Share

Sakit

Sampai apartemen pun Doni masih diam. Tak ada kata sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Dia langsung menuju kamar mereka dan merebahkan badannya. Menarik selimut tebalnya juga tak lupa memeluk bantal guling kesayangannya. Memutar tubuh membelakangi Lily.

"Apa dia marah? Kok diam mulu sih. Kan guenya yang jadi gak enak," batin Lily. Dia melepas jaketnya sembari melirik Doni. Menyantolkan jaket tersebut ke hanger. Meninggalkan aroma parfum mereka yang bercampur di jaket Doni.

Lily lalu menuju kamar mandi untuk membasuh wajah. Selesai, dia kembali lagi untuk mengambil baju tidurnya dan ganti di kamar mandi.

Dia berdiri di sisi ranjang. Canggung juga rasanya. Baru pertama kali ini dia tidur satu ranjang dengan pria. Ya meski pada kenyataannya cowok yang sedang meringkuk itu adalah suaminya. Suami berondongnya.

Ragu-ragu, akhirnya Lily merebahkan badannya di samping Doni. Cowok itu tak ada pergerakan sedikitpun. Dia lelap dalam mimpinya.

Posisi mereka sekarang adalah saling membelakangi. 

Cukup lama Lily tak dapat memejamkan mata, namun pada akhirnya matanya menyerah. Dia terlelap juga menyusul Doni ke alam mimpi.

----

Pukul 05:03, Lily terbangun. Tangannya tanpa sengaja menyenggol sesuatu yang panas. Dia sontak membuka matanya. Berhadapan dengan wajah tampan Doni yang kini sedikit memucat namun bibirnya mendesis, menggigil.

"Kok panas?" gumam Lily. Dia menyentuhkan tangannya di dahi Doni.

"Astaga! Panas banget," paniknya. Lily langsung beranjak dari ranjang. Memeriksa Doni lebih intens. Menyentuhkan tangannya di tangan, leher dan dahi Doni.

"Ya ampun. Dia kenapa sih? Kok bisa panas gini. Duh, demam lagi."

Lily bergegas mengambil kompres. Menempelkan di dahi Doni. Sedangkan cowok itu mengigau ringan. Desisan menggigil juga keluar dari bibirnya.

"Apa jangan-jangan gara-gara dia gak paket jaket semalam ya? Duh, gue kan jadi ngerasa bersalah," Lily menggigit bibir bawahnya.

"Mana gue belum pernah ngerawat orang sakit. Kudu gimana nih."

Lily menyentuh tangan Doni. Menggenggamnya, meski tak tahu apakah bisa mengurangi rasa dingin yang menerpa cowok itu. Sebelah tangannya juga memijit-mijit pelipis Doni.

Setengah jam berlalu, Lily masih stay nungguin Doni. Tangannya masih mengenggam tangan Doni. 

Dia melihat jam di nakasnya. Pukul enam lewat sedikit. Doni belum juga bangun. Perlahan dia melepas genggamannya dan berniat bangun. Namun tangan Doni kembali menariknya.

"Disini aja kak. Dingin," gumam Doni dengan suara serak dan pelan. Mata masih terpejam.

"Tapi gue harus masak, Don," tolaknya halus. Bagaimanapun dia harus membuat sarapan untuk mereka berdua. Apalagi Doni sedang sakit gini kan. Makannya harus teratur.

"Sebentar aja kak." 

Lily mengalah, mengurungkan niatnya. Dia biarkan Doni menggenggam tangannya. 

"Kita ke rumah sakit ya?" tawar Lily.

"Gak usah."

"Tapi Don..."

"Gak usah kak. Bentar lagi juga sembuh."

Lily menghela napas. Masih juga ngeyel bocah ini. Padahal masih sakit juga.

"Lo gak bisa kena angin malam ya? Pasti lo sakit gara-gara minjemin jaket ke gue kan?"

Doni tak menjawab. Matanya tetap terpejam. Tapi Lily tahu, Doni gak tidur.

"Maaf. Gara-gara gue lo jadi sakit."

Perlahan tangan Lily mengusap pelan rambut Doni. Dapat dia rasakan panasnya wajah Doni.

"Astaga, gue lupa."

Lily beranjak lagi, melepas paksa tangannya dari genggaman Doni. Membuat cowok itu membuka matanya dengan raut pucat.

"Disini aja kak."

"Sebentar," ujar Lily dan keluar dari kamar.

-----

Lily kembali dengan membawa nampan berisi bubur dan juga minumnya. Ada obat disamping sepasang makanan dan minuman itu.

Dia letakkan nampan tersebut di nakas dan membangunkan Doni.

"Don, bangun dulu,"

Doni membuka matanya. 

"Makan dulu ya," ujar Lily, sembari menyodorkan sesendok bubur.

Doni langsung menutupi wajahnya dengan selimut. Lily menggelengkan kepala melihat tingkah bocah itu.

"Makan dulu, Don."

"Kakak aja yang makan," jawabnya dengan suara lemah.

"Lah, kan elo yang sakit. Masak gue yang makan?"

"Gak laper."

"Bukan masalah laper gak nya. Tapi lo harus minum obat," sumpah, Lily menahan kesabarannya mati-matian.

"Gue gak suka obat."

"Ya tahu. Siapa juga yang suka obat. Tapi kan demi kesembuhan lo."

"Kakak aja yang minum obatnya."

Hilang sudah kesabaran Lily. Dia menarik paksa selimut yang dipakai Doni.

"Ish, kak..."

"Makan gak! Gue potoin lo, gue sebarin ke temen lo mau? Biar mereka tahu berandal macam lo takut sama pil?" Ancamnya.

"Ish, iya iya."

Doni beranjak dari baringnya dan beringsut menyandarkan badannya di headboard ranjang.

"Nah, gitu dong." Lily tersenyum menang. Dia menyuapi Doni meski cowok itu ogah-ogahan. Rasanya seperti punya bayi bajang. Eh, maksudnya bayi besar.

"Udah kak. Mana obatnya."

"Baru juga tiga suap, Don."

"Yang penting kan udah makan."

Lily menarik napas pelan. Meletakkan mangkok bubur dan mengambil obat demam, menyerahkan pada Doni. Tak lupa air segelas.

Sedangkan Doni, menatap nanar obat itu.

"Ayo, diminum. Buruan."

Glek.

Doni menelan ludah. Sumpah, dia benci obat. Dia hanya memutar-mutar pil tak berdosa itu.

"Kenapa lagi Don?" Gemas juga lama-lama liatnya.

"Guegakbisaminumobat," gumanya super lirih.

"Hah? Apa? Gue gak denger." 

"Ck..." Doni mendecak pelan.

"Ambilin gue sendok."

"Buat apa bambang. Tinggal minum aja lo. Ribet amat."

Doni mendengkus. Dia beranjak berdiri, namun tubuhnya oleng. Untung saja Lily sigap menangkapnya.

"Aish! Iya... iya. Gue ambilin. Lo istirahat aja."

Doni tersenyum tipis. 

Tak lama kemudian Lily kembali membawa sendok bersih. 

"Buat apa sih?" tanyanya sembari menyerahkan sendok tersebut ke Doni. Doni diam saja. Justru meletakkan pil itu ke sendok dan memberinya sedikit air.

"What! Lo gak bisa nelen pil?" Lily menutup mulutnya tak percaya. Hey, itu cara lamanya buat minum pil. Tapi itu kan buat pembelajaran anak-anak aja. Masak orang dewasa minum pil masih nungguin cair dulu. Omegat!

"Ck. Diem bisa gak sih kak."

Doni memegangi sendok itu, menunggu obatnya melebur dalam air. Lily masih menatapnya sangsi. Bener-bener nih bocah. Wajah dan badan aja yang gede, tapi tingkahnya, duh... gak nyangka banget.

"Air."

Lily menyodorkan gelas air. Doni lalu memasukkan sendok berisi obat itu dan langsung menyorongnya dengan air putih hingga tandas.

"Aah! Pait!" Keluhnya dengan wajah meringis.

"Iye lah. Mana ada obat manis. Aneh-aneh aja kamu. Lagian apa malah gak nyebar sih paitnya. Aneh kamu."

Doni tak menjawab. Kembali merebahkan dirinya.

"Gue izinin ya, ada nomor guru lo gak?"

"Gak usah. Biarin aja."

"Lah, gak bisa dong. Lo kan sakit. Ntar di kira bolos lagi."

"Biar."

Doni langsung menarik selimutnya. Tak berniat membalas ucapan Lily lagi.

"Dasar berandal..." desis Lily pelan, namun masih terdengar Doni.

Dia memberesi sisa makan Doni. Membawanya ke dapur lagi.

Di lanjut dengan beres-beres apartemen. Memasak untuk makan siang juga.

Saat sedang bersih-bersih, ponselnya berbunyi.

"Iya Bil. Napa?"

"Lo gak ngampus? Tumben jam segini belum nongol."

"Gue izin. Gak masuk hari ini."

"Lah, kenapa. Lo gak abis naena kan ama tuh bocah? Gak bisa jalan lo?"

"Sembarangan kalo ngomong. Gila aja gue mau kayak gituan ama bocah kencur."

"Hehe.. bisa aja kan? Lagian bocil lo itu diliat-liat..."

"Udah ah, Bil. Gue lagi beres-beres."

"Yaaa.. mulai deh. Mutusin omogan lagi. Tapi sebelum di tutup, gue tanya dong. Kenapa lo ngelibur?"

"Doni sakit. Makanya gue gak masuk."

"What! Serius? Lo apain bocil gue?"

Lily menjauhkan ponselnya dari telinga. Kebiasaan. Bila selalu teriak kalau ada yang mengejutkannya.

"Ntar aja deh. Gue sibuk sekarang."

"Yaah. Ya udah deh. Ketemu besok. Byee..."

"Hm..."

Lily mematikan sambungan. Kembali beres-beres.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status