"Kalian tentunya ingin tahu masa laluku bukan…..?”
“Mari aku ceritakan kembali kisah pahit ini. Kisah sepanjang perjalanan hidupku!”
Mencari tahu kenapa nasib dan jalan takdir diriku seperti ini sekarang. Sebelum…, kalian benar-benar memvonis dan menganggap aku buruk di mata kalian. Menganggap aku hanyalah sebagian sampah masyarakat atau sampah jalanan yang tak punya arti dan manfaat.
“Mari duduk denganku,"
"Akan aku beberkan kisah ini satu persatu!”
Aku tak tahu harus memulainya dari mana. Terlalu pahit semua yang akan aku ceritakan. Semua memang harus aku ungkapkan, agar suatu saat aku tetap tabah dalam melangkah dan menjalani hidup yang keras ini. Dapat memetik pelajaran berharga dari apa yang namanya kisah pahit dan pengalaman hidup yang terus mengajarkan diriku untuk tetap pasrah dan tetap tabah menjalaninya.
Mengulang masa lalu….?
"Ya, tentu saja.
Masa lalu yang aku anggap sebagai misteri dan mimpi buruk yang memang tak pernah aku inginkan. Aku benci dilahirkan di dunia ini, tapi! Tetapi semua harus aku hadapi dengan berani. Masa lalu yang telah membuat hidup dan impian serta harga diriku hancur berantakan sampai saat ini. Semua itu harus hancur berkeping-keping seolah tak ada cahaya, tak ada secercah harapan lagi untuk diriku yang hina ini.
Saat itu…., Ibu dan ayahku hanya orang miskin yang menjadi buruh pekerja kasar pada sebuah perkebunan. Aku sadar, keadaan ekonomi kami yang carut marut. Tetapi…, aku tetap bersyukur dengan semua keadaan yang masih untung bisa makan serta merasakan kasih sayang ibu dan ayahku saat aku masih kecil. Satu bagiku saat itu yang paling aku utamakan, Ayah dan ibuku selalu sehat serta selalu bahagia itu saja.
Aku anak tunggal. Semenjak kecil, ayah dan ibu sudah sayang dan perhatian padaku. Tak ada yang kurang dari perhatian mereka, karena memang aku anak tungggal yang tak punya saudara lagi.
Ketika aku kecil, tepatnya berumur dibawah sepuluh tahun, aku sudah mengalami peristiwamemilukan. Tapi itulah namanya jalan hidup. Sekuat tenaga dan semampu kita untuk berlari atau menghindarinya, kalau sudah takdir tetap saja akan terjadi dan tak akan mampu mengingkarinya.
Aku masih ingat kejadian buruk itu bermula. Saat itu, ketika ayah dan ibuku pergi ke ladang untuk berkebun dan bekerja. Pamanku diam-diam memasuki kamar dan melakukan hal biadab. Aku hanya mampu berdiam diri saja dan pasrah sambil menangis, karena aku masih kecil tak tahu apa-apa.
Aku tak dapat melakukan apa-apa saat itu, hanya mampu menangis karena perbuatan terkutuk pamanku. Hanya ada sesuatu yang aku rasa sakit. Hanya mampu menahan rasa sakit dan perih setelah kejadian itu berlangsung. Setelah itu, tanpa dosa dan rasa bersalah, dia meninggalkan ku dalam keadaan trauma dan rasa takut.
Lebih mirisnya lagi Hingga saat ini pun kedua orang tuaku tak tahu kejadian pahit itu. Ya, Aku memang tak sanggup menceritakannya pada kedua orang tuaku. Sampai pada suatu saat Pamanku meninggal dan mati dimakan tanah.
Aku berharap, Tuhan membalas semua perbuatan bejatnya yang telah merusak masa depanku. Rasa trauma yang begitu mendalam, tak akan pernah aku lupakan. Meskipun…, aku pernah dengar. Doa orang sepertiku tak akan pernah terkabul karena terlalu hina. Aku sadar siapa diriku, aku hanya kepingan dosa berlumur noda. Tak ada yang bisa dibanggakan dari diriku ini, y hanya mampu bekerja dari pelukan satu laki-laki ke pelukan laki-laki lainnya. Tapi, aku tetap akan berusaha bangkit berdiri dari masa laluku yang begitu kelam itu.
“Kalian mau tahu rasanya saat itu…..?”
Rasa takut dan trauma akan perlakuan pamanku yang memperlakukan aku seperti itu berlangsung secara terus menerus, tanpa bisa hilang dalam ingatan, membekas. Membuat hatiku sekarang tak percaya pada orang yang seharusnya mengayomi dan melindungiku lagi. Entah apa yang merasuki pamanku, sehingga tega berbuat seperti itu.
Singkat cerita akhirnya aku beranjak dewasa. Entahlah, seorang yang seharusnya membimbing dan mendidikku untuk jadi lebih baik saat itu malah semakin membuat masa depanku semakin hancur saja.
“Aku ingin mengadu saat itu!”
“Tapi aku bisa apaaa….?”
“Tak ada!”
Mulutku tertutup rapat oleh ketakutan yang acap kali keluar dari ancaman bibirnya. Semuanya hanya bisa aku pendam dengan rasa sakit serta bathin yang kian koyak terluka. Aku ikhlaskan semuanya. Mungkin.., memang sudah suratan hidupku seperti itu.
Saat itu, aku pun bosan dan ingin berlari dari keadaan yang terus menyiksaku. Menghindar dari pria yang benar-benar telah menghancurkan hidupku itu. Untunglah, tuhan cepat memanggil nyawanya.
Hanya luka dan rasa trauma yang masih membekas dalam hidupku. Sudah lama aku ingin berlari dari keadaan, harus merahasiakan masa lalu kelam pada kedua orang tua yang aku cintai. Tak mau membuat hati mereka terluka. Hidupku terus aku perjuangkan, rahasia aku simpan erat-erat saat itu.
Aku pikir hidupku akan berubah indah setelah kejadian pahit itu. Aku harap Tuhan merubah Nasibku yang buruk menjadi baik, bukankah ada pepatah berkata habis gelap terbitlah terang?
Ya, Aku mencoba bangkit berdiri. Sampai suatu saat, aku dekat dengan seseorang yang aku anggap baik di kampung. Aku bertemu dan berkenalan pada seorang pria dewasa yang aku anggap benar-benar tulus menerima dan mencintaiku apa adanya. Aku rahasiakan namanya, dia tetangga yang berperawakan tinggi besar dan juga berjiwa pengayom. Kerja di salah satu perusahaan.
Pria itu mulai mendekatiku dan mengatakan cinta padaku di saat aku tumbuh seiring waktu. Tapi tak pernah aku sangka, semuanya hancur mulai dari sana. Semenjak aku sudah percaya pada laki-laki itu kalau dia memang mau menikahiku. Aku ceritakan semua masa lalu kelam itu padanya. Dengan harapan, dia dapat mengerti dan menerimaku saat itu. Tapi apa yang dia lakukan padaku? dia malah balik memanfaatkanku.
Kejadian pahit harus terulang kembali.
Aku baru sadar setiap laki-laki itu pintar dan licik. Dia selalu menghindar untuk bertemu setelah mendapatkan semuanya dariku, harga diri bahkan tubuhku.
Sampai suatu saat dia meninggalkanku karena perjodohan. Tanpa aku sadari akhirnya aku mengandung janin dari hasil perbuatan biadabnya itu. Untunglah saat itu aku cepat mengetahuinya. Tetapi nasib sial menimpaku. Akhirnya, bangkai busuk tercium juga. Ayah dan ibuku tahu kejadian itu. Orang tuaku mengikhlaskan semua yang telah terjadi tanpa bisa menuntut keadilan. Tapi tidak denganku saat itu. Aku berontak, aku diam-diam menemui dukun beranak yang ada di kampung. Menggugurkan janin itu atas kemauanku sendiri, bukan kemauan kedua orang tuaku.
“PAHIT!”
“SAKIT!”
“PERIH!”
Semua jadi satu, belum lagi ocehan kedua orang tuaku yang saat itu benar-benar marah tak dapat aku lupakan seumur hidup.
“ANAK SIALAN……!”
“ANAK TAK BERBAKTi…!”
Semua kata-kata kasar keluar dari mulut ayah dan ibuku yang saat itu benar-benar marah dan terluka. Tapi bisa apa?" Aku hanya orang miskin!" Menuntut keadilan dan tanggung jawab pada pria itu? hasilnya nihil. Malahan, aku dianggap perempuan murahan, perih memang saat itu.
Sebenarnya, aku tak mau mengingatnya kembali. Otakku sakit, hatiku perih, mengingat semua kejadian itu.
Tapi sudahlah, semua sudah berlalu. Ayah dan Ibuku telah memaafkan kesalahanku dulu. Entah kenapa, nasib sial selalu saja melanda hidup, seakan aku menganggap hidup adalah sebuah kutukan yang memang harus aku jalani sampai saat ini.
Hingga sekarang…., aku harus berdiri kuat, memang harus menjalani hidup sebagai Seorang KUPU KUPU MALAM.
“Ini untukmu…!” Cantika berkata, sembari memberikan sesuatu padaku yang aku tidak ketahui barang apa itu sebenarnya. “Apa ini…..?” Aku seketika berkata pada Cantika malam itu. Penasaran sekali menanyakan benda apa yang diberikan cantika padaku. Kami berjalan untuk menuju sebuah tempat dunia malam. Tepat di sebuah jalan dekat gedung pertunjukan kami berhenti saat itu, gedung yang jika siang hari digunakan untuk berbagai kepentingan umum. Tapi jika malam hari, tempat itu berubah sepi. Hanya terlihat beberapa kendaraan melintas serta remang-remang cahaya lampu penerangan jalan, terlihat sudah rusak sebagian oleh tangan-tangan jahil. “Bodoh sekali kau..!” “Kau tak tahu itu apa……?" “Astaga.....,Hahaha. Kemana saja hidupmu selama ini…….?” Cantika hari itu tertawa dengan puasnya, tertawa dengan pertanyaan diriku yang dianggapnya sangat bodoh dan tak pantas untuk ditanyakan. Begi
Aku mencoba berdiri bangkit dari halte tempat aku berteduh, menghampiri temanku Cantika yang aku lihat telah berdiri di pinggir jalan raya. Tempat itu masih terlihat kendaraan roda dua atau roda empat melintas. Terkadang, aku berpikir dalam hati tentang bahaya yang mengancam jiwa. Bisa saja kami terserempet kendaraan yang lalu lalang di jalanan itu yang tak ada etika mengebut dengan kecepatan tinggi, melihat peluang jalan yang begitu lenggang. Seolah, jalan raya umum adalah sirkuit balap bagi mereka. Terpikir dalam benak serta pikiranku. Tentang orang-orang jahat yang tak akan aku duga melintas di tempat itu, apalagi jika keadaan malam hari seperti saat ini, tingkat kejahatan tentunya semakin rawan mengingat orang-orang yang sekarang semakin sulit mendapatkan pekerjaan, menghalalkan segala cara hanya untuk mencari harta. Sering kali remaja berumur lewat di tempat kami menjalani pekerjaan kotor itu. Sekedar mampir atau menggoda, “Aku takut
Gedung pertunjukan itu berlantai dua dengan halaman luas yang telah di aspal kasar di bawahnya. Hanya terlihat dari jauh gedung itu, tepatnya sekitar sepuluh meter dari jalan raya tempat kami berdiri. Ada gerbang masuk yang memang tak terkunci, penjaga gedung mungkin sudah maklum dengan kami yang mencari nafkah di area saa. Terlihat cuek dan acuh dengan segala aktifitas malam kami. Mungkin, penjaga gedung itu hanya berpikir yang penting kami tidak mengganggunya. Jalan itu simpang tiga tepatnya, pada bagian tengah kami berdiri tepat di pinggir jalan raya. Ada tiga jalur terbagi. Bagian tengah jalan terdapat pembatas yang seolah membelah jalan yang terbagi menjadi dua arus. Arus balik kendaraan dan arus pergi kendaraan. Di tengahnya terdapat beberapa tanaman yang berdiri di atas trotoar, terlihat layu dalam jambangan. Di bawah trototar hanya terlihat remang-remang cahaya yang terkena sorot malam lampu penerangan jalan yang sudah sebagian rus
Disaat aku duduk di sana, aku lihat pria pemilik mobil itu membuka kaca mobilnya. Dari halte usang itu, aku lihat dia memanggilku. Disaat itu aku belum berani dan masih terlihat ragu dan takut. Sejenak hatiku berontak, aku mencoba berdiri untuk melawan rasa malu, aku memaksa langkah kakiku berjalan ke arah mobilnya demi untuk bertahan hidup. Benar juga kata cantika, mau sampai kapan aku duduk di halte ini. Bagaimana hidupku esok hari dan seterusnya, kalau aku masih bertahan dengan rasa malu dan ketakutan yang saat itu melanda. Tampilannya keren dengan sedikit brewok di dagu, bermata sipit bertubuh kekar sempurna, terlihat rapi dengan kemeja hitam. Ya, pria berumur, kira-kira umur empat puluh tahunan. “Ayo masuk…,” kata pria itu seraya membuka pintu mobil, menyuruhku masuk ke dalam mobil miliknya malam itu. Aku pun menurut saja perkataan pria itu yang lebih layak dipanggil Om. Daripada tak makan dan hanya membuang waktu di
“Om, udah yah. Ini udah jam setengah empat.” “Aku takut temanku akan mencariku nanti,” “Maklum, aku baru di sini,Aku tak mau temanku cemas dan marah padaku, kalau aku terlambat pulang…” Aku berkata pada pria yang bertubuh gempal serta berisi. Pria yang tentu saja masih memeluk erat diriku di atas tempat tidur empuk, tepat di dalam kamar hotel yang dia sewa malam itu. Terasa sangat erat pelukannya, seakan tak mau melepas dekapan hangat yang aku rasa semakin nyaman. Tetapi apa daya, aku tak mau membuat Cantika temanku khawatir. “Aduhhhh…, bagaimana ini?” pikirku saat malam itu. “Kalau aku tak segera pergi dari hotel ini? bagaimana cantika mau percaya padaku lagi. Cantika yang telah mengajarkanku bertahan di ibu kota yang kejam serta keras ini. Tak kuasa aku hari itu di dalam cengekraman pria ini. Aku rasa begitu kuat badan pria itu, semakin lama seakan mendekapku semakin erat, tak mau lepas lagi. “Kamu tuh hebat…!” Ka
Yang pesan taksi ya mbak? Supir taksi kendaraan online itu bertanya serta menghampiri diriku yang hari itu keluar dari room kamar hotel dan berdiri di dekat loby sembari memandang sedikit agak aneh. ‘Iya…,” Ucapku yang seolah tak mau bertele-tele pagi itu, sembari masih terlihat kesal dengan tamuku sewaktu berada di dalam kamar hotel tadi.Tak mau memang membuang waktu karena memang berpacu dengan waktum agar segera sampai di tempat Cantika, Aku pun masuk ke dalam mobil, berharap langsung pergi dari hotel. Tempat laki-laki tak punya hati itu. Sudah pasti ku duga, temanku Cantika pasti akan khawatir dengan keadaanku yang memang bersalah hari itu, tak memberi kabar dan pergi malam itu begitu saja. Di dalam Taksi Online itu, Aku kembali merenungi jalan hidup yang memang harus seperti ini. Sudahlah… ini memang takdir! pikirku saat itu, memang sudah jalannya seperti ini. Merasa hal itu tak penting lagi aku terlalu memikirkannya, hanya membuat
Aku mengetuk pintu kamar kosan cantika saat itu, sangat terburu-buru. Sedikit lama aku menunggu, mengulang beberapa kali ketukan pintu kamar. Mungkin dia sedang tertidur pikirku hari itu,aku masih menunggu. Setelah lama aku menunggu di depan pintu, dia pun sudah berdiri dan mempersilahkan aku masuk saat itu. Terasa kusam wajahnya, wajar mungkin dia lelah semalam. “Kamu ke-napa? “kemana aja kamu….? Cantika berkata padaku, seolah terlihat dia begitu khawatir padaku saat itu yang baru pulang dari kegiatan melayani laki-laki semalam yang begitu buruk memperlakukanku. “Tak a-pa, apa kok....” Jawabku gugup. Dia bertanya seolah penasaran dan terlihat begitu cemas hari itu. Perlu kalian tahu, persahabatan kami yang memang masih baru itu tak sedikit pun terlihat rasa ego atau mau menang sendiri. Semuanya saling melindungi. Tak seperti orang orang munafik di sekitar kami. “Aku sudah mencarimu kemana-mana semalam? “Aku begitu takut sesuat
Aku telah pulang dari kosan cantika siang itu, kembali ke kosanku yang sudah aku tunggu beberapa bulan ini tentunya. Semua peralatan dan bekal untuk makan serta menjalani hidupku sudah aku beli dan terasa cukup. Aku lihat di rantang berasku itu terisi penuh. Sebenarnya, ada rasa bersalah juga dengan uang yang aku gunakan untuk makan itu. Tetapi aku rasa tuhan tahu keluh kesahku, aku pun Cuma manusia biasa yang tidak luput dari dosa dan nista. Hanya bisa aku jalani, tetap meneruskan ibadahku meskipun tak tahu, tuhan menerima atau tidak? Semua kuserahkan padanya. Sisa uang yang aku dapatkan itu akan aku gunakan untuk aku tabung. Sebagai persiapan nanti jika terjadi sesuatu yang sama seperti kemarin di bulan berikutnya. Tak mau boros atau pun berfoya-foya saat itu, agar tak kelabakan seperti hari kemarin yang sudah membuat hatiku cemas serta selalu khawatir akan kehilangan tempat tinggal. Mau tidur di mana lagi diriku kalau aku diusir dari kontrakan ini pi