Share

2/2. Kepingan Masa Lalu

Syila menatap nanar kertas undangan berwarna silver di tangannya. Belum dibaca pun ia sudah tahu isi dari undangan itu. Tubuhnya mulai bergetar. Dia harus kuat! Kuat! Seperti mantra yang akan memberikan kekuatan baginya. 

Felisya tersenyum sinis penuh kemenangan. Ya, impiannya sudah tercapai sekarang. Menyingkirkan yang menghalangi jalannya dan mendapatkan apa yang ia impikan selama ini. 

“Sebenarnya aku tidak ingin mengundangmu, tapi setelah kupikir-pikir ... kamu sepertinya pantas untuk ikut merasakan kebahagiaanku. Ya, walaupun kamu bukan lagi anggota keluargaku, setidaknya kamu pernah menjadi bagian dari keluarga Harahap.” Perkataan Felisya tak luput dari sindiran yang menyakitkan. 

“Selamat Kak, aku turut berbahagia. Aku pasti akan datang.” 

Felisya tersenyum mengejek. “Hmm ... ternyata kamu masih punya muka, ya? Aku heran setelah sebelumnya mencoreng nama baik keluarga Harahap, kamu masih punya nyali untuk bertemu muka dengan mereka.” 

Suara Syila tercekat di tenggorokan. Kering dan sakit saat ia menelan saliva. Kilasan dua tahun lalu langsung menyerbu. Dadanya bukan hanya sakit, tetapi terasa kebas oleh penyesalan, dan hal yang dia inginkan sekarang adalah meninggalkan dunia ini saking tidak kuatnya ia menahan kesakitan di rongga dada.

“Oke, adik kecil. Semoga hal buruk tak terjadi padamu saat bertemu dengan keluarga Harahap. Bye!” lantas tubuhnya melenggang pergi. 

Felisya berbalik saat ia teringat sesuatu. “Oh, aku lupa seharusnya aku tidak lagi memanggilmu adik,” sindirnya penuh penekanan pada ucapannya yang terakhir. 

Sepeninggal Felisya, tubuh Syila meluruh ke lantai koridor. Bahunya terus gemetar. Ia meringis tak sanggup menahan rasa sakit layaknya terkena pedang yang sangat tajam. Tangannya memukul dada bertubi-tubi. Berharap rasa sakitnya hilang. Sayang, tidak berguna. 

Tangisnya pecah disertai suara isakan  memilukan. Padahal bibirnya sengaja ia gigit untuk menahan sedu sedan, tetapi hal itu percuma saja. Justru kian bertambah tatkala kilasan-kilasan ingatan masa lalu berkelebat sangat cepat di benaknya. Hingga tak sanggup untuk dihentikan. 

***

“Kak, Feli udah makan? Aku bawain makanan kesukaan Kakak.” 

Syila meletakkan bungkusan plastik di nakas samping ranjang rumah sakit tempat di mana Felisya berbaring sekarang. Felisya membuang muka ke arah lain, malas rasanya untuk sekadar melihat Syila. Orang yang menyebabkan ia harus dirawat di rumah sakit karena kecelakaan mobil. 

Patah tulang pada kakinya serta beberapa tulang rusuknya. Belum lagi kakinya sampai saat ini belum bisa digerakkan. Dokter bilang tidak akan sampai menyebabkan kelumpuhan total dan butuh waktu lama untuk memulihkan tubuhnya lewat terapi. 

Tentu saja Felisya menyalahkan Syila. Kalau saja ia tak menjemput Syila ke sekolahnya, mungkin ia tak akan berakhir di rumah sakit. 

“Jangan harap kebaikanmu itu bisa membuatku memaafkanmu,” ucap Felisya dengan kebencian nyata di setiap perkataan. 

Syila memandang Felisya dengan sedih. Dia merasa sangat bersalah pada kakaknya yang sangat ia sayangi itu. Harusnya ia tak meminta Ranti, mamanya untuk menyuruh Felisya menjemputnya. Ia melakukan itu semua karena ia ingin bisa lebih dekat dengan Felisya. Menghabiskan waktu bersama seperti dulu. 

Kesibukan Felisya merenggangkan hubungan kakak beradik itu. Ditambah perubahan signifikan yang ditunjukkan Felisya membuat Syila bertanya-tanya, apa gerangan yang sudah mengubah sikap Felisya yang dulunya sangat menyayanginya kini terlihat sangat membencinya?

“Fel, kamu tidak boleh bilang begitu. Kecelakaan yang kamu alami bukan semata-mata kesalahan Syila,” sergah Ranti yang tiba-tiba masuk ke ruang perawatan itu. Dia sungguh sangat kecewa jika anak sulungnya melimpahkan semua kesalahan pada Syila. 

Felisya memalingkan wajah pada Ranti. “Jadi, Mama menyalahkanku? Mama lupa? Aku hampir lumpuh karena dia dan Mama masih membelanya?!” 

“Felisya!” pekik Ranti. 

Ranti berusaha menahan amarah, lalu berkata, “Mama nggak pernah ngajarin kamu untuk bersikap seperti itu. Seolah-olah apa yang sudah kamu alami adalah kesalahan Syila sepenuhnya. Mama tidak ingin dengar kamu berkata seperti itu lagi.” 

“Terus aja Mama belain Syila! Bukan dia aja anak Mama, aku juga. Tapi Mama lebih menyayangi Syila daripada aku. Mama masih tetap memilih membela Syila bukannya aku yang saat ini terluka parah. Mungkin jika aku mati Mama nggak akan peduli sama sekali.” 

“Felisya!” 

“Ma,” panggil Syila mengingatkan. Syila mengelus lengan Ranti, mencoba untuk meredakan emosi yang telah menguasai mamanya itu. 

“Ma, ingat. Mama nggak boleh marah seperti ini nanti penyakit Mama kambuh. Sepertinya Kak Feli butuh istirahat, kita sebaiknya keluar dari sini.”

Ranti berusaha mengatur kembali pernapasan. Tubuhnya lelah diakibatkan emosi yang meluap-luap. Syila segera menuntun tubuh Ranti yang terlihat rapuh keluar ruangan. Setelah itu, Ia kembali. Ada hal yang ingin ia sampaikan pada Felisya. 

“Kak, jika Kakak beranggapan bahwa aku yang menyebabkan Kakak celaka, aku sungguh meminta maaf dan sangat menyesalinya. Aku ....” 

“Kamu lihat Mama lebih membela putri kesayangannya daripada aku yang terbaring lemah tak berdaya seperti ini. Bahkan Papa lebih menyayangimu. Kamu merebut semuanya dariku.” ucap Felisya penuh kebencian. 

*

Dua minggu telah berlalu. Setelah melalui pengobatan dan terapi secara intens, Felisya akhirnya bisa berjalan pelan-pelan, walaupun harus di bantu dengan kruk. Terpaksa ia harus merelakan seluruh waktunya demi mendekam di kamarnya. Tanpa melakukan kegiatan apa pun bahkan kuliahnya juga terpaksa cuti. Ia merasakan bosan yang teramat dan ia ingin sekali menghirup udara segar di luar kamar. 

Bermodalkan kenekatan, ia meraih kruk yang disandarkan di dekat tempat tidur. Perlahan Felisya berjalan ke luar kamar. Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara-suara canda tawa dari lantai bawah. Saat pandangannya terpusat pada dua sosok yang sangat ia kenali sedang duduk di ruang tengah, dia tahu jika dia sangat tidak menyukai keakraban yang terjalin di antara mereka. 

“Kamu itu masih bocah. Tahu apa kamu soal kehidupan pria dewasa,” ejek Raka sambil menjepit hidung Syila dengan kedua jarinya, jempol dan telunjuk.

“Aw ... lepas sakit, tauk! Lagian umurku bentar lagi 18 tahun dan itu sudah dikategorikan dewasa,” balas Syila bersungut-sungut. 

Raka terkekeh mendengar suara Syila yang sengau. “Kamu harus sering diginiin biar hidung kamu mancung.” 

Syila memberikan tatapan bengis. Namun, hal itu tak berpengaruh sama sekali pada Raka. Ia malah melempar tatapan geli. benar-benar sangat lucu. 

“Ini bukan pesek, tapi kecil. Ish! Kakak nyebelin!” rajuk Syila sambil membalikkan badan, membelakangi Raka. 

Raka menoel-noel pipi Syila, tak pelak Syila menepisnya. “Ngambek, nih ceritanya. Jangan marah, dong nanti kakak beliin kamu es krim, deh,” bujuk Raka mencoba bernegoisasi. 

“Beneran?!” Syila membalikkan badan cepat menghadap Raka. Matanya berbinar-binar saat mendengar Raka menyebut es krim. 

Raka mengacak rambut Syila dengan gemas. “Katanya dewasa tapi denger es krim aja, langsung heboh kayak anak kecil,” cibir Raka. 

Syila mengerucutkan bibir kesal. Tentu saja ia sangat kesal jika Raka mulai menggodanya dan menyangkut-pautkan dirinya yang masih seperti anak kecil. Jelas-jelas ia sudah dewasa, sudah punya Kartu Tanda Penduduk pula. 

“Aww!!!” 

Raka dan Syila terkejut. Ketika mereka melihat Felisya terduduk di dekat tangga sambil memegangi kaki kanannya yang masih diperban. 

Mereka berdua dengan sigap menghampiri Felisya. Raka langsung membantunya berdiri. Memapahnya menuju sofa terdekat. Felisya meringis kesakitan. 

“Tahan,'' tukas Raka panik. 

Felisya mengangguk. Di belakang mereka, Syila membawa kruknya. Ia terlihat sangat khawatir dengan kondisi Felisya. 

“Sakit banget?” tanya Raka setelah mendudukkan Felisya di sofa, tempat di mana Raka duduk sebelumnya. 

Felisya mengangguk, ringisannya belum sepenuhnya menghilang. 

“Kakak nggak apa-apa, kan?” tanya Syila khawatir. 

“Gak apa-apa.” 

“Kamu itu masih sakit sok-sokan jalan sendiri,” kata Raka sambil berjongkok di depan Felisya untuk mengecek kakinya yang diperban. 

Felisya mendengkus. Harusnya Raka khawatir, bukan malah menceramahinya. 

“Aku bosan di kamar terus. Makanya aku keluar kamar. Cari udara segar,” sangkal Felisya dengan ketus. 

“Kamu bisa, kan minta tolong orang lain?” 

“Aku nggak mau ngrepotin,'' kekeh Felisya.

Raka menghela napas. Ia tahu ia akan kalah berdebat dengan Felisya. Sebuah ide terlintas begitu saja di pikiran. 

“Gimana kalau aku ajak kamu ke taman hiburan?”

“Emang boleh?” wajah Felisya langsung semringah. 

Raka mejawil ujung hidung Felisya. ”Aku nggak mau sahabatku yang satu ini depresi lalu jadi zombie.” 

Felisya mencubit perut Raka kencang. Hingga membuat Raka terpekik kesakitan. 

“Gak segitunya kali ....” Felisya cemberut. 

“Hahaha ....” Tawa Raka meledak. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status