Share

7. Ke Rumah Nabila

SKL 7

.

Pukul tujuh pagi, saat matahari yang begitu menantang sudah menembus masuk lewat jendela kamar di hotel. Dee sudah membereskan semua barang-barang dan bersiap untuk melanjutkan tujuan. Sejenak ia membuka ponsel ingin memberitahu Nabila bahwa ia akan berangkat dengan kereta api. Semalam saat Dee tiba di hotel, ia tersenyum malu sekaligus perih melihat notifikasi top up kuota dari Nabila.

Gadis itu membulatkan mata dengan dada yang tiba-tiba kembali sesak saat melihat sebuah notifikasi yang memberikan berita tentang perceraiannya. Sesaat Dee kembali duduk di ranjang sederhana itu, demi membaca setiap kalimat yang ditulis oleh pemilik tulisan. 

Dee menggengam erat ponsel di tangannya dengan merapatkan giginya. Bisa-bisanya Bryan dan keluarga mengumumkan berita perceraian itu beserta sebabnya, yang membuat nama Dee semakin buruk di media. Nama yang dulu dikenal sebagai putri dari pengusaha kaya raya yang selalu tampil elegan, kini malah kebalikannya.

Dee mengutuk si penulis berita, terlebih Bryan dan keluarganya. Ia masih saja tetap mempertahankan isi pikirannya, bahwa masayarakat di sekitarnya memang masih tertutup pikirannya. Hal-hal kecil seperti keperawanan masih diperdebatkan padahal itu privasi dan mutlak hak seseorang. Terlalu mengurusi kehidupan orang lain yang tak wajar. itu menyakitkan Dee.

Dee tak salah, mereka yang salah. Itu yang Dee pikirkan.

Ia juga membaca berbagai klarifikasi dari keluarganya, bahkan mama yang menyebutkan bahwa Dee diusir dari rumah karena kelakuannya. Ah, tidak adil sekali untuknya.

Ratusan notifikasi sangat mengganggu pikirannya. I*******m, W******p, Twitter dan beebagai sosial medianya dipenuhi dengan tag dan pertanyaan dari teman-teman yang ingin mendnegar langsung penjelasan Dee. Bahkan ada portal berita yang menoticenya untuk diajak berbincang tentang masalah yang tengah ia hadapi.

Gadis itu menarik napas panjang, setetes air matanya meluncur bebas membasahi pipi lembutnya. Ia menonaktifkan semua media sosial untuk sementara agar tak semakin bertambah beban pikirannya.

Dee tak lagi membuang waktu. Segera ia matikan kuota internet setelah Nabila menanggapi pesannya. Ia bergegas keluar hotel dan naik angkutan umum menuju stasiun kereta api.

.

Dee akan menempuh perjalanan panjang untuk tiba di rumah Nabila. Mungkin ia akan menghabiskan waktu sepuluh jam lebih. Diakui, di dalam kereta ia merasa sangat bosan. Berada dalam keramaian dengan semua aroma tubuh penumpang, duduk di kursi yang tentu tidak seempuk mobil miliknya, tentu menjadi hal yang baru untuk Dee. Kehidupan yang tak senyaman miliknya dulu.

Gadis itu ingin terpejam untuk sesaat, dan berharap saat ia membuka mata ,ia telah sampai di stasiun kereta api Surabaya. Namun, matanya enggan terpejam. Ia malah kembali mengingat masa lalu kala pertama kali ia menyerahkan harga dirinya untuk seorang lelaki.

"Yeay kita lulus, Sayang." Di belakang sekolah, Aldo menghampiri Dee sesaat setelah ia melihat pengumuman kelulusan. Dengan senyum menawan, lelaki yang seumuran dengan Dee itu memeluknya begitu erat.

Dee membelas pelukan itu. Bahkan tubuhnya menggantung diangkat oleh Aldo yang terlalu bahagia dengan kelulusannya.

Anak-anak lain sebagian juga melakukan hal yang sama. Memeluk pacarnya diam-diam, atau sahabatnya. Sebagian dari mereka juga memilih mencoret-coret baju sebagai tanda mereka telah lulus. Sebagiannya dengan coretan abstrak, tapi banyak juga yang mengabadikan tanda tangan di seragam teman-temannya, sebagai kenang-kenangan.

"Sayang, kamu tanda tangan di bajuku ya." Aldo meminta seraya memberikan spidol permanen warna biru untuk Dee.

Dee mengangguk seraya tersenyum manis. Ia memberikan dua tanda tangan, di bagian depan dan belakang seragam, seolah memberitahukan pada semua orang yang bertemu Aldo di belakang atau di depan, bahwa lelaki itu miliknya. Milik Deandra Pradipta.

"Giliranku," ucap Aldo yang mengambil alih spidol dari tangan Dee.

Aldo menatap Dee dengan lembut, lalu keduanya saling melempar senyum. Senyum yang menunjukkan bahwa mereka saling mencintai.

Lelaki bertubuh tinggi tegap itu sedikit menunduk, wajahnya tepat di depan dada Dee yang memang berukuran menarik. Kembali lelaki itu tersenyum dan menatap Dee. Kemudian dengan lembut ia menyentuh bagian dada Dee, hingga membuat Dee merinding hangat. Aldo mengukir tanda tangannya di sana, ia sengaja memberikan sensasi saat memegangi dada itu, seperti sedang memberi kode untuk sebuah hasrat. Dee tersenyum dan merasakan seluruh tubuh yang menghangat, seperti ada sengatan listrik saat disentuh dengan lembut oleh Aldo.

"This is valentine day's, Sayang." Aldo berbisik di belakang telinga Dee hingga membuat gadis itu menegang diikuti dada yang berdebar.

Aldo mengeluarkan cokelat dari saku celananya, dan memberikannya untuk Dee. "For my sweet girl," Aldo mengedipkan sebelah matanya menggoda.

Gadis itu memang sangat menyukai cokelat, apalagi hari valentine memang identik dengan cokelat.

Setelah itu, keduanya keluar dari sekolah seperti yang dilakukan siswa-siswi lainnya. Aldo membukakan pintu mobil untuk Dee, memperlakukan gadis itu seperti ratu.

Keduanya pergi ke sebuah mall untuk membeli pakaian, mengganti pakaian sekolah dengan pakaian yang sedikit terbuka sesuai style seorang Dee. Setelah itu Dee diajak pergi ke hotel. Awalnya gadis itu bingung kenapa Aldo malah check in dua kamar hotel. Dee benar-benar bingung karena seharusnya mereka akan pulang ke rumah masing-masing.

Aldo sengaja check in dua hotel, karena mereka masih umur pelajar dan di hotel itu ada larangan tertentu untuk anak di bawah umur. Mereka memesan kamar perorang, tapi yang dipakai hanya satu kamar agar bisa berdua.

Debar di dada Dee makin tak menentu. Bisikan-bisikan cinta semu itu terus membujuknya untuk ikut bersama Aldo.

Keduanya berjalan bersisian, hingga tiba di sebuah kamar. Aldo menarik lembut tangan Dee. Gadis itu sedikit merasa sedikit takut karena itu pertama kali baginya. Namun, Aldo tetap menyakinkan bahwa ia akan memperlakukan dengan lembut. 

Aldo mengusap rambut panjang Dee dengan lembut. Ia kecup mata yang terpejam itu seraya berbisik mesra.

"Hidup hanya sekali, Sayang. Let's have fun." 

Dee bersemu. Sentuhan demi sentuhan itu membuatnya melayang, seolah sedang diperlakukan paling berharga dengan kelembutan Aldo. Tanpa sadar bahwa ia sedang merusak diri dan akan menjadi hal terburuk yang akan dikenangnya.

Awalnya hanya sentuhan-sentuhan ringan. Kecupan dan saling meraba rasa. Hingga akhirnya keduanya semakin terpancing, terlebih ketika mereka saling menatap, serupa magnet yang memiliki daya tarik menarik yang dilandaskan napsu belaka.

Tetesan hujan nan deras menjadi saksi penyatuan dua insan tanpa ikatan. Dee merasa seperti melayang, ada perasaan bahagia saat ia melakukan itu dengan Aldo.

Sejak percobaan itu, keduanya semakin berani. Setiap kali bertemu selalu melakukan hubungan intim yang tanpa sadar sedang saling merusak masa depan. Tontonan demi tontonan rusak mereka praktekkan saat bertemu dan melepas rindu.

Dee merasa tidak masalah. Ia percaya tentang kalimat 'have fun' dan memiliki kebebasan dengan sebebas-bebasnya adalah hak setiap manusia.

Gadis itu mulai masuk kuliah, ia bertemu teman-teman baru dan saling cerita tentang kehidupan. Tentang asmara juga tentang kehidupan di dalamnya. Dengan bangga mereka saling berbagi cerita bahwa mereka pernah tidur dengan pacarnya. Tak hanya satu dua, tapi hampir semua temannya. Dari situ Dee semakin percaya bahwa keperawanan memang tidak terlalu penting.

Terlebih lagi saat ia curhat dengan teman-teman SMA seangkatan yang katanya juga pernah tidur dengan pacarnya. Bahakn Dee kenal dengan siapa mereka tidur.

Pengamatan, lingkungan, dan pengalaman Dee semakin membuatnya bebas dan yakin akan kebebasan adalah sebuah keharusan. Yang tidak menikmati kebebasan artinya norak, cupu.

Selain itu, juga ada rasa aman karena setiap berhubungan Aldo selalu menggunakan pengaman hingga rahim Dee tetap tidak terisi.

Beberapa lama kemudian, perjalanan cinta Dee dan Aldo makin hambar. Ada rasa bosan yang menyerang lelaki itu untuk bersama Dee. Hingga ia memutuskan dan meninggalkan Dee tanpa alasan yang jelas.

"Aku udah nggak bisa sama kamu, Dee!" ucap Aldo saat mereka terkahir bertemu.

"Why?" tanya Dee terkejut dengan penuturan Aldo yang tiba-tiba. Seingatnya selama ini tak ada masalah besar yang mereka lalui. Keduanya saling setuju untuk semua kesepakatan termasuk berhubungan lebih i n t i m.

"Aku ngerasa kita udah nggak cocok!"

"Nggak cocok apanya?" Suara Dee mulai meninggi. Namun, ia tetap meraih tangan itu, tak mau putus dari Aldo.

"Keinginan!" jawab Aldo dengan senyum miringnya. Genggaman tangan Dee ia lepaskan, lalu pergi begitu saja.

Ya, coba-coba. Itu yang mungkin tertanam di pikiran Aldo. Ia mencoba Dee, merasa senang, lalu bosan, dan ia akan mencoba yang lainnya. Tentang keinginan yang berbeda. Dee ingin bertahan, dan Aldo tidak, karena ia merasa harus mencoba pengalaman lainnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status