"Iya, ya." Gayatri mendekati manekin. Mengamati lebih dekat dress simple berlengan balon berwarna putih gading. Di bagian pinggang dress dilengkapi dengan aksen pita yang cantik. Gayatri memeriksa bahan dress dengan melihat tag putih di baliknya. Tertulis terbuat dari 100% cotton. Itu artinya dress ini akan nyaman saat dikenakan seharian."Gue ambil dress ini deh." Gayatri mengambil dress dengan model sama yang di gantung di belakang manekin."Iya, bagus itu Tri. Simple dan nggak panas. Eh, gue ke sono ya? Melihat baju cakep-cakep begini gue jadi pengen ngebeliin buat Si Dilla." Jiwa belanja Citra kembali meronta-ronta."Ya udah sono." Gayatri mengibaskan tangannya. Untuk pertama kalinya ia merasa excited melihat baju-baju anak kecil. Jiwa ibu-ibunya doyan belanja untuk anak sudah mulai melandanya.Gayatri berganti mendekati manekin yang mengenakan blouse lengan panjang berwarna merah muda. Blouse ini tampak unik karena berkerah model Nehru longgar. Sehingga dapat digunakan untuk sega
"Jadi kamu betul-betul menolak Harsa, Tri?" Pak Sanwani menggebrak meja. Kepalanya panas karena menerima teror dari dua sisi. Pak Bakri menerornya agar segera memberi jawaban atas lamaran Harsa. Sementara putrinya meneror dengan sikap kepala batunya."Benar, Pak." Gayatri menjaga nada suaranya agar tetap datar. Saat ini ia sedang berada di kantor pribadinya dalam hotel. Sejak tadi pagi, dirinya dan kepala masing-masing divisi melakukan rapat mendadak. Gayatri berusaha mendongkrak pemasukan hotel dengan menerapkan cara-cara kerja baru. Salah satunya adalah meningkatkan SDM tiap divisi. Kedatangan mendadak ayahnya ini membuat Gayatri menghentikan rapat sejenak. Jikalau sedang emosi, perangai ayahnya cenderung kurang baik. Untuk itulah yang menunda rapat. Ia harus menjaga wibawa di depan para stafnya."Berarti kamu sudah siap kehilangan Hotel Grand Mediterania?" tantang Pak Sanwani lagi."Kemarin dulu Ayah bilang bahwa semua hotel-hotel kita adalah milik Ayah bukan? Berarti Ayahlah yang
"Tadi Ratri mengadakan rapat dengan masing-masing kepala divisi untuk membuat terobosan baru. Terutama divisi Marketing Department. Ratri minta agar mereka lebih gencar lagi dalam melakukan promosi-promosi melalui media sosial. Ratri juga berencana untuk mengendorse artis dan influencer kenamaan tanah air untuk mendongkrak pelanggan agar menginap di hotel kita. Semoga saja rencana Ratri ini berhasil untuk menambah income hotel.""Jikalau tidak?" Pak Sanwani tidak yakin dengan rencana Gayatri."Ya seperti yang ayah katakan tadi, kita akan bangkrut. Harta bergerak dan tidak bergerak kita akan disita oleh bank. Setelahnya kita akan hidup sederhana. Bahasa gampangnya kita akan merasakan hidup menjadi orang miskin." Gayatri menjelaskan segala akibatnya secara gamblang."Jangan sampai!" Pak Sanwani beringsut dari kursi. Ayah pulang dulu. Ayah dan ibu akan berkompromi mencari jalan agar kita tidak menjadi miskin. Musuh-musuh Ayah akan bertepuk tangan nantinya. Terutama Pak Dahlan." Air muka
"Nara! Tri!" Mendengar suaranya dipanggil, Iwas mengurungkan niat membuka pintu mobil. Vira dan Nia terlihat berlari-lari kecil ke arahnya. "Kalian baru datang ya? Lho, kamu kenapa, Tri?" Vira heran melihat rambut Gayatri yang awut-awutan. Mata Gayatri juga basah seperti orang yang baru menangis. Sepertinya malah masih. Karena dua butir air mata tiba-tiba meloncat, saat Gayatri mengedipkan mata."Masih bertanya lagi? Bukannya kamu yang memberitahu ibu kalau aku ada di sini?" Iwas memelototi Vira. Ia yakin Vira lah yang mengatakan pada keluarganya kalau dirinya ada di restaurant ini. Makanya mereka jadi berbondong-bondong datang ke restaurant."Kok kamu nuduh aku sih, Nar? Aku sama sekali nggak tahu apa-apa lho!" Vira menaikkan alisnya. Ia emosi dituduh yang tidak-tidak. "Kalau bukan kamu, siapa lagi? Cuma kita bertiga yang akan berkumpul di sini?" cetus Iwas tak kalah emosi. "Kamu juga yang bilang kalau ingin menunda pernikahan pada Ibu 'kan?" Iwas tidak memberi kesempatan Vira unt
"Setelah sepuluh tahun berlalu, apa kabarmu, Gayatri Harimurti?" Pak Ilham membuka percakapan. Gayatri tersenyum kecil. Waktu boleh berlalu. Namun cara Pak Ilham memanggilnya sama persis seperti dulu. Yaitu menyebut namanya secara lengkap. Kenangan saat menjadi murid Pak Ilham keluar dengan sendirinya."Kabar saya baik, Pak. Bapak bagaimana?" Gayatri berbasa basi."Bapak sudah lebih baik sekarang. Tidak bisa Bapak pungkiri, Bapak memang sangat marah pada ayahmu dulu. Namun sekarang Bapak sudah mengikhlaskan semuanya," ungkap Pak Ilham jujur. "Sekali lagi saya minta maaf atas apa yang sudah dilakukan oleh ayah saya dulu. Waktu itu saya juga sedang bingung. Makanya saya tidak bisa berbuat banyak untuk membela Bapak.""Bapak tidak pernah menyalahkanmu, Gayatri. Kamu masih anak-anak waktu itu."Mata Gayatri berkaca-kaca. Pak Ilham tidak pernah membencinya rupanya."Yang membuat Bapak kecewa itu ayahmu. Ayahmu menghukum orang yang ia anggap salah dengan cara membabi buta. Tapi seperti yan
Gayatri merapikan penampilannya sekali lagi pada pantulan kaca lift, sebelum melangkah keluar. Pagi ini ia ke kantor Harsa untuk menandatangani dokumen-dokumen penjualan hotel. Karena Hotel Grand Mediterania telah dibalik nama menjadi namanya, maka Gayatri datang seorang diri. Kehadiran ayahnya sudah tidak diperlukan lagi. Gayatri menghampiri staff front desk di depan ruangan Harsa. Ada dua orang gadis muda yang duduk di belakang meja. Kedua gadis muda itu langsung berdiri ketika melihat Gayatri berjalan mendekat."Selamat pagi. Ibu Gayatri Harimurti ya?" sapa si gadis bersanggul cepol muda sopan. "Benar. Saya Gayatri Harimurti. Saya juga sudah membuat janji dengan Pak Harsa pukul sembilan pagi ini.""Baik. Pak Harsa dan notaris juga sudah menunggu di dalam. Mari saya antar, Bu." Staff front desk berwajah manis itu menemani Gayatri ke ruangan Harsa. Selanjutnya ditemani si gadis manis, Gayatri berjalan ke sebuah ruangan yang letaknya tak jauh dari meja front desk. Sesampai di pintu
"Di tempat perjudian Singapura. Waktu itu Ayah kalah judi dan ingin menebus kekalahan Ayah secepatnya. Makanya Ayah meminjam sejumlah uang pada Pak Bakri."Tidak ada harapan lagi. Berarti walaupun Pak Bakri berbohong mengenai jumlah hutang ayahnya, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa juga. Karena ayahnya telah menandatangani surat perjanjian hutang piutang dengan Pak Bakri."Berarti kita akan kehilangan hotel besar yang pemasukannya menjadi biaya hidup kita sehari-hari, hanya karena kesemberonoan Ayah." Kesal Gayatri segera menutup telepon. Sebelumnya Gayatri memang sudah siap kehilangan hotel. Karena ia mengira itu memang murni kesalahan ayahnya. Namun kini, setelah ia tahu bahwa kemungkinan ia kehilangan hotel karena dipedaya oleh Pak Bakri, membuat Gayatri jengkel. Tapi Gayatri sadar, Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Nasi telah menjadi bubur."Kalau memang ayahmu mau menjual hotel karena masalah hutang piutang, Jangan tanda tangani surat perjanjian jual beli hotel itu.""Astaga, kage
Gayatri sama sekali tidak menyangka kalau usul Iwas ternyata bisa menyelamatkan hotelnya. Saat ia kembali ke ruangan Harsa, Pak Girsang tidak bersedia lagi menangani masalah jual beli hotel. Pak Girsang mengatakan bahwa ia tidak mau terbawa-bawa jikalau terjadi masalah hukum di kemudian hari. Seperti yang Iwas katakan juga. Harsa sepertinya sudah tahu kalau masalah hutang piutang ini tidak bisa membuat ayahnya di penjara. Karena Harsa tidak mengatakan apa-apa saat Gayatri mengatakan bahwa ia siap menerima gugatan dari Pak Bakri. Walaupun begitu ayahnya masih saja was-was. Istimewa ayahnya tahu bahwa yang mengajarinya adalah Iwas. Ayahnya takut kalau Iwas hanya pura-pura baik. Sikap ayahnya ini Gayatri nilai wajar, mengingat perseteruan keduanya di masa lalu. "Turn left."Gayatri mengikuti intruksi navigasi dari maps ponselnya. Saat ini Gayatri tengah berkendara menuju rumah Vira yang ada di Jakarta. Vira telah membagi lokasi rumahnya melalui aplikasi peta perjalanan. "You have ar