Share

Bab 6

"Abang, kapan mau nikahin Mirna?" tanya Mirna sembari bergelayut manja pada kekasihnya.

"Sejujurnya Abang juga udah gak sabar buat segera nikahin kamu, tapi,"

"Tapi kenapa Bang?"

"Abang belum bicarakan ini pada orangtua Abang!"

"Jadi begitu." Mirna menunduk lesu.

"Kamu mau, kan Abang kenalin langsung ke mereka?" Dengan tersipu malu, Mirna mengangguk.

"Sekarang saja! Tapi sebelum itu boleh tidak Abang buka masker kamu? Abang ingin melihat wajah cantikmu sebentar saja, sayang!" Di panggil sayang oleh sang kekasih membuat Mirna hampir melayang. Seandainya ini negri dongeng, pastilah ia menyanyi dan menari bersama dengan para monyet.

"Sayang, ko malah bengong?" Lelaki itu mengguncang bahu Mirna. Tampaknya ia khawatir melihat ekspresi wajah Mirna yang kaku.

"Engga Bang! Mirna belum bisa sekarang."

"Tapi Mirna, memangnya kamu gak mau menikah dengan Abang. Meskipun kita baru kenal dan menjalin hubungan baru dua hari, tapi Abang merasa kita seperti sudah berhubungan sangat lama. Kita telah di takdirkan bertemu, tentu di takdirkan pula untuk bersatu. Memiliki keluarga yang bahagia punya anak cukup dua dan menua bersama. Mirna apa kamu tak bermimpi itu?"

"Cukup, Bang! Mirna gak tahan,"

"Ini dunia kita Mirna, anggaplah dunia ini milik kita berdua. Cukup orang-orang di luaran sana saja yang merasa ngontrak."

"Abang, tapi Mirna,"

"Abang mohon Mirna, Abang ingin sekali memilikimu seutuhnya."

Perasaan senang bercampur haru menyelimuti Mirna saat ini. Seharusnya ini kesempatannya untuk bisa segera menikah. Tapi mampukah lelaki itu menerima Mirna apa adanya. Secara, kan Mirna tak percaya diri dengan penampilannya.

"Abang, yakin?"

"Yakin! beribu ribu yakin." ucap lelaki itu antusias.

"Terima Mirna tulus apa adanya?" tanya Mirna kembali memastikan.

Genggamannya terasa hangat saat lelaki itu mencoba menyentuh kedua tangan Mirna. Sorot matanya menyiratkan ketulusan.

"Abang, tulus mencintai Mirna apa adanya. Apapun akan Abang terima. Kalau Abang bohong belahlah dada Abang."

Mirna menepuk gemas tubuh lelaki itu membuat sang empu terkejut hampir terjungkal.

"Mana bisa dibelah lah dada Abang, orang tinggal tulang!" Mirna tertawa. Tangannya sibuk mengobrak abrik rumput ilalang.

"Abang, boleh buka sekarang ya?"

"Tapi, Bang,"

"Tenang! sebentar aja."

Mirna diam seribu bahasa. Mulai pasrah dengan apa yang akan dilakukan lelaki itu. Bagaikan mahkota hendak direbut, Mirna meringis menahan gejolak karena takut.

Hingga tangan itu berhasil membuka masker Mirna. Lelaki itu spontan tiba-tiba terdiam, mematung di tempat.

Mirna yang merasa malu tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Tak terpungkiri betapa bahagianya dia menemukan lelaki yang mau menerima dirinya dengan tulus.

Dan semua itu kini tinggal angan. Brengseknya Mirna mudah percaya begitu saja. Lelaki itu kabur setelah mengetahui wajah Mirna yang sebenarnya. Lari terbirit-birit, meninggalkan sebelah sendal jepit kotor berlumpurnya.

Apalah kata tulus, kenyataannya hanya bualan. Apalah kata, mau menerima apa adanya, jika itu semua hanyalah omong palsu belaka. Ucapan dusta mampu membuat Mirna mabuk kepayang. Kini Mirna tak mau terjebak lagi pada urusan cinta. Tak mau lagi tertipu daya rayuan gombal lelaki pendusta. Biarlah hidup sendiri asalkan bahagia.

____

Layang-layang terbang semakin tinggi tertiup angin. Kedua bocah itu asyik bermain di ladang orang yang tidak tertanam padi. Sebagian bocah sebaya Ajril ikut meramai, namun berbeda tempat, karena berlarian kesana kemari mengikuti tiupan angin yang kencang.

"Abang, kita pulang dulu yuk? Nenek pasti lagi nunggu kita di rumah." Ajril menarik lengan baju sang kakak.

"Tunggu sebentar lagi, masih tanggung!" Angga masih tetap fokus pada layangannya.

"Tapikan kita udah hampir dua jam bermain, nanti nenek marah loh."

"Engga, nenek gak akan marah. Buat apa nenek marah sama kita, kan kita cuma main,"

"Karena itu Bang, niat kitakan untuk pergi ke warung beli terasi, tapi uangnya Abang belikan layang-layang,"

"Ah iya! terus gimana?" Angga menoleh pada sang adik. Sementara Ajril hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Anggapun berpikir keras.

"Ya sudah begini saja, kita bilang aja kalau terasinya habis,"

"Tapi, uangnya?" Angga lagi-lagi berpikir.

"Bilang saja uangnya hilang, jatuh entah dimana!"

"Kata ibu kita gak boleh bohong, bang! Abang mau masuk neraka?" Ajril mengingatkan.

Karena tak mendapat jawaban apapun dari sang kakak, Ajrilpun akhirnya pergi tanpa sepatah katapun.

"Eh, mau kemana?"

Ajril menoleh.

"Pulanglah!"

Mau tak mau Anggapun ikut pulang setelah menarik benang menurunkan layang-layangnya.

Terik mentari begitu panas menyengat kulit kedua bocah tersebut.Telapak kaki telanjangnya pun tanpa beralaskan sendal ikut merasakan panasnya jalanan aspal.Dalam hati Ajril, ia merasa haus. Tapi gubug sang nenek lumayan masih jauh.

Di perjalanan Ajril bertemu dengan seorang gadis kecil tengah bersama dengan ibunya. Sekelebat ia mengingat Nani ibunya. Rasa sesak menyelimuti bocah itu. Pandangannya tak lagi memperhatikan Ibu dan gadis kecil itu. Ajril terus merunduk dalam diam. Berjalan cepat tanpa pula pedulikan lagi rasa haus dan panasnya. Pipinya seketika telah basah. Ia rindu sang Ibu. Rindu pelukan hangat ibu dan kebersamaannya bersama ibu. Bocah malang itu mengusap pipinya cepat sebelum sang kakak memergokinya.

_____

"Owh begitu! Haduh, bagaimana ini anak-anak pasti makin sedih. Apalagi yang kecil terus menerus merengek," ucap Nek Idah terlihat cemas sembari menelphone seseorang di sebrang sana. Beberapa kali ia menghela nafas cukup berat.

"Maaf! Nanti biar saya beritahu kalau bertemu Nani," ungkap Seseorang itu.

"Ya sudah! Tolong beritahu Nani ya!" Nek Idah mencengkram telephone genggam begitu erat setelah sambungan telephonenya terputus.

Ia berbalik. Menyerahkan ponsel Mirna yang duduk sedari tadi memperhatikan ibunya. Raut wajah mereka berubah kecewa, karena Nani tak bisa dihubungi.

"Mau bagaimana lagi, mau tak mau menunggu Nani memiliki Hp baru!" Mirna pasrah.

"Tunggu sampai sebulan, apa mereka akan tahan, Mir?" Nek Idah menatap risau Mirna.

"Entah, Bu! Yang pasti jelaskan kepada bocah-bocah itu supaya mengerti," tuturnya lemah.

"Neeek," panggil Ajril setelah masuk kedalam rumah. Nek Idah dan Mirna menoleh berbarengan.

"Kalian sudah pulang, sudah beli terasinya?" tanya Nek Idah ketika Ajril mendekati sang Nenek, seraya mengelus puncak kepala cucunya dengan sayang.

Ajril menggeleng sendu. Nek Idah melirik Angga yang baru sampai, matanya menangkap layangan di tangan Angga seraya mengangkat sebelah halis.

"Kenapa?" tanya Nek Idah lembut.

Belum sempat Ajril menjawab. Bocah lelaki itu malah menangis menutupi mata dengan kedua tangan. Nek Idah panik. Ia memeluk Ajril seraya mengusap-usap punggungnya lembut.

"Ada apa? Ko malah nangis?" Mirna berceloteh. Melirik secara bergantian pada Ajril dan Angga.

Sementara Angga hanya merunduk. Ia merasa bersalah karena tidak menjaga amanah Neneknya untuk beli terasi, tapi malah menukarnya dengan layangan. Sekarang apa yang bisa diperbuat. Adiknya menangis karena ulahnya. Dia dan adiknya pasti akan di marahi Nenek.

"Sudah ga apa-apa! Nenek gak akan marah ko. Yang penting kalian jujur," ujar Nek Idah setelah menenangkan Ajril.

"Maaf Nek, uangnya..." Angga bungkam tak melanjutkan ucapan.

"Uangnya di pake untuk beli layangan, begitu?" tanya Nek Idah. Angga mengangguk pasrah.

Nek Idah menghela nafas. Sebelum ia melirik Mirna.

"Begitu aja ko pake nangis segala. Wong tinggal ke warung lagi apa susahnya," cebik Mirna seraya memainkan ponselnya.

"Gak mau, Ajril gak mau ke warung. Ajril maunya ketemu ibu." Setelah berteriak kencang, Ajril berlari ke halaman belakang.

"Ajril!" Nek Idah berteriak seraya mengejar.

"Dari dulu kami gak pernah jauh dari ibu, sekalinya jauh berasa di buang." Angga berceloteh. Sudut matanya mulai berair.

"Husttt, siapa yang ngebuang kalian? Ibu kalian kerja di kota. Uangnya buat siapa? Ya buat kalian juga. Makanya doa kan ibumu supaya cepat sukses. Biar kalian bisa bersama ibu kalian lagi!" Mira berkomentar.

"Tapikan, ibu bisa bawa kami ke kota?" Angga masih belum mengerti.

"Memangnya kalau bawa kalian ke kota gak merepotkan? Ibumu akan susah dapat kerjaan kalau kalian ikut."

"Tapi aku sama Ajril bisa bantuin ibu juga di sana."

"Bantu apa? Kalian itu masih kecil. Hidup di kota itu lebih sulit dibanding di kampung. Apa-apa serba mahal dan harus dibeli. Pokoknya kalian gak akan ngerti deh sebelum kamu dan adikmu tumbuh besar nanti."

"Ah, tante! Terus kapan ibu pulang?" Angga merengek.

"Ya mana tante tahu! Tante kan bukan bosnya."

Angga merenung nyalang. Tatapannya kosong ke depan. Entah apa yang bocah itu pikirkan, membuat Mirna merasa kasihan.

"Kamu harus sabar ya? Tante janji kalau ibumu telpon bakal langsung tante kasih tau kamu."

"Ibu telephone?"

"Belum! Tapi tunggu sampai ibumu bisa ke beli Hp baru."

Angga kembali diam. Pandangannya lurus ke depan. Sementara layangannya ia simpan di sisi samping kursinya.

"Temui adikmu sana, takut gak bisa dibujuk sama Nenek. Kasihan dia. Kamu, kan kakaknya harus lebih mengerti dan juga menjaga adikmu di saat ibumu gak ada."

Angga menurut. Ia beranjak berjalan pergi ke halaman belakang menyusul sang adik dan Neneknya.

"Ajril kangen ibu?" tanya Nek Idah.

"Kangen banget! Tapi kayanya ibu gak kangen Ajril," sahut Ajril lesu. hidungnya kempas kempis menahan hidungnya yang berair.

"Ibumu juga pasti kangen Ajril, kalau Ajril terus-terusan gak tenang mikirin ibu. Kasihan dong ibu, kerjanya jadi gak fokus. Bisa-bisa di sana ibumu dimarahi bos."

"Memangnya bosnya galak?" tanya Ajril polos.

"Galak! Lebih galak dari harimau. Ajril tau harimau, kan?" seru sang nenek.

Ajril mengangguk antusias. Kini Angga sudah berada di samping Ajril dan Neneknya, menunggu cerita sang Nenek yang dikarang sebisanya.

"Semoga mereka bisa terbiasa tanpa adanya Nani di samping mereka," gumam Nek Idah seraya memandangi ke dua bocah itu tertidur pulas di atas dipan beralaskan tikar.

Ada perasaan sesak menyelimuti wanita tujuh puluh sembilan tahun itu. Kemalangan menimpa cucunya begitu, membuat hatinya sering kali tersayat mengingat Nani jauh dari ke dua anaknya. Betapa rapuhnya ketika seorang ibu jauh dari anak-anaknya. Seolah hidupnya sulit untuk bernafas.

"Untung aku belum menikah, setidaknya aku belum merasakan nasib yang seperti Nani rasakan," imbuh Mirna sekenanya, membuat ibunya menoleh dengan tatapan tak senang.

"Maksudmu?"

Mirna nyengir.

"Kan gak tahu nasib seseorang seperti apa, ko main menyimpulkan sesuatu yang belum jelas," cebik Nek Idah.

"Habisnya Mirna gemas, Bu! Awas saja kalau ketemu dengan Ramlan, ku hajar dia sampai babak belur."

"Jangan! Nanti kasus. Kalau bersangkutan dengan hukum makin repot nantinya!"

Mirna nyengir lagi. Menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status