Pelajaran pertama sudah dimulai sejak tadi. Ibu guru terlihat semangat mengajar di depan papan tulis. Usianya yang sudah menginjak kepala lima tidak mempengaruhi semangatnya. Kali ini pelajaran IPA, atau lebih mengarah kepada Biologi.
“Murid-murid, hari ini kita telah belajar tentang tubuh dan organ manusia. Tahukah kalian, berapa harikah manusia bisa bertahan tidak tidur?” Ibu guru memberikan semua murid satu pertanyaan. Aku belum mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. Maka aku memperhatikan guru yang sedang bertanya.
Semua murid juga terlihat belum mengetahui fakta tentang hal ini. belum ada siswa yang angkat tangan untuk menjawab.
“Baiklah, jika kalian semua belum mengetahui fakta ini, Ibu akan dengan senang hati memberikan ilmu tambahan kepada kalian semua. Jadi, menurut sebuah penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli, manusia bisa bertahan tidak tidur selama 14 hari. Juga manusia paling lama mampu bertahan tidak bernapas selama 11 menit, rekor manusia saat ini. dua hal lagi yang perlu kalian semua ketahui, bahwa manusia mampu bertahan tanpa makan bisa mencapai 73 hari, dan juga tanpa minum 6-7 hari dalam kondisi sehat”, Ibu guru terlihat menjelaskan dengan kemampuan di luar kepala.
Lonceng istirahat terdengar keras, suara siswa lain yang sudah keluar kelas menimbulkan suara gemuruh yang khas.
“Sekali lagi, murid-murid … Senin depan kalian harus menghadapi ulangan akhir semester, bukan? Yang rajin belajar saat detik-detik seperti ini”.
Ibu guru menutup pelajaran, dan segera keluar kelas. Kami semua juga mengikuti langkahnya, keluar kelas, istirahat.
“Kamu ikut ke kantin atau tidak, Zila?” Aku bertanya kepada Zila.
“Tidak perlu bertanya kali … “, Zila menjawab singkat dengan tertawa. Aku ikutan tertawa. Dia memang teman yang asyik sekaligus menjengkelkan.
Seperti biasa, kantin ramai oleh anak yang berlalu-lalang mencari tempat yang nyaman. Aku menghampiri tempat yang biasa kami pakai, terlihat masih kosong. Langsung saja aku menuju kesana.
Siang ini, kantin ramai tidak karena badut. Mungkin ramai karena banyak anak yang belum sempat sarapan, saking semangatnya menjalani sekolah, karena sebentar lagi akan menghadapi ujian. Zila memesan makanan yang biasanya, demikian juga aku, batagor mini.
Tadi di dalam kelas, aku tidak banyak bertemu dengan Faisal, hanya sesekali memandangnya yang selalu rajin mengikuti pelajaran. Aku malu untuk menengok kebelakang, karena tempat dudukku jauh di depan dia.
Kali ini, entah dari mana datangnya, Faisal tiba-tiba datang menuju tempatku berada saat ini. aku buru-buru menundukkan kepala, terlalu minder untuk melihatnya.
Dia sudah berada di samping kami berdua.
“Hai, Zila, Nisa … kalian hanya berdua?” Dia mulai menyapa kami berdua. Demi mendengar peryanyaan itu, aku langsung menyangka bahwa Faisal itu anak yang tidak sehat penglihatanya. Sudah jelas-jelas kami hanya berdua, pakai nanya segala. Tapi aku tidak berani mengucapkan kalimat tersebut.
“Iya …Kamu?” Zila yang selalu menjawab pertanyaan Faisal selama ini.
“Oh. Aku hanya sendiri. Teman-temanku tidak ada yang mau aku ajak. Aku boleh ikutan gabung?” Sambil menunjuk bangku yang kosong di meja kami. Jantungku mulai bergetar, aku tidak menyangka jika takdir Tuhan kali ini begitu mengejutkan.
Faisal bergantian melihat aku dan juga Zila. Zila menatapku sejenak. Aku mangangkat bahu, pertanda terserah Zila akan mengiyakan atau tidak.
“Baiklah, kamu boleh bergabung bersama kami”. Zila menjawab dengan nada sok berkuasa. Demi mendengar jawaban itu, aku langsung berucap dalam hati. Tidak tahukan Zila ekspresi yang aku tunjukkan? Malah dia mengiyakan permintaan Faisal.
Faisal terlihat sangat senang mendengar jawaban Zila. Dia yang dari tadi memegang satu gelas teh dingin, langsung duduk di bangku yang dia maksud tadi. Sedangkan aku? Aku semakin deg-degan.
Zila terlihat memegangi perutnya yang dari tadi aku rasa baik-baik saja. Sepertinya dia merasakan sesuatu.
“Eh, maaf, aku harus kebelakang sebentar, Nisa, Faisal”.
Sepertinya Zila sengaja membuat perutnya sakit. Atau sebenarnya perutnya tidak sakit, hanya bergaya sakit. Aku melihatnya, sebal dengan tingkah dia kali ini. Zila segera melangkahkan kakinya meninggalkan kami. Aku masih memandangnya.
Dia mulai menjauh, tapi aku masih memandangnya. Dari kejauhan, sebelum dia hilang di lorong kamar mandi, dia berbalik arah melihatku. Dia terlihat mengacungkan tangan, atau lebih tepatnya jempol. Demi melihat tingkahnya kali ini, aku langsung reflek meraih kotak tisu, lalu mengangkatnya.
“Ada apa, Nisa?” Faisal terlihat memperhaikanku sejak tadi. Aku langsung salah tingkah.
“Emm … Ini banyak sekali lalatnya. Iya, banyak sekali lalatnya”, aku menjawab dengan intonasi sebaik mungkin. Sebenarnya tidak ada banyak lalat disini, hanya ada beberap yang beterbangan. Semoga saja Faisal bisa mengerti keadaanku saat ini.
Benar saja. Dia tidak lagi bertanya kepadaku tentang lalat yang banyak tadi. Sekarang, tidak ada lagi percakapan di meja kantin.
Beberapa saat setelah tidak ada percakapan, akhirnya Faisal memulai obrolan.
“Emm … ngomong-ngomong kamu suka beneran atau tidak dengan poto tadi malam, Nisa?” Aku tahu maksud obrolan yang diangakat Faisal kali ini.
Aku melihatnya sejenak, “Iya, aku suka”. Aku tidak membalas bertanya, hanya menjawab sekenanya.
“Oh, maaf kalau aku menggannggu”, aku langsung melihatnya demi melihat kalimat barusann, “Aku harus menyamar menjadi badut untuk melihat senyummu yang asli”.
Aku mengerutkan dahi sejenak, dan memandang Faisal.
Aku memberanikan berbicara dengan Faisal.
“Segitunya? Apa susahnya melihat aku tersenyum?” Akhirnya aku berani berbicara, walaupun dengan nada yang masih malu-malu.
“Eh, begini maksudku. … Aku ingin sekali melihat senyumu yang asli. Karena menurutku, ketika seseorang tersenyum dengan terpaksa, maka dia akan membuat senyuman yang dibuat-buat, alias sok manis. Tapi aku ingin melihat senyumu yang asli. Ternyata? Senyuman kamu yang terjadi karena terpaksa maupun asli, ternyata tidak ada bedanya sama sekali. Sama-sama manisnya”.
Kali ini aku benar-banar mengerutkan dahi, seperti lipatan kasur bekas. Benar-benar mengerut.
“Maaf, Nisa, jika kamu tidak suka aku melakukan ini. aku melakukan ini karena aku benar-benar …”, dia tidak melanjutkan ucapanya. Sepertinya dia salah mengucapkan kata-kata kali ini. “Maksudku, aku benar-benar ingin menyurvei senyuman seluruh siswa kelas”.
“Eh, tidak. Aku bukan tidak suka kamu melakukan itu, tapi aku tidak habis pikir, haruskah kamu menjadi badut?” Aku terlihat semakin akrab dengan Faisal, walaupun baru kali ini berbicara secara langsung denganya.
Faisal hanya tertawa pelan, tidak ingin menjawab. Aku kembali menundukkan kepala, sesekali melihat Faisal yang masih menghabiskan segelas es teh.
Dalam hati aku berkata, “Lama sekali Zila”.
Memang dari tadi Zila tidak nongol-nongo juga. Padahal pesanan sudah hampir dingin, dan aku juga tidak ada ide percakapan. Aku juga belum makan batagor, menunggu Zila.
“Kamu tidak maka dulu, Nisa?” Akhirnya Faisal memulai percakapan lagi.
“Eh, tidak. Nanti saja bareng dengan Zila”.
“Nisa, aku boleh bertanya sesuatu?”
Aku menoleh kearah Faisal, lalu membalas kata, “Emm, silahkan saja. Kalau aku bisa menjawab kenapa tidak?”
Faisal sepertinya juga salah tingkah sendiri, namun dia masih bisa mengaturnya. Aku semakin penasaran dengan kalimat yang akan diucapkanya.
“Emm … Kamu mau melanjutkan kuliah di mana ?”
Oh, tidak. Ternyata hanya itu yang akan dia tanyakan? Ini ada yang tidak beres. Aku sudah sangat percaya dia sejenak, sejak dia akan bertanya sesuatu kepadaku. Aku tadi berpikir bahwa dia akan berlagak seperti pemain sinetron yang sering tayang “Apakah kamu sudah punya pacar?”. Itulah pertanyaan yang aku harapkan.
“Oh, aku masih bingung mau kuliah dimana. Entahlah, nurut saja nanti sama orang tua”. Aku menjawab dengan nada yang lebih terkontrol. Tidak juga terlalu percaya diri. “Aku boleh bertanya juga kepada kamu?” Aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku, sekarang ini juga.
“Silahkan. Apapun tentang diriku boleh kamu ketahui.” Ini adalah tipe lelaki yang aku idamkan, tidak menutupi sesuatu apapun, atau melarang apapun.
Aku menjadi salah tingkah melihat dia yang begitu terbuka. Tidak, aku belum berani untuk mengungkapkan rasa ini. aku harus mengenal dia lebih jauh lagi.
“Emm … kamu sudah makan?” Akhirnya hanya kalimat pertanyaan itu yang keluar dari pita suaraku. Tidak ada yang lain. Sebenarnya, aku juga tidak terlalu malu dengan kondisi seperti ini. toh aku juga bukan siapa-siapa dia saat ini.
“Aku? Sudah, aku sudah makan. Kenapa?” Dia bertanya balik kepadaku. Aku bingung akan menjawab apa. Aku sebenarnya ingin menjawab dengan kalimat “Kalau belum makan, kamu makan dulu. Nanti kalau kamu sakit kan tidak bisa ikutan ulangan”. Namun yang keluar hanya “Kok kamu kesini hanya membawa minuman.”
****
Keika retina mata tidak mampu mengirimkan sinyal penglihatanya kepada otak, maka keadaan itulah yang dinamakan jatuh cinta. Dimana penggambaran tidak berdasarkan penglihatan yang nyata, namun berdasarkan sugesti yang palsu.
Siang hari setelah pulang sekolah, aku melakukan aktifitas seperti biasanya. Makan siang, melihat Mama bekerja, nonton tv, serta tidur siang. Eh, ada tambahan lagi untuk aktifitasku hari-hari ini, menunggu pesan singkat dari Dia. Entahlah, aku begitu menyukai penungguan ini. Aku tidak percaya dengan kata orang-orang yang sedang jatuh cinta, bahwa menunggu itu menyakitkan.
“Jangan senyum-senyum sendiri, Nisa!” Aku kaget dengan kehadiran Mama yang sedang berdiri di sampingku, yang sedang melihat televisi, atau tepatnya melihat hp. Aku memang sedang tersenyum sendiri tanpa sebab. Entahlah, aku akhir-akhir ini suka senyum jika membayangkan hal-hal yang sudah aku lalui.
“Enggak, Ma. Aku lagi ngebayangin liburan besok, pulang kampung.” Aku mengaran alasan seadanya.
“Jangan bohong. Pulang kampung tidak akan membuat kamu sebahagia itu.”
Aku tidak menjawab lagi kalimat Mama. Lebih baik aku diam, karena aku paling tidak suka jika harus berdebat dengan Mama.
Aku masih menonton televisi. Aku memindah-mindahkan saluran televisi, mulai dari TVRI sampai Cinta TV.
“Eh, kenapa mau mencari tayangan apa, Nisa? Dari tadi dipindah-pindah mulu.”
Aku baru sadar, ternyata dari tadi sudah tiga kali aku menemukan saluran tv yang sama. Berarti sudah tiga kali putaran. Mama yang dari tadi ikut disampingku, menegur dengan nada bingung, sekaligus ingin tahu dengan apa yang sedang membuat aku senyum-senyum sendiri.
Entahlah, setiap kali aku mengingat Faisal, maka rasanya hanya tersenyum yang dapat aku lakukan. Mungkin batagor cinta di kantin Bang Ali telah meningkatkan horman yang membuat aku mudah sekali tersenyum. Iya, kali ini aku telah bersepakat dengan Tuhan untuk yang kedua kalinya. Demi membandingi nama yang Zila berikan kepada soto kesayanganya soto spesial, maka kali ini akan menamakan batagor kesayanganku dengan nama ‘batagor cinta’. Nama yang sangat indah. Baru kali ini aku menemukan makanan dengan nama yang sangat elegan, membuat dia selalu teringat di hati.
Suatu saat, jika Tuhan menghendaki, maka aku akan membuat sebuah restoran cinta yang besar dengan menu utama batagor, bersama dengan orang yang aku sayangi.
“Emm … Ini Nisa mau mencari film kartun, Ma.” Aku mengarang alasan seadanya. Dari pada ketangkap basah Mama bahwa aku sedang jatuh cinta.
Suasana hening sejenak, meninggalkan suara televisi yang bernyanyi sendirian.
“Ma … Mama kasihan sama Papa apa tidak sih?” Aku memulai percakapan dengan Mama, percakapan yang sudah lama aku simpan dalam hati. Sebenarnya aku kasihan sama Papa yang setiap hari bekerja kecuali hari minggu. Berangkat pagi, pulang tidak menentu.
“Iya sih, Mama kasihan dengan Papa yang seperti ini terus. Tapi, mau gimana lagi? Ini kan sudah kewajiban yang dia pilih.” Benar juga apa yang dikatakan Mama, ini semua sudah menjadi kewajiban Papa sebagai seorang Suami, sekaligus menjadi orang tua.
“Nisa, inilah pertimbangan yang harus kita ambil sebelum melakukan sesuatu. Papa sudah memilih untuk menjadi suami, dan ini adalah resiko menjadi seorang suami. Suatu hari nanti, kamu juga pasti akan merasakan seperti apa yang Mama rasakan sekarang. Jika kita mengambil suatu pilihan, maka kita juga harus siap dengan resiko yang menanti dikemudia hari.” Aku hanya mengangguk hormat kepada Mama, tidak bisa mengucapkan kata lain yang ingin aku ucapkan.
Aku memilih untuk terdiam, melanjutkan melihat televisi. Udara panas di luar tidak sampai kedalam ruangan, kalah oleh panorama ac yang menyala dingin. Walaupun ini adalah ruangan yang cukup terbuka, tapi ini adalah satu-satunya ruangan yang kami pasang ac.
****
Malam mulai turun, menggantikan selimut siang yang pekat oleh cahayanya. Ruangan ini masih juga tidak ada hal yang menyenangkan. Suasana semakin senyap. Hanya sesekali terdengar suara orang berjalan dengan sepatu keras. Suaranya bergema setelah menemui penghalang, ujung lorong yang buntu.
Aku masih penasaran dengan takdir Tuhan yang direncanakan. Terkadang. Aku ragu dengan keputusan yang Tuhan lakukan. Namun, aku juga sangat percaya bahwa Tuhan selalu mempertimbangkan setiap langkah yang akan dilakukan.
Kali ini, aku terlelap dengan mimpi yang samar. Samar karena sebuah peristiwa yang sangat tidak aku sangka-sangka sebelum memejamkan mata. Dari sebuah gedung yang tinggi, dari kaca-kaca bening besar, dari sana keluar dua helikopter, lengkap dengan senjata andalan mereka. Pintu terbuka, dan dari sana dua orang gagah saling berhadapan. Tidak, ternyata dia tidak saling berhadapan, melainkan menghadap musuh-musuh yang berada di bawah mereka.
Selanjutnya dari gedung tinggi itu keluar lagi lima helikopter dengan ukuran yang sama, juga dengan dua orang gagah yang sama. Wajahnya tersamarkan oleh alunan lampu kota yang padam.
Helikopter berjalan mendekati musuh mereka yang siap sedia dengan senjata, menghadap keatas, pertanda bahwa mereka sudah menyadari bahwa mereka kedatangan tamu tidak diundang.
Bumm … Bumm …
Bazooka pertama dari helikopter paling depan mulai mengeluarkan kepulan api, yang disusul dengan asap kelabu. Suara tembakan dari bawah mulai menyambut kedatangan peluru pertama bazooka. Belasan peluru dari puluhan manusia yang berada di bawah berusaha mengenai helikopter. Namun, helikopter rasanya sudah terbiasa dengan situasi hal ini, menghindar dengan gesitnya. Pertarungan menjadi sangat sengit ketika enam helikopter yang lain ikut melepaskan amunisi. Suara semakin membuat telinga seperti ingin copot.
Bumm … Bumm … Bumm …
Pertarungan menjadi tidak seimbang. Para manusia yang aku asumsikan sebagai pemberontak kalang kabut. Banyak dari mereka yang sudah berguguran, menjadi mayat dibawah peluru yang berlalu-lalang.
Tapi pemberontak itu pantang menyerah, tidak mengendurkan serangan sama sekali. Terlihat dari balik gerbang pertahanan mereka keluar kembali orang-orang dengan senjata lengkap, serta dengan baju anti peluru. Mereka mulai menembaki apa saja yang terlihat di atas awang-awang.
Dorr … Dorr …
Suara tembakan semakin memeriahkan pertarungan, layaknya perayaan tahun baru di Ibu Kota. Helikopter yang menyerang semakin di atas angin, tidak tertandingi. Memang, pemberontak itu bukan lawan yang sepadan bagi mereka, namun ini adalah pertempuran, tidak ada negosiasi yang akan dilakukan.
Dari atas terlihat bahwa pemberontak di bawah sudah seratus persen lumpuh. Ketujuh helikopter siap mendarat di depan gerbang. Mulai bergerak turun, mencari tempat yang sesuai. Rumput-rumput yang panjang bergoyang tidak beraturan diterpa angin baling-baling. Namun, tanpa pilot sadari, dari dalam gerbang berjalan seorang yang gagah perkasa dengan senjata lengkap.
Dorr …
Terdengar satu tembakan yang membuat helikopter batal mendarat. Tembakan yang sangat jitu. Satu perwira dari atas helikopter terjatuh dengan menahan rasa sakit terkena peluru. Mendarat diatas batu, lalu menghilang sudah nafas yang diberikan oleh Tuhan, mati.
Para awak helikopter terjaga sepenuhnya, waspada. Mereka tidak ingin kehilangan satu lagi bagian dari mereka. Mulai terbang menjauh dari gerbang perampok, namun tetap mengintai lawan.
Bumm … Bumm …
Kembali terdengar suara bazooka dari salah satu helikopter yang sudah tidak sabar menunggu momen yang tepat. Namun, pemberontak yang gagah itu tidak kurang dari apapun, selamat. Ini memang sangat aneh, dimana dia selamat dari peluru bazooka yang demikian cepat dan mematikan.
Dia masih berdiri gagah pada posisi semula.
Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, m
Seperti biasanya, ketika pagi hari aku berangkat sekolah dengan sebelumnya sarapan bersama keluarga. Sungguh sebuah momen yang sebenarnya ingin aku tinggalkan begitu saja, yaitu sarapan dengan keluarga, ada papah dan mama. Mengapa demikian? Sebab jika sarapan bersama dengan mereka berdua, selalu saja ada hal tentang keburukanku yang menjadi sasaran pembicaraan. “Nisa, kamu kok semakin wangi saja dari hari ke hari.” Ujar papa yang menyadari bahwa aku berbau wangi, tidak seperti minggu-minggu sebelumnya. Memang benar, minggu-minggu sebelumnya, sebelum aku mengenal sebuah rasa seperti ini, aku tidak terlalu suka dengan minyak wangi, atau bahkan aku jarang sekali menggunakannya. Aku merasa sudah cukup saja dengan bau wangi yang semerbak dari bajuku, pewangi yang digunakan mama ketika mencucinya. “Mumpung masih punya, pa.” Jawabku ringan sembari meneruskan makan. “Memangnya sebelum ini kamu tidak punya?” sahut mama. Benar apa yang aku sangkakan tad
Langit cerah, bintang-gemintang nampak di sana. Itulah pemandangan yang aku lihat ketika berada di teras lantai dua rumahku. Tidak ada yang menghalangi mata dari pemandangan tersebut. Namun sayang, malam ini tidak ada rembulan yang biasanya bersinar kekungingan. Rembulan mendapatkan jatah libur sampai beberapa hari ke depan, atau aku saja yang terlalu tidak kuat menunggu datangnya. Bintang-gemintang jauh mengangkasa menunjukkan bahwa dia adalah sang raja, untuk malam ini.Pukul delapan malam, aku tiba-tiba teringat dengan pasar malam, dan hatiku mengatakan bahwa aku harus ke sana. Ah, semoga saja mama mengijinkan aku untuk pergi malam ini. Mumpung waktu belum terlalu malam, akhirnya dengan segera aku meminta ijin kepada mama, juga papa. Mereka berdua tengah asyik mengobrol di depan layar televisi, entah apa yang mereka bincangkan aku tidak tahu. Dan, aku juga tidak ingin mengetahuinya. Palingan, itu adalah pembicaraan tentang masa depan dan urusan pekerjaan.“Pap
Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yan
Lima menit sudah aku berada di luar kelas. Benar sekali, seperti yang aku bayangkan, bahwa suasana di luar kelas ketika pelajaran berlangsung akan menjadi semakin nikmat. Angin sepoi-sepoi tertiup dari sudut lapangan, menggerak-gerakkan pepohonan tepian lapangan, lalu mengenai tubuh dan rambutku. Wow, benar-benar udara yang sangat nikmat. Tidak terasa, sudah hampir sepuluh menit aku berada di luar kelas.Ah, sebaiknya sekarang aku masuk. Lagi pula, aku juga sudah tidak terlalu mengantuk. Sekarang, aku lebih siap untuk mengikuti pelajaran, tapi tidak untuk paham. Wkwkw.Tapi sebelum aku masuk, aku melihat ada siswa lain selain diriku yang berada di luar ruang kelas. Lihat! Bukankah itu adalah Adi, pedagang buku yang pada awalnya sangat menyebalkan itu? Iya, aku tidak salah lihat, itu adalah Adi. Akan ke mana dia? Sepertinya dia akan ke kamar mandi. Dan, tentunya dia akan melewati tempatku berdiri sekarang ini. Baiklah, akhirnya aku memelankan langkah, berharap agar dia
Entah kenapa tiba-tiba malam ini aku ingin pergi ke pasar malam. Buku apalagi yang akan aku beli? Padahal, komik yang aku beli beberap hari lalu belum aku selesaikan. Ah, entahlah, akhir-akhir ini aku suka sekali tidak jelas. Baiklah, aku akan meminta ijin kepada mama dan papa. Benar, meskipun aku sudah dewasa, tapi kalau masalah ijin keluar rumah, orang tua selalu mewajibkan hal tersebut.Mama dan papa terlihat tengah asyik menonton acara televisi. Pelan-pelan aku berjalan menghampiri mereka. Semoga saja mereka berdua mengijinkanku. “Mah, aku ijin keluar sebentar.” Kataku manja.“Nisa mau ke mana?” papa yang bertanya balik.Lalu, mama menambahi, “Mau ke mana?”Aku menjawab seperti biasanya, “Nisa mau ke pasar malam. Sebentar saja, tidak sampai pukul sepuluh aku sudah pulang.”“Bagaimana ini, ma?” tanya papa kepada mama.Mama tersenyum. Syukurlah, sepertinya papa dan mama mengijinka
Gerimis perlahan-lahan bertambah deras. Aku membantu Adi mengemasi dagangannya. Syukurlah, beberapa saat kemudian, sebelum hujan menderas, buku-buku sudah selesai dimasukkan ke dalam kardus-kardus cokelat. Adi terlihat memanggil pedagang sebelah.“Pak, aku nitip buku-buku ini yah... takut kalau rusak.” Katanya.“Siap...” kata orang itu tanpa beban, orang itu seusia dengan papaku di rumah.Dengan cekatan orang itu mengangkat dua kardus sekaligus, dua lainnya diangkat oleh Adi sendiri. Aman, sekarang buku-buku itu telah aman. Puluhan pedagang lainnya, yang tidak memakai atap kedap air, cepat-cepat meringkasi dagangan mereka. Pulang.“Kak Nisa, ayo ikut aku!” tiba-tiba kata Adi padaku.Aku langsung berjalan setengah berlari mengikuti Adi. Oh, lebar sekali langkah kaki Adi, sehingga aku hampir saja kehilangan jejaknya, saling mendahului dengan orang-orang yang mencari tempat berteduh. Sepertinya Adi juga mengajakku m
Aku melirik jam pada dinding warung, pukul setengah sepuluh malam. Ah, aku lupa, aku juga memakai jam tangan sendiri. Aku melirik jam tanganku, sama persis dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding warung. Papa dan mama pasti akan mengomeliku ketika aku pulang nanti. Ini adalah waktu yang cukup malam untuk diriku.“Adi, aku mau pulang.” Kataku pada Adi yang sedari tadi hanya banyak diamnya.“Ayo.” Sahutnya tidak kalah lirihnya dengan suaraku.Oh, iya, teman-teman! Aku tadi tidak hanya minum es teh hangat. Eh, maksudku teh hangat. Aku tadi juga makan, sebab aku pun merasa lapar. Jadi, jumlah yang harus aku bayarkan sekitar sepuluh ribu rupiah. Murah sekali. Aku segera mengeluarkan uang dari saku celana, dan memberikannya kepada ibu penjaga warung. Tapi, belum sempat ibu itu menerimanya, Adi telah membayarnya terlebih dahulu. Ah, aku jadi tidak enak sendiri dengan dia. Aku sudah menumpang motornya, dia pula yang membayar makanan dan mi