Share

Banyak Tanda Tanya

Disangka

Masih Hilang Ingatan

Part 2

♥️♥️♥️

"Inah!" Tuan Andri memanggilku yang sedang mengelapi benda-benda mati berharga puluhan juta. Seperti guci dan sebagainya.

"Iya, Tuan?" Aku menghampirinya. Dia berdiri diam dekat tangga.

"Kamu gak usah keluar rumah. Kamu gak boleh keluar rumah. Yang belanja biar Mbok Mun saja." Ia memberiku aturan. Aku kok bingung. Kenapa Tuan Andri tidak memperbolehkanku keluar?

"Tapi kenapa, Tuan? Mbok Mun kan sudah sepuh. Jadi biarkan saya saja yang belanja. Sekalian saya menghafal arah," jawabku penuh tanda tanya.

"Pokoknya gak usah. Mbok Mun udah biasa belanja sendiri. Kamu gak usah keluar rumah. Walaupun hanya sampai depan pintu gerbang. Semua kebutuhan kamu akan dibelikan mbok Mun," pesannya lagi makin tegas. Tuan Andri bicara sambil melipat kerah bajunya hingga rapi seusai ia selesai mengenakan dasi.

"Tapi, Tuan?" Aku terus memaksa.

"Gak ada tapi-tapian. Kamu gak boleh keluar rumah. Kalau sampai kamu melanggar, kamu akan saya pecat. Ngerti!" Ia membentak di ujung kalimat. Membuatku menunduk takut. Entah mengapa, bentakkan Pak Andri, maksudnya Tuan Andri menusuk sekali ke sanubari ini.

"Semua ruangan ada CCTV-nya, jadi kamu gak bisa diam-diam keluar. Kamu masih mau kerja disini, kan?" pekiknya kasar. Membuatku makin meringis.

"I-iya, Tuan, saya mengerti. Saya gak akan keluar rumah. Tapi, kalau mbok Mun gak bisa keluar gimana? Acap kali kita sebagai manusia itu kan tak selalu sehat. Kadang ada sakitnya, Tuan," masukanku.

"Gak usah. Kalau mbok Mun sakit, ada satpam yang bisa belanja. Dia juga sudah biasa, kok. Kamu tinggal kasih uang sama catatan belanjanya," jelasnya sambil melangkah pergi. Sepertinya akan kerja. Tapi aku belum ingat apa pekerjaan Tuan Andri. Pastinya dia orang kantoran.

"Eh, Tuan?" Aku memanggilnya. Ada hal yang ingin aku tanyakan.

Ia menoleh. "Apalagi?"

"Tuan, sebenarnya saya punya keluarga gak ya? Terus, uang gajian saya, apa suka saya kirim pada orang tua saya? Apa boleh saya tahu kontak keluarga saya?" tanyaku menyelidik status keluargaku yang sama sekali belum kuingat. Mbok Mun tak bicara banyak. Dia seolah-olah menghindar setiap kutanya.

Tuan Andri malah diam.

"Tuan?" panggilku penasaran.

"Saya gak tahu kontak keluarga kamu. Kamu kan yang simpen. Tapi ponsel kamu ilang pas kecelakaan," jawabnya seperti ragu di awal.

"Kalau gitu, alamat rumah saya? Tuan tahu?" telusurku lagi. Soalnya aku tak menemukan apapun di kamar. Hanya ada selembar baju dan kartu identitaspun tak ada.

"Ya, aku gak tahu. Semua identitas kamu hilang pas kecelakaan. Mungkin jatuh ke sungai waktu itu. Terbawa arus. Sudahlah, kamu jangan tanya-tanya keluarga kamu. Kamu itu orang Jawa. Tapi kalau gak salah, kamu bilang dulu orang tua kamu udah meninggal. Kamu juga gak punya adek atau kakak," jelas Tuan Andri sambil membalikan badannya dengan kesal. Ia kembali berjalan.

"Oh begitu, ya sudah, terima kasih, Tuan. Maaf kalau saya sudah lancang bertanya," ujarku lirih menunduk. Tak berani menatap perawakan majikanku.

"Aku mau pergi ke kantor dulu. Awas! Jangan pernah keluar rumah. Nanti kamu tersesat. Ngerepotin lagi!" Tuan Andri berkata amat sinis. Dia bukanlah majikan yang ramah. Tapi kok aku bisa memilih kerja di rumah ini?

"Baik, Tuan," jawabku masih terus menunduk.

"Bagus!"

"Oh ya, gaji kamu bulan ini saya potong buat biaya rumah sakit pas kamu kecelakaan kemarin lusa. Sisanya aku kasih tiap awal bulan." Ia menambahkan. Membahas perihal gaji.

"Iya, Tuan," sanggupku. Dia lalu pergi.

Dimana ada majikan motong gaji karyawannya kecelakaan? Katanya aku pergi bersamanya pula? Tapi kenapa dia itung-itungan. Dasar majikan pelit.

Kususuri langkah Tuan Andri. Aku melihatnya dekat pintu. Dia masuk ke dalam mobil mewah. Mobilnya bagus. Pasti Tuan Andri pengusaha besar. Lalu ia melajukan mobil yang sudah siap di depan rumah itu. Pasti dibersihkan oleh Pak Nasir. Pegawai rumah ini.

***

"Mbok, aku saja yang cuci piring," tawarku pada Mbok Mun. Dia nampak kelelahan sekali. Tapi selama dua hari ini, ia sama sekali tak pernah menyuruhku hal yang berarti. Dia selalu kerjakan sendiri. Kecuali aku yang menawarkan. Seperti saat ini.

"Ora usah. Biar aku saja. Sampeyan duduk saja. Lanjutin aja kerjaan lain," jawab Mbok Mun dengan suara gemetar. Mbok kenapa sih?

"Mbok, aku udah selesaikan semua pekerjaan. Oh ya, hari ini kita masak apa? Apa tuan Andri minta dimasakin sesuatu?" tanyaku pada Mbok Mun yang masih asyik mencuci gelas dan piring.

"O-oh iya. Tuan minta dimasakin cumi lada hitam. Kalau sayurannya capcay saja. Tapi biar aku nanti yang buat." Mbok Mun lagi-lagi terus tak mau memperkerjakanku. Tapi memamg waktu masih menunjukkan pukul tiga. Jadi kami belum waktunya masak.

"Mbok, biar aku saja yang gantiin. Masak aku diam saja. Mbok 'kan udah sepuh. Mbok duduk 'gih!" seruku sambil meraih gelas untuk kucuci.

Mbok malah diam. Lalu ia mencuci tangannya. Tangan basah dilapkannya ke ujung baju yang ia kenakan. Dia berbalik arah menatapku.

"I-Inah? Sampeyan memang benar-benar lupa ingatan? Gak inget apapun? Sampeyan gak ngibul toh?" Mbok bertanya sambil meringis. Dia seperti begitu ingin mendengar jawabanku yang meyakinkan.

"Lah, memangnya aku ngapain bohong? Oh ya, Mbok, tolong dong jelasin sama aku. Aku itu gimana? Terus tadi tuan sampai melarang keras aku buat keluar rumah. Aku sih aneh, Mbok," ujarku penuh tanda tanya. Si Mbok malah diam. Dia seperti berfikir sesuatu. Namun lebih ke seperti ketakutan.

"Oh enggak. Ya, kamu dulu wanita baik-baik. Kulo pikir, koe ngibul." Mbok berkata kembali. Terkekeh kecil di akhir.

"Ngibul buat opo sih, Mbok?" tanggapku. Dengan segera kuraih spon untuk melanjutkan cuci piring yang tinggal beberapa lagi. Bekas makan siang kami para pekerja.

"Biar aku saja," kata si Mbok yang terus melarangku untuk bekerja. "Biar aku saja. Mbok duduk saja. Minum dulu kek," jawabku sambil meremas spons yang sudah penuh dengan busa. Si Mbok masih berdiri.

"Oh ya, Mbok. Orang tuaku dimana? Aku kan masih lupa." Sengaja aku bertanya pada Mbok Mun. Apa ia akan menjawab hal yang sama dengan Tuan Andri? Soalnya, tadi Tuan Andri gugup pas kutanya.

Mbok Mun diam. "Eum, a, u, anu ...."

"Anu apa, Mbok? Mbok pasti tahu kan keluarga aku. Aku kan udah kerja disini lima tahun!" tempalku menyelidik. Lengan ini masih terus lanjut mencuci. Tapi Mbok Mun tak lantang menjawab.

"Iku, keluarga kamu udah gak ada. Begitu saja katamu. Kamu tak pernah bicara banyak," jawab si Mbok. Seperti mengada-ada. Lama menjawabnya. Dan kok katamu? Kan dia sedaerah denganku?

Tapi, benar, Tuan Andri juga berkata demikian. Lagipula, untuk apa ia berbohong. Toh aku cuma babu. Apa untungnya pula? Kecuali dengan alasan supaya aku jauh dari orang tuaku. Oh tidak. Apa benar? Jangan-jangan ada masalah lagi. Jawaban mereka sama. Tapi gugup.

"Oh ya, Mbok. Tuan Andri bilang, aku memang tidak punya orang tua. Tapi aku masih punya adik. Jadi gajiku tiap bulan kutransfer untuknya. Bener 'kan, Mbok?" tanyaku berbohong. Padahal Tuan Andri bilang kalau aku sebatang kara. Kalau iya, Mbok Mun pasti jelaskan. Tapi, kalau jawaban Mbok Mun tak sesuai, berarti ada sesuatu denganku. Dan bukannya aku kerja dibawa olehnya?

"Em, iyo, kowe punya adik." Segitu saja jawabnya. Jelas, jawaban Mbok Mun dan Tuan Andri berbeda. Jadi, siapa yang bohong? Tuan Andri? Dengan alasan supaya aku tak kirimi adikku uang? Kalau Mbok Mun? Kok kebetulan sekali aku sela bohong, ia jawab iya. Aneh.

"Oh gitu. Berarti Mbok tahu dong adikku dimana? Dan namanya siapa? Mbok 'kan yang bawa aku kerja disini," jawabku datar dengan masih membersihkan piring juga gelas yang semuanya sudah selesai dibersihkan oleh sabun bermerek panggilan untuk seorang wanita yang paling berjasa. Di iming-imingi tulisan sebuah buah di belakangnya.

Aku tatap wajah Mbok Mun. Dia nampak gelisah. Dia juga seperti kebingungan.

"Ehm!" dehemku.

"Oh ya, Mbok. Aku asal daerah mana? Kita satu kampung dong?" tanyaku dengan nada standar sambil mengelapi piring supaya cepat kering.

Mbok Mun menoleh. Dia nampak sedang mengatur pernafasan. Mencoba tenang. Lalu ia menjawab. Sudut mata ini memperhatikan. "I-iyo,   kulo karo sampeyan asli orang Sumenep-Jawa Timur," jawab Mbok sambil meraih pisau. Sepertinya ia hendak memotong sayuran.

"Oh, kita orang Sumenep. Mbok, Mbok bisa 'kan ajak aku ketemu adik aku kesana nanti. Aku akan minta kita cuti. Atau pas tuan keluar kota," usulku masih penasaran.

"Waduh!" Si Mbok nampak panik sendiri. Aku mendengar ia mengucapkan kata 'waduh' seperti barusan. "Kenapa, Mbok?" selidikku atas tingkahnya.

"Itu, aku tadi mau setrika baju. Setrikane pasti udah idup. Aku ke atas dulu. Sampeyan disini saja, yok!" pintanya buru-buru pergi. Mbok Mun tak menanggapi keinginanku. Ini semakin aneh. Paling tidak ia bilang, kita gak bisa kesana karena tuan marah. Dan aku hanya bisa kirim uang lewat pos saja. Karena adikku mana punya ATM.

Seusai mencucui piring dan mengelapnya sampai kering, aku iseng untuk mencari tahu kebenaran jati diriku. Karena mereka benar-benar seperti sedang bersandiwara.

Aku berjalan ke arah kamar Tuan Andri. Supaya tak dicurigai dari CCTV, aku akan berjalan santai. Membawa sapu dan juga kemoceng. Tidak mengendap-endap seperti orang yang sedang menyelidiki sesuatu. Siapa tahu aku temukan surat lamaran kerjaku. Atau apalah, karena aku masih belum yakin.

Aku sudah masuk dengan santai. Pintu kututup sedikit. Takutnya ada Mbok Mun datang dan curiga. Aku akan cari identitas atau apapun yang bisa jadi bukti tentang diriku sebenarnya.

Tiba-tiba.

"Inah! Kamu ngapain?"

Aku syok. Sontak tubuhku membalik kala aku baru saja membuka laci meja kamar. Dan yang datang adalah Nyonya Maya.

"Nyo-Nyonya?" Aku kaget setengah mati. Kok bisa Nyonya Maya tiba-tiba datang. Tak ada suara mobil terdengar sedikitpun.

"Kamu ngapain? Kamu mau mencuri?" tuduhnya sadis. Tatapannya tajam bagai seekor harimau ingin menikam mangsa. Tapi dia juga memperlihatkan gelagat cemas. Kedap-kedipnya terbaca sekali olehku.

Ia menjewang lenganku. "Sini kamu!" bentaknya kasar. "Apa yang kamu curi, hah? Atau apa yang kamu lihat?" tegasnya menyelidik.

"Enggak, Nyonya. A-aku hanya sedang membersihkan meja saja. Banyak debunya. Tolong lepaskan pegangan Nyonya. Sakit sekali!" Aku meringis karena cengkraman kukunya menusuk ke kulit. Bu Maya memang lumayan kejam ternyata. Padahal aku kan pembantu. Aku juga bawa sapu dan kemoceng.

Ia menyeretku. "Sini kamu! Jangan pernah berani-beraninya masuk ke kamar ini. Ini kamar calon suamiku!" teriaknya kasar sambil menjewang lenganku dengan sekuat tenaganya. Lalu ia malah mendorong tubuhku. Inikah kelakuan yang hanya baru jadi seorang calon istri?

Nyonya Maya membantingku dengan kasar.

"Aduh, Bu, eh, Nyonya!" Tubuhku benar-benar terbanting. Tepatnya bagian kepala.

Dukgk!

Sakit sekali. Kepala ini terbentur railing. Pagar pembatas tangga lantai atas.

"Arkh!" Pandanganku buram. Kepalaku pusing.

"Inah!" Bu Maya kaget dan panik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status