Riri POV
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Tidak terasa satu tahun telah berlalu banyak kenangan manis pahit dan ada juga pelajaran hidupku untuk lebih baik lagi, contohnya seperti kenangan bersama Asoka seorang CEO Bramasta yang pernah membuat hatiku luluh akan tindakan nekatnya untuk meminangku sampai memperjuangkan cintanya padaku. Namun takdir seakan tidak merestui hubungan kami, terbukti setelah berbagai cara Asoka lalui untuk mendapatkanku namun hasilnya penolakan dan pada akhirnya aku mendengar bahwa Asoka telah berangkat ke London untuk menangani kantor cabang Bramasta disana. Dari situ mungkin akhir perjuangan cintanya, Asoka berhak bahagia tapi bukan bersamaku. Walaupun hati kecilku tidak bisa dibohongi ada perasaan sesak disana.
Terlepas dari kenangan bersama Asoka ada kenangan yang tak pernah ku lupakan yaitu yang pertama pernikahan Kak Bagas yang telah berlangsung empat bulan yang lalu dan kesuksesan usaha katering Bunda. Lambat laun seiring berjalannya waktu Bunda melebarkan sayapnya untuk membuka restoran kecil di pusat kota bernama restoran madurasa yang telah dibuka tiga bulan kebelakang mengalami respon positif dari pengunjung yang pernah datang ke restoran ini.
Mungkin karena menu andalan restoran kami ialah ayam bakar madu, restoran kecil Bunda semakin maju dan berkembang. Dan disinilah aku dimintai Bunda untuk mengelola restoran madurasa dengan senang hati aku menyetujui permintaan tersebut.
"Kamu serius gak perlu dijemput, Bunda?" Bunda berbicara jauh diseberang telepon.
"Gak perlu, Bun. Toh aku sebentar cuman mau ke toko buku depan," jelasku kepada orang yang mendengar diseberang telepon.
"Ya udah, kalau ada apa-apa hubungi Bunda langsung," pinta Bunda terdengar nada lembut disana.
"Siap Boss," kataku sembari jari-jari merapat dan diletakan di pelipis mata kanan.
Setelah minta izin ke Bunda dari sambungan telepon, aku segera bersiap-siap untuk berangkat ke tempat tujuan mengunakan Driver online yang telah dipesan.
Singkat cerita aku telah sampai di toko buku yang terbilang cukup besar di kota ini dan telah berada di dalam. Sebelum aku mengecek kesediaan buku favoritku, terlebih dahulu aku ingin menelusuri rak-rak buku disini tanpa sengaja ekor mataku melirik sebuah buku bertema kedokteran salahsatu buku yang telah lama ku nantikan.
Awalnya aku hendak mengambil buku tersebut namun tanganku kalah cepat, ternyata seseorang ada yang hendak mengambil buku yang sama.
Seketika aku melirik kearah orang disampingku ternyata seorang Pria dengan rambut klimis mengenakan kaos oblong lengan panjang berwarna gelap.
"Mas, saya duluan yang liat buku ini," ucapku berusaha negosiasi ke Pria disampingku.
"Enak aja, saya yang lebih dulu memegang buku ini.” Terlihat olehku Pria yang kusebut cowok rese itu langsung menarik buku tersebut.
"Mas kan cowok, ngalah napa sama cewek," bentakku sembari mencoba mengambil buku tersebut dari genggaman erat cowok rese didepanku.
"Emang kalau saya cowok kenapa? Gak boleh beli buku ini." Terlihat sorot matanya menatap tajam ke arahku yang membuat nyaliku mendadak ciut.
Namun demi buku kedokteran itu aku harus terus maju pantang mundur untuk mendapatkan buku itu.
"Ih, pokoknya buku ini milik saya. TITIK." Aku menunjuk buku di genggaman cowok rese itu sembari membalas menatap tajam kearahnya.
Sedetik dua detik tidak ada respon dari cowok rese didepanku. Namun aku melihat kakinya akan melangkah ke kasir mungkin untuk membayar buku tersebut.
'Oh tidak bisa, Bambang. Buku itu harus menjadi milikku.’ batinku.
"Mas, Mas," panggilku sembari melambaikan tangan ke cowok rese didepan. Namun Dia masih cuek-cuek bebek terhadapku.
"Ini milik saya, saya udah lama nunggu buku ini," sergahku sembari sekuat tenaga merebut buku di genggaman tangan cowok rese didepan kasir.
"Mba, kok maksa sih. Ini udah milik saya, sudah ditangan saya.” Terdengar nafasnya memburu mungkin Dia menahan marah kepadaku.
Petugas kasir didepanku terlihat mencoba melerai perdebatan kami karena terdengar olehku Dia terus memanggil kami. Namun aku tidak mengindahkannya karena yang terpenting mendapatkan buku di genggaman cowok rese ini.
Alhasil drama tarik menarik buku pun terjadi dan berujung sampul buku tersebut rusak terbagi dua.
Terlihat cowok rese menyugar rambutnya, "Gara-gara kamu jadi bukunya rusak," cetus cowok rese terlihat bibirnya mengerucut, "Saya tidak butuh lagi." Cowok rese itu menaruh buku tersebut tepat di meja kasir dan melenggang pergi tanpa permisi.
"Giliran udah rusak itu cowok kabur," celetukku seakan geram dengan kelakuan cowok rese itu sembari mengambil belahan buku tersebut.
"Maaf, kak. Kakak harus bertanggungjawab untuk membeli buku ini," ucap petugas kasir dengan tegas sembari menunjuk buku di genggamanku.
"Iya, Mba. Tenang aja, saya beli buku ini," jawabku sembari mengerucutkan bibir.
'Gini banget dah, demi buku ini kurela beradu otot dengan pengunjung lain.’ batinku.
Disaat aku hendak melangkah pergi dari toko buku tersebut yang sebelumnya telah menyelesaikan transaksi pembelian buku ini. Tidak sengaja pandanganku melirik sebuah dompet kulit yang tergeletak di lantai tak jauh dari kasir. Tanpa sadar aku mengambil dompet tersebut yang berada didepan dan membukanya, terdapat kartu identitas didalamnya.
"Krisan Adi Pratama," eja ku dari kartu identitas yang telah kudapatkan.
"Krisan Adi Pratama," eja ku dari kartu identitas yang telah kudapatkan.Tanpa disangka ternyata kartu identitas ini milik cowok rese barusan, terlihat dari foto yang tercetak didalam kartu identitas tersebut. Tanpa berpikir panjang aku segera memasukkan dompet tersebut ke dalam tas selempangku. Setelah itu aku segera melanjutkan langkahku yang sempat tertunda untuk keluar dari toko buku ini.*****Keesokan harinya tepatnya pada siang hari aku segera menghubungi nomor telepon pemilik dompet kulit ini. Walaupun aku sebenarnya malas mengembalikannya tapi dilihat dari isi dompetnya yang kebanyakan barang-barang penting seperti, beberapa kartu ATM, SIM, dan masih banyak lagi. Ditambah ada uang tunai yang jumlahnya tidak sedikit didalam dompetnya ini.Tak lama kemudian, dering suara panggilan di gawai ku berubah senyap bertanda seseorang tengah mengangkat telepon darinya."Halo?" ucap seseorang di seberang telepon."Ini dengan Krisan Adi Pratama," sahutku tanpa basa-basi."Ada apa?" Terde
Tiga bulan telah berlalu, semenjak terakhir kali aku bertemu Pria bernama Kris bersama Umi Mutia dan Bunda di restoran madurasa. Siapa sangka dibalik pertemuan kami yang tidak sengaja di Toko Buku tempo hari itu menjadi titik awal kemalangan ku dimulai, karena tepat satu bulan yang lalu aku telah sah menjadi istri cowo rese yang melihatnya pun membuat darahku langsung mendidih. Awal ceritanya bermula pada saat aku menjadi pendonor darah untuk Umi Mutia. Flashback on Sinar matahari lambat laun meredup digantikan dengan sorot lampu jalan untuk menerangi jalanan kota, bahkan suasana kota sudah mulai terlihat sepi. Disaat semua orang telah terlelap tidur sambil mengarungi dunia mimpi masing-masing. Mobil Daihatsu Xenia milik Bunda masih melesat memecah keheningan malam, menuju Rumah Sakit Karisma yang berada di pusat kota. "Bunda, pokoknya aku gak mau karena menolong Umi Mutia. Imbalannya aku harus menikah dengan anaknya," ucapku berdebat didalam mobil sambil menyilangkan kedua tan
Terik matahari seakan menyengat tubuh, ditambah padatnya lalu lintas membuat siapapun tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuan masing-masing. Sama halnya dengan Restoran madurasa, padatnya lalu lintas ibu kota menjadi peluang emas untuk restoran tersebut. Terlihat pengunjung terus berdatangan tidak habis-habisnya memadati restoran. Restoran berlantai tiga itu memiliki rooftop bernuansa klasik berwarna dominan kuning kecoklatan, namun tidak mengurangi sisi modern. Spot ini cocok untuk anak muda yang menongkrong atau pengunjung yang ingin sekadar bersantai melihat pemandangan ibu kota sambil menikmati makanan yang disajikan restoran madurasa. Dengan kepadatan pengunjung di Restoran madurasa, terlihat Kris sedang duduk manis di salahsatu sofa yang berada di rooftop. Tidak berselang lama Riri berjalan menghampiri Kris disana dengan membawa nampan berisi makanan yang telah Dia masakan barusan. Dug... "Makanlah, anggap saja ini untuk balas budi," ucap Riri setelah meletakkan namp
Hari ini Restoran tidak terlalu ramai akan pengunjung. kesempatan ini Riri luangkan untuk membaca buku yang berada di ruang kerjanya. Dari beberapa buku yang berada di meja kerjanya, ada satu buku yang terbilang cukup terkesan bahkan selalu membuatnya tertawa sendiri jika mengingat momen tersebut. Buku bersampul berwarna dominan hijau daun perpaduan putih dengan karakter wanita menjadi objeknya itu menjadi pertemuan pertama dengan suaminya. Disaat Riri sedang asyik membaca isi buku di genggamannya. Terdengar seseorang mengetuk pintu ruangannya berulangkali. Riri segera meletakkan bukunya diatas meja. "Masuk," ucap Riri memberi tanda ke orang diluar ruangannya. Seorang wanita muda masuk perlahan dan berjalan menghampiri Riri, "Maaf, Mbak. Diluar ada tamu," lapor wanita dengan poni lempar itu. Riri mengernyitkan dahi, "Siapa. Kris?" tanyanya. "Bukan, Mbak," jawab Wanita berponi itu singkat. "Seorang Pria yang tampan lebih tampan dari Mas Kris," sambungnya dengan nada dibuat manja s
"Bunda," seru Riri sedikit berteriak sambil berlari masuk kedalam rumahnya. "Iya. Bunda disini," jawab Bunda Lita diarah dapur. Mendengar respon dari Bundanya, bergegas Riri berlari ke sumber suara, "Bunda, bantu aku untuk gotong Kris yang berada didalam mobil," ucap Riri dengan nada panik. Bunda Lita yang mendengarnya ikut panik, "Loh Kris kenapa, Ri?" tanya Bunda Lita sambil berjalan keluar rumah. "Kris pingsan saat mau jalan pulang, Bun," jawab Riri singkat. "Iya, tapi pingsannya kenapa?" "Mungkin gara-gara ditonjok sama Asoka di Restoran kali," Dengan susah payah Bunda Lita dan Riri menggotong tubuh Kris dan di baringkan untuk sementara di sofa ruang tamu. Riri langsung duduk didepan Kris untuk mengompres luka lebam yang ada di wajah tampan suaminya. Disaat Riri sedang membersihkan wajahnya Kris, tidak sengaja Riri menempelkan punggung tangannya di pipi Kris, "Bun, kayaknya Kris demam?" tanya Riri ke Bunda Lita yang duduk di sampingnya. Spontan Bunda Lita ikut menempelkan
Tiga bulan kemudian. "Saya terima nikahnya-" belum selesai sang mempelai pria mengucapkan kabul untuk mengikrarkan janji pernikahannya. Terlihat seorang Pria berbadan tinggi besar, berlari tergesa-gesa menghampiri mempelai pria membuat acara tersebut tertunda sejenak. "Maaf, Bos. Diluar ada..." ucap Pria tinggi besar tergantung karena kelanjutan ucapannya langsung Dia bisikkan ke telinga sang mempelai pria. Mempelai pria itu langsung bangkit dari duduknya dan langsung berjalan keluar rumah setelah mendengar laporan dari salahsatu anak buahnya. Terlihat diluar rumah telah datang tiga orang Pria berseragam berwarna cokelat lengkap dengan lentera emas di dadanya sedang berdiri dengan gagahnya menunggu sang pemilik rumah. "Selamat siang. Apa betul saudara bernama Asoka Bramasta Kusuma?" tanya salahsatu Pak Polisi berhidung mancung dengan suara baritonnya yang khas. "Betul," jawab singkat mempelai pria tersebut ternyata Asoka. "Kami mendapat laporan dari keluarga korban, bahwa sauda
"Tolong!" teriak Riri sampai membuat Asoka disampingnya spontan menutup mulut Riri."Ada apa, Manis. Kamu kenapa berteriak? tanya Asoka dengan nada lembut sambil mengelus pipi mulus Riri."Kumohon. Tolong bebaskan aku, aku mohon," mohon Riri dengan raut wajah memelas nya.Asoka hanya tertawa terbahak-bahak dan Riri yang mendengarnya hanya bisa menumpahkan air matanya, seakan Dia sudah lelah dengan keadaannya saat ini.Asoka yang melihat Riri seperti itu langsung memasang wajah sendu dan perlahan melepaskan mulut Riri yang ia bekap, "Manis, kenapa? Apa kamu tidak senang bersama denganku. Hem," ucapnya dengan nada lembut.Tidak ada respon dari Riri, Asoka mengangkat dagu Riri dengan telunjuk tangannya, "Ayolah. Aku tidak suka Riri yang cengeng seperti ini, nanti kamu sakit, Manis," ucapnya terjeda sejenak, "Kamu-" belum selesai Asoka mengucapkan kata-katanya. Terdengar suara bising dari luar.Duag...Suara pintu ruangan terbuka paksa dari luar. Asoka yang mendengar itu langsung mengerny
Flashback on'Perasaanku saja atau memang tadi ada yang teriak minta tolong?’ tanya Kris dalam hati.Pria berstatus Dosen dan suami Riri itu terus melangkahkan kakinya menuju arah suara yang sempat terdengar oleh indera pendengarannya."Loh, ini cuman halaman belakang rumah biasa?" tanyanya ke diri sendiri sambil melihat sekeliling tempat tersebut.Hanya terdapat lemari kaca berwarna hitam yang tinggi nya hampir dua meter di depannya. Selain itu hanya halaman luas yang berada dibelakangnya, yang terdiri empat celah masuk atau keluar yang sengaja di buat tanpa pintu untuk jalan pintas menuju ke taman.Seakan tidak ada artinya Kris berdiam diri disini. Dia hendak melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut, namun langkahnya terhenti ketika ada seseorang yang berjalan kearahnya. Bukan melarikan diri, Kris memilih untuk bersembunyi di balik tembok yang berukuran setinggi pinggangnya."Asem banget dah, harus bertugas di waktu libur gini," gerutu seorang Pria dengan brewok lebat berwarna k