Share

Bertengkar Dengan Orangtua

“Apa Hana memang separah itu, Yah?”

Kamar besar itu hening. Mata Hana menatap lurus ke iPad yang terletak di kasur, memperlihatkan wajah Rayhan yang menatapnya tanpa ekspresi.

“Percuma dong ya Hana punya orangtua tapi bercerita aja gak boleh,” lanjutnya lagi.

Rayhan masih tidak menjawab.

Hana mengembuskan napas dan berkata, “Sebetulnya Hana juga lebih suka diam, Yah. Tapi Umi Salwa paham kalau Hana butuh didengar. Beliau juga gak pernah maksa Hana untuk cerita. Jadi dimana salahnya? Hana cuma cerita sama beliau aja.”

“Masalahnya kamu cerita soal orangtua kamu, Han....”

“Karena emang harus itu yang yang Hana ceritain. Selama ini Hana gak boleh ngomong, gak boleh marah, gak boleh merasa keberatan meski Hana berhak bersuara. Ayah tahu gak sih kalau Hana udah hampir gila karena gak dibolehin ngomong? Setiap kali Hana mau ngomong, langsung disuruh diam. Setiap kali Hana ngajak orang di rumah ngobrol baik-baik, selalu aja Hana yang dimarahin. Lalu ketika sekarang ada orang yang mau dengerin Hana secara tulus, masih juga dimarahin. Hana capek, Yah.”

Hana diam sejenak untuk mengusap air matanya.

“Ayah tahu gak sih kalau Hana udah capek? Capek jadi pesuruhnya adek-adek, capek untuk terus berusaha jadi anak baik tapi pada akhirnya gak dihargai juga. Ada lho ya anak kayak Hana ini. Gak tahu diri, sukanya caper sama orangtua, nyusahin pula.”

“Kamu ngomong apa? Jangan bertingkah kayak orang gila begitu!”

Mata Hana melebar, sebelum akhirnya dia tertawa keras.

“Gila?” gelaknya, tawanya terdengar geli. “Semua orang juga bilang begitu lho, Yah. Bahkan Ibu juga. Berarti itu fakta ya? Hana gak waras?”

Ekspresi Rayhan seketika menunjukkan penyesalan.

“Kasihan ayah sama ibu karena punya anak gak waras kayak Hana. Kenapa kalian biarin Hana hidup kalo gitu? Kenapa kalian gak bunuh Hana aja kalau emang Hana gila?”

Tak tahan lagi, akhirnya Hana mematikan sambungan dan menangis. Berkali-kali ditinjunya bibir agar sakit di hatinya berpindah, namun gagal dan membuatnya semakin menangis.

Di luar, Arkan yang mendengar semuanya menghela napas.

“Jangan sekarang, Ar.” Salwa yang sejak tadi menemaninya berkata pelan. “Hana butuh waktu.”

Di kamar, Hana meringkuk sambil membentur-benturkan kepala ke dinding. Semua kenangan masa lalunya kembali lagi, terutama saat-saat ketika Naira mencaci-makinya atas kesalahan kecil yang tidak sengaja dia perbuat. Semakin kuat tangannya menutup telinga, semakin keras kenangan itu membanjiri benaknya.

Berkali-kali Hana beristighfar dan berdzikir sebelum akhirnya dia kembali tenang. Saat tak sengaja menoleh ke cermin, dia tersenyum kecil melihat penampilannya yang berantakan.

“Bodoh,” gumamnya.

Dengan langkah terhuyung, Hana berjalan ke kamar mandi untuk berwudhu. Kepalanya terasa berdenyut-denyut, perutnya pun mual. Sesekali dia mengembuskan napas sebelum akhirnya menunaikan shalat malam.

“Masuk.” Hana berkata begitu selesai shalat. Dilipatnya mukena, lalu duduk di pinggir ranjang. Disandarkannya tubuh karena kepalanya semakin berdenyut.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Arkan.

Hana mengangguk.

“Kamu berantem sama ayah?”

Hana menggumam pelan.

“Kenapa?”

“Karena Ayah lebih belain Ibu. Aku cuma pengen didengar, tapi ayah nganggap aku berlebihan. Apa iya aku yang keterlaluan karena marah dikatain gila?”

Arkan mengembuskan napas.

“Mas nyesel gak karena nikah sama aku?” tanya Hana mendadak.

“Ngomong apa kamu?”

“Apa Mas nyesel karena harus punya istri kayak aku? Kalau bukan sama aku, mungkin Mas Arkan gak akan dengerin makian ibu dan ceramah ayah setiap hari.” Hana mengulang ucapannya lebih detail.

Arkan menggeleng.

“Jangan bohong, Mas.”

“Mas jujur,” balas Arkan ngegas.

Hana tertawa kecil.

“Aku durhaka ya karena melawan ucapannya Ayah,” gumamnya pelan. “Aku nyeritain semua masalahku ke Umi, termasuk sikap ibu selama ini. Padahal aku cerita sama beliau karena gak tahu lagi mau cerita sama siapa, tapi malah dibilang buka-buka aib.”

Arkan tetap menyimak.

“Kalau tahu begini, lebih baik aku jadi bisu sekalian.”

Arkan menghela napas, lalu maju dan memeluknya.

“Lepas, Mas,” gumam Hana, namun Arkan pura-pura tidak mendengarnya.

Tahu kalau suaminya tidak akan merespon, tangis Hana kembali pecah. Kali ini lebih menyedihkan dibanding sebelumnya. Dalam waktu lima detik, kemeja koko yang dikenakan Arkan sudah basah oleh air mata.

“Nangis aja, Han. Keluarin semuanya.”

***

“Hana mana?” tanya Salwa saat Arkan turun untuk shalat Subuh.

“Masih di atas, Mi. Mungkin sebentar lagi turun.”

Salwa tersenyum saat Arkan maju dan mencium pipinya, lalu kembali mendongak. Biasanya Hana turun bersama Arkan untuk kemudian berjamaah bersamanya di aula asrama putri, namun setelah lima menit menunggu, tidak terlihat tanda-tanda menantunya itu akan turun. Tanpa berkata apa-apa, Salwa bangkit dan berjalan menuju lantai tiga.

“Han?”

Diketuknya pintu berkali-kali, namun tidak ada jawaban. Salwa lantas menajamkan telinga dan menyadari kalau tidak ada suara apapun dari kamar anak dan menantunya. Gemericik air dari kamar mandi pun tidak.

Diiringi degup jantung yang menggila, Salwa mendorong pintu dan masuk. Matanya liar menatap ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya berlari menuju ranjang. Hana ada disana, sudah memakai mukena namun meringkuk dengan posisi aneh.

“Han?” panggilnya pelan. Ditepuk-tepuknya pipi Hana, mencoba menyadarkan wanita tersebut. Salwa lalu mendekatkan telinga ke wajah menantunya. Napas Hana terdengar pelan, bahkan dahi dan tubuhnya terasa panas saat disentuh. Bahkan tatapan matanya terlihat kosong seolah tidak ada kehidupan sama sekali.

Salwa menggigit bibir sejenak, bingung antara ingin pergi ke aula dan menemani santri putri untuk shalat Subuh, atau tetap tinggal untuk mengurus Hana. Akhirnya dia memutuskan untuk turun, namun sebelum itu dibukanya mukena Hana dan menaikkan suhu ruangan. Setelah itu, dia keluar sambil merapal doa agar menantunya baik-baik saja.

Di kamar, Hana mulai tersadar saat mendengar dering ponsel yang diletakkannya di meja. Nyaris tanpa tenaga, diulurkannya tangan dan meraih benda tersebut. Nama ‘Ibu’ tertulis di layarnya, membuat Hana kembali ketakutan. Namun, dipejamkannya mata sejenak sebelum akhirnya mengangkat telepon.

“Lama amat! Kamu tidur ya?” hardik Naira.

Hana tidak menjawab.

“Pintar ya kamu! Dinasihati orangtua malah ngadu ke mertua yang enggak-enggak. Apa yang kamu dapat dari mengadu-domba orangtuamu begitu?” bentak Naira sengit.

Hana masih tidak menjawab.

“Gak salah kalau saya bilang kelakuanmu kayak setan! Percuma aja saya capek nasihatin kamu setiap hari kalau kelakuanmu gak pernah berubah!”

Hana mengembuskan napas pelan.

“Ngapain pula kamu bertingkah sok teraniaya di depan ayahmu? Mau cari perhatian? Kamu pikir ayahmu mau peduli sama anak kayak kamu?” teriak Naira lagi.

Hana berpegangan erat pada pinggiran ranjang ketika pandangannya mulai terasa berputar-putar.

“Hei! Kamu tuli?!”

Hana masih tidak menjawab. Saat akhirnya dia membuka mulut, rasa mual yang begitu kuat menyergapnya hingga membuatnya lari ke kamar mandi. Tubuhnya membungkuk diatas wastafel, tapi tidak ada yang dimuntahkannya kecuali cairan bening.

Di luar, Zara—kakak iparnya— yang baru kembali dari asrama mengetuk pintu kamar.

“Han?”

Zara langsung berlari saat mendengar suara-suara aneh dari kamar mandi. Langkah kakinya mendadak berhenti, matanya menyipit menatap Hana yang bersandar sambil memejamkan mata.

“Kamu gak apa-apa?”

Belum jadi Hana menjawab, teriakan kembali menggema dari ponselnya.

“Woi, Anak Bodoh! Kamu tuli atau gak punya telinga?!”

Zara menoleh, kaget mendengar perkataan kasar tersebut. Ditatapnya Hana yang berbisik, “Ibuku, Mbak.”

Hana membungkuk dan mengecilkan volume ponsel, lalu meraih sajadah dan mulai shalat Subuh. Zara tetap tinggal untuk menemaninya, sesekali melirik ponsel yang masih menyala. Berkali-kali dia berdzikir saat mendengar cacian Naira yang tidak kunjung berhenti.

“Kamu gak apa-apa?” tanya Zara saat Hana selesai shalat dan mematikan panggilan tersebut.

Hana mengangguk.

Zara meliriknya. Dia ingin bertanya, tapi di sisi lain dia juga tidak ingin dianggap terlalu ingin tahu atau ikut campur masalah orang lain.

“Beliau marah, Mbak. Karena aku suka cerita sama Umi,” papar Hana tanpa diminta.

Zara tetap diam dan mendengarkan.

“Bahkan Ayah semalam juga bilang kalau kelakuanku kayak orang gila,” lanjut Hana diiringi tawa geli. “Aku kasihan sama mereka, Mbak.”

Zara menghela napas. Di sebelahnya, Hana masih tertawa sebelum berganti jadi isak lirih.

“Aku bener-bener udah ngecewain mereka.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status