Share

Bab 0003

Sena menatap kosong ke salah satu sudut kamarnya malam itu. Rasanya hampa sekali, semuanya mendadak hilang dalam semalam. Kehormatannya dan juga rumahnya.

Sena pun tertawa sambil menangis dengan sangat frustasi di sana. Sena jijik pada dirinya. Bahkan, setelah Sena mandi dan menggosok tubuhnya sampai kulitnya memerah dan perih, ternyata rasa jijiknya belum juga mau pergi sampai Sena mendadak begitu membenci dirinya sendiri.

"Mengapa aku harus mengalami semua ini? Mengapa aku harus memakai gaun itu tadi? Aku bersumpah aku tidak akan melakukannya lagi, bisakah aku minta waktu diputar kembali, Tuhan? Aku mohon satu kali saja!"

"Aku janji aku tidak akan memakai barang milik orang lain tanpa ijin lagi! Aku janji," lirih Sena sambil menengadah seolah berbicara pada Tuhan.

"Mengapa juga Giana harus begitu tega padaku? Di mana aku harus tinggal kalau dia benar-benar menjual rumah ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?"

Dengan air mata yang terus mengalir, Sena pun berpikir keras dengan otaknya yang sudah penuh dan buram. Dalam kekalutannya, Sena sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya saja dan menyusul kedua orang tuanya ke surga.

"Kalau aku mati, aku tidak perlu lagi menghadapi hari esok. Ya, aku tidak harus malu karena sudah tidak suci lagi dan aku juga tidak harus menjadi gelandangan karena tidak punya rumah. Aku tidak akan disuruh bertanggung jawab lagi atas semua yang tidak pernah aku lakukan."

Air mata Sena terus bercucuran walaupun ia tidak melakukan apa-apa selain diam saat ini. Tentu saja ia serius berharap mati saja, tapi Sena juga punya ketakutan dan kesadaran kalau bunuh diri itu adalah hal yang salah dan tidak boleh dilakukan.

Sena makin stres karena seolah tidak ada jalan keluar dari masalah ini selain menghadapinya.

Sena pun masih berkutat dengan pikiran dan kesedihannya sendiri saat ponselnya berbunyi dan Sena pun meraih ponselnya di dalam tas yang sejak tadi ia abaikan itu.

Air mata Sena pun makin deras saat melihat nama Hansel di sana, kekasihnya yang sangat ia cintai. Padahal mereka sudah berjanji untuk bertemu malam ini dan merayakan ulang tahun Hansel bersama, tapi Sena malah tidak bisa datang.

"Halo, Hansel?" Sena berusaha membuat suaranya terdengar baik-baik saja begitu ia mengangkat teleponnya.

"Sena, Sayang, akhirnya kau mengangkat teleponku juga. Aku meneleponmu sejak tadi. Apa yang kau lakukan? Mengapa kau tidak mengangkat teleponku dan kau juga tidak datang ke ulang tahunku? Padahal aku mau mengenalkanmu pada teman-temanku."

"Ah, maaf, Hansel. Aku tadi mendadak tidak enak badan, kepalaku pusing sampai aku hampir pingsan jadi aku tidak melihat ponselku," dusta Sena dengan susah payah.

"Eh, lalu sekarang kau sudah tidak apa?"

"Tidak apa. Aku ... baru bangun dari tidurku dan sekarang aku sudah lebih baik."

"Ah, syukurlah. Kalau begitu istirahatlah lagi, besok aku akan menemuimu."

"Hmm, terima kasih dan ... selamat ulang tahun, Hansel. Aku berharap kau selalu sehat dan bahagia," ucap Sena sambil menahan tangisannya.

"Terima kasih, Sena. Besok pulang kerja, aku akan menjemputmu."

Sena mengangguk. "Sampai besok, Hansel."

Mereka berpamitan dan setelah menutup teleponnya, Sena pun kembali menangis dengan begitu sedih sampai tanpa sadar, ia pun tertidur dalam kesedihannya.

Entah berapa lama Sena tertidur malam itu, tapi saat Sena membuka matanya, Sena merasakan tubuhnya sakit semua.

Sena pun masih meringis dan mencoba bergerak sampai tanpa sengaja ia melihat jamnya yang sudah menunjukkan jam sembilan pagi dan ia pun membelalak.

"Astaga, sudah jam sembilan pagi, aku harus sampai ke mall jam setengah sepuluh, aku tidak boleh terlambat lagi kali ini."

Memikirkan akan terlambat kerja pun mendadak membuat Sena mempunyai kekuatan untuk bangkit dan bersiap pergi bekerja, seolah tidak ada yang terjadi kemarin.

*

Sebuah mobil mewah baru saja berhenti di sebuah gedung bertingkat pagi itu.

Alexander Sagala, CEO perusahaan itu pun keluar dari mobil dan melangkah memasuki gedung Maxima Construction, sebuah perusahaan konstruksi yang cukup besar di negara ini.

Para karyawan yang melihat sang pimpinan pun langsung menunduk sopan dan tidak sedikit karyawan wanita yang tertegun menatap wajah rupawan sang CEO.

Tidak dapat dipungkiri, Xander memiliki kesempurnaan yang membuat kaum hawa selalu menoleh dua kali setiap berpapasan dengannya.Wajah tampan dengan garis wajah yang tegas, tubuh tegap dan gagah, pintar, kaya raya, dan sepak terjang yang luar biasa di dunia bisnis membuat Xander menjadi bujangan yang sangat diminati oleh para wanita.

Bahkan, dengan tatapan sinis dan sikap arogannya tidak membuat pesona itu berkurang sedikitpun. Namun, Xander selalu mengabaikan tatapan itu.

Xander pun langsung melangkah menuju ke ruang kerjanya sendiri diikuti oleh asistennya yang setia yang bernama Henry. Pria dengan wajah datar sama seperti bosnya itu langsung melaporkan banyak hal begitu mereka masuk ke ruang kerja Xander.

"Proyek baru dengan Pak Himawan sudah mulai dikerjakan, karena itu, akan ada rapat jam sepuluh nanti untuk membahasnya, Pak. Lalu setelah makan siang, ada pertemuan dengan pimpinan Diamond Group, dan malam harinya ada makan malam dengan CEO Rayya Group."

"Hmm, aku tahu, Henry. Lalu bagaimana dengan wanita bernama Sena itu?"

"Dia pulang dengan selamat tadi malam, Pak, tapi ...."

Henry terdiam sejenak sampai Xander yang melihatnya pun memicingkan matanya.

"Tapi apa, Henry?"

"Pagi ini, anak buah kita memeriksa ke sana dan informasi dari tetangga mengatakan bahwa Sena dan Giana bertengkar tadi malam."

Kedua mata Xander pun membelalak lebar mendengarnya. "Dasar wanita brengsek! Berani sekali dia membohongiku dan mengaku tidak tahu di mana Giana," geram Xander sambil mengepalkan tangannya.

Ya, Xander adalah pria yang menangkap dan menodai Sena kemarin. Xander juga mengancam Sena tanpa perasaan dan Xander paling tidak suka dibohongi.

"Batalkan semua agendaku hari ini, Henry! Cari di mana Sena berada sekarang, dia harus merasakan akibatnya karena sudah membohongiku!" titah Xander penuh amarah.

Sementara itu, Sena yang sudah tiba di tempat kerjanya pun masih menunduk saat supervisornya memarahinya karena ia terlambat masuk pagi ini.

Sena bekerja sebagai pramuniaga di sebuah supermarket besar yang ada di dalam mall dan ia sudah terlambat tiga kali bulan ini.

"Maafkan aku, sungguh aku tidak enak badan karena itu aku bangun terlambat."

"Aku tidak mau menerima alasan, Sena. Kau sudah terlambat tiga kali dalam bulan ini dan kalau kau terlambat satu kali lagi, terpaksa aku tidak akan memakaimu lagi."

"Astaga, Pak, tolong jangan begini, aku janji ini yang terakhir, Pak. Akhh!" Sena meringis saat rasa perih di tubuhnya kembali terasa, tapi ia memaksakan diri bersikap baik-baik saja.

Namun, sang supervisor malah menggeram kesal. "Kau selalu bilang ini yang terakhir setiap kali kau terlambat, Sena. Jadi aku sudah tidak percaya lagi. Lebih baik sekarang kau bekerja sana dan untuk hari ini kau akan lembur!"

"I-iya, Pak! Maafkan aku!" Sena terus menunduk sampai sang supervisor itu pergi, barulah ia merintih lagi sambil melangkah tertatih ke koridor yang lebih sepi.

Untuk sesaat, Sena mengedarkan pandangan ke sekeliling dan rasa trauma itu masih ada, seolah semua orang menatapnya dengan aneh, walaupun rasanya tidak separah kemarin.

Sena pun berusaha menenangkan dirinya dan fokus bekerja saja.

"Hidup harus terus berjalan, Sena! Ayo, kau bisa! Tidak ada yang bisa menolongmu selain dirimu sendiri jadi ayo bekerja! Kau harus menunjukkan hasil kerja yang baik agar supervisor itu tidak rela memecatmu. Tidak! Yang benar adalah jangan sampai terlambat lagi."

Sambil mengembuskan napas paniangnya, Sena pun memaksakan diri bergerak seperti biasa. Sena mulai merapikan barang-barang di rak sambil mencatat di bukunya barang apa yang stoknya menipis dan Sena pun bekerja dengan sangat serius sampai siang menjelang.

Bahkan saking seriusnya, Sena sampai tidak sadar kalau ada orang yang sudah mengamatinya sejak tadi. Sena pun masih tetap serius memperhatikan barangnya sambil melangkah mundur.

Namun, langkahnya mendadak terhenti saat tanpa sengaja ia menabrak tubuh keras seseorang di belakangnya.

Buk!

"Astaga, maafkan aku, aku tidak sengaja!"

Sena yang berbalik pun langsung menunduk meminta maaf tanpa ia tahu siapa yang ditabraknya.

Hingga saat Sena mengangkat kepalanya dan tatapannya bertemu dengan tatapan seorang pria yang ditabraknya, kedua mata Sena pun membelalak.

Jantung Sena seketika ikut memacu kencang mendengar suara berat pria itu menyapanya.

"Kita bertemu lagi, Sena Monela."

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status