Share

02. Manusia Paling Menyebalkan

Uhuk, uhuk!

 

Intan yang sedang mengunyah makanan itu langsung tersedak. Bak tersambar petir di siang bolong, ia sangat terkejut mendengar bahwa dirinya akan dijodohkan dengan profesor yang paling ia benci itu.

 

'Aku yakin ini pasti mimpi. Mana mungkin aku menikah dengan manusia jahat seperti itu? Oh no! Itu bagaikan musibah,' batin Intan sambil meneguk air mineral.

 

Ia tidak berani mengatakan apa pun karena khawatir penyakit ibunya kumat.

 

Sementara itu Zein masih berusaha bersikap tenang meski sebenarnya ia pun tak kalah terkejut dari Intan. 'Mimpi apa aku harus menikahi gadis manja seperti itu?' batin Zein. Ia tidak mengatakan apa pun, sehingga Muh dan Rani menganggap bahwa Zein setuju dengan perjodohan ini.

 

"Emm ... sepertinya kalian berdua tidak keberatan? Wajar, sih. Kalian kan sudah saling mengenal, jadi tidak sulit untuk membangun chemistery. Bukan begitu?" ujar Rani tanpa dosa.

 

Padahal, jangankan chemistrery. Sekadar hubungan baik antara konsulen dan koas saja tidak ada. Mereka lebih sering berdebat meski hanya karena hal sepele.

 

"Saya juga senang kalau kalian berdua setuju," timpal Fatma yang sejak tadi hanya menjadi pendengar setia.

 

"Apalagi saya, Bu. Almarhum ayahnya Intan pun pasti akan bahagia jika mengetahui hal ini. Sebab beliau pernah menitipkan Intan pada saya. Semoga Zein bisa menjaga amanah ini, ya?" ujar Muh dengan wajah yang terlihat begitu bahagia.

 

‘Cih! Mana mungkin. Yang ada aku akan menderita jika harus hidup dengannya,’ gumam Intan dalam hati.

 

Zein hanya tersenyum getir. Ia ingin menolak, akan tetapi dirinya yang menjunjung tinggi etika itu tidak mungkin langsung menolak di hadapan Fatma begitu saja. Jika hanya Intan mungkin ia tidak akan peduli. Namun ia memikirkan perasaan Fatma yang sebelumnya memang pernah ia kenal itu.

 

Beberapa saat kemudian, mereka keluar dan berpamitan di depan restoran tersebut. "Zein, apa kamu bisa mengangtar Intan dan Bu Fatma?" tanya Muh. Ia tidak tega melihat dua wanita itu pulang berdua.

 

Zein terlihat keberatan. Ia tidak ingin mengantar Intan karena khawatir gadis itu akan merasa diperhatikan. Menyadari hal itu, Intan pun segera menjawab ucapan Muh.

 

"Gak usah, Om! Saya bawa motor," sahut Intan. Saat ini ia pun tidak ingin terlalu dekat dengan makhluk paling menakutkan baginya itu.

 

"Wah, tapi gak apa-apa kalian naik motor berdua malam-malam begini?" tanya Muh.

 

"Gak apa, Om. Aku udah biasa, kok. Bahkan biasanya aku pulang dini hari dari rumah sakit," ucap Intan sambil melirik ke arah Zein. Ia sengaja menyindir konsulen yang menurutnya tidak punya perasaan itu.

 

"Ya Tuhan, itu berbahaya sekali. Zein, kamu gimana, sih? Masa kamu biarin Intan pulang malam sendirian?" Muh protes pada Zein. Ia menganggap anaknya keterlaluan karena itu sangat berbahaya.

 

"Papah kayak gak tau aja. Kalau lagi koas kan emang gitu. Dokter lain juga gak ada yang ngeluh, kok. Ya ... kecuali kalau emang manja," sindir Zein. Ia kesal karena Intan mengadu.

 

"Ya udah, kami duluan ya, Om," Intan bergegas pamit. Ia tidak ingin berdebat dengan calon suaminya itu.

 

"Oke, hati-hati!" sahut Muh. Mereka pun pulang ke rumahnya.

 

Tiba di rumah Muh, Zein langsung protes pada orang tuanya itu. "Apa Papah dan Mamah tidak salah? Dia itu masih kecil, Pah. Bahkan masih banyak yang harus ia lalui untuk menjadi dokter."

 

"Why not? Bukankah dulu kalian cukup dekat? Apa kamu lupa, Zein? Kamu bahkan dulu sangat menyayangi Intan," ujar Muh. Tadi mereka tidak sempat membahas masa lalu karena hari sudah cukup malam.

 

"Apa?" Zein mengerutkan keningnya. Ia seolah tak percaya atas apa yang Muh katakan.

 

"Kamu ingat ibunya Intan, kan? Tante Fatma," Muh berusaha membangkitkan ingatan Zein.

 

Zein terlihat berpikir. "Lupa-lupa ingat, sih. Kenapa?" tanyanya.

 

"Nah, dulu kan kita tetanggaan. Waktu tante Fatma melahirkan, usia kamu sudah 11 tahun. Kala itu kamu sudah hampir lulus SD. Tapi kamu ini sangat menyukai anak kecil. Jadi kamu yang mengasuh Intan. Ingat?" tanya Muh.

 

"Hah? Jadi dia ...?" Zein seolah tak percaya bahwa gadis yang akan ia nikahi adalah bayi yang dulu pernah ia asuh.

 

"Iya, benar. Sekarang dia sudah besar dan akan segera menjadi dokter. Hebat, kan?" tanya Muh tanpa dosa.

 

"Astaghfirullah, Pah. Masa aku harus nikahin anak kecil, sih? Bisa-bisa aku merasa berdosa jika mengingat bagaimana dia ketika bayi dulu," protes Zein.

 

"Sekarang kan dia sudah dewasa, Zein. Lebih baik kamu kenali dulu bagaimana dia. Sedikit banyak papah sudah tahu Intan seperti apa. Papah yakin jika kamu mengenal dia lebih dekat lagi, kamu pasti akan jatuh hati padanya," jelas Muh.

 

Zein sudah tidak dapat berkata-kata lagi. Berontak pun percuma karena jika papahnya sudah membuat keputusan maka tidak bisa diganggu gugat.

 

"Lagi pula kamu itu kan sebentar lagi harus menggantikan Papah, Zein. Jika kamu belum menikah, maka pemegang saham yang lain tidak akan setuju. Kamu tahu itu, kan?" timpal Rani.

 

"Ya sudah," jawab Zein. Kemudian ia pamit pergi ke kamarnya.

 

Zein merupakan calon pewaris rumah sakit Harapan Keluarga. Ia harus menikah dengan Intan agar bisa menjadi direktur. Sebab, Ayah Intan yang sudah meninggal pernah berjasa pada orang tua Zein yang merupakan pemilik rumah sakit itu.

 

Sedangkan Intan hanya gadis yang berasal dari keluarga biasa. Ia bisa menjadi dokter karena mendapat beasiswa. Sebab, sejak ayahnya meninggal keuangan keluarga mereka tidak sebaik dulu.

 

Di tempat lain, Intan pun meminta penjelasan dari ibunya. Ia masih tidak habis pikir mengapa tiba-tiba dirinya dijodohkan seperti itu. Padahal jalan untuk menjadi dokter saja masih cukup panjang.

 

Setibanya di rumah, Intan membersihkan tubuh, kemudian duduk di samping ibunya, lalu ia menaruh kepalanya di paha Fatma.

 

"Bu, maaf. Aku bukan mau protes. Tapi kenapa Ibu tiba-tiba menjodohkan aku?" tanya Intan sambil merasakan usapan tangan Fatma yang menenangkan di kepalanya itu.

 

"Maaf ya, Sayang. Ibu belum sempat cerita sama kamu. Sebenarnya ini adalah permintaan Almarhum ayahmu. Awalnya Ibu sempat menolak. Namun ayah memohon dan mengatakan bahwa ini semua demi kebaikan kamu. Akhirnya ibu setuju dan kemarin Pak Muh menghubungi Ibu. Mengundang kita makan malam, untuk membahas perjodohan ini," jelas Fatma panjang kali lebar.

 

"Bagaimana jika aku menolak, Bu?" tanya Intan sambil melirik ke arah ibunya.

 

"Begini, Nak. Ibu harap kamu jalani saja dulu. Kalian tidak perlu langsung menikah. Nanti kalian akan tunangan lebih dulu sebagai proses penjajakan. Selama itu, kamu bisa saling mengenal lebih dekat dan jika memang merasa tidak cocok, maka tidak perlu dilanjutkan. Bagaimana?" tawar Fatma.

 

"Beneran, Bu?" Intan begitu bersemangat saat Fatma mengatakan bahwa dirinya boleh membatalkan jika memang merasa tidak cocok.

 

"Iya, Nak. Ibu tidak ingin memaksa kamu. Namun Ibu harap kamu mencobanya dulu sebelum menolak," jawab Fatma. Meskipun begitu, ia yakin nantinya Intan mau menikah dengan Zein.

 

"Oke, aku setuju kalau begitu," jawab Intan, bersemangat.

 

***

 

Pagi hari, Intan yang baru tiba di rumah sakit Harapan Keluarga bergegas menuju ruangan Zein. Ia ingin meminta agar Zein membatalkan perjodohan mereka karena bagaimana pun ia sangat membenci Profesor galak yang selalu memarahinya itu.

 

Tuk, tuk, tuk!

 

Intan mengetuk pintu ruangan Zein dengan gelisah.

 

“Masuk!” ucap Zein dari dalam tanpa menoleh ke arah pintu.

 

Ceklek!

 

Intan pun masuk dan menutup pintunya dari dalam karena khawatir ada yang mendengar pembahasan mereka. Kemudian ia mendekat ke arah Zein dan langsung bicara tanpa basa-basi.

 

"Saya harap Prof bisa membatalkan perjodohan ini!" pinta Intan pada Zein yang sedang sibuk dengan laptopnya.

 

Zein pun menghentikan pergerakan jarinya. Kemudian ia menoleh ke arah Intan.

 

"Siapa kamu berani menyuruh saya? Jika memang kamu tidak menginginkan perjodohan ini, silakan kamu sendiri yang membatalkannya!" sahut Zein, dingin. Kemudian ia kembali melanjutkan kegiatannya, tanpa memerhatikan Intan.

 

Intan mengerutkan keningnya. "Oh, jadi Anda memang ingin menikah dengan saya?" tuduhnya.

 

Zein menyeringai. "Bagi saya, pernikahan itu tidak penting. Saya menerima perjodohan ini hanya karena menghargai orang tua. Jika kamu bisa membatalkannya, silakan! Tapi maaf, saya tidak ada waktu untuk membahas hal remeh itu," ucap Zein. Kemudian ia beranjak dan meninggalkan Intan di ruangannya.

 

Zein kesal karena Intan begitu berani menolaknya. Baginya, jika ada yang menolak itu harusnya dia, bukan Intan.

 

Intan pun semakin kesal karena Zein tidak bisa diajak bekerja sama. Dia sendiri tidak mungkin membatalkannya begitu saja. Sebab posisi keluarganya bukan pihak yang pantas untuk membatalkan.

 

Namun, Intan pantang menyerah dan menyusul Zein yang berjalan keluar ruangan. "Prof! Tolong jangan seperti ini! Prof kan tau saya masih koas. Jalan saya masih panjang. Mana mungkin saya menikah, apalagi sama Profesor galak seperti Anda," cibir Intan.

 

Ia sudah sangat emosi sehingga kelepasan.

 

Dicibir seperti itu oleh Intan, Zein pun merasa tertantang. Ia berbalik menghadap ke Intan yang ada di belakangnya.

 

"Memang kenapa menikah dengan Profesor galak, kamu takut?" tanya Zein, sambil menatap Intan dengan tatapan yang sulit diartikan. Zein melangkah maju ke arah Intan hingga gadis itu mundur ketakutan.

 

Kebetulan saat itu koridor ruangan pejabat rumah sakit tersebut sedang sepi. Sehingga mereka bisa membahas hal seperti itu tanpa takut ada yang mendengar.

 

"Iya, saya takut. Saya gak mau punya suami galak kayak Prof," jawab Intan secara berani. Namun ia takut melihat tatapan Zein yang seperti hewan buas sedang ingin menerkam mangsanya. Ia semakin gugup kala punggungnya menabrak dinding dan posisinya terkukung oleh Zein.

 

"Bagus! Kalau begitu kita harus menikah. Supaya kamu tahu bagaimana rasanya memiliki suami galak seperti saya," bisik Zein.

 

Saat ini wajah mereka hanya berjarak lima centi. Sehingga Intan tercekat dan mematung ketakutan. Ia khawatir Zein melakukan sesuatu yang tidak ia harapkan.

 

Melihat Intan ketakutan, Zein malah sengaja mendekatkan bibirnya ke bibir Intan. Seolah hendak mencium bibir gadis itu hingga Intan memejamkan mata sambil menunduk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status