Curiga
Jangan lupa, subscribe, follow author di F* dengan nama pena yang sama. Dan baca novel² ku di app online lainnya."Maaf, Mas, aku mau mengambil mukena," ujarku berbicara senormal mungkin. Jangan sampai membuat pria dingin itu curiga. Mas Andra melebarkan pintu kamar, saat aku berjalan masuk dan kulirik panggilan ponselnya masih berlangsung, dimana terlihat jam yang menunjukkan berapa lama mereka tengah berbicara. Ada sekitar satu setengah jam yang lalu. Berarti Mas Andra berbicara dengan orang itu selama satu setengah jam."Bukankah katamu kau hanya ingin mengambil mukena? Tapi kenapa sepertinya kamu seperti kebingungan, Aisyah?" Aku tergagap dan menoleh sekilas ke arah Mas Andra, saat pria itu menatap penuh kebencian padaku. Aku mengangguk samar, kemudian meraih mukena yang ada di atas nakas, dan meninggalkan pria itu. Tanpa kuduga, Mas Andra langsung menutup pintunya dengan kasar.Brughh! Padahal aku baru satu langkah keluar dari kamar, tapi pria itu saking membenciku sampai melakukan hal itu, yang lagi-lagi melukai perasaanku dan membuat hatiku yang sangat rapuh ini seketika berderai air mata.Teganya kamu melakukan hal ini padaku, Mas. Tapi lihat saja, Aku tidak akan diam saja diperlukan seperti ini. Akan ada masanya nanti aku membalas semua perbuatan burukmu padaku.*****Ibadah sudah kutunaikan. Berkeluh kesah kepada Sang khalik pun sudah kmaku lakukan. Kini aku memilih berbaring di samping Farel yang terlelap dalam tidurnya. Kasihan sekali kamu, Nak, bahkan di usiamu yang belum genap dua bulan, kamu harus diacuhkan oleh ayahmu sendiri. Lebih gilanya lagi, pria itu sama sekali tidak menganggapmu ada dan malah terus mengabaikanmu. Dan semakin buruk adalah yang kudengar beberapa saat yang lalu. Seolah meyakinkan jika pria itu benar-benar pria yang tidak pantas untuk dijadikan tempat sandaran.*****Suara tarhim dari masjid terdekat membuatku terjaga. Itu artinya aku harus bergegas bangun sebelum keduluan Farel apalagi Mas Andra. Segera beranjak, kemudian pergi ke arah dapur untuk mengambil dua ember dan membawanya ke depan rumah. Melangkah tergesa menuju ke masjid terdekat untuk mengambil air bersih, kebiasaan yang sudah aku lakukan sejak pindah ke lingkungan sini. Di mana air yang telah bersih terdapat di masjid ini. Biasanya digunakan untuk keperluan yang lebih mendesak. Seperti mandi untuk Farel dan Mas Andra, juga keperluan untuk memasak dan yang lainnya. Sementara aku akan menggunakan air berbau besi itu untuk mandi, kemudian membilas terakhir dengan setengah ember air bersih, demi untuk menghemat. Jika sampai ke duluan adzan subuh dan para jemaah sudah pergi ke masjid, maka aku tidak bisa mengambil air lagi. Karena malu akan menjadi bahan sindiran mereka. Meski sebenarnya marbot sudah memberi izin, jika aku boleh meminta air sebanyak-banyaknya. Apalagi jika terlihat oleh Bu Nur, wanita itu akan terus mengomel seolah air yang kubawa diambil dari dalam rumahnya.*****Suara tangis Farel membuatku tergesa masuk ke rumah. Baru tiga jalan bolak-balik mengambil air, harus terhenti karena tangisnya yang memekikkan telinga. Lalu setelahnya, suara dentuman terdengar tepat di bagian kepala Farel di mana itu adalah tembok milik tetangga, Bu Nur dan Pak Tarso. Mereka yang suka begadang dan tidur larut, pasti terganggu dengan suara berisik anakku."Ugh, Sayang … sini mimik, Nak." Kuraih putra semata wayangku itu, dan membawanya ke pelukan. Popoknya basah, namun tangis Farel harus segera berhenti sebelum ada umpatan kasar dari balik tembok tetangga.Cukup lama pria kecil itu menyusu hingga akhirnya terlelap kembali. Kubaringkan dan kuganti popoknya dengan segera. Biarlah nanti kuseka pagi-pagi.Suara adzan membuatku mendesah berat. Itu artinya rutinitas bagiku harus segera berhenti. Maka kuputuskan untuk membersihkan diri dan bersujud padanya.*******"Mas, aku mau pinjam ponselmu. Sebentar saja." Pria yang tengah menikmati gorengan dan kopi instan itu seketika membalik badan kepadaku dan menghentikan kunyahannya."Untuk apa? Apa kamu mau memeriksa isi ponselku?" tanyanya dengan berang. Padahal aku bersikap biasa saja."Nggak, Mas. Aku cuma mau menghubungi ibu di desa. Sudah lama aku tidak bicara dengannya, lagi pula aku sangat rindu kepada mereka!" kilahku agar dia percaya."Jangan kamu bilang, jika kamu ingin melaporkan semuanya kepada ibumu, ya? Jika kamu masih ingin tinggal bersamaku di dalam rumah ini, maka diam saja!"Nyes. Ucapan itu membuat luka semakin dalam di hatiku."Aisyah! Kamu dengar nggak sih?!""I-iya, Mas," ucapku takut-takut. Pria itu segera menyodorkan ponselnya dan segera kuraih sebelum Mas Andra berubah pikiran. Ah, sebenarnya itu bukanlah ponselnya melainkan ponsel milikku. Aku membelinya ketika lulus kuliah, dengan yang tabunganku. Aku membeli ponsel itu untuk memudahkanku berkomunikasi dan mencari segala kesulitan di benda pipih persegi panjang tersebut. Namun setelah menikah, Mas Andra merampasnya dan beranggapan jika pria itu lebih membutuhkannya daripada aku sendiri. Jadilah aku tidak leluasa untuk meminjamnya, meskipun itu barang kubeli sebelum berkenalan dengannya."Jangan lama-lama," bentaknya kasar. Aku sampai memegangi dada karena saking terkejutnya.Mas Andra masuk lagi ke kamar lalu kembali dengan ransel miliknya. Aku yang bingung harus bagaimana, segera membuka ponsel dan melihat riwayat terakhir. Namun nihil. Tak ada percakapan semalam. Aku menghubungi ibu setelahnya, namun sampai berapa lama, wanita itu sama sekali tidak mengangkat panggilanku. Hingga beberapa kali aku mencoba, namun tidak berhasil. Aku kira ibu sedang sibuk dengan rutinitas paginya.Tak sampai di situ. Kucari riwayat kontak semalam, siapa tahu aku menemukan sesuatu yang janggal. Namun dari 70 kontak yang terdaftar di ponselnya, kebanyakan adalah laki-laki dan sama sekali tidak ada yang mencurigakan. Padahal aku yakin, semalam Mas andra berbicara dengan seseorang yang kuduga wanita."Sudah, aku mau kerja takut kesiangan!" Dengan gerakan kasar pria itu meraih ponselnya dan bergegas pergi meninggalkanku yang termangu menatap sedih ke arahnya. Hingga tiba-tiba air mata itu mengalir begitu saja membasahi pipiku. Ya Tuhan, rasanya aku sudah tidak kuat lagi untuk mempertahankan pria itu di sisiku. Namun aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memang seperti benalu saat ini. Bekerja pun tidak bisa, karena Farel yang masih terlalu kecil usianya, dan dia masih belum bisa dititipkan pada orang lain. Lagi pula aku yakin pria itu tidak akan pernah mengizinkan aku untuk kembali kepada rutinitasku dahulu sebagai seorang pekerja kantoran."Eh, Aisyah. Aku lihat suamimu membonceng seorang wanita di jalan tadi pagi!""Ap-apa?!"Fakta MengejutkanPagi ini aku mengajak Farel untuk berjemur di halaman depan, sekaligus menunggu tukang sayur yang biasanya lewat. Kata bidan waktu itu, kulit Farel sedikit kuning jadi dia harus sering-sering dijemur untuk mendapatkan vitamin D secara alami. Uang di kantong tinggal lima belas ribu lagi dan harus kugunakan sebaik-baiknya. Beruntung Farel belum bisa jajan karena umurnya masih dini.Besok adalah jatah Mas Andra memberikan uang. Semoga dia tidak melupakan kewajibannya.Bu Nur dan Pak Tarso baru saja pulang dengan motor Beat merah miliknya. Wanita itu misuh-misuh langsung berdebat sedikit dengan suaminya, entah mengobrolkan apa. Setelahnya tampak mendekat ke arahku dengan tergesa."Eh, Aisyah. Aku lihat suamimu membonceng seorang wanita di jalan tadi pagi!" Wajahnya terlihat serius dan meyakinkan."Ap-apa?!" ucapku tak percaya. "Bu Nur jangan bicara sembarangan ya." Kata itu begitu saja keluar dari dalam mulutku, mencoba tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh wanita
Berobat"Maaf, saya mencoba untuk melihat wajahnya ya, Bu Aisyah. Silahkan berbaring di sini." Seorang pria tampan bergelar dokter kecantikan tersenyum dan mempersilahkanku untuk berbaring di brankar. Saat ini aku sedang berada di sebuah klinik kecantikan, saat Bu Indria membawaku ke tempat ini, untuk mengobati wajahku yang sudah sangat memprihatinkan. Sepertinya wanita itu kasihan kepadaku, apalagi setelah kujelaskan kisah hidupku tadi. Katanya, dia tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang karena meyakini jika aku akan menjadi seorang bintang setelah wajahku mulus. Apalagi ditunjang dengan kulitku yang putih, tinggi badan yang proporsional, bentuk tubuhku yang tidak berubah meskipun sudah melahirkan, ditambah penampilanku yang sebentar lagi akan Bu Indria rubah, membuatnya optimis jika aku akan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Meski itu juga adalah harapanku. Dokter itu kemudian mengambil sebuah alat yang diarahkan ke wajahku, membuat seluruh apa yang tidak ada di wajahku t
Bab 6MinggatMenjelang malam pun tiba. Aku memilih rebahan di kamar bersama dengan Farel, dan mengajak bayi dua bulan itu bercanda. Tentunya setelah melaksanakan shalat wajib. Seperti biasanya, Mas Andra membeli makanan dari luar, lalu menikmatinya sambil menonton TV. Tanpa menawariku ataupun mencoba memanggilku agar makan bersamanya. Hal yang sudah lima bulan ini tidak dia lakukan. Hampir setiap malam, pria itu membeli makanan dari luar. Entah itu nasi goreng, ayam goreng, martabak, ataupun sate. Dan sebagai seorang istri, aku hanya bisa menelan ludah sambil mencoba untuk bersabar melihat perlakuannya yang tidak wajar itu. Jika ada sisanya, pagi-pagi aku akan memakannya setelah menghangatkannya di atas kompor. Namun jika makanan itu tidak tersisa, aku hanya bisa mendesah panjang mencoba untuk bersabar. Berharap suatu hari nanti hidupku akan berubah. "Entah terbuat apa hati pria yang menikahiku dua tahun yang lalu itu. Hingga begitu kuatnya dia mengabaikanku selama lima bulan laman
Bab 7Pemotretan Aku melamun sambil memikirkan Mas Andra. Sudah tiga hari pria itu tidak pulang ke rumah.Aku pun terpaksa memanfaatkan beras seliter dengan membuat bubur tiap hari. Lumayan bisa menghemat, meski makannya tanpa lauk.Ketukan pintu seketika membuatku terduduk setelah menyusui Farel dan membuatnya kembali terlelap dalam tidur.Segera mengambil pashmina instan. Aku melangkah menuju ke arah pintu, dan sengaja menutupi mukaku. Agar orang-orang tidak semakin memandang jijik. Apalagi wajahku sekarang sedang dalam masa parah-parahnya, di mana kulit terasa perih dan semakin memerah. Bahkan sekedar terkena hembusan kipas angin saja, rasanya seperti disayat-sayat."Bu Aisyah?""Ya Mbak Ani. Ayo masuk." Wanita itu adalah pekerja di rumah Bu Indria. Aku tak mengerti ada apa wanita itu siang-siang datang ke rumahku.Wanita itu langsung menggeleng dengan senyumnya yang ramah."Bu Aisyah dipanggil oleh Bu Indria. Sekarang juga disuruh ke rumahnya. Jangan lama-lama, tapi katanya pen
Bab 8Andra Kembali"Bagaimana hasilnya?" tanya Bu Indria dengan segelas jus di tangannya. Menurut keterangannya, wanita itu baru saja bangun tidur."Lumayan bagus, saat kita tutupi wajahnya dengan kipas atau dengan daun yang estetik sehingga menampilkan bentuk tubuhnya saja," sahut pria berkemeja putih. Dengan wajah tampak sumringah."Tuh kan apa yang kubilang tadi," ujar Bu Indria sambil menyentuh bahuku dan mengajakku untuk duduk kembali. Melihat kepuasan di wajah-wajah mereka, entah kenapa aku juga ikut bahagia. Semoga ini menjadi awal kesuksesan untukku di masa depan. Setidaknya aku bisa menjadi seorang model pakaian syar'i. Amin.Di saat yang bersamaan, Mbak Ani segera menyerahkan Farel padaku yang langsung kudekap dalam pelukan. Bayi itu benar-benar anteng, dan mengerti jika ibunya tengah mencari rezeki untuknya."Eh sebaiknya aku ganti baju dulu, nggak enak jika aku pakai baju yang mahal ini," uj
Bab 9Awal PembalasanTanpa mengucapkan kata 'halo' kubiarkan pria di seberang sana berbicara terlebih dahulu."Halo? Aisyah? Dimana kamu sekarang? Kenapa kamu pergi dari rumah kontrakan itu? Aku mencarimu selama beberapa hari ini. Tolong katakan di mana kamu berada." Suara itu terdengar gusar saat bertanya. Dan aku memilih membiarkannya saja, menunggu kata selanjutnya dari Mas Andra."Aisyah! Kamu denger nggak aku ngomong sama kamu? Atau jangan-jangan kamu budek karena ini bulan ini aku tinggalkan? Iya, begitukah? Aisyah!! Gobl*k!! Jawab!!" Rasanya ingin tertawa saat mendengar ocehannya barusan. Apa aku tidak salah dengar? Dia menyebutku budek dan gobl*k? Mas, kamu hanya tidak tahu saja jika hidupku telah berubah selama empat bulan ini. Sebentar lagi kamu akan merasakan apa yang selama ini sudah kau lakukan padaku. Dan kamu pantas mendapatkan pelajaran berharga dariku.Aku memilih diam dan masih tak
Bab 10Heran"Ibu ….!" Aku terkejut saat mendengar suara seseorang yang memanggil nama ibu. Itu adalah suara wanita yang selama dua tahun ini aku nikahi. Aku menarik nafas, dan berharap ini mimpi. Hingga penasaran, perlahan-lahan aku menoleh ke belakang.Dan … Ya ampun, cantik sekali," ucapku dalam hati saat melihat siapa yang berdiri menyambut kedua kedua orang tua kami. Aisyah, apakah benar itu dia?Dalam hati aku berdoa, semoga itu bukan Aisyah. Namun percuma, karena sekarang wanita yang terlihat tampil sangat cantik itu menghampiri kami berlima yang masih berdiri di halaman. Aku yakin itu Aisyah–istriku, dan ya dia sungguh berbeda sekarang.Aisyah melihat sekilas sebelum akhirnya memeluk ibu dan ibu mertua, serta kedua pria yang tak lain adalah ayahku dan ayahnya."Kami semakin pangling padamu, Aisyah." Pria yang merestui pernikahan kami itu turut memuji anaknya.
Bab 11Inikah Pembalasan Aisyah"Mbak Iim, pokoknya aku mau makanan yang di meja ini semuanya dibawa pulang oleh mbak," ucapku pada pekerja di rumahku. "Tapi, Bu Aisyah. Ini terlalu banyak. Mbak nggak bisa bawa semuanya," tolak Mbak Iim. Aku tersenyum menatap ke arah wanita paruh baya dengan lima orang anak ini."Nggak apa-apa, Mbak. Sesekali mbak bawakan makanan enak buat mereka. Kasihan, lagi pada aku pernah merasakan bagaimana hidup susah. Aku pernah makan tanpa lauk, dan aku pernah makan bubur selama beberapa hari," ucapku mengenang waktu kepergian Mas Andra saat itu, di mana aku tidak memiliki uang sama sekali, sedangkan beras hanya tersisa satu liter saja harus kuhemat.Di belakangku, kulihat Mas Andra tengah berdiri. Biar saja dia melihat potongan ayam goreng yang tersisa tujuh potong itu, belum lagi dengan tumisan dan sayur-mayur yang lainnya. Tentu dia tidak pernah melihat makanan sebanyak ini ketika