Share

Chapter 12

Redita menghempaskan tubuhnya ke atas kasur kamar kostnya. Kenapa ia jadi galau macam ini sih? Kok bisa sih dia jadi nggak karu-karuan macam ini? Kenapa ia bisa begitu tidak nyaman dengan sikap dingin dokter bedah tadi? Kenapa ada rasa tidak terima atas sikap dingin sosok itu terhadapnya?

Dokter Adnan Sanjaya, memang sudah tidak muda lagi, bahkan anak sulungnya aja sudah dua puluh enam tahun, tapi kenapa rasanya Redita begitu suka melihat raut wajah itu? Sangat suka ada di dekat sosok itu? Kecuali kalau sedang di dalam OK saja sih, dia ogah liat scalpel dan genangan darah di dalam perut pasien, ngeri! Sosok itu begitu hangat dan lembut, Redita dapat merasakanya.

Apa dia jatuh hati pada sosok itu? Ahh ... Masa iya sih? Kenapa tidak pada sosok Andaru saja yang jelas-jelas sangat kelihatan tertarik padanya. Mana masih muda lagi, lah dengan Dokter Adnan? Lebih tua Dokter Adnan lho dari bapaknya sendiri, gila kan? Bapaknya lima puluh satu, sedangkan Dokter Adnan, lima puluh lima tahun! Sejak kapan orientasi Redita berpaling pada laki-laki dewasa seperti ini? Bukan hanya dewasa lagi malah, tapi sudah mendekati masa lansia!

"Aduh kenapa sih Dokter Adnan Mulu!" teriak Redita gemas. Ia benar-benar tidak mengerti dengan dirinya sendiri.

"Masa iya suka sama om-om?" Redita bicara pada dirinya sendiri, "Eh bukan om-om juga ya? Kan udah setengah abad lebih."

Redita garuk-garuk kepala, lantas apa sebutannya? Bapak-bapak? Atau malah aki-aki? Tapi masa aki-aki sih? Dokter Adnan masih gagah gitu, masih awet muda, kejam amat dipanggil aki-aki? Kulit wajahnya masih kencang dan segar, tidak nampak kerutan atau flek hitam, masa iya dipanggil aki-aki?

Redita menghela nafas panjang, dipejamkan matanya erat-erat, ingat ketika Dokter Adnan menemukan dirinya tengah menangis sesegukan di tangga darurat karena hari itu Rico, mantan kekasihnya itu resmi menikahi bidan magang di tempatnya internship karena sudah terlanjur hamil. Ya ... pacarnya yang bahkan belum sama sekali menyentuhnya itu harus menikah kerena sudah menghamili gadis lain!

"Rico sialan!" desis Redita ketika kembali teringat laki-laki berengsek itu.

Darahnya mendidih luar biasa ketika mengingat sosok yang dulu pernah amat dia cintai itu. Sosok yang sejak dulu menemani dia dari pre-klinik. Namun dengan kejam Rico malah mengkhianati dirinya hingga sedalam itu. Menghamili gadis lain padahal di sini dia menanti janji Rico yang katanya akan melamar dan menikahinya selepas Rico selesai internship.

"Laki-laki itu sama aja! Buaya semua!" kembali Redita memaki, tangannya sibuk memukul-mukul guling dalam pelukannya.

"Siapa yang buaya?" Yanven anak fakultas hukum yang bersebelahan kamar dengan Redita itu mendadak muncul di balik pintu kamar Redita lalu melangkah masuk setelah menutup pintu kamar kost Redita.

"Laki-laki, semua laki-laki itu buaya!" ulang Redita sambil berbaring di atas ranjangnya.

"Masih keringat mantanmu?" Yanven duduk di pinggir kasur Redita, ia tahu betul pengkhianatan macam apa yang diterima sosok itu, ditinggal menikah karena sudah menghamili gadis lain? Benar-benar sialan memang laki-laki satu itu.

"Ya gimana mau lupa sih? Baru aja kejadian kemarin dan sampai sekarang masih kerasa banget kan sakitnya!" desis Redita kesal, ia kembali mendidih jika teringat laki-laki itu.

"Move on dong, ayolah. Laki-laki masih banyak," bisik Yanven yang kemudian bangkit dan meraih toples milik Redita yang berisi camilan itu, sebuah hobi Yanven kalau main ke kamar kost Redita, menghabiskan isi toples milik sang empu kamar.

"Iya ya, dokter juga banyak. Yang koas, internship atau spesialis juga banyak kan?" desis Redita sambil menerawang langit-langit kamar kostnya.

"Astaga, belum kapok pacaran sama dokter?" tanya Yanven gemas.

"Entah," desis Redita sambil memejamkan matanya, memang mau cari yang dari kalangan mana lagi? Kalau dari pagi sampai malam ia ketemunya sama orang-orang sejenis macam dia?

"Sama advokat aja deh, cocok juga kok kalau dipasangkan sama dokter," guman Yanven mengompori, mulutnya penuh dengan camilan.

"Nggak minat, ntar nikah aku disuruh stop praktek lagi, nggak mau!"

"Ya kalau dia pendapatan lebih gede ngapain sih kamu masih susah-susah praktek?" Yanven kembali mengompori, tidak bisa dipungkiri, para advokat, lawyer kalau sudah dapat nama tentu penghasilannya begitu luar biasa bukan?

"Lha terus gunanya aku kuliah kedokteran apa, Ven?" desis Redita gemas, ia benar-benar ingin bisa mengabdikan diri untuk membantu sesama dengan ilmu kedokterannya.

"Ya biar dapat jodoh dokter," jawab Yanven asal.

"Nah, kamu sendiri kan yang bilang, berarti aku harus dapat suami dokter, titik." guman Redita mengultimatum, tentu ia sangat takut jika dapat suami yang bukan dokter dan kemudian memaksanya berhenti praktek karena merasa penghasilannya lebih besar darinya nanti.

Yanven memanyunkan bibirnya, "Serah deh, kalau dokternya buaya lagi tahu rasa!"

***

"Bapak mau makan sekarang?" tanya Indah yang tiba-tiba sudah muncul sambil meletakkan segelas jus jeruk.

"Nanti sajalah," jawab Adnan sambil tersenyum kecut, ia meraih gelas itu dan meneguk jus jeruknya.

"Baik, Pak," Indah bergegas pergi meninggalkan majikannya itu seorang diri di halaman belakang. Ia tahu betul kalau majikannya itu sedang duduk sendiri di belakang rumah, itu artinya dia sedang tidak ingin diganggu. Itu sudah mutlak dan tidak bisa dibantah lagi.

Adnan menghela nafas panjang, ia jadi pusing. Kenapa begini amat sih kisah cintanya? Jatuh cinta lagi di usia yang tidak muda itu memang merepotkan! Kadang ia malu dengan anaknya sendiri. Edo saja masih belum jelas pelabuhan hatinya mau kemana, eh bapaknya malah mau selangkah lebih depan.

"Maaf Pak, ada tamu," guman Indah yang kembali muncul di depan pintu.

"Siapa?" Adnan mengerutkan dahinya, memang siapa yang mencarinya? Tumben amat sih ada yang mencarinya sampai datang kerumah?

"Dokter Yudha, Pak."

"Oh, sudah disuruh masuk?" Adnan sontak bangkit, ia bergegas melangkah ke ruang tamu.

"Sudah Pak, permisi saya buatkan minum dulu."

"Iya tolong ya, Ndah!"

Benar-benar sahabat sejati sosok satu itu, tahu Adnan lagi galau ia menyempatkan diri kemari. Senyum Adnan langsung mengembang ketika melihat sosok itu sudah duduk di sofa ruang tamunya.

"Eh calon besan, ada perlu apa nih?" seloroh Adnan sambil tersenyum jahil.

"Mau nyariin mama mertua buat anakku nih, gimana?" Yudha balas menggoda, tersenyum jahil sambil mengulurkan tangannya pada Adnan.

"Sialan, ngeledek aku nih?" Adnan tersenyum kecut sambil menjabat erat-erat tangan Yudha.

"Kenyataannya begitu kok, sini cerita dulu. Kenapa kamu jadi begitu cepat berubah pikiran?"

Adnan menghela nafas panjang, "Janji dulu jangan ketawa?"

Yudha hanya mengangguk dan tersenyum, "Percaya padaku, tujuanku baik mau nolong kamu, Nan, bukan mau menertawakan kamu!"

Adnan tersenyum, sungguh punya sahabat sebaik Yudha memang jadi anugerah tersendiri untuknya bukan? Sejak dulu Yudha selalu ada dalam kondisi apapun, pada saat ia terjatuh sekalipun Yudha selalu ada untuk menemani dirinya, memberinya semangat.

"Jadi ceritanya ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status