Share

Part 11 - Antara Pergi dan Mencari

Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal. 

Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini. 

Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun. 

Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, seperti yang biasanya kulakukan. 

Hari ini benar-benar aku tidak ingin melakukan apapun. Hingga ... 

Brrt! Brrrrrrttttt! 

Gawaiku bergetar selama beberapa saat. 

Dengan malas, aku meraihnya dari meja kecil di samping tempat tidurku. 

Tertera nama Mila di sana. Ia mengirimiku sebuah foto lewat aplikasi pesan daring. 

'Tumben Mila ngirim foto. Biasanya pesan suara kalau memang penting banget.' Tanyaku dalam hati. 

Kemudian gawaiku bergetar lagi. Mila mengirim banyak sekali foto. Belum sempat aku mengunduh foto-foto yang dikirimnya, ia menuliskan sebuah pesan. 

From : Milanda Revalido Sulistya 

To : Rainisa Soedibjo Tunggal 

ELU BURUAN KE SINI! ATAU ELU BAKAL NYESEL KEHILANGAN DIA, RAIN! ELU BAKAL NYESEL SELAMANYA!

Aku yang membacanya terperanjat. Capslock jebol dan dia mengisyaratkan penyesalan. Aku cepat-cepat mengunduh semua foto yang dikirimkan. 

Bola mataku membulat seketika. Aku melongo selama beberapa detik. 

Beberapa saat kemudian, otakku mulai mencerna apa yang terjadi. Seketika itu juga aku sadar dan langsung loncat berlari ke kamar mandi. 

*** 

Hanya dalam 10 menit aku sudah berada di tempat yang Mila maksud dalam pesannya. Mataku berputar ke sekeliling, menyapu seluruh tempat itu untuk menemukan tempat yang dimaksud oleh Mila dan keberadaannya. 

Sejurus kemudian, mataku menangkap keberadaan Mila. 

Aku kemudian berlari menghampirinya. Aku berharap dan berdoa terus sejak berangkat dari rumah tadi, semoga aku tidak terlambat. Semoga saja aku tidak mendapatkan penyesalan atau semacamnya. 

Begitu sampai di sana, aku langsung mencengkeram bahu Mila dan mencecarnya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. 

"Mil! Cepat! Di mana dia? Apa yang kmu katakan padanya? Bagaimana dia bisa kemari? Apa kamu yang memberitahunya? Kamu kan tahu ini satu-satunya yang kuberitahukan padamu." 

Mila menunjuk ke belakangku. Reflek aku berbalik dan melihatnya berdiri tegap di belakangku. Ia membelakangiku dan melihat pemandangan kota dari atas dengan helaan napas berat yang panjang. Tangan kanannya memegang koper hitam, menandakan ia memang benar-benar akan pergi sesuai perkataannya kemarin. Ia memakai tuxedo biru dan celana kain panjang hitam, lengkap dengan sepatu hitam yang mengkilat. 

Aku tahu, aku kemarin terlalu terkejut mendengar setiap pernyataannya yang mendadak. Sehingga membuatku hilang kendali dan pergi begitu saja. 

Tetapi sekarang, aku tahu, aku harus mengatakan yang sebenarnya. Bukan karena aku egois, tapi hatiku sepertinya juga tidak mampu menanggung beban ini terlalu lama. Apalagi berpisah Jerman-Indonesia adalah jarak yang cukup jauh sehingga aku akan kesulitan mendapatkan kesempatan lain. 

Perlahan, aku melangkahkan kakiku mendekat. Aku menarik napas panjang dan mengatur ritme jantungku agar bisa berkata dengan jelas dan tepat. 

"Pemandangan di sini cukup indah, tetapi sayang akhirnya kamu mengetahuinya." Kataku lembut. 

Zevran seketika membalikkan badan dan menoleh ke arahku. Aku langsung melemparkan senyum. 

"Kamu di sini?" Tanyanya. 

"Yes. And I got surprise from Mila that you come here too. Bagaimana aku bisa melewatkan kesempatan ini di saat kamu juga akhirnya tahu tempat persembunyianku dari Mila?" 

Ya. Tempat ini adalah sebuah tebing tinggi di kotaku, sekitar 1 jam dari pusat kota. Tempatnya sangat sepi dan sangat jarang orang ke sini. Aku memberitahu Mila 2 bulan yang lalu kalau aku sering ke sini saat aku sedang ingin sendiri dan merasa capek dengan dunia. Dan tak kusangka, Mila memberitahu Zevran hari ini dan mereka datang ke sini.

"A-a-aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan saja." Jawabnya terbata-bata. 

Aku mengangguk. "Zev, benarkah kamu akan pergi?" 

Ia mengangguk cepat. "Kurasa tempat ini akan menjadi saksi kita bahwa aku akan pergi. Awalnya aku ke sini hanya ingin mengucapkan selamat tinggal pada tempat favoritmu. Tak kusangka takdir membawaku bertemu kamu sekali lagi. Mungkin aku harus mengucapkan perpisahan padamu dan juga tempat kesukaanmu." 

"Aku tidak akan memaksamu tinggal atau meneriakimu seperti kemarin, Zev. Aku tahu bahwa aku tidak punya hak atas hidupmu. Tapi izinkan aku memberimu jawaban atas pertanyaanmu empat bulan yang lalu di pesta kolegamu." Jawabku setenang mungkin. 

Zevran nampak terkejut mendengar perkataanku. 

"Zev," ucapku memulai jawabanku. 

"Jawabanku ini hanya akan kamu dengarkan sekali. Benar-benar sekali. Maka kamu harus mendengarkannya dengan seksama. Dan aku harap kamu akan mengerti keputusanku, Zev." Sambungku. 

Zevran menatapku lekat. 

"Jawabanku..." jawabku menggantung. 

Hening. Seakan-akan dunia juga mendukungku untuk membuat sedikit drama pada momen seperti ini. 

"Aku adalah raga pada cinta yang telah kau embuskan dengan tulus, Zev. Aku akan menjadi telentang sama makan abu, tengkurap sama makan tanah." 

"Hah? Maksudnya?" Matanya membelalak keheranan. 

"Silakan cari artinya, Zev. Temui aku lagi jika kamu sudah berhasil menemukan artinya. Karena itu adalah jawabanku." Jawabku dengan senyum simpul. 

"Rain." Ucapnya tertahan melihatku berlalu. 

Sementara Mila hanya melongo menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Zevran. Alih-alih memberikan jawaban langsung, aku malah memberikan jawaban yang membuat kepala orang pusing. 

Tapi aku tak peduli itu. Aku tersenyum dan lega telah memberikan jawaban untuk Zevran. Setidaknya, meski dia nanti terlambat menyadarinya, dia telah tahu perasaanku yang sesungguhnya. 

Mengenai peribahasa itu, ah aku sendiri tak mau ambil pusing. Biarkan Zevran mencarinya sampai ketemu. 

Langkahku hari ini bagiku terasa ringan, ditemani dengan merah senja yang menari-nari di ufuk barat. 

Aku mengambil headset-ku dan mendengarkan sebuah lagu yang mewakili perasaanku hari ini. 

~Sesi Lagu Dimulai~ 

Heart beats fast

Colors and promises

How to be brave?

How can I love when I'm afraid to fall?

But watching you stand alone

All of my doubt suddenly goes away somehow

One step closer

I have died every day waiting for you

Darling, don't be afraid

I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

Time stands still

Beauty in all she is

I will be brave

I will not let anything take away

What's standing in front of me

Every breath

Every hour has come to this

One step closer

I have died every day waiting for you

Darling, don't be afraid

I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

And all along I believed I would find you

Time has brought your heart to me

I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

One step closer

One step closer

I have died every day waiting for you

Darling don't be afraid

I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

And all along I believed I would find you

Time has brought your heart to me

I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

 

-Christina Perri, A Thousand Years- 

 

~Sesi Lagu Berakhir~ 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status