Syila menatap nanar kertas undangan berwarna silver di tangannya. Belum dibaca pun ia sudah tahu isi dari undangan itu. Tubuhnya mulai bergetar. Dia harus kuat! Kuat! Seperti mantra yang akan memberikan kekuatan baginya.
Felisya tersenyum sinis penuh kemenangan. Ya, impiannya sudah tercapai sekarang. Menyingkirkan yang menghalangi jalannya dan mendapatkan apa yang ia impikan selama ini.
“Sebenarnya aku tidak ingin mengundangmu, tapi setelah kupikir-pikir ... kamu sepertinya pantas untuk ikut merasakan kebahagiaanku. Ya, walaupun kamu bukan lagi anggota keluargaku, setidaknya kamu pernah menjadi bagian dari keluarga Harahap.” Perkataan Felisya tak luput dari sindiran yang menyakitkan.
“Selamat Kak, aku turut berbahagia. Aku pasti akan datang.”
Felisya tersenyum mengejek. “Hmm ... ternyata kamu masih punya muka, ya? Aku heran setelah sebelumnya mencoreng nama baik keluarga Harahap, kamu masih punya nyali untuk bertemu muka dengan mereka.”
Suara Syila tercekat di tenggorokan. Kering dan sakit saat ia menelan saliva. Kilasan dua tahun lalu langsung menyerbu. Dadanya bukan hanya sakit, tetapi terasa kebas oleh penyesalan, dan hal yang dia inginkan sekarang adalah meninggalkan dunia ini saking tidak kuatnya ia menahan kesakitan di rongga dada.
“Oke, adik kecil. Semoga hal buruk tak terjadi padamu saat bertemu dengan keluarga Harahap. Bye!” lantas tubuhnya melenggang pergi.
Felisya berbalik saat ia teringat sesuatu. “Oh, aku lupa seharusnya aku tidak lagi memanggilmu adik,” sindirnya penuh penekanan pada ucapannya yang terakhir.
Sepeninggal Felisya, tubuh Syila meluruh ke lantai koridor. Bahunya terus gemetar. Ia meringis tak sanggup menahan rasa sakit layaknya terkena pedang yang sangat tajam. Tangannya memukul dada bertubi-tubi. Berharap rasa sakitnya hilang. Sayang, tidak berguna.
Tangisnya pecah disertai suara isakan memilukan. Padahal bibirnya sengaja ia gigit untuk menahan sedu sedan, tetapi hal itu percuma saja. Justru kian bertambah tatkala kilasan-kilasan ingatan masa lalu berkelebat sangat cepat di benaknya. Hingga tak sanggup untuk dihentikan.
***
“Kak, Feli udah makan? Aku bawain makanan kesukaan Kakak.”
Syila meletakkan bungkusan plastik di nakas samping ranjang rumah sakit tempat di mana Felisya berbaring sekarang. Felisya membuang muka ke arah lain, malas rasanya untuk sekadar melihat Syila. Orang yang menyebabkan ia harus dirawat di rumah sakit karena kecelakaan mobil.
Patah tulang pada kakinya serta beberapa tulang rusuknya. Belum lagi kakinya sampai saat ini belum bisa digerakkan. Dokter bilang tidak akan sampai menyebabkan kelumpuhan total dan butuh waktu lama untuk memulihkan tubuhnya lewat terapi.
Tentu saja Felisya menyalahkan Syila. Kalau saja ia tak menjemput Syila ke sekolahnya, mungkin ia tak akan berakhir di rumah sakit.
“Jangan harap kebaikanmu itu bisa membuatku memaafkanmu,” ucap Felisya dengan kebencian nyata di setiap perkataan.
Syila memandang Felisya dengan sedih. Dia merasa sangat bersalah pada kakaknya yang sangat ia sayangi itu. Harusnya ia tak meminta Ranti, mamanya untuk menyuruh Felisya menjemputnya. Ia melakukan itu semua karena ia ingin bisa lebih dekat dengan Felisya. Menghabiskan waktu bersama seperti dulu.
Kesibukan Felisya merenggangkan hubungan kakak beradik itu. Ditambah perubahan signifikan yang ditunjukkan Felisya membuat Syila bertanya-tanya, apa gerangan yang sudah mengubah sikap Felisya yang dulunya sangat menyayanginya kini terlihat sangat membencinya?
“Fel, kamu tidak boleh bilang begitu. Kecelakaan yang kamu alami bukan semata-mata kesalahan Syila,” sergah Ranti yang tiba-tiba masuk ke ruang perawatan itu. Dia sungguh sangat kecewa jika anak sulungnya melimpahkan semua kesalahan pada Syila.
Felisya memalingkan wajah pada Ranti. “Jadi, Mama menyalahkanku? Mama lupa? Aku hampir lumpuh karena dia dan Mama masih membelanya?!”
“Felisya!” pekik Ranti.
Ranti berusaha menahan amarah, lalu berkata, “Mama nggak pernah ngajarin kamu untuk bersikap seperti itu. Seolah-olah apa yang sudah kamu alami adalah kesalahan Syila sepenuhnya. Mama tidak ingin dengar kamu berkata seperti itu lagi.”
“Terus aja Mama belain Syila! Bukan dia aja anak Mama, aku juga. Tapi Mama lebih menyayangi Syila daripada aku. Mama masih tetap memilih membela Syila bukannya aku yang saat ini terluka parah. Mungkin jika aku mati Mama nggak akan peduli sama sekali.”
“Felisya!”
“Ma,” panggil Syila mengingatkan. Syila mengelus lengan Ranti, mencoba untuk meredakan emosi yang telah menguasai mamanya itu.
“Ma, ingat. Mama nggak boleh marah seperti ini nanti penyakit Mama kambuh. Sepertinya Kak Feli butuh istirahat, kita sebaiknya keluar dari sini.”
Ranti berusaha mengatur kembali pernapasan. Tubuhnya lelah diakibatkan emosi yang meluap-luap. Syila segera menuntun tubuh Ranti yang terlihat rapuh keluar ruangan. Setelah itu, Ia kembali. Ada hal yang ingin ia sampaikan pada Felisya.
“Kak, jika Kakak beranggapan bahwa aku yang menyebabkan Kakak celaka, aku sungguh meminta maaf dan sangat menyesalinya. Aku ....”
“Kamu lihat Mama lebih membela putri kesayangannya daripada aku yang terbaring lemah tak berdaya seperti ini. Bahkan Papa lebih menyayangimu. Kamu merebut semuanya dariku.” ucap Felisya penuh kebencian.
*
Dua minggu telah berlalu. Setelah melalui pengobatan dan terapi secara intens, Felisya akhirnya bisa berjalan pelan-pelan, walaupun harus di bantu dengan kruk. Terpaksa ia harus merelakan seluruh waktunya demi mendekam di kamarnya. Tanpa melakukan kegiatan apa pun bahkan kuliahnya juga terpaksa cuti. Ia merasakan bosan yang teramat dan ia ingin sekali menghirup udara segar di luar kamar.
Bermodalkan kenekatan, ia meraih kruk yang disandarkan di dekat tempat tidur. Perlahan Felisya berjalan ke luar kamar. Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara-suara canda tawa dari lantai bawah. Saat pandangannya terpusat pada dua sosok yang sangat ia kenali sedang duduk di ruang tengah, dia tahu jika dia sangat tidak menyukai keakraban yang terjalin di antara mereka.
“Kamu itu masih bocah. Tahu apa kamu soal kehidupan pria dewasa,” ejek Raka sambil menjepit hidung Syila dengan kedua jarinya, jempol dan telunjuk.
“Aw ... lepas sakit, tauk! Lagian umurku bentar lagi 18 tahun dan itu sudah dikategorikan dewasa,” balas Syila bersungut-sungut.
Raka terkekeh mendengar suara Syila yang sengau. “Kamu harus sering diginiin biar hidung kamu mancung.”
Syila memberikan tatapan bengis. Namun, hal itu tak berpengaruh sama sekali pada Raka. Ia malah melempar tatapan geli. benar-benar sangat lucu.
“Ini bukan pesek, tapi kecil. Ish! Kakak nyebelin!” rajuk Syila sambil membalikkan badan, membelakangi Raka.
Raka menoel-noel pipi Syila, tak pelak Syila menepisnya. “Ngambek, nih ceritanya. Jangan marah, dong nanti kakak beliin kamu es krim, deh,” bujuk Raka mencoba bernegoisasi.
“Beneran?!” Syila membalikkan badan cepat menghadap Raka. Matanya berbinar-binar saat mendengar Raka menyebut es krim.
Raka mengacak rambut Syila dengan gemas. “Katanya dewasa tapi denger es krim aja, langsung heboh kayak anak kecil,” cibir Raka.
Syila mengerucutkan bibir kesal. Tentu saja ia sangat kesal jika Raka mulai menggodanya dan menyangkut-pautkan dirinya yang masih seperti anak kecil. Jelas-jelas ia sudah dewasa, sudah punya Kartu Tanda Penduduk pula.
“Aww!!!”
Raka dan Syila terkejut. Ketika mereka melihat Felisya terduduk di dekat tangga sambil memegangi kaki kanannya yang masih diperban.
Mereka berdua dengan sigap menghampiri Felisya. Raka langsung membantunya berdiri. Memapahnya menuju sofa terdekat. Felisya meringis kesakitan.
“Tahan,'' tukas Raka panik.
Felisya mengangguk. Di belakang mereka, Syila membawa kruknya. Ia terlihat sangat khawatir dengan kondisi Felisya.
“Sakit banget?” tanya Raka setelah mendudukkan Felisya di sofa, tempat di mana Raka duduk sebelumnya.
Felisya mengangguk, ringisannya belum sepenuhnya menghilang.
“Kakak nggak apa-apa, kan?” tanya Syila khawatir.
“Gak apa-apa.”
“Kamu itu masih sakit sok-sokan jalan sendiri,” kata Raka sambil berjongkok di depan Felisya untuk mengecek kakinya yang diperban.
Felisya mendengkus. Harusnya Raka khawatir, bukan malah menceramahinya.
“Aku bosan di kamar terus. Makanya aku keluar kamar. Cari udara segar,” sangkal Felisya dengan ketus.
“Kamu bisa, kan minta tolong orang lain?”
“Aku nggak mau ngrepotin,'' kekeh Felisya.
Raka menghela napas. Ia tahu ia akan kalah berdebat dengan Felisya. Sebuah ide terlintas begitu saja di pikiran.
“Gimana kalau aku ajak kamu ke taman hiburan?”
“Emang boleh?” wajah Felisya langsung semringah.
Raka mejawil ujung hidung Felisya. ”Aku nggak mau sahabatku yang satu ini depresi lalu jadi zombie.”
Felisya mencubit perut Raka kencang. Hingga membuat Raka terpekik kesakitan.
“Gak segitunya kali ....” Felisya cemberut.
“Hahaha ....” Tawa Raka meledak.
***
Sepanjang perjalanan, Felisya dan Raka terus berbicara dan sesekali tertawa bersama. Syila yang duduk di jok belakang mobil memandangi keakraban mereka. Sama sekali tidak mengajaknya ikut dalam perbincangan. Sepertinya ia cuma dijadikan obat nyamuk.Tak apalah. Asalkan kakaknya bisa tersenyum bahagia dia juga turut bahagia. Ya, walaupun hubungan mereka tak seperti dulu setidaknya kakaknya tak sebenci saat di rumah sakit.Felisya juga mulai mengajaknya bicara, meski tak sesering dulu. Menurut Syila itu sudah kemajuan yang baik untuk hubungannya dengan Felisya.Tak terasa mobil telah sampai di parkiran sebuah taman hiburan. Raka langsung membantu Felisya keluar dari mobil. Syila juga turut keluar sambil membawa kruk. Setelah mengantri membeli tiket, berbagai wahana langsung tertangkap mata, ketika mereka memasuki taman hiburan itu.Felisya terlonjak senang. “Aku mau naik r
Hidup dalam bayang-bayang masa lalu, mungkin terasa menyakitkan hingga untuk bernapas pun sulit. Namun, sanggupkah untuk mengelak, sementara hidup harus terus berjalan?***"Syil."Resti menyenggol lengan Syila cukup keras hingga pekerjaannya menata kursi terganggu dengan kehadiran Resti di sampingnya. Ia melempar ekspresi kesal, sedangkan Resti nyengir lebar."Dari tadi Chef Julian ngeliatin kamu terus," goda Resti sambil memainkan alisnya naik turun.Benar saja saat pandangan Syila menangkap sosok itu, pria itu sedang mengamatinya dengan menyilangkan kedua tangan di dada. Rasanya Syila mulai jengah."Apaan, sih Res," ucap Syila sebal. Kembali ia melanjutkan pekerjaannya menata kursi."Baru kali ini lho, aku lihat Chef Julian mandangin cewek seintens itu." Resti masih belum menyerah untuk terus menggoda.
Keesokan harinya, sebuah mobil Range Rover hitam terparkir tak jauh dari gerbang kos-kosan. Kedatangannya menarik perhatian penghuni kos lainnya yang sebagian besar wanita. Bisik-bisik mulai terdengar saat pemilik mobil itu keluar.Seorang pria blasteran, berkemeja biru dongker, memakai celana jeans dan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Menambah kadar kemaskulinan sang lelaki hingga membuatnya menjadi dambaan kaum hawa. Apalagi garis rahang yang membingkai wajah serta cambang yang membuat siapa pun yang melihatnya tak akan mampu menahan decakan kekaguman.Saat lelaki itu membuka kacamata hitamnya, tak terelakkan lagi teriakan demi teriakan tertahan dari gadis-gadis yang sengaja mencuri kesempatan menarik perhatian si lelaki. Sayangnya, ia tak mengindahkan.Yang ia pedulikan adalah sesosok tubuh mungil keluar dari gerbang. Rambutnya yang tergerai mempercantik penampilannya yang hanya memakai
Teramat dalam luka yang tertoreh, hingga kepercayaan pun sukar 'tuk tergenggam.***Sepasang kekasih itu melangkah penuh percaya diri. Tak peduli jika mereka menjadi pusat perhatian semua orang. Kemesraan yang mereka ciptakan, membuat semua orang diam-diam merasa iri. Secara keduanya memiliki fisik yang sempurna. Cantik dan tampan. Wajar jika mereka semua merasa iri melihatnya. Seolah keduanya memang sengaja diciptakan sebagai sepasang kekasih yang sempurna.Keduanya sudah terbiasa mendapatkan tatapan itu selama satu tahun hubungan mereka berlangsung. Berjalan bersama di tempat umum, saling berpegangan tangan tanpa niatan untuk melepaskan adalah momen romantis yang sering mereka tunjukkan di depan umum.Pandangan iri dari orang-orang itu terputus, tatkala sepasang kekasih itu masuk ke sebuah toko perhiasan. Langsung saja mereka disambut oleh seorang wanita cantik."Hai, Felisya.
Sudah sepuluh menit Resti berdiri di depan kamar Syila. Berkali-kali ia mengetuk pintu kamarnya. Namun, tak ada respons. Semenjak kepulangan Syila, Resti merasa ada yang tidak beres dengan Syila. Ia ingin bertanya pada Syila apa yang sudah terjadi padanya. Namun, pertanyaannya tak sempat ia ucapkan. Pasalnya, Syila langsung mengurung diri dan tak mau keluar.Lamat-lamat ia mendengar suara tangisan tertahan dari dalam. Resti menghentikan aksi mengetuk pintu. Ia sadar jika Syila butuh waktu untuk menyendiri dan sekarang bukan waktunya ia untuk bertanya. Mungkin nanti jika Syila sudah merasa tenang."Bagaimana?" tanya Julian.Semenjak ia mengikuti taksi yang membawa Syila pergi dari Cafe Orchid, rasa khawatir terus melanda Julian. Ia takut jika Syila kenapa-kenapa makanya ia terus mengikuti taksi itu. Julian sangat lega ternyata Syila pulang ke kos-kosannya dan sekarang ia menyusul Resti karena ia tak sabar menunggu di luar. Hanya untuk
Seberapa keras pun kamu menghapus rasa cintamu terhadapnya, tetap akan sia-sia. Sekalipun berhasil tetap masih ada cinta yang tertinggal.***Sejak kejadian di Cafe Orchid, Syila berubah menjadi sosok yang sangat dingin dan sulit tersentuh. Resti menyadari perubahan itu. Masa lalu Syila memang mengubahnya menjadi gadis yang jarang tersenyum, datar dan sedikit bicara.Kali ini Syila sudah sangat keterlaluan. Dia membangun benteng tak kasat mata yang berdiri kokoh dan sulit tertembus oleh siapa pun. Bahkan, Resti tidak melihat ada sinar kehidupan sedikit pun di kedua bola mata Syila. Seolah raganya hidup, namun jiwanya telah mati.Syila semakin jarang mengajak Resti mengobrol. Itu pun ia lakukan jika ia membutuhkan sesuatu atau bertanya soal tugas kuliah. Selebihnya, Syila memendamnya sendiri. Resti
Entah apa yang membawanya berada di depan Restoran Gergeous. Mungkin, satu hal yang ia tahu bahwa hatinya penuh dengan perasaan ambigu. Antara percaya dan tidak. Pikirannya juga penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang akhir-akhir ini mulai mengganjal.Tarikan napas adalah hal yang pertama ia lakukan untuk meyakinkan diri bahwa jawaban atas pertanyaannya ada di sini. Setelah ia yakin dengan keputusannya adalah tepat, ia melangkah, memasuki restoran itu.Seorang laki-laki yang menjabat sebagai manajer restoran datang menghampiri. Manajer itu sangat mengenal baik sosoknya."Selamat datang, Pak Raka. Ada yang bisa saya bantu?" sapa manajer itu dengan ramah."Aku ingin bertemu langsung dengan Julian. Dia ada?" ucap Raka datar."Tentu. Beliau sedang berada di ruang kerjanya di lantai tiga.""Bisa kau antar aku ke ruangannya?""Silakan ikuti say
Mungkin kamu telah melepasku. Membiarkan mata hatimu tertutup oleh kabut dusta. Namun, biarlah aku tetap meraihmu sekalipun kau memilih tuk pergi menjauh. ***Uh!Kalau saja Resti tidak melarikan diri setelah kelas usai, Syila tidak akan membawa terlalu banyak buku tebal yang ia pinjam di perpustakaan kampus sebagai referensinya untuk mengerjakan tugas makalah.Ia pasti menyuruh Resti untuk membantu membawakannya dan jika Syila bertemu dengan Resti nanti, dia pastikan sahabatnya itu akan mendapatkan balasannya nanti.Karena sibuk merutuki sahabatnya itu, tanpa sadar ia menabrak seseorang. Akibatnya buku-buku di tangannya jatuh berserakan di lantai koridor. Syila menunduk. Memungut buku-bukunya satu per satu tanpa melihat siapa yang ia tabrak.“Maaf ...