Seno—suamiku itu—tersenyum menyambut ancamanku. Ada apa dengannya?
"Tentu saja, Sayang. Jangan ceraikan aku. Aku juga tidak ingin berpisah denganmu," ucap Seno sambil membelai lembut wajahku. Bukankah reaksinya terlihat aneh? Aku hanya menatap nanar langit-langit rumah sakit yang ada di atasku. Cahaya menyilaukan itu sejenak menepis bayang-bayang menjijikkan perselingkuhan suamiku dengan sekretarisnya. "Jangan besar kepala. Aku bukannya mengemis cintamu. Aku hanya tidak ingin anak kita besar tanpa orang tua utuh, sepertiku!" Suaraku terdengar tajam, Seno cukup terkejut dengan perubahanku. Ia tampak membelalakkan mata.Ya. Aku memang tidak pernah semarah ini kepadanya. Aku terbiasa diam dan bersikap acuh tak acuh. Namun, kali ini berbeda. Aku harus bersuara lantang dan memberitahunya bahwa aku bukan lagi wanita bodoh yang haus cinta. "Kau sangat kejam, Sayang."Kejam? Bukankah, Seno yang telah berbuat kejam kepadaku? Selama ini, aku hanya pasrah menerima nasib pernikahan yang pahit ini, dengan segala konsekuensi yang harus kutanggung. Aku tidak akan pernah melupakan bahwa ada kehidupan lain yang sedang menanti di dalam diriku ini: bayi kami. Aku akan bertahan. Aku harus bertahan. Demi anak kami. "Kau ingin makan sesuatu?" tanya Seno sambil melirik ke arah jam tangannya. Ia juga terlihat mengecek ponselnya namun detik kemudian, benda pipih itu kembali dimasukkan ke dalam saku celana. Ada nama seseorang yang sejak tadi mengganggu pikiranku. Olivia. Wanita selingkuhannya itu. Apakah, saat ini, wanita itu sedang menghubunginya? Ah, sudahlah. Aku tidak peduli. Jika aku bisa menebak, Olivia pasti berdalih untuk melaporkan pekerjaan pada suamiku. Namun, tentu saja hal itu hanya alasan yang dibuat-buat olehnya. Olivia memang selalu mencari celah kesempatan untuk mendekat ke dalam hidup Seno dan jika memungkinkan, ia akan segera menggantikan posisiku sebagai istri sahnya. Aku bisa mengerti pikiran liciknya itu. Tapi, hal itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan membiarkannya. ***"Sayang?"Panggilan kedua dari Seno, membuyarkan lamunanku. "Aku tidak ingin apa-apa. Perawat akan mengantarkan makananku."Seno menatapku dengan pandangan sendu. Ia pasti tidak mengira bahwa aku akan begitu dingin kepadanya. Ini adalah pembalasan yang setimpal karena dia telah menyia-nyiakan kebaikan hatiku selama ini. "Aku sudah bersabar menghadapimu, Lara. Tolong, jangan uji kesabaranku lebih dari ini," ucap Seno setengah mengancam. "Apa?" Aku terbelalak. Apakah sekarang ini, ia sedang mengatakan bahwa harga dirinya sebagai lelaki sedang dipertaruhkan? "Tolong. Kesabaranku semakin menipis, Lara."Apakah ia sedang berpikir bahwa aku tidak mungkin bisa mengalahkan egonya? Apakah aku sedang merengek seperti bayi? Tidak. Aku benar-benar tidak ingin berbicara lebih banyak dengannya. "Apa maksudmu?""Aku sudah menyingkirkan egoku sedikit demi sedikit. Tapi kau terus saja ketus kepadaku! Kita damai, okay? Maafkan aku." "Apa yang kau katakan?""Tolong jangan seperti ini, Lara! Aku suamimu! Hormati aku seperti istri yang bijak!" teriak Seno dengan wajah memerah. Sepertinya, kesabarannya memang sudah habis. Seno. mungkin merasa dipermalukan oleh sikap dinginku yang seolah menganggapnya sebagai sampah. Bukankah dia memang sampah? "Kau punya cermin, hah?"Aku balas berteriak. Aku bukanlah wanita bodoh yang dengan pasrah menerima perselingkuhan suamiku tanpa merasa kecewa. Cinta suciku telah dikhianati dan saat ini, Seno sedang mengungkit-ungkit perihal istri bijak? Dia bercanda? "Lara Selene Smith!"Deg. Jantungku terasa seperti ditusuk pisau tajam. Perangai Seno jika sedang marah, mirip ayahku yang tak ubahnya lelaki brengsek jenis lain—seperti suamiku itu. "Hiks…"Aku mulai menangis. Hatiku terasa perih untuk sekadar mendengar teriakan dari Seno. Padahal, suamiku itu tidak memaki namun entah kenapa, jiwaku merasa terluka. Aku—seorang anak yang ditelantarkan oleh ayahnya—begitu membenci teriakan nama panjangku. Hal itu mengingatkanku kembali pada pola amarah ayah yang sangat kubenci itu. "La—lara…"Mungkin, Seno merasa bersalah karena membuatku yang tadinya marah kini menangis secara tiba-tiba. "Maaf," kata Seno sambil berlutut di samping ranjangku. Ia kemudian bangkit lalu memelukku yang masih menitikkan air mata. Seno benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan terluka oleh ucapannya. Ya. Aku sangat terluka. "Permisi."Seorang perawat membuyarkan ketegangan yang terjadi di antara kami. Ia tampak masuk ke dalam ruangan sambil membawa beberapa botol infus dan juga catatan. Langkahnya yang tegap dan cepat, menggema di sekitar, menciptakan irama konstan yang ramai terdengar. "Ya, Sus."Seno memandang perawat itu sekilas sambil berdiri dari tempat duduknya. Ia lalu mengusap lembut air mataku yang sejak tadi membasahi wajahku. "Kami akan memeriksa pasien, bisakah Anda menunggu di luar?""Tidak! Saya suaminya. Saya akan menunggu di sini.""Baik, Pak. Asalkan anda bisa menjaga ketertiban," sahut perawat itu sambil memaksakan senyum. Beberapa waktu lalu aku mendengar ada kehebohan yang diciptakan oleh Seno sehingga para perawat merasa kesal. Mereka sebisa mungkin menghindari konfrontasi dan menjaga situasi yang kondusif bagi pasien yang sedang beristirahat. Seno memang terkadang tidak bisa mengontrol dirinya. Entah mengapa. "Ya. Baiklah."Kulihat, Seno dengan hati-hati bergerak ke sofa yang ada di sudut ruangan untuk memberikan ruang yang cukup bagi tim medis yang akan melakukan pemeriksaan. Untuk sesaat, aku merasa lega karena pria itu tidak menciptakan kegaduhan lain yang tentu saja membuatku malu. Entah mengapa dia ingin berada di sekitarku. Padahal, ia biasanya sudah sibuk dengan pekerjaannya di waktu pagi seperti ini. Apakah, iail ingin memastikan bahwa tim medis dapat bekerja dengan baik dalam mengurusiku? Ah, tidak mungkin. Mengapa Seno mendadak begitu perhatian kepadaku? Bukankah itu hal yang tak lazim? "Bagus."Kudengar perawat itu bergumam setelah memeriksa infus dan menuliskan sesuatu pada catatannya. "Anda sudah membaik, Bu. Syukurlah," ucapnya sambil tersenyum. Katanya, kondisiku terlihat membaik pasca tindakan operasi kemarin. "Terima kasih," ucapku takzim. Aku juga bersyukur ternyata keadaanku telah membaik. "Dokter."Beberapa saat kemudian, seorang dokter bedah datang berkunjung untuk memeriksa keadaanku. Aku awalnya tidak terlalu memperhatikan siapa dokter yang telah merawatku. Sampai, sebuah suara memanggil kembali memoriku yang ada di masa lalu. "Bagaimana perasaan Anda, Bu Lara?"Aku menoleh ke arah suara yang tak asing itu. Suara itu. Suara salah satu pria yang tidak ingin kutemui. "Ka—kau!"Seru? Kirim gem untuk cerita ini yuk!
Aku menatap tajam dokter yang sedang berada di hadapanku saat ini. Seorang dokter tinggi gagah dengan bola mata kecokelatan khas pria blasteran pada umumnya. Rambutnya hitam bergelombang yang disisir rapi seperti penampakan jas putih yang membalut badannya. Andre. Temanku ketika kecil yang kini menjadi musuhku. "K—kau!" Bara amarahku tiba-tiba membuncah—seolah dapat mencabik raga sang dokter saat itu juga. Kenangan tentang hubungan dokter Andre dan aku di masa lalu, tiba-tiba mencuat kembali dan kini melukaiku. Andre dan aku bukanlah musuh pada awalnya, namun sebuah insiden mengerikan begitu membekas dalam benakku. Insiden itulah yang kemudian menjadikan kami musuh bebuyutan, hingga sekarang. Aku bahkan mencoba untuk memutuskan kontak, meski Andre dan kakaknya sering mencari-cariku, katanya. Aku juga tidak pernah mengkonfirmasi hal itu. Aku memang gadis yang penuh dengan luka di masa lalu. Aku bahkan belum merasa bahagia seutuhnya, hingga suatu ketika, seorang janin tiba-tiba
PoV Andre Untuk beberapa hari, Lara harus berada di rumah sakit. Proses pemulihannya tidak boleh terganggu dan dia harus dipastikan untuk beristirahat secara total, baik secara fisik maupun psikis. Seno, ya? Nama suaminya. Sungguh, aku tak suka melihatnya. Sepertinya, dia sedang mencitrakan diri sebagai suami idaman. Pria itu terlihat bolak-balik ke sana untuk mengecek keadaan Lara di tengah kesibukannya. Entah ia memang benar-benar khawatir atau hanya berpura-pura. Bukankah, pelayan itu bilang bahwa Lara pendarahan karena ulah seorang wanita muda? Pasti itu sekingkuhannya. ***"Pasien Lara, bagaimana keadaannya?" Aku menyempatkan diri bertanya ketika melewati nurse-station saat lepas tugas. Aku sedang tidak memiliki jadwal untuk mengecek Lara secara profesional, jadi, sungkan rasanya jika harus masuk ke dalam kamar Lara tanpa ada keperluan yang jelas. "Sudah lebih baik, Dok. Ada apakah?" tanya perawat itu penasaran. Binar matanya mengisyaratkan bahwa ia sedang menanti kabar te
Aku melirik sekilas bibir tebal Olivia yang seakan ingin kuhisap. Namun, aku bergeming. Menurutku, Olivia tidaklah secantik itu. Aku terbiasa bertemu wanita yang lebih cantik darinya. Terlebih, kakakku.Kakakku adalah wanita yang sangat cantik dengan gen terbaik dari ayah yang merupakan ras Kaukasian. Rambut pirang kakak, bukanlah pirang palsu seperti yang dimiliki oleh wanita itu.Betapa pun Aku memindai penampilan Olivia, tidak ada satu hal pun yang menarik minatku. Olivia benar-benar bukan tipeku. "Tolong mundur sedikit," sentakku yang mulai merasa tak nyaman. Aroma parfum Olivia terlalu menyengat dan menyebabkan kepala terasa pusing. "Eh?"Olivia mulai memundurkan langkah. Aku bisa melihat dari gelagatnya bahwa ia cukup canggung. Gelagat itu tidak tampak ketika kami bertemu di awal tadi."Sudah lama kerja di sini, Dok?" tanyanya sambil memainkan ujung rambut yang tertiup angin malam. Suaranya sedikit aneh. Kalau bisa kubilang, terlalu dibuat-buat. Entah untuk tujuan apa."Lumayan
PoV Lara Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. Orang itu adalah … Olivia!"Nyonya, bolehkah saya masuk?" tanya wanita itu dengan senyuman mencurigakan. Ia mengipaskan sebuah foto cabul yang memuat potret suamiku dengan seorang wanita—yang tentu saja dirinya!"Masuk!" perintahku dengan napas tersengal. Seno baru saja pulang, setelah seharian menemaniku, meski tidak diminta. Esok—pagi-pagi buta—Seno harus pergi ke luar kota untuk melanjutkan proses pembayaran untuk mengakuisisi perusahaan rekanan. Aku tidak terlalu memperhatikan detailnya, karena aku juga tidak peduli pada aktivitas Seno. "Apa maksudmu?!" Aku meninggikan suara. Aku merebut paksa potret tak senonoh itu dari tangan Olivia, kemudian merobeknya dengan kasar hingga tidak berbentuk apa-apa. Gadis itu tertawa licik dan mengatakan bahwa ia memiliki seribu potret telanjang Seno yang lebih menggemparkan dari yang dirusak olehku tadi. "Ceraikan dia.""K—kau!"Aku benar-benar marah dan tidak terima. Tapi, Olivia terus saja membua
Aku sedang memikirkan dampak dari ancaman Olivia. Padahal—khas Olivia—yang tidak bisa berpikir terlalu dalam dan matang, ancaman itu hanyalah ancaman kosong yang dapat ia lakukan.Sepanjang pengamatanku, Olivia akan melihat responku yang terjepit dan tak bisa melakukan hal lain, selain menuruti keinginannya. "Dasar jalang rendahan .…" bisikku yang sudah kehabisan suara. Aku tak bisa lagi berteriak dan didera syok yang hebat. Aku benar-benar tidak mengetahui, bagaimana cara mengatasi situasi ini. Kepalaku terasa sakit, hatiku nyeri dan tubuhku seolah tak berdaya, bahkan hanya untuk menyangga tulang-tulang rapuh ini. Apakah, aku benar-benar harus menceraikan Seno?“Tidak!” Aku menolak kuat ide itu. Aku bahkan mendongakkan kepala, menahan tangis yang mulai merebak dari kedua mata ini. Aku tidak ingin terlihat lemah dan tak berdaya. Aku akan menjadi wanita yang lebih tegar, dan siap menghadapi konsekuensi dari pilihan yang ada: tidak akan bercerai, apapun alasannya. "Bagaimana? Kau setu
Aku kemudian menangis kembali, kebencian dan rasa sakit ini tidak mudah pupus begitu saja. Lambat laun, tubuhku mulai terasa lemah. Mataku bahkan mulai meredup, dan anehnya, kepalaku terasa pusing.Aku mencoba berpegangan pada tiang infus yang ada di sebelahku ketika kabel monitor janin masih membelit tubuh ini. Sedari tadi, kebencian dan rasa sakit yang memenuhi rongga diri terasa menyesakkan dada sehingga tidak menyisakan ketenangan sama sekali untukku. Aku menjadi semakin lemah dan tak berdaya. Kedamaian yang baru saja kurasakan, tak sebanding dengan akumulasi kepedihan yang sekian lama terpendam. Aku kembali digerogoti energi negatif yang menghisap kuat, seolah tak ingin membiarkanku pergi begitu saja."Hah…" Napasku mulai melemah. Titik-titik hitam mulai mengaburkan pandangan. Kepalaku seketika berputar-putar, seperti pusaran yang menghisap semua pikiran dan perasaan. Rasa sakit yang mendera kepalaku semakin intens, merayap melalui tulang-tulang di tengkukku kemudian mengepung
Suara bariton seorang pria mengejutkan Andre. Sontak ia menoleh ke belakang, dan menjumpai suami Lara sedang berdiri di hadapannya. Pria berjas hitam dengan penampilan formal itu, begitu mengejutkan Andre. Rambut hitamnya yang klimis tampak mengkilat ketika terkena sinar lampu yang ada di atas kepala mereka. Kebalikan dari Seno, penampilan Andre tampak kacau. Sang dokter yang biasanya terlihat formal, kali ini tampak kusut dan seperti kurang tidur, Seno menjadi bertanya-tanya, ada urusan apa dokter itu di kamar Lara. Bahkan, jadwal kunjungan rutin pun seharusnya belum dimulai. Hal ini menambah kecurigaannya. 'Berhati-hatilah dengan dokter Andre. Aku melihatnya bersama istrimu, tadi malam' begitu pesan Olivia, ketika mengirimkan pesan kepadanya. Seno mengurungkan niat untuk pergi ke luar kota, dan memutuskan untuk mengunjungi Lara terlebih dahulu. Jadwal bisnisnya bisa ditunda, namun rasa penasaran dan kecurigaannya harus terkonfirmasi terlebih dahulu. Jika saja pria yang mengaku d
Lara tak menoleh sedikit pun, sebaliknya, ia malah mempercepat langkahnya. "Mohon maaf, Anda bisa menunggu di luar," ucap dokter Miriam dengan senyuman. Jika saja yang melontarkan kalimat tersebut adalah dokter Andre, niscaya Seno tidak akan menurut. Namun, dokter Miriam berbeda. Wanita itu memiliki aura dominan yang elegan, membuat pria dapat dihipnotis dengan suaranya tanpa sadar. "Ta—tapi, dok…""Agar pasien nyaman, Pak," lanjut sang dokter sambil mengantar Seno pergi dari kamar perawatan. Seno hanya menelan ludah, tak ingin lagi berdebat, atau semakin menjauhkan Lara darinya. Ia menurut meski dengan hati yang berat. Suara sepatu Seno terdengar lirih dan seketika hilang dalam beberapa saat kemudian. Pria itu benar-benar sedang berada di luar kamar Lara. Dokter Miriam kembali ke ranjang Lara—lagi-lagi sambil melemparkan senyuman—dan memeriksa keadaan pasien itu dengan seksama secara lebih nyaman. "Ibu, lain kali tolong beritahu perawat jika ingin mencopot kabel-kabel monitor ini