Langit malam mulai merajai kota Lefan. Terlihat Kimberly mematung dengan mata kosongnya. Sementara Yuksel telah berpakaian lengkap. Melihat sang istri yang tak segera memakai baju, membuat Yuksel mendekat dan berniat membantu."Menyingkir dariku Grand Duke."Dahi Yuksel mengerut. Padahal beberapa waktu lalu, Kimberly sangat menurut. Tapi, dimulai dari saat Yuksel menikmati Kimberly, sang istri mulai berbeda. Kembali bersikap kasar."Kimberly, kau bukan wanita yang tidak tahu terima kasih kan?" sindir Yuksel sedikit kesal, "lekas pakai bajumu."Yuksel menatap labirin yang sebentar lagi akan menghilang. Jika sampai hilang, maka akan ada mata yang melihat tubuh tanpa busana milik Kimberly. Meski sibuk dengan pemikirannya sendiri, Kimberly mulai memakai bajunya."Kenapa kau tidak memiliki tanda organisasi di dadamu?" tanya Kimberly lagi.Bahkan, ketika mata Kimberly meneliti seluruh tubuh suaminya. Benar-benar tak tersentuh oleh tanda organisasi yang dimaksud oleh ayahnya, Aaron Barnes. A
"Jelaskan apa?" tanya Yuksel sedikit ketus."Menjelaskan semuanya." Namun Kimberly berusaha bersikap tenang.Mata Yuksel menyorot sangat tajam, seolah bisa menembus wajah Kimberly. Tangan mencengkram pundak cukup erat. Persis seperti ingin memarahi istri habis-habisan."Kau pasti ingin kabur ke perbatasan kan? Bertemu selingkuhanmu itu kan!" seru Yuksel tertahan, mengingat mereka berdua berada di ruang tengah."Ya?" Seketika Kimberly melongo."Apa maksudmu Grand Duke?"Netra Yuksel masih menatap tajam. "Jangan berlagak bodoh. Aku tahu di perbatasan itu kau memiliki kekasih, makanya kau berniat kabur untuk menemuinya malam ini kan?"Tiba-tiba saja Kimberly tertawa kecil. Ternyata hal yang ia cemaskan seperti angin lalu saja. Padahal jantung rasanya mau copot, memikirkan Yuksel tahu alasannya menikah. Rupanya pria ini mengira keinginannya kabur di malam hari, karena merindukan sosok pria lain.Dahi Yuksel mengerut marah. "Berani sekali kau tertawa di de
"Bohong!" seru Arabella marah, "Grand Duke, jelas-jelas Lady Kimberly menendang pelayanku."Mata Yuksel melirik pada pelayan yang hanya menunduk. Kaki nampak baik-baik saja, tapi raut wajah yang penuh keringat dingin itu. Tanpa menelaah lebih pun, Yuksel bisa menyimpulkan. Kalau sang istri memang telah melakukan yang Arabella adukan.Namun, bukannya mengaku salah. Kimberly justru masih menangis dengan mulut mengaduh sakit pada kakinya. Arabella mengepalkan tangan dan hendak mengamuk, sayangnya mata Yuksel menatap serius pada kedua istri."Bangun dari tubuh Arabella," ujar Yuksel sedikit pelan.Kimberly berhenti dari tangisnya. "Aku tidak bisa berdiri, kakiku sungguh sakit."Meski berusaha untuk tetap sabar. Pada akhirnya, Yuksel mendengkus. Semakin mendekat, kemudian mulai mengangkat tubuh Kimberly begitu mudahnya. Hal itu jelas mengundang tatapan iri dari Arabella."Grand Duke," panggil Arabella dengan manja serta kedua tangan minta diraih.Melihat perhatian Yuksel yang tertuju pada
Tubuh Kimberly bergerak mundur perlahan. Sementara Yuksel terburu meninggalkan meja hanya untuk berlari ke arahnya. Kimberly sendiri bersiap kabur, namun tangan Aiden lebih cepat tanggap saat diperintah."Tangkap Kimberly.""Baik Grand Duke."Kimberly menjerit takut, tangan yang semula dicekal oleh Aiden langsung diraih oleh Yuksel. Tangan yang bersentuhan itu membuat Kimberly semakin ketakutan. Kematian adalah hal yang paling menakutkan untuknya."Grand Duke tolong lepaskan aku, aku masih ingin hidup," rengeknya dengan air mata menggenang.Yuksel mengusap sudut matanya. "Tenang saja, aku pakai sarung tangan, kau tidak akan kenapa-kenapa."Madam Ane yang mulai keluar dari ruangan, nampak saling bertatapan dengan Aiden. Biasanya Grand Duke, orang yang selalu menutupi kelemahan itu. Sementara Yuksel tidak menyangkal sama sekali racun itu. Nampak mempercayakan fakta itu pada Kimberly."Tapi, aku akan mati," ujarnya dengan sorot ketakutan."Tidak istriku, ini sarung tangan dari penyihir,
Yuksel mengira, kalau Kimberly hanya benar kaget saja hingga butuh waktu. Namun, ternyata jauh lebih banyak waktu yang dibutuhkan untuk kembali dekat. Terbukti dari Kimberly yang terus saja menghindar.Contohnya sekarang. Kimberly berada di taman hanya untuk sarapan. Alih-alih menikmati sejuknya pagi hari, Kimberly justru menghindar. Dari balik jendela warna coklat itu, berdiri pangeran kelima dengan Madam Ane nampak di belakang."Jadi, wanita rendahan itu tahu. Kalau Yuksel punya racun di tubuhnya?" Suara pangeran kelima terdengar serius."Benar sekali Yang Mulia," sahut Madam Ane hormat."Kenapa dia ceroboh sekali setelah mengenal cinta? Dia tidak belajar dari pengalaman, betapa buruknya wanita itu dalam menggosip," gerutu pangeran kelima membuat Madam Ane membisu.Rumor kematian Yuksel di tangan bandit. Memang sudah merajai kota Lefan, hingga ada beberapa pejabat yang berdatangan untuk berbelasungkawa. Namun, Madam Ane berperan sebagai pembawa pesan, dan tepat waktu mengabarkan fak
"Lepaskan aku," pinta Kimberly pelan.Seolah tak ingin dunia tahu, kalau ia adalah istri pemberontak. Padahal di kediaman Kimberly termasuk pembuat masalah, apalagi telah bertengkar dengan Arabella. Tapi anehnya, tak ada satu pun berita yang bocor keluar."Tidak mau," tolak Yuksel dengan mata membingkai pelayan yang sedang membungkus kue.Jemari Yuksel yang memegang pedang, mulai menunjuk kue lainnya. Cukup banyak sampai membuat Kimberly menatap Yuksel. Orang ini sekalinya beli, bisa membuat toko tutup karena sudah dapat untung. "Kau akan membagikannya pada istri-istrimu?" bisik Kimberly, padahal semua orang tahu Yuksel punya puluhan istri.Yuksel meliriknya. "Aku membelinya hanya untuk istri yang diakui."Diakui oleh siapa? Jika itu pangeran kelima, maka jelas sekali itu Arabella. Selang beberapa menit, begitu keluar dari toko. Dua tangan Emma juga Aiden penuh dengan bingkisan kue. "Tolong letakkan di kereta--eh kalian mau membawanya ke mana?" Kimberly protes ketika Aiden dan Emma
Aiden benar-benar mengikuti Emma yang keluar kediaman pangeran kelima. Namun, Emma sama sekali tidak sadar dengan penunggang kuda yang memakai tudung topi itu. Hingga kereta yang ditumpangi Emma berhenti di dalam kediaman Barnes. Saat itu juga Aiden mulai memacu kuda untuk menjauh."Kau bisa menyerahkan suratnya padaku, tuan Barnes sudah istirahat."Di dalam kediaman, Emma dicegah oleh pelayan pribadi Aaron Barnes. "Kalau begitu saya akan menunggu.""Menunggu hingga pagi? Lekaslah kembali sebelum tengah malam tiba."Pelayan pribadi Aaron ini merampas paksa surat dari tangan Emma. Bahkan menghindar dan menyuruh pelayan lain untuk membawa Emma keluar dari kediaman. Rupanya Aiden masih ada di sana, dan tetap mengikuti Emma yang kembali dengan kereta kuda dari belakang."Pelayan kecil itu mengirim surat ke kediaman Count Barnes." Itulah yang dilaporkan oleh Aiden begitu sampai dan berada di ruang kerja Yuksel."Benarkah?""Tapi tidak lama langsung keluar lagi, pelayan kecil itu nampak mur
"Di labirin juga, kita bisa menikmati sesuatu yang tidak bisa didapatkan di kedai mana pun," lanjut Yuksel dengan mata menatapnya antusias.Sementara Kimberly gelagapan sendiri. Apalagi ketika Emma, meski mulut diam dan pandangan tertunduk. Tapi, mata menunjukkan keingin tahuan atas kenikmatan yang ditawarkan labirin itu. "Omong kosong," keluhnya hendak menutup mulut Yuksel, supaya tak bertingkah.Tapi, tangannya langsung dicekal. "Istriku, jangan buat Emma terkejut."Justru Kimberly yang tertegun. Benar, jika sampai tangannya membungkam mulut Yuksel secara langsung. Maka kematian akan menimpanya. Lantas menimbulkan kegaduhan karena Emma menjerit cemas."Aku juga ingin bicara dengan ayahku, jadi biarkan aku pergi dan jangan mengikutiku," pintanya.***Entah mengapa, ketika Kimberly mengungkit ayahnya. Lalu ada hal serius yang ingin ia katakan. Yuksel mengizinkan untuk makan di luar dan tidak akan mengikuti dengan alasan ada pekerjaan mendadak.Makan itu hanya sebuah alasan. Sejujurny