Jantungku seperti hampir melompat ke mulut saat tanpa aba-aba, Darren meraih pinggangku dan merangkulnya dari samping tanpa tahu malu.
Kelewatan sekali dia! Apakah memang seperti ini caranya dia dalam memperlakukan wanita?"Ish! Apaan, sih!" ucapku ketus.Sontak aku melepas dengan kasar rangkulan tangan Darren yang melingkar tak tahu diri di pinggangku. Bukankah dia laki-laki paling tidak punya etika yang pernah kau temui selama hidupmu, Indah?"Kurang ajar banget!" desisku sambil melotot tajam.Melihat kemarahanku, Darren terlihat menanggapi santai, sedangkan wanita cantik bernama Gea yang dalam gendongannya ada seorang anak balita, justru tersenyum padaku sambil geleng kepala."Kalian pasangan yang serasi. Kakak prefer kamu sama yang ini, sih, De. Daripada cewek-cewek kamu yang sebelumnya," ucap wanita berhidung mancung itu sesaat setelah menatapku sekilas.Deg!Aku membelalak lebar mendengar kata demi kata yang terucap dari wanita yang dipanggil dengan sebutan 'Kak Ge' oleh laki-laki brengsek satu ini.Ya ampun!Cewek-cewek dia yang sebelumnya? Ada berapa?Meski sangat ingin berteriak serta menolak tegas pendapat wanita cantik bertubuh tinggi itu, aku memilih diam daripada harus menjadi pusat perhatian.Malu!"Ya udah, De. Bang Leo udah nungguin Kakak di bawah. Kamu terusin aja, ya, belanja barengnya sama calon istri. Jangan lupa bayarin." Wanita bermata agak sipit itu terkekeh kecil sebelum meninggalkan aku dan Darren yang masih saja berdiri bersisian di samping rak pembalut wanita ini."Siap, Kak Ge," balas Darren santai.Wanita itu pun benar-benar berlalu. Meninggalkan aku dan Darren yang masih saja berdiri kaku di sini. Di satu tempat yang tak pernah aku harapkan menjadi tempat pertemuan antara aku dan dirinya seperti ini. Apa lagi saat dia mengakui aku sebagai calon istri, sungguh, hal gila apa lagi ini?"Kamu lagi mabuk atau ... mengigau, heh? Kenapa harus ngakuin aku sebagai calon istri di hadapan kakakmu itu, ha?" tanyaku sarat emosi. Jika mengingat lagi tentang saat di mana aku terbangun dengan kepala berat dan mendapati bajingan ini tertidur di sampingku, emosiku memang langsung memuncak.Darren diam, seperti tak tertarik untuk menjawab pertanyaan bernada olok-olokan yang kulontarkan."Sudah selesai belanjanya? Itu aja?" tanyanya sambil mengawasi isi dalam troliku. "Ambil saja barang-barang di sini sebanyak mana yang kamu mau, nanti aku bayarin," ujarnya ringan.Masih sambil menahan emosi yang kian membuncah, aku mendelik padanya."Apa kau pikir aku seorang pelacur, ha? Setelah kamu berhasil merampas apa yang paling berharga dariku lalu semudah itu kau ingin menggantinya dengan materi?" tanyaku sambil mengetatkan rahang saat kedua mataku melotot tajam padanya.Sungguh, jika mengingat lagi tentang aku yang tak lagi suci setelah kejadian hari itu, hatiku selalu terasa diremas kuat dan sempat juga terbersit keinginan untuk mengakhiri semuanya. Namun, aku bersyukur karena masih ada iman dalam dadaku.Bukankah Allah maha pengampun dan maha penerima taubat?Darren mendengkus lirih."Btw … beli pembalut? Udah datang bulan emang?" tanyanya kemudian.Aku benar-benar tidak habis pikir, pada dia yang selalu saja tertarik membahas tentang hal lain saat aku bertanya dan memperolok dirinya.Astaghfirullah.Da-datang bulan? Ya ampun, kenapa aku lupa tak mengecek kalender?Aku yang berdiri kaku dengan tangan mencengkeram pegangan troli, mendadak merasakan tengkuk leher dan telapak tanganku dingin."Syukurlah kalau nggak jadi," ucap Darren kemudian.Aku yang tiba-tiba cemas setelah ditanya perihal tamu bulanan, buru-buru mendorong troliku ke arah kasir dengan cepat.Apakah aku harus membeli testpack setelah ini?Ya Allah, cukupkanlah sudah aibku sampai pada hilangnya mahkota sebelum pernikahan, jangan Engkau tambah lagi dengan cobaan yang lebih berat.Kedua kakiku bagai tak memijak bumi saat menunggu giliran untuk melakukan pembayaran di depan kasir. Sungguh, bayang kehamilan di luar nikah adalah momok menakutkan yang sukses membuat mood-ku hancur berantakan sore ini.Jangan sampai aku hamil, ya Allah. Jangan sampai.Setelah membayar barang belanjaan yang tidak seberapa banyak, aku buru-buru turun lewat tangga eskalator.Semenit setelah menjejakkan kaki pasca keluar dari pintu swalayan, aku dibuat terkejut ketika melihat kilat dan mendengar suara petir menggelegar. Tak berselang lama, hujan besar turun. Membuat perbedaan suasana pada sebagian orang yang mungkin tak membawa persiapan menghadapi hujan seperti diriku.Baru hendak memesan taksi online, aku dibuat tertegun saat menyadari ada seseorang yang merampas ponselku dari belakang."Nggak usah repot-repot pesen taksi online, aku bisa nganter kamu pulang, kok," ujarnya santai saat ponselku telah beralih ke tangannya."Aku nggak mau!" Aku menolak penuh ketegasan sambil berusaha mengambil kembali ponselku dari tangannya."Harus mau.""Enggak!"Darren mendengkus kecil sesaat setelah menyimpan ponselku di saku celana bahan yang dia kenakan sore ini."Jual mahal juga kau rupanya, ya? Apa kau yakin akan ada yang mau tulus menerimamu setelah tau kalau kau pernah tidur sekamar dengan seorang lelaki, ha?"Bergemuruh hatiku mendengar pertanyaannya yang jelas-jelas sudah sangat merendahkanku. Dia yang membuatku terhina dan dia pula yang menghinaku?"Ayo, ikut aku. Aku antar kamu pulang." Darren mengambil kunci dari saku jaket yang dia kenakan, sebelum dirinya menarik paksa diriku ke arah di mana mobilnya diparkirkan."Aku nggak mau!" Aku yang takut peristiwa pahit hari itu terulang kembali, terus berusaha memberontak, tapi tak dipedulikan."Tapi masalahnya … aku masih punya banyak stok foto kita yang lebih hot. Rasanya ide bagus kalau aku mengirimkannya pada mamamu sekarang," ucapnya sambil terus menarik langkah ke arah parkiran."Hei! Apa kau mengancamku?""Bisa juga kalau kau ingin menyebutnya begitu," balasnya ringan dan sama sekali tanpa beban.Aku yang dalam posisi serba salah, akhirnya pasrah saat Darren memaksaku masuk ke dalam mobilnya.Aku terus merapalkan doa begitu Darren mulai menjalankan mobilnya."Ha-ha lagi berdoa, ya, biar gak dibawa ke hotel lagi?" Tanpa rasa berdosa, Darren menertawakan aku yang jelas-jelas dalam posisi ketakutan.Dengan hati berdebar, aku tak berhenti memohon perlindungan dari sang pemilik kehidupan agar diriku terselamatkan sore ini."Sudah sampai."Aku terkesiap saat Darren mengagetkanku dengan ucapannya.Dia … benar mengantarkan aku sampai ke rumah? Bukan ke hotel seperti hari itu?Alhamdulillah.Tapi tunggu! Dari mana dia tahu persis alamat rumahku?Mataku membelalak lebar saat aku yang baru turun dari mobil Darren, mendapati Ayah tengah berdiri kaku di depan pintu gerbang saat menatap kepulanganku."Dari mana kau, Indah?!" tanya Ayah dengan mata menyala merah saat menatapku.Aku yang sedang kebingungan mencari jawaban, dibuat terkejut ketika menyadari seseorang tiba-tiba meraih tangan kiriku dari belakang.Darren?Mau apa dia?"Siapa dia, Indah?" tanya Ayah terdengar dingin dan kaku dengan raut wajah yang sama sekali tak bersahabat ketika menatap tajam pada Darren yang masih saja menggenggam erat tanganku sebelum aku menghempaskannya dengan kuat.Aku yang gugup sekaligus takut, merasakan degup jantungku terdengar sampai ke telinga. Kencang sekali detakannya."Eum di-di-dia …."Aku terbata-bata saat hendak menjelaskan perihal Darren pada Ayah yang tampak bernapas cepat saat menatap lekat padaku.Bukankah Ayah menanyakan siapa Darren barusan?Lantas, aku harus menjawab apa? Sedangkan kedatangannya ke rumah ini saja, aku tak tahu apa maksudnya.Ya Allah .... aku harus menjawab bagaimana sekarang?Tunggu! Apa ini artinya … Ayah tak begitu mengenali wajah Darren yang memang potongan rambutnya berbeda dengan laki-laki dalam foto yang membuat Ayah murka?Waktu itu ... rambutnya memang lebih panjang dibanding sekarang, wajar saja kalau Ayah tak mengenali dirinya."Perkenalkan, Om. Saya … Darren." Laki-laki bertubuh
Aku menggeleng tegas. Tak terlalu setuju dengan apa yang Mama usulkan barusan.Meski dalam hati memiliki kecurigaan yang sama, tapi aku tak ingin menjadikan itu sebagai solusi. Rasanya, terlalu terburu-buru jika aku sendiri menyimpulkan hal buruk itu yang terjadi.Bukankah bukan hal yang baru jika seorang Indah terlambat datang bulan?Ya, semenjak mendapatkan haid pertama pada usia 12 tahun, kadang aku memang memiliki siklus haid yang kurang teratur. Jadi bukan tidak mungkin, 'kan apa yang aku alami ini adalah hal yang lumrah seperti sebelum-sebelumnya?Aku cuma masuk angin karena malam tadi susah tidur dan AC di kamar terlalu dingin. Ya, pasti itu penyebabnya. Bukan karena hamil. Bukan!Aku terus mensugesti diri jika tak ada efek apa pun yang terjadi buah dari hubunganku dengan Darren yang terjadi hari itu.Tak akan pernah ada!Itu hanya sebuah kekhilafan yang tak seharusnya berdampak sejauh itu padaku."Ini cuma masuk angin biasa, Ma. Tadi malam Indah nggak bisa tidur, makanya jadi p
"Ngingetin kamu sama siapa?" tanya Resti penasaran.Huh! Ternyata … bukan cuma aku saja yang dibuat penasaran dengan ucapan Arman ini."Ah … nggak ada, lupakan. Jadi, gimana? Apa kamu masih berniat menjalankan rencana yang kita sudah susun sebelum ini, Res?" Arman yang sepertinya tak tertarik memberikan informasi lebih pada kami, terlihat ingin mengalihkan pembahasan dengan membicarakan tentang hal lain. Bukan mengenai apa yang sebenarnya membuat aku dan Resti penasaran.Resti tak langsung menjawab pertanyaan dari sepupunya, melainkan mengambil napas terlebih dahulu dan lantas mengalihkan pandangannya padaku."Kalau soal itu … kayaknya kita harus tanya dulu sama Indah. Katanya teman kamu yang playboy itu bilang mau datang ke rumah dia malam ini," ungkap Resti blak-blakan."Oh, ya?" Arman menatap tak percaya saat sepupunya secara gamblang menyampaikan kabar tentang rencana Darren yang katanya bakal datang ke rumahku malam nanti."Iya." Resti mantap menjawab. Dan seketika itu pula, sebu
"Aku … aku nggak kenal dia, Mas. Beneran." Masih dengan raut wajah yang terlihat tegang, Lira mencoba berkelit setelah dirinya mungkin merasa telah salah berbicara dan justru masuk ke perangkap yang dia buat sendiri.Ayah yang sedari tadi menatap tajam ke arah Lira, tampak bernapas dengan cepat ketika putri bungsunya memberikan penjelasan yang menurutku berlawanan dengan sikapnya sok tahu barusan."Lalu, dari mana kamu tahu dia seorang playboy? Atau jangan-jangan … kamu pernah jadi pacarnya?" Dengan ekspresi yang jauh dari kesan ramah, Galang menuduh tanpa sungkan, bahkan di depan ayah mertuanya sekalipun.Muka Lira sontak menggelap. Entah karena malu, takut, atau ada sebab lain yang mendasari? Aku tak bisa memprediksi."Please, jangan menuduh sembarangan, gitu, dong, Mas. Aku tahu dia playboy, tuh, dari temen aku. Kakaknya ada yang temenan sama dia. Makanya tau …." Akhirnya, Lira seperti punya jawaban untuk membela diri. Namun, sepertinya tak serta merta mampu membuat Galang percaya.
"Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Lira?! Kenapa?" tanyaku dengan suara melengking saat langkahku semakin dekat. Pada dia yang mematikan sambungan telepon secara tiba-tiba dan tergesa-gesa."M-Mbak Indah, aku … aku—." Wajah cantik adikku terlihat pucat pasi ketika menyadari pembicaraannya dengan seseorang yang kuperkirakan adalah Darren, terdengar jelas olehku. Kakak satu-satunya yang secara tega dijadikan sebagai mangsa untuk menuntaskan ambisinya. Ambisi mendapatkan Galang, lelaki 27 tahun yang kini sudah resmi menjadi suaminya."Apa salahku padamu, Lira? Katakan! Apa yang salah denganku?!" Dengan mengesampingkan rasa mual, aku masih saja tertarik untuk memperolok dirinya dengan suara lantang saat rasa sesak dalam dada kian menghimpit."M-Mbak Indah, Mbak Indah—." Berulang kali dia menyebut namaku saat kulihat keringat dingin mengucur deras di pelipisnya."Katakan, apa salahku padamu, Lira! Katakan!" sentakku dengan batin yang kian terasa pilu.Lira terlihat semakin panik. Terl
Teriakanku seperti tak terdengar. Terlihat Ayah terus menyerang Darren dengan membabi buta. Membuatku merasakan sesuatu yang … entah.Apakah aku benar-benar kasihan pada lelaki biadab yang telah menghancurkan masa depanku? Aku tak mengerti.Seolah tak ada puasnya, tinjuan terus Ayah layangkan di wajah lelaki berambut hitam tebal itu. Meskipun Darren sudah babak belur, Ayah seakan tak peduli. Beliau seperti orang kesurupan yang tengah membalaskan dendam atas rasa sakit hatinya.Namun, sekali lagi, tak ada perlawanan sedikit pun dari Darren. Darah yang mengalir di sudut bibir, dan wajahnya yang lebam seperti bukan hal besar bagi baginya."Ayah … tolong berhenti," ucapku dengan suara parau. Dari yang semula cuma teriris perih, hatiku kini rasa tercabik melihat bagaimana lelaki itu tak berdaya.Allah … apa yang salah dengan hatiku?Kenapa aku harus peduli? Kenapa rasanya sesakit ini?Melihat Darren yang akhirnya terkapar usai berkali-kali mendapatkan tinjuan dan tendangan, tanpa bisa dike
Aku menatapnya tak percaya.Bukankah dia terlihat seperti pendongeng handal yang tengah membodohi anak kecil?Sambil menghempaskan kuat kedua tangannya, aku mencebik kecil. Merasa tak sepakat dengan ide gila yang diungkapkan Galang barusan.Kenapa mudah sekali mulutnya mengatakan soal pembatalan nikah? Apa dia pikir … adikku seperti barang yang dibeli online dan bisa diretur sesuka hati saat merasa barang yang dipesannya tak sesuai?Dan … satu lagi, apa dia tengah menyamakan aku dengan barang loak yang masih terlihat bagus sehingga dia tertarik untuk tetap membelinya? Meskipun sudah jelas-jelas barang itu adalah barang bekas pakai?"Jadi maksudmu ... semua kemesraan yang kalian pertontonkan selama ini … palsu?" cecarku menyelidik. Pada dia—lelaki yang berujar bakal menjadi pasangan yang setia. Namun, nyatanya,kesetiaannya sirna selepas sebuah kesalahpahaman mencuat di antara kami lebih dari tiga minggu yang lalu.Galang mengangguk samar. Seperti membenarkan tebakan sekaligus tuduhan y
Siang ini, aku bisa bernapas lega saat menerima kabar dari Ayah jika kondisi Mama telah membaik dan penanganan rawat inap tak diperlukan."Sore nanti, Mama sudah diperbolehkan pulang," ucap Ayah ketika menelponku."Alhamdulillah," sahutku dengan hati tenang."Ya sudah, kamu juga jangan banyak pikiran, ya," ucap Ayah dari seberang sana."I-iya, Ayah." Aku yang sebenarnya sedang dalam kondisi terpuruk, merasa mendapat kekuatan baru setelah beberapa orang memberikan aku dukungan.Rasa hati, ingin sekali berbagi cerita dengan Resti. Namun, keinginan itu aku urungkan. Takut justru memperkeruh keadaan jika Resti sampai tahu kebenaran tentang diriku dan juga huru-hara yang sempat mengiringi.Baru beberapa detik panggilan dengan Ayah berakhir, ponselku berdering lagi.Nomor ponsel tak dikenal yang aku ketahui adalah milik Darren, memanggil.Mau apa dia?Aku berdecak sebal saat merasa dia seperti ingin menguji kesabaranku dengan tingkah lakunya yang kadang di luar nalar. Sungguh, jika boleh ak