Share

Jangan Sampai Lupa

Seperti yang pernah Sarah rasakan beberapa waktu lalu.

Rasanya sama seperti ketika Sarah memergoki Evan sedang makan berdua dengan salah satu sahabat ceweknya di tempat favorit Evan, tentunya saat awal-awal hubungan keduanya dulu.

Sarah sebenarnya merasa sangat cemburu dengan keberadaan sahabatnya itu, yang menurut keterangan Evan adalah sahabat kecilnya dan sampai sekarang mereka masih tetap bersama dan berteman baik.

Sarah pun tahu diri, kemudian merasa dirinya tidak memiliki hak untuk memisahkan sepasang sahabat tersebut ataupun melarang Evan untuk berkomunikasi dengan sahabatnya itu.

Sarah sempat khawatir hubungannya dengan Evan rusak dengan kehadiran orang ketiga yaitu orang yang disebut sahabat. Namun, sekarang Sarah sangat mempercayai Evan.

Evan memang tidak sekaya Marlon, bisa dikatakan Evan hanyalah pemuda dari kalangan bawah, tetapi rasa cinta Sarah terhadap Evan tidak diukur dengan harta.

"Iya, Sayang. Aku tau kok, kamu yang sabar ya."

Lagi-lagi Marlon terus berbicara mesra sambil tangannya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinganya.

"(...)"

"Iya sebentar lagi aku akan siap-siap. Kamu bisa tenangin diri dulu di kamar, kamu percaya sama aku. Kamu itu berani dan kuat," imbuh Marlon.

Marlon merasa kakinya sedikit kesemutan, akhirnya Marlon pun bangun lalu duduk. Kedua bola matanya langsung menangkap keberadaan Sarah yang masih saja berdiri dan memperhatikan Marlon.

Sarah tertegun saat kedua matanya beradu dan bertemu pandang dengan mata milik Marlon. Marlon seperti tidak menyukai keberadaan Sarah, Marlon merasa terganggu.

"Ekh, udah dulu, ya. Nanti setengah jam lagi aku telepon. Dada, Sayang."

Marlon langsung mematikan panggilan teleponnya tersebut.

Marlon lantas berdiri dari tempat duduknya dan kedua bola matanya terus memandang ke arah Sarah, pandangannya seolah mengintimidasi Sarah.

Sarah merasa begitu bersalah dan menganggap dirinya terlalu bodoh karena dirinya ceroboh. Akibat ulahnya itu dia harus terlibat perbincangan dengan Marlon pastinya.

"Kamu kenapa berdiri di sini? Sejak kapan kamu berada di sini? Apa yang kau lihat dan apa yang kau dengar?" tanya Marlon ingin tau.

Marlon merasa sedikit curiga dengan tingkah laku Sarah yang terus memandanginya, sebelumnya Sarah tidak pernah mau melakukan hal seperti itu. Entah apa yang Sarah pikirkan saat ini, Marlon tidak bisa menebaknya.

Sarah gelagapan.

Bagaikan maling yang tertangkap basah, merasa bingung apa yang akan dia katakan.

"Ak-aku ... aku boleh min-ta bantuanmu?" tanya Sarah setengah sadar ketika berbicara.

Sehabis mengucapkan hal itu, Sarah merasa makin gugup.

Marlon berdiri di hadapan Sarah dengan pandangan menyidik. Mendapatkan pandangan dari Marlon membuat Sarah salah tingkah.

"Bantuan? Bantuan apa? Tumben sekali kamu minta bantuan sama aku? Apa ini nggak salah atau ini adalah efek dari sakitmu itu, sehingga membuat kamu bermasalah?" ledek Marlon dengan wajah datarnya.

Mendengar hal itu ingin rasanya Sarah mencakar mulut Marlon, tapi apa daya. Semua ini salah Sarah sendiri karena telah tertangkap basah memperhatikan Marlon yang sedang ngobrol di dalam telepon.

"Enggak. Enggak ada yang salah, kok. Semua itu benar," kata Sarah mengiyakan.

"Ya sudah, katakan saja apa yang bisa ku lakukan untuk membantumu? Tapi jangan merepotkan aku!" sahut Marlon.

Marlon memicingkan matanya, pandangan tak lepas dari wajah Sarah. Berlahan Sarah pun berani menatap Marlon.

'Ini tak seburuk dugaanku, dia tidak terlalu menyeramkan seperti pemikiranku selama ini. Dia peduli dan mau membantu, mungkin selama ini aku hanya terlalu gengsi saja dan merasa tidak memerlukan apapun darinya. Karena memang itulah kenyataannya, aku dan dia tak ada hubungan apa pun. Status suami-istri hanya sebatas di atas kertas,' batin Sarah.

Marlon mengalihkan pandangannya dengan malas.

"Kalau kau hanya ingin mengerjaiku sebaiknya kamu balik ke kamarmu, katanya kamu sakit. Istirahatlah, aku tidak ada waktu bermain-main denganmu, karena aku juga harus bersiap-siap. Aku akan pergi," ujar Marlon yang merasa Sarah hanya iseng saja dengannya.

Mau bagaimanapun, Marlon harus memikirkan bagaimana nasib kehidupannya kelak dengan Natalia, apalagi tadi di dalam telepon Natalia seperti tidak bisa bersabar lagi. Marlon memang merasa akhir-akhir ini Natalia sudah mulai berubah, serasa ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama Marlon.

'Meskipun dia menyebalkan tapi ternyata dia perhatian. Walaupun perhatian tetap saja dia menyebalkan,' lanjut Sarah dalam hati.

"Sudahlah, kamu masih saja diam. Aku mau balik pergi lagi," kata Marlon dan hendak berlalu, tapi tiba-tiba lengan tangan Marlon di sentuh oleh Sarah.

"Tunggu!" pinta Sarah.

Marlon berhenti dan menatap tangan Sarah yang telah menyentuhnya.

Refleks, Sarah langsung menarik tangannya sendiri.

"Sorry, a-aku memang membutuhkan bantuanmu. Ponselku tidak ada, aku lupa menaruhnya," kata Sarah.

Marlon menyimak penjelasan Sarah dengan seksama. Dia memerhatikan Sarah.

'Ternyata Sarah cantik juga, gak kalah sama Natalia,' batin Marlon, tanpa sadar sudut bibir Marlon membentuk sebuah senyuman, yang tanpa disadari oleh dirinya sendiri.

Sarah kembali merasa salah tingkah mendapatkan tatapan Marlon yang tidak biasa, apalagi wajahnya terlihat begitu tampan ketika dia tersenyum. Baru kali ini Sarah melihatnya, meskipun Sarah sering kali melihat Marlon tersenyum kepada kedua orang tuanya tapi teramat beda dengan yang sekarang.

"Apa aku boleh minta bantuanmu?" tanya Sarah pelan.

Sapaan Sarah menyadarkan lamunan Marlon.

"Baiklah, aku akan memanggilnya," kata Marlon yang langsung tanggap. Marlon mulai mencari nomor Sarah, sesekali Marlon melirik ke arah Sarah. Sarah yang memperhatikan Marlon sibuk dengan ponselnya pun pura-pura memperhatikan frame yang berada di bufet.

Sarah merasa ada getaran hebat di dalam saku celana pendeknya. Getaran itu semakin lama semakin jelas, di tambah lagi sekarang ada suara dering.

"Itu ponselmu berada di celanamu," ujar Marlon memperhatikan celana Sarah yang panjangnya hanya sebatas lutut.

Seperti orang bodoh, Sarah pun juga ikutan melihatnya. Sarah tidak menyangka jika ponselnya sejak tadi ada di saku celananya.

Marlon mematikan panggilannya dan ponsel Sarah pun berhenti berdering.

"Lain kali bisa coba cari pakai telepon rumah, gak harus minta bantuanku," lanjut Marlon, kemudian pergi.

Kata-kata Marlon membuat wajah Sarah memerah bak kepiting rebus karena malu. Seakan-akan di sini Sarah telah di tuduh Marlon hanya bermodus.

"Ihh, namanya juga lupa!" Sarah yang merasa tidak terima pun berseru dengan sedikit menaikkan volume suaranya.

Marlon yang masih mendengar suara Sarah pun hanya menjawab: "Sama-sama."

Marlon hilang di balik pintu kamarnya yang pintunya lurus dari tempat Sarah berdiri. Kamar mereka memang berbeda lantai, kamar Marlon berada di lantai satu sedangkan kamar Sarah berada di lantai dua. Sama seperti ruang kerja Marlon yang berada di lantai dua.

"Terima kasih, Marlon." Sarah berujar pelan yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri.

Sarah duduk di sofa, sambil menimbang-nimbang ponselnya.

"Apa tadi dia telponan sama pacarnya? Wanita mana yang sanggup menghadapinya? Dia sangat mengesalkan dan menjengkelkan. Mungkin wanita yang mau sama dia itu karena terkena guna-guna," gumam Sarah sambil menerawang jauh ke langit-langit ruang tamu.

"Ohh, atau jangan-jangan dia bertindak kriminal dan memaksa wanita menjadi kekasihnya. Gak mungkin juga dia bersikap lembut sama wanita," lanjut Sarah.

Sarah menaruh ponselnya di meja.

"Huft. Apa peduliku? Aku tidak peduli sama sekali. Terserah dia saja mau bagaimana cara dia mendapatkan wanita."

Sarah terdiam sejenak, dia lupa jika dirinya hendak menelpon kekasihnya---Evan. Sarah ingin mengabarkan jika dirinya kini telah baik-baik saja.

Klik!

Evan: Halo, Sayang. Ada apa jam segini telepon? Aku sedang di luar kota.

Sarah: Aku rindu kamu dan aku juga mau mengabarkan kalau sekarang aku baik-baik saja.

Evan: Syukurlah kalau begitu, kamu gak diapa-apain sama suami palsumu itu, kan?

Sarah tersenyum, Sarah tahu jika Evan bertanya seperti itu setiap saat karena Evan sangat menyayanginya.

Sarah: Enggak. Ku pastikan dia tidak bertindak macam-macam terhadapku.

Sarah tidak berniat menceritakan kejadian di atas sofa tadi, karena sebisa mungkin Sarah akan cepat-cepat melupakannya.

Evan: Baguslah, aku juga tidak rela dia menyentuhmu. Kamu harus bisa jaga diri baik-baik.

Sarah: Pasti, aku akan menjaga diri baik-baik. Kamu sudah makan siang belum tadi? Kamu jangan lupa makan siang ya. Kamu bekerja terlalu keras belakangan ini.

Sarah merasa Evan sekarang lebih sedikit memiliki waktu bersama Sarah. Ya meskipun hubungan mereka hanya berkomunikasi lewat ponsel tapi keduanya tetap menerima hubungan tersebut.

("Sayang, Kamu...,")

("Stttt.")

Sarah sepintas mendengar suara perempuan lain di dalam telepon yang memanggil sebutan sayang, tapi entahlah siapa pemilik suara tersebut dan siapa yang di maksud. Tapi rasa-rasanya suara itu tidak asing.

Sarah: Itu siapa, Evan?

Evan: Bukan siapa-siapa. Itu orang di luar. Aku sedang di supermarket. Sayang, udah dulu ya. Aku harus kembali bekerja. Lain kali kita sambung lagi. Bye.

Tuuut.

Telepon di tutup secara sepihak. Sarah menjauhkan ponselnya dari telinganya. Tidak biasanya Evan seperti itu, biasanya Sarah yang akan mematikan teleponnya. Apalagi sekarang ini Sarah yang menelponnya.

"Kenapa aku merasa ada yang tidak beres, ya? Apa ini cuma perasaanku aja?" gumam Sarah yang terus memperhatikan layar ponselnya yang masih menampilkan ringkasan waktu mereka berbicara.

Tidak lebih dari dua menit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status