Iris berdiri di depan cermin, mengamati pantulan bayangan dirinya sendiri. Pantulan tersebut menunjukkan seorang wanita muda dengan tubuh kecil dan kurus, rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai hingga mencapai punggung dan satu-satunya hal yang membuatnya berbeda adalah matanya.
Iris berdiri di depan pintu kamarnya, menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia pergi berjalan menelusuri koridor.
Untuk pertama kalinya, Iris berkeliling sendirian di istana dengan lembaran peta yang diberikan kepadanya. Peta yang ia terima ternyata bukan satu lembar besar, melainkan berlembar-lembar. “Astaga, seberapa luas tempat ini?” Iris terkesiap saat ia membuka tiap lembaran peta yang ternyata bukan hanya satu lembar.
Ia sudah menyusuri koridor demi koridor, tapi yang ia dapatkan adalah ia seperti berputar-putar di tempat yang sama. Semuanya terlihat sama, yang membedakan hanya lukisan di dinding dan pot tanaman. “Kenapa tempat ini sangat luas?!” gerutu Iris, meremas peta di tangannya dengan gemas.
“Kau kenapa?”
Iris menoleh ke belakang. Ia melihat pengawal yang kemarin mengantarkannya masuk. Pemuda di hadapannya berdiri dengan kedua tangannya di dalam saku celana dan wajahnya bingung. “Kau...” gumam Iris pelan.
Pemuda tersebut menangkap gerak gerik Iris dengan cepat dan mudah. “Kau tidak ingat namaku?” tanyanya.
“Ah, kau Cleon!” seru Iris dengan cepat.
Cleon menyunggingkan senyum puas dan berkata, “Oh, ternyata kau ingat. Aku mengira kalau kau memiliki ingatan setara dengan nenek-nenek.” katanya. Mendengar itu, Iris melotot ke arahnya tetapi tidak mengatakan apapun.
Cleon menatap Iris sejenak dan melihat peta di tangannya secara bergantian. Iris baru saja membuka mulutnya, Cleon sudah memotong terlebih dahulu. “Tunggu, biar aku tebak. Kau tersesat?” tanya Cleon. Iris dapat merasakan ledekan dari kata-kata tersebut.
“Apa perlu aku ingatkan kalau aku baru berada disini selama beberapa jam?” tanya Iris dengan pelan, berusaha menahan kekesalannya.
Iris mendengar ada suara orang lain yang memanggil nama Cleon. Mereka berdua menoleh ke arah suara tersebut bersamaan. Iris melihat beberapa orang lainnya yang mengenakan pakaian yang sama dengan Cleon. Cleon melambai ke arah orang-orang tersebut lalu kembali menatap Iris. “Selamat berusaha kalau begitu.” katanya, lalu pergi begitu saja bersama dengan pengawal lainnya— meninggalkan Iris sendirian di tengah-tengah koridor.
Kedua mata Iris membulat. “Jadi kau hanya menyapa? Tidak mau membantu?” gumamnya, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Iris hanya menghembuskan nafas pelan. Ia berbalik dan berjalan dengan menghentak-hentakkan langkah kakinya.
Kemanapun Iris berjalan, ia hanya menemukan koridor panjang yang sepi. Sesekali melihat beberapa pelayan yang berlalu lalang dengan cukup cepat.
Iris terlalu sibuk melihat kiri kanannya tanpa memperhatikan ke depan, hingga ia menabrak seseorang di ujung koridor. Suara pekikan kecil keluar dari mulutnya. Di hadapannya, seseorang yang tidak terlihat asing berdiri sambil merapikan pakaiannya dengan tergesa-gesa. “Maaf, aku tidak melihat ke depan.” katanya, menaikkan wajahnya dan menatap orang tersebut.
“Tidak apa-apa,” kata orang tersebut.
Pada saat yang sama, kedua matanya terbelalak dan ia langsung mengambil beberapa langkah mundur untuk memberikan jarak di antara mereka berdua.
Orang yang berdiri di hadapannya adalah Putra Mahkota Kerajaan. Iris mengenalinya karena ia sering melihat fotonya di halaman terdepan koran yang di antarkan setiap pagi ke rumahnya.
“Yang Mulia!” Iris berseru.
“Maaf, aku tidak menyadari kalau ada orang,” kata Adrian. Ia melihat apa yang ada di tangan Iris. “Apa kau tersesat?” tanyanya.
“Eh? Iya, tempat ini terlalu luas dan...” Iris memikirkan apa yang harus ia katakan selanjutnya. “Hari ini adalah hari pertama saya disini.”
Pangeran tersebut dapat melihat ketegangan yang muncul pada tubuh wanita muda tersebut. Iris melihat tatapannya tertuju padanya, dan Iris merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. “Kau harus mengizinkan diriku mengantarmu berkeliling di dalam.” Adrian mengusulkan tanpa niat buruk. “Supaya kau tidak tersesat lagi.”
Tanpa lama berpikir, hanya ada satu hal yang Iris pikirkan. “Tidak, terima kasih.” katanya dengan sopan. Iris tidak ingin memunculkan konflik di hari pertamanya.
Adrian berkedip beberapa kali dan berkata, “Baiklah kalau begitu,” katanya dan ia juga memberikan petunjuk arah kemana Iris harus pergi.
Setelah berkeliling, mengikuti arah dari Pangeran Adrian dan sesekali bertanya kepada setiap pelayan yang Iris temui, akhirnya ia tiba di koridor yang akan membawanya menuju farmasi. “Aku baru mencari arah ke farmasi dan aku sudah merasa lelah,” gerutunya.
Keheningan terasa sangat berat pada dirinya saat Iris masuk ke dalam farmasi pada pagi hari. Iris melihat sekelilingnya dan sejauh itu, ia tidak menemukan siapapun— setidaknya belum. Ia menggunakan saat itu untuk merapikan penampilannya.
Iris melihat ada beberapa tempat tidur kosong berlapis kain linen putih dengan pegangan kepala dari logam dan terdapat partisi yang memisahkan setiap tempat tidur tersebut. Jendela tinggi sempit dibuka lebar-lebar, membanjiri ruangan dengan udara segar dan sinar matahari. Terdengar percakapan lirih, segelintir batuk kering dan bersin dari luar ruangan tersebut. Tidak ada pekik nyeri atau derak tulang. Tidak ada yang sekarat di sini. Ada perasaan lega saat itu. Iris tidak pernah berhadapan langsung dengan orang-orang dalam kondisi sekarat dan ia berharap tidak perlu melihatnya.
“Iris?” Mendengar suara di tengah keheningan tersebut— cukup untuk membuat Iris terlonjak terkejut.
Iris membalik tubuhnya dengan cepat dan menemukan Max berdiri di belakangnya, tertawa pelan. “Max...” Ia bergumam pelan. Ia merasa jantungnya berdegup sangat cepat.
“Maaf, aku mengejutkanmu?” tanyanya sambil tertawa. Saat itu, Iris baru menyadari bahwa Max terlihat sangat mudah untuk bersahabat dan ceria. Wajahnya yang oval dan tirus, kedua mata yang tajam berwarna coklat dan juga memiliki postur tubuh yang tinggi.
“Begitulah,” kata Iris. “Aku pikir tidak ada siapa-siapa,”
“Bukankah aku sudah bilang akan menunggumu di sini?” kata Max, tertawa pelan. Pemuda tersebut mengajak Iris ke sebuah ruang kerja tepat di sebelah pintu masuk dimana berbagai botol kaca, timbangan, beberapa bubuk plester, dan alat penumbuk, bersama dengan botol berisi cairan, tanaman herbal yang terlihat asing, dan gelas kaca berisi cairan mendidih di atas botol kecil dengan sumbu berapi. Iris masih menatap sekelilingnya dan ekspresi kekaguman jelas tertera di wajahnya. Deretan rak yang tinggi berisi botol-botol kaca dan bahan-bahan yang ia tidak pernah lihat sebelumnya. Iris mempertanyakan darimana mereka mendapatkan semua itu.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Max.
Tanpa harus mendengar jawabannya, Max sudah dapat menebak apa yang dirasakan oleh Iris melalui raut wajahnya. “Siapa yang mengatur semua ini?” tanya Iris dengan takjub. Selama ini ia selalu bekerja di lingkungan yang sempit dan kecil. Berbagai barang pun terbatas. Namun di istana, semuanya lengkap.
“Tentu saja aku,” kata Max dengan bangga.
Iris langsung menoleh ke arahnya dengan tajam dan terkesiap. “Tunggu, apa kau serius? Aku pikir itu tidak mungkin,” serunya.
Max tersenyum dengan bangga. “Aku punya banyak waktu di tanganku.”
“Aku dapat membayangkannya.” kata Iris.
“Ini tidak mudah,” kata Max dengan enggan. “Tidak banyak yang bekerja disini,” Ia menoleh, menatap sekelilingnya.
“Oh ya?” Iris tidak percaya apa yang baru ia dengar. Ia pun baru menyadari betapa sunyinya farmasi tersebut. Sangat berbeda ketika ia berada di rumah.
Max mengangguk. “Menjadi pengawal atau pelayan disini jauh lebih mudah daripada menjadi bagian dari farmasi,” jelasnya. “Kesehatan orang-orang disini ada di tangan kita dan kerajaan tidak mau mengambil resiko dengan mementingkan kuantitas daripada kualitas.”
“Oh, begitu...” kata Iris.
“Max...” terdengar suara parau dari ujung ruangan.
“Siapa itu?” tanya Iris. “Aku tidak melihat ada orang tadi,” Iris mulai berpikir apakah tempat itu berhantu atau ia sedang berhalusinasi di tengah hari.
Max hanya menghela nafasnya dan berkata, “Ayo, Iris. Ada satu orang lagi yang perlu kau kenal,” ajaknya ke salah satu tempat tidur yang berada di ujung ruangan, tertutup dengan partisi.
“Kepalaku pusing… ” suara tersebut terdengar lirih.
“Ya, ya, ” Max menjawabnya dengan nada bosan.
Iris mengikuti Max dari belakang dan mengintip dari balik tubuhnya yang tinggi untuk melihat siapa pemilik suara tersebut. Seorang wanita di salah satu tempat tidur, mengeluh dan memijat pelipisnya. “Dan mual…”
“Akhirnya kau bangun,” kata Max. “Aku kira kau mati dalam tidurmu.”
“Aku adalah seniormu yang sedang sakit dan itu kata pertama yang kau katakan?” katanya dengan sebal. Satu tangannya bertumpu pada tempat tidur dan tangan satunya memijat pangkal hidungnya.
Max berdecak sebal. “Kalau kau lebih bertanggung jawab seperti melakukan tugasmu dengan baik dan bergaya seperti seorang senior sebenarnya, aku tidak akan mengatakan itu padamu.”
Iris menebak bahwa ia adalah pengawas farmasi ini. “Apa ia baik-baik saja?” Iris berbisik kepada Max dengan khawatir. Wanita yang ia lihat sama sekali tidak terlihat baik. Penampilannya berantakan, jas yang ia pakai juga terlihat lusuh.
“Tenang saja. Ia tidak apa-apa,” jawab Max dengan nada sedikit ketus. “Orang ini hanya tidak belajar dari kesalahan sebelumnya kalau ia sama sekali tidak tahan dengan alkohol!” tambahnya dengan penekanan di akhir kata. Max menyiapkan minuman hangat dari bahan yang tersedia dan memberikannya kepada wanita tersebut. “Ini akan mengurangi sakit kepala,” Max meletakan nampan berisi teko dan beberapa gelas diatas meja.
“Siapa kau?” tanyanya ketika ia menyadari keberadaan Iris di belakang Max. Ia meraih gelas, menuangkan minuman yang Max buat dan langsung meminumnya.
Max menoleh ke arah Iris dan berkata kepadanya. “Iris, ini Aria.” Max menoleh ke Aria. “Ini Iris dan ia baru mulai hari ini.”
“Ah, ya, ” kata wanita tersebut. “Putri dari Tuan Ben?”
“Ya, betul. ” Iris membungkuk, memberi hormat.
“Salam kenal,” kata Aria dengan suara yang terdengar ceria. Iris tidak menyangka akan sambutan seperti itu. Aria memiliki rambut panjang acak-acakan, sebatas pinggang, berwarna pirang yang sangat pucat dan kedua mata memiliki kantung mata yang terlihat menonjol. Iris merasakan aura yang aneh darinya. Mungkin karena ia masih memakai kacamatanya di atas kepala atau karena penampilannya saat ini.
Iris diam berdiri, menatap dua orang di depannya— Aria dan Max yang masih berargumen satu sama lainnya. Namun hanya dengan melihat penampilan mereka terutama Aria, Iris mulai mempertanyakan apa yang akan terjadi padanya. Ia mulai khawatir akan masa depannya sendiri dan juga mempertanyakan kepada dirinya sendiri apakah ia memilih keputusan yang tepat.
• • •
Iris berada di ruang kerja, memasukkan bahan herbal kering ke dalam toples kaca kosong dan menimbang berat dari setiap bahan untuk di jadikan minyak esensial.“Orang yang seharusnya bertugas mengatur stok dan daftar isi lemari obat tiba-tiba mengundurkan diri,” kata Aria sambil membaca setumpuk kertas di tangannya. Aria adalah senior di farmasi tersebut dan Ia adalah wanita muda yang hanya lebih tua tiga tahun dari Iris.Iris memiringkan kepalanya sedikit, ia tidak begitu mengerti kenapa Aria mengatakan itu kepadanya. “Bukankah Max yang bertanggung jawab?” tanyanya.Aria mengalihkan pandangannya dari kertas di tangan dan tersenyum lebar ketika ia bertatap muka dengan Iris. “Iya dan kau akan membantunya juga” katanya dengan santai dan ada kesan tegas dari suaranya.“...Hah?” Iris tercengang. Tugas itu sama sekali bukan hal yang mudah karena ada banyak se
“Apa ada sesuatu yang terjadi?” Aria bertanya ketika Iris baru saja masuk ke dalam rumah kaca.“Eh?” Iris masih merasakan degup jantungnya yang berdetak cepat, bukan karena ia gugup akan pekerjaannya, melainkan ia masih ada rasa takut yang tertinggal akibat hal yang ia alami di perpustakaan.Aria berjalan mendekat agar ia dapat melihat raut wajah Iris dengan jelas. “Kau terlihat pucat...” katanya.Iris dapat merasakan bahwa Aria khawatir dengannya. “Tidak, tidak ada apa-apa.” katanya.“Benarkah?” Aria tidak yakin dengan jawabannya.Iris mengangguk. “Mungkin aku hanya sedikit gugup,” Iris berusaha menyakinkannya.“Baiklah kalau begitu,” kata Aria pada akhirnya.Iris tidak dapat menceritakannya karena dua alasan. Pertama, ia masih belum mengenal Aria dan jug
“...is?” “Iris?” Iris menoleh ke belakang— ke arah Max. Suara Max berhasil menyadarkan Iris dari lamunannya. “Eh? Apa?” tanyanya. Max menaikkan satu alisnya. Ia ingin mengetahui apa yang sedang gadis tersebut pikirkan hingga ia melamun di tengah hari, namun ia mengurungkan niatnya. “Apa yang kau temukan?” tanyanya. Mata Iris melihat kembali ke rak di hadapannya yang penuh dengan deretan toples kaca. “Selain beberapa toples kosong dan tumpukan debu, tidak ada.” Iris melambaikan tangannya di depan wajah, berusaha menyingkirkan debu yang berterbangan. Max mengangguk dan menulis sesuatu di buku. “Aku tidak pernah menyadari betapa banyaknya semua bahan yang ada disini hingga hari ini,” Iris berkata tiba-tiba. Tangannya sibuk mengeluarkan setiap toples kaca yang berada di paling bawah dan memeriksa isinya satu per sa
Iris berkedip beberapa kali, menatap Max dan Adrian bergantian sementara otaknya masih membutuhkan waktu untuk memproses apa yang baru saja ia dengar. “Kau memanggilnya dengan nama?” pikirnya ketika ia melihat Max.Tanpa banyak berbicara, Iris membereskan peralatan yang ia gunakan dengan cepat. Jarak mereka dengan Iris tidak terlalu jauh, namun ia tidak ingin mendengar apapun yang sedang mereka bicarakan.“Kemana kau?” Adrian terduduk di sisi tempat tidur, sementara Iris hanya dapat melihat punggung Max yang berdiri di hadapan Adrian. Max terlihat meraih lengan Adrian yang lengan pakaiannya telah dilipat hingga siku.“Rumah kaca, perpustakaan,” Max menjawab sekenanya. “Apa yang kau lakukan disini?”Di saat yang sama, Iris baru selesai merapikan barang yang baru saja ia gunakan. Ketika ia menoleh, gadis tersebut baru saja menyadari bahwa wajah Pang
Iris menutup pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya masih memproses apa yang baru saja ia lihat. “Apakah aku salah lihat?” gumamnya.Ingatannya tentang apa yang telah Iris lihat kembali bermunculan di dalam benaknya, seperti potongan-potongan gambar yang muncul satu per satu. Iris menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mengerang frustasi. “Ok, Iris.” gumamnya kepada dirinya sendiri, kedua tangannya menepuk pipinya pelan. “Lupakan apa yang baru saja kau lihat! Lupakan!”Gadis tersebut tidak memiliki alasan spefisik kenapa ia menghindari Pangeran Adrian, selain ia hanya ingin hidup tanpa mendapatkan perhatian lebih dari orang sekitarnya karena Ia tidak akan pernah dapat menebak apa yang orang lain pikirkan atau bicarakan di belakangnya. Iris pun memilih untuk segera tidur tanpa memakan waktu lebih lama lagi untuk memikirkan persoalan vampire.•••Pagi itu,
Untuk kesekian kalinya, Adrian terbangun dari istirahat siangnya dengan merasakan jari-jari tangan kanannya mati rasa dan ketika Adrian menulis, jari-jarinya sedikit lebih lambat dari biasanya untuk menulis beberapa kalimat pendek. “Haa...” Adrian menghembuskan nafas perlahan. “Awas kau Aiden...” Ingatannya kembali saat Aiden menahannya dan ia harus menulis unttuk waktu yang sangat lama. Satu tangannya meraih ke dahinya dan ia merasakan suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya. “Orang-orang mengatakan bahwa vampire adalah mahkluk berdarah dingin...” gumamnya. “Dan aku? Terlalu sering demam,” Sementara di bulan lainnya, ia dapat merasakan suhu tubuhnya lebih rendah daripada orang lain. Hal itu membuat Adrian tidak jarang mempertanyakan apa yang tubuhnya sendiri in
Aiden menatap meja kerja di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Beberapa menit yang lalu, ia baru saja membayangkan raut wajah Pangeran Adrian yang kesal ketika melihatnya masuk.Namun kenyataannya adalah kursi yang seharusnya diduduki oleh Pangeran, kosong. Aiden masuk ke ruang kerja yang sama sekali tidak ada orang. Aiden menghela nafas frustasi, “Kemana Adrian?” gumamnya.Di saat yang sama, pintu di belakangnya terbuka. Aiden berbalik dan melihat Cleon— pengawal yang ia perintahkan untuk mengawasi Adrian. Cleon belum sempat mengatakan apapun, Aiden sudah membuka mulutnya terlebih dahulu. “Mana Pangeran?”“Beliau masih di kamarnya dan ia bilang kalau kondisinya sedang tidak baik.” kata Cleon.“Hah?” Aiden tidak dapat langsung percaya dengan pernyataan tersebut.Cleon menganggukkan kepalanya dengan satu gerakan tegas&mdas
Setelah beberapa saat, akhirnya tiba dan mereka berdiri di depan teras toko. “Jadi, ini tempatnya?” Iris bertanya, dahinya mengkerut, menatap bangunan di depannya. “Menurut kertas ini, ya.” Aria melihat selembar kertas di tangannya lalu mendekati pintu masuk. “Ingatkan aku, darimana kau mendapatkan itu?” tanya Iris. “Beberapa hari yang lalu, ada yang menempel ini di pohon,” jawab Aria dengan santai. “Dan kau mengambilnya...?” tanya Iris lagi. Aria hanya menyeringai ke arahnya. “Tanpa memikirkan kemungkinan terburuknya?!” Aria mengangguk sekali lagi. Bangunan di hadapannya adalah bangunan yang terlihat sangat tua dan berada di gang sempit. Bangunan dengan empat lantai, masing-masing lantai terdapat dua jendela. Dua jendela etalase di paling bawah dan enam jendela biasa di lantai dua hingga empat. Jendela etalase pada sisi kiri dan kanan, menghimpit sebuah pintu kac