Aaaarghhh!" teriak Romy.
Berulang kali dia memukul setir mobil yang tak bersalah.
"Bagaimana bisa dia secepat itu mendapat pacar? Aku enggak percaya. Apa secepat itu Amelia dapat pengganti aku?"
Berulangkali tangannya memukul setir mobil. Tampak dari raut wajah Romy. Dia sangat kecewa, cemburu dan marah. Semua perasaan yang campur aduk. Membuat dadanya terasa sesak.
"Kenapa dada ini sesak dan perih seperti ini?"
"Aaaaahhh!"
Enggan rasa hati untuk pulang ke rumah. Tapi, pasti orang tuanya kebingungan.
"Kenapa aku dulu mengiyakan mama saat memutuskan melamar Salsa? Dan bodohnya aku, terlalu mengikuti kemauan mama dan papa."
Mobil pun akhirnya sampai di depan pagar rumah yang masih terbuka lebar. Sesaat Romy masih tercenung cukup lama di dalam mobil. Pandangan matanya mengarah pada rumahnya. Yang terlihat masih terang benderang dan terdengar ramai.
"Ternyata mereka belum pada tidur," bisik Romy.
Bergegas dia turun dari mobil. Langkahnya terlihat gontai masuk rumah. Di ruang tamu, para keponakan masih asyik bersenda gurau. Di ruang tengah terlihat keluarga besar berkumpul. Termasuk Salsa.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam. Romy kamu ini dari mana aja toh? Istrinya udah nunggu dari tadi loh," celetuk Bulek Tituk.
Romy hanya menanggapi dengan senyum dingin.
"Maaf Bulek. Ada urusan sedikit."
Setelah menyalami kerabatnya. Romy pun melangkah masuk ke kamar. Pandangan Salsa hanya bisa mengarah pada sang suami. Yang terlihat dingin dan angkuh di matanya.
"Salsa ikuti suami kamu ke kamar!" ujar Maya menepuk bahu Salsa.
"Iya, Ma."
Mereka yang ada di ruangan itu tersenyum lebar dan tertawa. Menyaksikan Salsa yang masih malu-malu dan ragu saat mengikuti langkah Romy.
Sekilas Romy melirik ke arahnya. Saat mereka berdua berada di depan pintu kamar.
"Kamu juga mau ikut masuk?" tanya Romy tiba-tiba mengejutkan Salsa.
Dia hanya bisa menjawab dengan anggukan.
"Disuruh Mama sama Bulek Tituk?"
Salsa terdiam. Baginya saat ini sosok sang suami seorang lelaki yang sedingin salju membeku. Angkuh dan sulit baginya untuk bisa menggapai rasa cintanya.
Terdengar suara pintu yang terbuka perlahan. Tampak Romy mendahuluinya.
"Kamu mau tetap berdiri di situ atau masuk?"
Suara Romy terdengar seperti seorang guru pada muridnya yang sedang melakukan suatu kesalahan. Tak ada sepatah kata yang sanggup terucap dari bibir tipis Salsa. Dia hanya bisa menunduk dan menenggelamkan dirinya dalam kekakuan Romy.
"Tutuplah pintunya! Kamu apa hanya akan seperti patung di situ?"
"Ma-maaf Mas."
Bergegas Salsa menutup pintu. Terlihat wanita manis itu menahan rasa canggung, jengah, dan rikuh.
Kamar dengan ukuran yang cukup luas itu. Terasa sunyi. Tak ada perbincangan di antara keduanya. Nuansa putih kamar itu, semakin menambah suasana yang dingin.
"Apa kamu mau berdiri di situ terus?" tegur Romy kesal.
Kekesalan yang tertumpah pada Salsa.
"Aku hanya ingin tawari Mas Romy mau makan sama apa?"
"Enggak usah. Aku bisa ambil sendiri."
"Ta-tapi, Mas?"
"Aku bilang enggak usah ... ya jangan memaksa!"
"Ma-maaf, Mas. Tapi, enggak enak dilihat sama Mama dan yang lain. Kita baru nikah kok Mas Romy makannya sendiri."
"Bawel juga kamu."
Tanpa sungkan dan ragu. Tiba-tiba, Romy melepas pakaiannya di depan Salsa. Wanita berparas manis dengan rambut panjang tergerai itu, langsung memalingkan muka.
"Kenapa kamu enggak keluar aja? Ada orang ganti baju malah ikut masuk."
"Ehhh ... ehhh."
Tak ada kata yang sanggup terucap lagi. Seketika itu wajah Salsa memerah jengah. Dia merasa bagai disiram debu panas seluruh kulit wajahnya. Malu, sakit hati, dan merasa tersia-sia.
'Beginikah rasanya menikah dengan orang yang baru kita kenal? Kata bunda, Mas Romy sosok lelaki yang ideal. Baik, santun, serta penuh tanggung jawab. Tapi, kenyataan yang ada--'
Hati Salsa terus berbisik. Dirinya terus mencoba untuk menahan getirnya hati. Sampai bibirnya bergetar, dengan manik mata yang mulai berkaca-kaca.
'Apakah semua pasti seperti ini? Saat awal pernikahan.'
Salsa pun mencoba melawan rasa canggung di hatinya. Dia berjalan mendekati sang suami. Dengan tetap memberi jarak. Dia tak ingin mendapat perkataan yang bisa membuat hatinya perih.
"A-apa Mas Romy ingin kopi atau teh? Atau mungkin air putih?" Salsa mencoba untuk menembus kesunyian yang tercipta saat ini.
Romy menggeleng. Tanpa melihat atau sekedar melirik ke arah sang istri. Salsa seperti kehabisan kata-kata yang ingin dia ucapkan. Wajahnya ditekuk dalam. Hingga dagu hampir mengenai dada.
"Dengarkan aku Salsa. Jangan menyusahkan dirimu kamu sendiri. Aku enggak perlu diladeni apa pun. Paham ya?"
"Ta-tapi, Mas? Saya kan istri Mas Romy. Sewajarnya saya melakukan itu."
"Sudahlah Salsa! Pikiran aku saat ini capek. Pusing. Jadi tolong dengan sangat, jangan ganggu aku!"
Salsa hanya bisa terperangah saat mendengar kalimat yang terucap dari seorang Romy Pradipta. Dadanya seketika berdetak lebih cepat. Ada kernyit menghunjam relung hati. Yang kian terasa perih dan nyeri teramat sangat.
Penolakan sang suami di malam pertama. Baginya sangat menyakitkan. Ingin rasa hati luruh dan tenggelam dalam linangan air mata. Namun, dia tahan.
'Aku harus kuat menghadapinya! Aku tak ingin gagal hanya karena sikap Mas Romy yang dingin sama aku saat ini. Aku pastikan bisa merebut hatinya. Walau pun sulit saat ini.'
Romy pun langsung beranjak dari ranjang. Dia mengambil selimut tebal dan bantal. Melemparnya ke lantai. Tatapan mata Salsa mengarah pada bantal dan selimut yang Romy lempar.
"M-Mas Romy mau tidur di lantai?"
Tak ada jawaban yang dia dapatkan. Sorot mata Romy terlihat bagai elang yang hendak menyambar mangsanya.
"Jangan pernah sekali-kali berencana untuk memberitahukan semua kejadian yang kita alami. Cukup antara kamu dan aku. Paham?"
Salsa terperanjat, lalu mengangguk.
"Sangat paham Mas Romy." Suaranya terdengar lirih dan parau. Seolah tercekat.
"Baguslah!"
Kemudian, Romy merebahkan tubuhnya. Tak peduli Salsa yang masih berdiri mematung memandang ke arahnya.
"Sebaiknya saya yang tidur bawah Mas," ucap Salsa berbisik.
"Enggak usah!"
Tanpa memedulikan Salsa yang kebingungan menghadapi dirinya. Romy menarik selimut hingga menutupi kepala.
Salsa semakin merasakan dadanya berat dan sesak. Bagai sebuah batu besar tengah dihantamkan pada dirinya saat ini.Dia kembali tertunduk perih. Tangannya mengepal, seolah menahan kesakitannya. Walaupun tak berdarah. Namun lebih terasa sakit dan nyeri.
Air mata itu mulai mengambang di sudut mata. Dia tak kuasa menahan luruhnya kesedihan yang kian menjerat palung hati terdalam.
Perih dan sakit!
Dalam gelisahnya. Romy masih terbayang sosok lelaki tampan bersama Amelia. Lelkai yang sama sekali tak pernah dia tahu."Siapa dia Amelia? Kenapa aku tak pernah mengenalnya?'" bisik Romy lirih.Romy semakin larut dalam gelisah. Sulit baginya saat ini untuk bisa memejamkan mata. Apalagi tidur dengan nyenyak.'Andai kamu tau perasaan ini tak pernah berubah sedikit pun Amelia. dan saat ini aku begitu merinduimu. Andai kau tau, betapa hancurnya diriku saat ini. Melihat dirimu dengan lelaki itu!'Terdengar helaan napas panjang dan berat.'Tak sanggup rasanya hati ini meninggalkan kamu. Katakan padaku Amelia, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa ...?'Tanpa memedulikan Salsa yang duduk di atas kasur. Yang mengarahkan pandangan pada dirinya. Romy menyambar ponsel yang tak jauh dari dirinya.Dengan cepat jari-jari tangannya mengetik tuts ponsel.{Siapa lelaki itu?}Pesan itu masih centang satu.
Adrian masih terpaku dengan ucapan Amelia. Dia terpaku dengan tatap mata yang tak beralih memandang Amelia."Apa ada kalimatku yang salah?"Adrian menggeleng. Dengan tatap mata yang tak beralih."Lalu kenapa melihat aku seperti itu?""Kamu cantik!"Sontak kalimat itu membuat Amelia tersipu. Dia membuang pandangannya jauh keluar jendela."Kenapa Amel? Apa aku salah?"Amelia hanya menjawab dengan menggeleng. Membuat Adrian tersenyum tipis melihat gelagat wanita yang duduk di hadapannya saat ini."Dan sejak lima tahun itu kamu tetap sendiri?""Iya. Bayangan Renata sulit aku lepaskan.""Selama itu kamu sendiri tanpa ada wanita sama sekali?"Tiba-tiba, Adrian tergelak. Membuat Amelia kebingungan. Dia sampai mengernyitkan dahi. Menatap sekilas pada lelaki kharismatik di hadapannya. Terdengar Amelia menghela napas panjang."Kenapa?" tanya Adrian masih tersenyum lebar."Enggak apa-apa kok.""Pe
Segala penolakan dilakukan Amelia. Hingga membuat Romy berang. Dia menatap tajam padanya. Dengan pandangan penuh intimidasi."Kenapa kamu menolakku, Mel?""Karena kamu sudah menikah! Sekarang pulang dan pergi dari kamarku!"Melihat penolakan Amelia. Romy bukan malah mengikutinya. Dia semakin merengkuh tubuh wanita cantik itu, dalam dekapannya."Aku enggak peduli kamu tolak apa enggak, Mel. Yang penting sekarang aku ingin bersamamu. Mencumbuimu. Biar rindu ini hilang!""Rom--"Tak kuasa Amelia melakukan penolakan. Dirinya yang merindukan sosok Romy kembali hanyut dalam buaian asmara. Hasrat mereka berdua semakin bergelora.Hanya terdengar dengus napas yang membara di antara keduanya. Saat tangan-tangan Romy mulai menjelajah di sekujur tubuh Amelia. Bibirnya pun melumat bibir ranum kekasih hati.Detak jantung semakin memburu. Berdegup kencang. Romy semakin tak kuasa menahan kerinduannya. Dia semakin rakus dengan hasrat yang berge
Romy menatap tajam pada Salsa. Pertanyaan yang begitu berani dan menohok relung hatinya. Atas kebenaran yang tak Romy sangka kalau Salsa akan mengetahuinya."Mas Romy tak berani menjawabnya? Takutkah ini suatu kebenaran?""Diam kamu Salsa!""Kenapa Mas Romy? Aku ini bukan anak kecil yang bodoh. Yang enggak tahu apa-apa Mas. Usiaku sudah dua puluh lima tahun. Dan aku ini seorang guru. Jangan Mas Romy remehkan perasaan dan kepintaran aku!""Stop! Aku enggak mau dengar lagi ocehan kamu."Melihat sikap Romy yang keras kepala. Membuat Salsa semakin meradang. Dia pun tak kuasa lagi menahan isak tangisnya. Hingga dia terduduk di lantai. Dengan tubuh yang bersandar di daun pintu."Kejam kamu Mas Romy! Kenapa kamu memilih aku untuk jadi korban pernikahan ini? Kenapa Mas?!"Tak ada jawaban yang terdengar dari bibir Romy. Dia hanya terdiam sejuta bahasa. Tangannya meraih bantal dan menutupkan di kepala dan wajahnya sendiri. Membuat Salsa semakin
Raut wajah Salsa tegang. Dia tak ingin sampai Amelia mengatakan pada Dita kalau sudah memberi pesan untuk dirinya lewat Salsa."Ini Dita!" ujar Romy."Makasih Om."Gadis kecil itu kembali pergi ke teras samping. Salsa terus memperhatikannya. Dia hanya bisa berdoa dalam hati. Agar Amelia tak mengatakan kalau sudah bertitip pesan pada dirinya.Hanya sekian menit. Dita sudah kembali ke ruang makan."Ini Om. Makasih ya."Saat melewati kursi Salsa, Dita berhenti. Lalu menepuk lengan Salsa cukup kuat."Tante Salsa kok enggak bilang kalau tadi udah dipesenin sama Mama?"Sontak pertanyaan itu membuat Salsa kebingungan menjawabnya.'Apa yang harus aku jawab?'Suasana seketika tegang. Salsa merasa seluruh pandangan mengarah pada dirinya."Jadi tadi Tante Amel telpon kmau lewat Hp aku Salsa?" tanya Romy tampak meredam amarahnya."I-iya, pas Mas Romy mandi tadi.""Gitu Tante harusnya tetep bilang
Tak lepas Adrian memandang Romy yang duduk tepat di depannya. Terlihat Romy sangat tidak tenang dengan kedatangan Adrian. Dari arah ruang tamu. Salsa muncul dan tersenyum lebar pada mereka berdua. Lantas dia duduk di sebelah Romy.Adrian hanya melihat ke arahnya."Tante langsung pulang?""Iya, Salsa.""Sendirian Tante?"Sengaja Amelia tak menjawab. Dia hanya menggeleng. Mungkin dia hanya ingin menjaga perasaan Romy yang terlihat masam."Enggak. Tante kamu pulang bareng sama saya," sahut Adrian.Terdengar hembusan kuat dari Romy. Yang langsung memalingkan wajahnya.Salsa bisa menangkap kegelisahan yang tercermin dari wajah Romy. Dia pun merasa mendapat sebuah kesempatan untuk semakin membuat Romy panas."Om Adrian teman lama? Atau mungkin calonnya tante Amel?""Ohhh, enggak. Kita baru saja kenal kok.""Tapi Om sama Tante kelihatan serasi."Romy semakin terlihat panasa. Dia terus menggoyang
"Sepertinya Romy memang enggak suka melihat aku ya?"Suara Adrian memecah kesunyian di antara mereka."Kenapa kamu berpikiran seperti itu?""Kita bukan anak SD, Mel."Amelia hanya terdiam. Dia tak ingin membahas soal ini lagi. Cukup sudah semua kesedihan yang dirasakannya. Detik ini juga Amelia berjanji untuk melupakan Romy. Untuk melupakan semua hal gila yang pernah terjadi di antara mereka."Maaf bila menyinggung kamu, Mel.""Enggak sama sekali. Kok bisa kamu berpikiran kayak gini?""Habisnya kamu diam."Amelia mengibaskan tangannya di samping Adrian."Coba kamu cerita kok bisa kenal sama Romy?""Malas ahhh!""Hemmm ... aku sudah cerita tentang diriku. Kamu yang belum.""Terlalu panjang. Buat kamu bosan Adrian.""Enggak akan bosan. Perjalanan Semarang ke Surabaya butuh 350 kilometer. Cukup buat aku untuk mendengarkan kisahmu."Amelia tersneyum dan melempar pandangannya keluar jendela.
Di kamar ini Romy berusaha untuk meredam perasaan yang dulu pernah hidup di hatinya. Saat dia masih dua puluh tahun.Desiran lembut itu seakan kembali menggoda. Romy tersenyum sendirian. Saat mengenang masa-masa itu.Masih teringat saat semester lima. Langkah kaki yang terburu-buru. Karena Romy kesiangan. Tanpa melihat kiri kanan dia masuk ke sebuah ruang kelas. Dengan langkah santai. Tanpa permisi Romy langsung masuk dan mengambil kursi paling belakang."Hemmmmm ... busyeeet! Baru kali ini aku dapat dosen cantik banget," gumam Romy saat itu.Tak pelak tanpa berkedip sedetik pun. Romy terus memperhatikan dosen itu terus menerus. Tanpa pernah menyimak apa yang dia ajarkan."Dosen secantik ini bisa ada di Fakultas Teknik. Ajib benar."Namun ada hal yang aneh. Saat dia mulai tersadar Memperhatikan di sekelilingnya saat ini. Membuat Romy terhenyak."Apa enggak salah nih? Enggak biasanya Teknik banyak makhluk cantik. Wahhh, mending tiap ha