Kalau dikatakan kami keterlaluan. Ya, memang benar. Aku pun menyadarinya. Hanya saja ini kenyataannya. Kenyataan bahwa kami berdua masih terjebak dalam nostalgia masa lalu dan terjebak dengan cinta yang belum usai. Jika di katakan ini salah, memang benar ini semua salah. Aku takkan berkata bahwa aku benar.
Jujur saja, aku tak ingin di cap pelakor. Tapi masalah hati siapa yang bisa mengaturnya kecuali Allah. Hanya saja, kita bisa menggunakan akal pikiran kita untuk menerima atau menolak hal yang akan berpengaruh baik atau buruk bagi kehidupan kita kedepannya. Semua dengan nafsu atau tidak.Seperti yang IzanIzandra katakan kemarin, bahwa istrinya mengijinkan dia berpoligami setahun yang lalu. Well ... Aku tak serta merta bahagia. Meski memang aku merasa ada sedikit harapan tapi aku takkan menyiram harapan itu agar semakin besar. Aku harus menguburnya. Apalagi saat aku memikirkan latar belakang kami yang sangat jauh berbeda.Aku yang notabene bukan lulusan pondok dan dia yang justru sekarang seorang pimpinan pondok, rasanya terlalu miris jika aku berani menerima pinangannya.Bukan karena aku takut, hanya saja aku sadar diri. Takkan mudah untuk menjadi madu di antara keluarga orang yang sangat berpengaruh di dalam sebuah pesantren. Akan ada banyak sekali hal yang harus dijadikan pertimbangan untuk menerima pinangannya. Meski ada ijin dari istri pertama pun, aku masih harus beribu kali berpikir, pantas atau tidak aku mendampingi seseorang seperti Izandra, bukan hanya mengandalkan sebuah nafsu yang bertopengkan cinta. Karena sejatinya aku sadar, cinta yang hakiki adalah cinta yang tak melebihi batas ketentuan Allah dan berjalan sesuai dengan syari'atnya tanpa menggunakan hawa nafsu di dalamnya.Aku rasa kisah kami takkan mudah. Sangat tak mudah.***Seharian pikiranku penuh dengan kekalutan. Banyak pertanyaan dalam benakku. Dan tentang bagaimana hubunganku dengan Izandra kedepannya.Aku memutuskan untuk pergi ke rumah Irene sahabatku. Mungkin dia bisa memberiku nasehat yang lebih baik. Jujur, aku takut salah jalan dan aku butuh teman yang bisa mendengar keluh kesahku. Karena sepertinya hal yang tak mungkin jika aku harus bercerita pada keluargaku.Sesampainya di rumah Irene, saat aku lihat dia membuka pintu, aku langsung memeluknya dengan erat dan berkaca-kaca.Ada raut keterkejutan di wajahnya, mungkin dia bertanya-tanya mengapa aku tiba-tiba datang dan menangis seperti ini."Ndri ... Kenapa?" ucap Irene sambil mengelus-elus punggungku. Aku masih memeluknya dan masih ingin menumpahkan beban di hatiku yang terasa sesak.Irene lalu membimbingku untuk masuk dan duduk di ruang tamunya, kemudian dia perlahan mendorong bahuku dan melepaskan pelukanku."Cerita sama aku, yah!" katanya. Dan aku jawab dengan anggukan.Berulang kali aku menarik nafas lalu menghembuskannya dengan berat sambil sesekali masih sesegukan."Ren ... kalo kamu jadi aku, apa yang bakal kamu lakuin saat mantan terindah kamu ngajak serius tapi kamu harus jadi istri keduanya?" ucapku. Irene langsung terlihat terkejut tapi kemudian seperti mencoba untuk bersikap biasa saja."Ini pasti masih soal Izan, kan?" tanyanya. Dan aku mengangguk. "Emang apa yang terjadi?" lanjutnya."Entahlah, Ren. Ini terlalu membingungkan buatku. Kamu tau, kan, Izz itu sekarang bukan orang sembarangan. Bukan lagi seorang santri, tapi seorang Kyai. Menurutmu ... Pantes gak sih dia bersikap kek gitu sama aku?" Aku menghela nafas sebelum melanjutkan ceritaku. "Maksudku ... dia itu pasti lebih faham soal batasan-batasan dengan yang bukan mahram. Tapi dia malah kek gitu! Kamu tau lah maksudnya. Kamu juga tau Izz itu dari dulu gimana. Sekarang dia malah bikin aku bingung, stres dan sekaligus berharap." keluhku."Hati kamu gimana, Ndri?" tanya Irene padaku. Dan pertanyaan itu malah makin membuat aku bingung."Fyuuh ... Entahlah." Lemas aku menjawabnya. "Kamu tau, Ren. Dia cinta pertama aku, dengan dia bersikap manis tiap chat atau telpon aku aja, tuh, jujur aja masih ada rasa berdebar dan berbunga-bunga. Tapi satu sisi aku sadar diri, kita itu berbeda sekarang, kita gak bisa sama-sama lagi. Ada banyak perasaan yang harus kita jaga. Kamu ngerti, kan, Ren?" Jelasku panjang lebar."Aku ngerti perasaan kamu, Ndri! Emang dia maunya kalian kek gimana sekarang?" tanya Irene.Aku langsung menceritakan pada sahabatku itu tentang bahasan poligami yang Izan ajukan kemarin. Tanpa ada yang aku tambahi atau aku kurangi. Semua aku ceritakan padanya. Terlihat Irene menghela nafasnya panjang, lalu dia bertanya, "terus, kamu mau?" Spontan aku mengendikan bahuku."Menurutmu gimana? Aku kesini mau minta saran darimu. Aku juga bingung," kataku."Gini deh ... aku gak tau mana yang bener mana yang enggak. Cuman gak mungkir sebagai sahabat yang tau kalian dari dulu kek gimana, aku jujur aja ngarep kalian sama-sama lagi. Tapi, kalian emang harus punya keberanian yang tinggi buat wujudin itu semua." Aku mengangguk membenarkan kata-kata sahabatku itu."Kalian memang bisa saja menikah siri, kalau kalian nekad, tapi apa iya kamu tega sama anak istrinya? Tambah lagi, ortu kamu gak bakalan semudah itu ngasih ijin, apalagi papa kamu yang notabene yang akan jadi wali. Tambah lagi nikah siri tanpa ada ijin istri pertama itu gak bakal di akuin negara, kasian anak kalian nanti kalo ngurus surat-surat kependudukan. Banyak hal yang harus kalian pikirkan!" Lagi aku mengangguk."Aku juga berpikiran hal yang sama kek kamu, Ren. Banyak sekali hal yang harus di pertimbangkan. Dan kayaknya, aku mundur aja," ucapku lirih."Kamu udah coba istikharah belum?" tanya Irene. Aku menggeleng. "Coba kamu istikharah dulu deh, Ndri. Minta petunjuk sama Allah. Kalo bisa sih kamu tikung aja tuh si Izan di sepertiga malam." Selorohnya sambil menaik turunkan alisnya dengan pandangan jahil.Aku reflek menabok lengannya mendengar candaannya yang seperti itu. Dan dia meringis sambil tertawa terbahak-bahak. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya dia nyuruh aku nikung buat dapetin suami orang. Sama aja dia nyuruh aku jadi pelakor. Emang agak ges-rek otak dia tuh kadang-kadang.Tapi akhirnya suasana yang tadinya sedih-sedihan malah jadi lucu."Tapi aku serius, Ndri! Siapa yang tahu jodoh seseorang. Kamu aja kan bisa pisah sama suami kamu, padahal aku liat tuh, kalian cocok banget. Couple goals banget lah. Tapi kan Allah yang tetep menentukan takdir kita. Doa siapa yang bisa sampai tembus ke langit dan langsung Allah kabulkan. Allah Kuasa, Kita gak Kuasa. Jodoh, umur, rejeki, dan nasib seseorang itu gak ada yang tau kecuali Allah, Ndri! Kamu bisa meminta yang terbaik dari Allah untuk diberikan jodoh,“ kata Irene dengan panjang lebar. Kali ini dia bicara dengan tatapan serius.Apakah aku harus seperti itu juga? Apakah aku harus melangitkan doaku agar aku mendapat kesempatan untuk bahagia?~Bagaimana aku bisa bahagia, sedangkan ada banyak hati yang harus aku jaga~Di sepertiga malam ini, aku bersimpuh di hadapan Rabb-ku. Meminta petunjuk, meminta ketenangan hati, dan meminta yang terbaik untuk kehidupan dunia dan akhiratku. Karena aku sadar, tak ada yang bisa memberi petunjuk selain Allah. Jujur, setelah perceraianku dua tahun kemarin. Aku menjadi memiliki keinginan untuk berhijrah. Terutama memakai hijab disetiap saat. Dan alhamdulillah atas kemudahan dari Allah dan dorongan dari orang-orang terdekatku, terutama sahabatku Irene yang lebih dulu berhijab syar'i, aku kini memantapkan hati memakai hijab. Awalnya aku ragu, tapi karena hati yang selalu saja gelisah akhirnya aku nekat berhijrah. Bermodal niat ingin memperbaiki diri karena Allah. Bahkan kalau bisa aku ingin langsung memakai cadar. Ah, mungkin itu akan aku pikirkan lagi kelak ketika aku sudah memiliki imam dalam rumah tanggaku.Aku sadar sekarang bahwa segala sesuatu itu harus atas kehendak Allah. Maka kini ak
PoV 3Indri terbangun dari tidurnya. Ternyata sehabis shalat istikharah tadi ia ketiduran di atas sajadah. Saat ia membuka mata, ia teringat akan mimpinya barusan yang seakan nyata. 'Apakah itu jawaban dari Allah bahwa semua akan baik-baik saja?' batinnya.Jujur di hatinya, dia masih merasa dilema dan bimbang. Banyak sekali pertimbangan yang dia pikirkan. Bahkan setelah beberapa hari ini dia rutin istikharah, ada banyak hal yang membuat dia justru semakin galau.Indri dan Izz selalu berkomunikasi tentang apa saja yang akan terjadi jika pernikahan mereka benar-benar menjadi kenyataan. Karena keduanya pun merasa bahwa jalan mereka tak mudah dan takkan ada yang tahu bagaimana rumitnya perasaan mereka saat ini.Satu sisi, Indri memang masih memiliki perasaan pada Izz, hanya saja di sisi lain, dia juga bimbang jika harus menyakiti hati istri pertama Izz. Tak ada wanita yang akan dengan sukarela berbagi suaminya dengan orang lain, pikir Indri. Kalau pun ada, maka orang itu pasti telah melal
Allah memudahkan kita mengambil keputusan yang sulit dengan cara meminta petunjuk kepadaNya lewat shalat istikharah. Dan itulah yang Izz dan Indri lakukan selama satu bulan ini. Setiap malam mereka melantunkan doa-doa agar diberikan petunjuk mana yang terbaik bagi hubungan mereka ke depannya.Bagi orang lain yang melihat apa yang mereka lakukan, mungkin akan berkata mereka sudah gila dan di butakan oleh cinta. Apalagi seorang Izandra yang notabene orang yang memiliki ilmu agama yang baik yang harusnya lebih bisa berpikir positif dan bijak dalam mengambil sikap. Bukan malah terlena dalam cinta yang belum usai. Padahal di mata orang awam, sekelas Kyai harus memiliki iman yang kuat, tak mudah goyah oleh hawa nafsu. Tapi apalah daya.. Izandra tetap lah seorang manusia yang memiliki hati, dia pikir siapa yang bisa membolak-balikan hatinya kecuali atas kehendak Allah. Itulah yang membuatnya yakin untuk melakukan istikharah selama satu bulan penuh, agar apa yang akan dia putuskan kini, adal
Di saat kita sudah merasa memiliki sesuatu, terkadang kita di paksa sadar bahwa hal tersebut nyatanya bukanlah milik kita. Apa yang kita jaga agar tak lepas dari genggaman, ternyata justru hanya titipan semata. Jangankan orang lain, anak kita, pasangan kita, orang tua kita, saudara kita, harta kita, bahkan diri kita sendiri pun semua hanya titipan yang sewaktu-waktu bisa saja di ambil kembali oleh Sang Pemilik Segalanya. Begitulah yang kira-kira Annisa rasakan saat ini. Rasa memiliki yang begitu dalam akan sang suami, Izandra. Membuat Annisa merasa sangat amat pilu ketika mendapati kenyataan bahwa dia harus berbagi segala apa yang ada pada suaminya itu dengan perempuan lain. Raganya, cintanya, hartanya, ilmunya, perhatiannya, tanggung jawabnya, semua seperti sebuah mimpi buruk yang membuat Annisa enggan untuk meyakininya sebagai kenyataan. Sayangnya semua bukanlah sebuah mimpi. Sang suami benar-benar berniat ingin membagi segala sesuatu yang selama ini Annisa sangka hanya u
"Maaf sebelumnya, A. Tapi aku gak mau menikah tanpa ijin dari Annisa," potong Indri mantap. Izz terkesiap mendengar kata-kata Indri. Dia sama sekali tak menyangka bahwa Indri akan mengajukan syarat seperti itu. "Ma-maksudnya gimana, De?" tanya Izz lesu. "Iyaa, aku gak bisa seperti itu. Kalau memang Annisa tak memberi ijin pada Aa untuk menikah sama aku, maka aku gak akan pernah mau menikah sama Aa." Indri berkata dengan pasti. Dia merasa bahwa pernikahan yang terjadi tanpa restu dari istri pertama tak akan pernah berjalan dengan baik ke depannya. "Aku gak mau kalau sampai nanti kita akhirnya ketahuan dan semua orang jadi menyudutkan kita. Apalagi jika sampai Viral. Semua ini aku lakukan untuk berhati-hati dan berjaga-jaga demi kebaikan kita ke depannya," ucap Indri lirih. "Tapi ... kita bisa menikah lebih dulu, lalu setelahnya kita bisa beritahu Annisa. Bukankah kalau kita sudah sah menjadi suami-istri, tak ada alasan untuk Annisa menolak lagi?" jawab Izz. Rencana Izz mema
Tak ada perempuan di zaman ini yang akan ikhlas berbagi suami. Meskipun ada, itu seperti satu butir berlian di tengah gurun pasir, sulit untuk menemukannya. Begitupun dengan Annisa. Sekuat apapun dia berusaha menerima, tapi tetap saja hatinya sakit. Dia masih belum bisa berdamai dengan kenyataan. Semalam setelah Izz pulang selepas isya dari Mesjid, Annisa akhirnya memutuskan untuk berbicara dengannya. "Bii ... Aku mau bicara," kata Annisa dengan ragu sambil menundukkan kepalanya. "Ya, ayo kita ke ruang kerja Abi," jawab Izz lembut. Sesampainya di sana, Izz langsung mempersilakan Annisa untuk bicara. Izz yakin Annisa akan memberikan keputusannya. Terlihat Annisa menarik nafas dalam dan dengan berat dia mengeluarkannya. Hening beberapa saat. Annisa merasa bingung harus mulai dari mana. "Jadi .... " Izz tak sabar menunggu istrinya bicara. "Aku mau kita pisah, Bii ...," ucap Annisa dengan suara serak seperti menahan tangis. Sontak saja Izz terkeju
Dua minggu berlalu, Annisa masih saja belum memberikan keputusannya. Sampai sang Ibu merasa heran, kenapa anak sulungnya ini, sudah dua minggu ini berada di rumahnya. Firasat seorang Ibu memang sangat kuat jika anaknya sedang mengalami suatu masalah. Hanya saja ia segan untuk ikut campur dalam kehidupan anaknya itu. "Nak ... Cerita sama Ibu, sebenarnya ada masalah apa antara kamu dengan suamimu? Sudah dua minggu kamu di sini, dan selama itu pula, suamimu tak pernah datang kesini untuk mengunjungi kalian. Pasti ada sesuatu yang terjadi di antara kalian kan?" tanya Ibu Annisa pagi ini selepas sarapan. Mereka masih duduk berdua di meja makan. "Em.. Gak ada apa-apa, kok, Bu ... Kyai mungkin lagi sibuk jadi gak sempet buat kesini." lirih Annisa. Tapi sang Ibu tetap bisa melihat ekspresi Annisa yang berbeda saat membahas sang Suami. Ibunya melihat Annisa tak seceria biasanya. Hanya saja, Ibu Annisa lebih memilih membiarkan Annisa menyelesaikan masalah rumah tangganya sendiri.
"Aku mau di poligami, Bii." Setelah mengatakan itu dengan susah payah, Annisa melihat ekspresi Izz yang langsung terlihat berbinar-binar mengetahui bahwa dirinya diberi lampu hijau untuk berpoligami. "Kamu serius, Mii?" tanya Izz memastikan. Takut-takut tadi istrinya hanya bercanda. "Ya, aku serius. Tapi sebelumnya, bolehkah aku bertemu dengannya? Bertemu dengan perempuan yang bisa menggoyahkan rumah tangga kita," jawab Annisa lesu. Izz tertegun. Ia lupa bahwa Indri adalah orang yang selalu Annisa cemburui. Bahkan sering kali Annisa me-roasting Izz yang dulu sangat bucin pada Indri. Entah bagaimana ekspresi Annisa, jika dia tahu bahwa orang yang akan menjadi madunya adalah orang yang paling dia cemburui. "Emmm ... I-itu ... Nanti aku akan tanyakan dulu padanya, kapan dia mau di ajak bertemu denganmu," kata Izz ragu. "Baiklah kalau begitu. Nanti Abi kasih tau Ummi aja kapan dia bisanya," ujar Annisa sambil bangkit dari duduknya dan hendak meleng