang diucapkan oleh seorang editor itu beda, apalagi editor selevel Kak Jovanka. Walaupun tidak bisa disamaratakan, tetapi lihatlah bagaimana pemilihan kata dan penyusunan kalimatnya sesuai KBBI, b
Pertemuanku dengan Kak Jonvanka memang singkat, tetapi berharga. Pertemuan yang diawali dengan ketidaksengajaan kadang membawaku menjadi akrab dengan orang baru, dengan caranya masing-masing. Seperti halnya pertemuanku dengan Bang Nanda dan Dila, pertemuan dengan Kak Jovanka tindak akan menjadi pertemuan sementara, tetapi menjadi pertemuan yang berharga.Sekarang aku harus bergegas, pesawat yang akan membawaku kembali ke Semarang kurang dari tiga jam lagi. Setelah kembali ke hotel, aku segera membereskan barang-barang yang masih berantakan. Aku kemudian segera check out sebelum batas menginapku habis.“Maaf, Kak. Pesanan kamar Kakak masih satu hari lagi. Mohon maaf, Kak. Kalau mau dibatalkan sekarang, tidak ada biaya pembatalannya.”Aku kaget dengan penjelasan dari resepsionis. Dia kemudian memberikan informasi dari pemesanan online-ku. Sepertinya aku kurang cermat saat memasukkan tanggal untuk membuat pesanan hotel.“I
“Dek …. Kalau menurut Kana, bagaimana kalau rumah Ibu dan Ayah kita jual,” ucap Bang Ridwan saat kami sedang duduk santai di halaman belakang rumahnya.Aku terdiam sejenak, mencoba meresapi ucapan Bang Ridwan barusan seraya menyeruput teh hangat dengan irisan lemon buatan Kak Puspa.“Kak Diah dan Kak Maya, bagaimana?” tanyaku balik.“Mereka tidak keberatan, Abang tinggal menunggu pendapat dari Kana aja,” jawab Bang Ridwan.“Kana ikut keputusan Bang Ridwan, Kak Diah dan Kak Maya,” pungkasku.Mungkin sudah saatnya melepaskan rumah penuh kenangan kami, mungkin sekarang sudah saatnya merelakan rumah kedua orang tuaku kepada pemilik barunya. Bang Ridwan, Kak Dinah, dan Kak Maya sudah punya rumah mereka masing-masing.Aku dahulu pernah berkhayal kalau kami semua tidak akan pernah meninggalkan rumah penuh kenangan kami. Semua perjalanan hidup kami tercipta dan berawal dari rumah kedua ora
Aku tiba di Jakarta pada siang hari, sedangkan waktu keberangkatanku selanjutnya masih nanti malam, ada waktu delapan jam lebih untuk berkeliling di CGK, cukup lama untuk menjadi bosan. Namun, perasaan itu tiba-tiba menggelitikku. Aku memperbaiki posisi dudukku, mencoba mencari wajah dia yang pernah aku temui beberapa bulan lalu, berharap wajahnya menjadi salah satu wajah-wajah yang aku lihat hari ini. Perasaan putus asa membuatku sering mengkhayal, terlalu tinggi malah, karena hanya dengan cara itulah aku merasa dekat dengannya. Aku menghela napas, mengembalikan kesadaranku untuk tidak terlalu berkhayal ketinggian lagi, berharap pada hal tidak pasti hanya akan memberikan kekecawaan yang lebih banyak. Pukul tujuh malam aku berangkat menuju Singapura untuk melewati transit keduaku di sana selama 11 jam lebih sebelum pesawat terakhir membawaku ke London keesokan paginya. Perjalanan akan cukup melelahkan, tetapi cukup murah dari pilihan penerbang
Saat London masih ditemani gelap, aku sudah melangkahkan kakiku ke Stasiun London Paddington. Hari ini aku akan menuju kota yang sering dijadikan lokasi syuting film Harry Potter. Kereta yang kutumpangi melesat cepat menuju kota yang memiliki julukan city of dreaming spire, Oxford.Pada hari pertama aku hanya berkeliling di sekitar Universitas Oxford, lebih banyak termenung di depan Radcliffe Camera dengan Cannery Row yang tidak beranjak dari halaman 87 sejak kubaca tadi malam.Aku lebih terpukai dengan keramaian yang silih berganti, aku mendapatkan spot bagus untuk mengamati. Aku mendapatkan frame mangnoli, lampu taman dan puncak Radcliffe Camera di depanku, pemandangan inilah yang berhasil menyedot perhatianku daripada membaca buku dalam genggaman.Rasa terpukai kadang bisa mengalahkan semua rencana yang sudah dibuat, dan itulah yang aku lakukan hari ini. Rasa terpukau bisa sampai di kota kecil ini membuatku lebih banyak termenung, menghirup uda
Aku tetap setia mengambil keberangkatan pagi menggunakan kereta ke destinasi berikutnya. Setelah berpesan pada resepsionis kalau aku akan check out pagi buta, dalam gelap aku membereskan semua barangku. Selama pergi ke Oxford, beberapa barang memang kutitipkan di hotel, agar aku tidak perlu melakukan check in ulang.Dari Stasiun Paddington aku harus menempuh tidak kurang dari satu jam menuju Cambridge. Aku sedikit kerepotan saat membawa koper besar dan ransel ukuran sedang di punggungku, tetapi Cambridge sudah menunggu.Aku harus mampir ke kota yang memiliki universitas impianku yang kandas, setidaknya aku singgah untuk melihat tempat-tempat yang pernah memenuhi khayalan sebelum tidurku.Khayalan tanpa adanya pergerakan untuk mewujudkannya hanyalah kesia-siakan belaka. Aku menyadari kesalahanku cukup lambat, tetapi aku tidak patah semangat, lebih tepatnya aku selalu mendapatkan dukungan dari teman-teman semasa kuliah yang menganggap impian kuliah ke luar n