Jason datang bersama seorang gadis cantik berpotongan pixie yang terus menggelayuti lengannya selagi mereka berjalan. Jason mengenakan t-shirt berwarna gelap dengan aksen robek di bagian dadanya di atas celana kulit cokelat burgundy. Ia hanya mengangkat dagu sekilas menanggapi sapaan Thomas sembari menuju ke tempat kami duduk.
Kemudian pandangannya beralih padaku. Ia mengerutkan kening menatapku seolah aku adalah orang yang pernah dia temui namun tak dapat diingatnya, kemudian matanya melebar ketika ia mengenaliku.
Jason mengangkat sebelah alisnya memandangiku, kemudian melirik pada Thomas, lalu Lauren. Ketika ia sampai di dekat sofa, dua orang cowok berdiri untuk memberinya tempat lalu mereka berjalan ke luar ruangan. Kini Jason duduk berseberangan denganku. Matanya menatapku tajam.
"Kukira kau bakal absen malam ini karena semua artikel itu.” Thomas berbicara sambil menuangkan whiski ke dalam gelas kaca yang telah diisi bongkahan es batu kemudian menyodorkannya pada Jason.
Dia mengambil gelas itu dari tangan Thomas dan langsung menenggak isinya sampai habis. "Omong kosong. Para paparazi itu bisa pergi ke neraka." dia mengumpat kesal. "Jaga ucapanmu Jason, bila mereka tiba-tiba ada di dekatmu, kau bisa dapat masalah seperti yang terakhir kali." Lauren memperingatkannya. Jason hanya mengibaskan sebelah tangan di depan wajahnya menanggapi ucapan Lauren.
"Oh ya bro, kau ‘kan sekarang pergi ke kampus yang sama dengan Lauren, kau pasti kenal dengan Mia, apa kau tahu kami baru saja menjadi teman baik sekitar... lima menit yang lalu," ujar Thomas lalu nyengir lebar sembari melingkarkan tangannya ke bahuku tapi buru-buru menurunkannya lagi saat melihat pandangan tajam Lauren.
Jason menggerenyit sambil melihatku dengan tatapan kesal. Seolah dia sedang menatap setitik noda yang mengotori pakaian mahalnya. "Entahlah, mungkin aku pernah melihatnya di suatu tempat," ujarnya malas.
"Hei kau mau dansa?" tiba-tiba Thomas berpaling padaku. Aku mengangkat bahu sambil menoleh pada Lauren. "Kau tidak perlu ijin segala Mia, aku bukannya ingin menculikmu. " Thomas berkata gemas sambil menarik tanganku agar berdiri mengikutinya.
Aku hendak membantah tapi dia sudah setengah menyeretku berjalan di sampingnya.
"Jangan kuatir, dia aman bersamaku." Lauren menyipitkan mata melihatnya. "Justru itu yang membuatku kuatir Tom, " sahutnya ketus. Thomas langsung tertawa mendengarnya. Aku sempat melihat Jason sebelum berjalan melewatinya, dan tatapannya kini semakin garang.
Thomas membawaku ke area lantai dansa yang berseberangan dengan lobi utama.
Musik berirama cepat masih membahana, dia mulai mengajakku menari. Aku tidak begitu mengerti cara mereka berdansa, jadi aku hanya bergerak dengan gaya kasual yang biasa kulakukan saat aku pergi ke pesta dansa tahunan. Kuharap ini tidak terlihat norak.Thomas terus tersenyum sambil mendekatkan dirinya padaku. Ia membungkuk lalu berbicara di dekat telingaku, "Suka tempat ini? " ia berkata agak keras mengatasi suara musik. Aku mengangguk, "Keren, " seruku. Ia menyeringai lebar. "Apa kau punya pacar?"
Aku menggeleng,"Tidak ada waktu, kuliah dan sebagainya, membuatku benar-benar sibuk."
"Tidak mungkin," sahutnya. Aku melihat binar kegembiraan di matanya.
"Aku bisa kog jadi cowok yang pengertian, tidak akan merepotkanmu. Sumpah pramuka." Thomas berkata sambil mengangkat tangan kanannya seperti mengucap janji. Aku tertawa padanya.
Lalu mendadak ia menurunkan tangannya kemudian menarikku mendekat ke arahnya. "Thomas?" Namun seolah mengabaikan panggilanku, ia justru membungkuk dan mendekatkan wajahnya padaku.
Tiba-tiba seseorang menarik lenganku begitu keras sehingga aku hilang keseimbangan dan terhuyung mundur. Aku menoleh terkejut pada Jason yang tengah mengenggam erat lenganku dan menahanku di sisinya. Sejak kapan dia ada di sini?
Thomas menatapnya terkejut. "Jason? Apa yang kau lakukan? " tanyanya bingung.
"Cari saja gadis lain untuk kau rayu, Tom, " sahut Jason kasar sebelum ia menarikku pergi.
Namun Thomas menahan Jason dengan memegangi bahunya. "Tunggu. Kau pikir kau mau kemana bro? Aku yang melihatnya lebih dulu, jadi kau yang harus pergi."
"Singkirkan tanganmu." Jason menggeram pelan. "Lepaskan dulu Mia!" balas Thomas marah.
Aku melihat wajah Jason berubah merah padam, tubuhnya bergetar hebat karena marah. Detik berikutnya berlangsung sangat cepat. Jason menepiskan tangan Thomas yang ada di bahunya kemudian ia melayangkan tinjunya begitu keras ke wajah Thomas sehingga membuatnya terhempas ke lantai. Aku menjerit histeris sambil membekap mulutku.
Thomas tertatih bangkit. Ia mengumpat kesakitan seraya menggosok sisi wajahnya yang baru saja terkena pukulan. Ia menggoyang-goyangkan kepala sejenak sebelum menatap marah pada Jason. "Kau yang mulai," geramnya.
Jason menyeret lenganku dan membuatku berdiri di belakangnya. Thomas merangsek maju dan melayangkan pukulan ke wajah Jason yang menangkisnya dengan lengannya. Tangan Thomas yang lain terayun ke perut Jason namun dengan cepat ia menangkap pergelangan tangan Thomas kemudian memuntirnya.
Lalu Jason mendorong Thomas dengan keras sehingga ia terjatuh ke lantai. Kemudian ia melompat dan menduduki tubuh Thomas yang telah terkapar kemudian sambil memegangi bahunya dia mulai memukuli wajah Thomas bertubi-tubi.
Aku berlari mendekat dengan panik. "Hentikan Jason!" teriakku histeris. Aku mencoba menahan tangannya yang memukuli wajah Thomas sekuat tenaga. "Kumohon hentikan, jangan memukulnya lagi!" aku berseru ketakutan sambil setengah menangis.
Jason memutar kepalanya dan memandangku heran, seolah baru menyadari aku masih ada di situ. Setelah menyentakkan kepala Thomas yang telah terkulai lemas ia serta merta menarikku keluar dari kerumunan orang yang entah sejak kapan telah mengelilingi kami seperti pagar pembatas.
Jason menyeretku keluar klub. Dia mengabaikan seruan protesku dan terus menarik lenganku menyusuri koridor hingga ke lounge yang ada di dekat lift.
Dia menghempaskanku ke salah satu dinding lalu menempatkan kedua tangannya masing-masing di kedua sisi tubuhku, mengurungku. Aku menatapnya dengan panik, kucoba untuk meloloskan diri dengan melewati celah di bawah lengannya, tapi dia segera menangkap bahuku dan mendorongku kembali ke dinding.
Jason memandangiku dengan garang. Dia kelihatan sangat marah. Harusnya kan aku yang marah, kenapa aku malah ketakutan begini?!
"Apa maumu?" aku bertanya dengan suara bergetar.
"Kau pikir kau sedang apa hah?!" semburnya.
"Jadi ini yang dilakukan seorang mahasiswi teladan di waktu senggangnya?"
"Pergi ke klub dengan pakaian seksi dan menggoda cowok-cowok?!"Aku ternganga syok mendengar kata-katanya. Orang ini benar-benar... beraninya dia mengataiku!
"Apa yang kulakukan itu bukan urusanmu Jason!" bentakku galak.
Wajahnya langsung berubah merah padam. Jason mengayunkan tangannya dan memukul dinding di sisi wajahku dengan sangat keras hingga membuatku terlonjak kaget.
"Kalau begitu berhentilah berada di sekitarku Mia!""Pergilah ke tempat di mana aku tidak bisa melihatmu!" dia berseru marah.Dia jahat sekali… benar-benar arogan. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu padaku.
Aku merasakan air mata mulai menggenang di sudut mataku kemudian perlahan mulai mengalir turun ke sisi wajahku."Kukira aku sudah melakukannya, aku pergi jauh dan kau tetap saja menemukanku," kataku bergetar. Aku melihat sinar matanya berubah saat ia mendengar perkataanku. "Aku membencimu,” ujarku tercekat. "Kenapa kau tak bisa meninggalkan aku sendiri?" ujarku sambil berusaha menahan isak tangis.
"Rupanya ingatanmu sudah kembali, apa yang terjadi waktu kau bilang kau tidak mengenalku tempo hari?" dia menyeringai puas sambil menatapku tajam. Seperti macan yang mengawasi kelinci buruannya.
Aku mendelik padanya, kucoba mendorong tubuhnya yang mengurungku, tapi rasanya seperti mendorong dinding kokoh yang tak bergerak sedikit pun.
"Aku tak mau bicara padamu, biarkan aku pergi!" seruku marah dan putus asa karena terjebak dengannya seperti ini.Dari arah koridor terdengar suara lift berdenting terbuka kemudian disusul oleh suara langkah-langkah kaki yang mendekat ke arah kami. Aku melihat Jason melirik ke arah belakangku kemudian sebuah seringai licik muncul wajahnya.
Secara mengejutkan Jason menurunkan kedua tangannya. Aku sudah hendak melangkah pergi ketika ia kembali menangkap lenganku, kemudian dengan tangan lainnya ia memegangi sisi wajahku hingga membuatku mendongak kepadanya.
Sebelum aku menyadari apa yang terjadi Jason telah memiringkan kepalanya dan menciumku dalam-dalam. Seruan kagetku dibungkamnya dengan bibirnya. Aku berusaha mendorongnya tapi dia malah semakin mengeratkan pelukannya.
Kemudian kilatan lampu blitz seolah datang dari segala arah dan juga suara jepretan kamera berkali-kali. Jason menghentikan ciumannya dan melepaskan pelukan. Seringai kejam menghiasi wajahnya.
Aku terengah kemudian memutar kepalaku dan melihat banyak wartawan lengkap dengan kamera di depan wajah mereka sedang memotret kami berdua dari segala sisi. Suara-suara berbicara bersamaan. Aku hanya mendengar satu dua kalimat seperti, "Siapa gadis itu?" atau, "Kelihatannya Jason Marshall punya kekasih baru."
Aku terbelalak ngeri menatap sekelilingku. "Selamat Mia, " kudengar Jason berbisik di dekat telingaku. Aku memandangnya dengan tatapan kosong. Ini gila! Dia benar-benar sudah gila!
"Besok kau akan muncul di halaman depan majalah People edisi minggu ini," ujarnya seraya menyeringai puas.
"Jangan ke kampus hari ini!!" Aku mengerutkan kening membaca pesan singkat dari Lauren pagi itu ketika hendak bersiap-siap pergi kuliah. "Kenapa?" balasku. Lalu ia menulis lagi, “GAWAT DARURAT!” tulisnya dengan huruf besar-besar, biasanya itu pertanda kalau ia sedang histeris. Aku bisa membayangkan ekspresi Lauren saat ini."Banyak sekali wartawan yang berkumpul di depan gedung utama dan mereka semua terlihat seperti barracuda, pokoknya jangan datang kemari!!" tambahnya lagi."Benar-benar sial…” aku mengerang seraya membentur-benturkan kepala ke meja. Ingatanku kembali kepada insiden kemarin malam. Ketika Jason Marshall si brengsek itu mempermalukanku di depan para wartawan.Kemarin aku dan Lauren sampai harus bersembunyi selama tiga jam di dalam toilet hanya untuk menunggu mereka semua membubarkan diri. Lalu kami mengendap-endap lewat pintu k
Jason Marshall?! Orang yang paling ingin kucekik seharian ini, sedang duduk dengan santai di sana sambil memandangiku dengan senyum memuakkan yang menghiasi wajahnya. Aku tidak tahan melihatnya dan langsung membuang muka.Setelah berpamitan pada Tim dengan alasan bahwa aku harus mengerjakan tugas penting dari kampus untuk besok, aku bergegas pergi ke loker-ku untuk mengambil jaket dan tas lalu keluar lewat pintu sampingSebenarnya aku benci selalu kabur seperti kucing ketakutan setiap kali melihatnya, tapi aku benar-benar tak ingin bertemu dengan dia, terutama sekarang. Kenapa juga dia bisa muncul di sini?Udara malam yang dingin langsung menyambutku begitu menginjakkan kaki di luar. Aku berjalan sambil merapatkan jaket dan menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku, meniupnya sesekali untuk mengusir hawa dingin.Namun saat hendak berbelok ke126th street tanganku tiba-tiba dicekal dari belakang kemudian tu
"Darimana kau tahu tempat aku bekerja?" tanyaku curiga pada Jason yang sedang menyetir di sebelahku. "Nah, kita sudah sampai." Ia berkata seolah tidak mendengar pertanyaanku.Aku memandang berkeliling, "Kita ada di mana?" Ia menghentikan mobil di depan sebuah gerbang hitam yang tinggi menjulang. "Rumahku. " ia berkata santai sambil mengedikkan kepalanya ke arah pintu gerbang itu."Untuk apa kita mesti ke rumahmu segala, katakan saja apa yang mau kau bicarakandi sini," sahutku ketus. Jason memandang sekeliling sambil mengangkat kedua alisnya. "Di sini? Kau yakin? Maksudku mungkin saja para wartawan sedang mengintai rumahku sekarang ini.""Aku sih tidak masalah kalau kau memang ingin kita terpergok lagi oleh mereka sedang berduaan." ia berkata sambil mengangkat bahu tak acuh. Aku melotot padanya.Jason tersenyum kemudian membelokkan mobilnya ke arah pintu gerbang itu, yang entah bagaimana langsung berderit dan membuka perlahan begitu mo
Aku memerhatikan Paul yang tengah mengemudi di sebelahku sembari berbicara santai dengan seseorang lewat earphone-nya. Kemudian aku melirik lewat kaca spion pada Jason yang setengah rebahan di bangku belakang dengan kepala bersandar pada jok dan kedua mata terpejam. Apakah aku satu-satunya yang merasa cemas di sini? Kami bertiga sedang dalam perjalanan menuju Four Seasons karena manajemen mereka akan mengadakan konferensi pers pagi ini diballroomhotelnya. Paul berkata mereka telah mengundang wartawan dari berbagai tabloid, serta reporter dari beberapa stasiun televisi terkenal untuk meliput acara ini. Mengapa aku ikut? Karena akulah alasan mereka mengadakan konferensi pers ini. Sebab pada malam aku bertemu dengan Paul di rumah Jason waktu itu, aku telah membuat kesepakatan paling gila dalam hidupku demi pertunjukan Hemingway’s. Aku memang setengah mati menginginkan peran itu, dan rasanya tidak rela bila hanya gar
"Syukurlah acaranya sukses. Andy Phelps tadi sempat uring-uringan waktu CNET mengajukan pertanyaan di luar skrip." Paul melirik Jason yang duduk di kursi penumpang belakang lewat kaca spion di atas dashboard.“Itu berkat Mia, dia tenang sekali selama konferensi pers-nya. Orang-orang jadi gampang percaya, ya,‘kan?”Jason berkata sambil melirikku. Aku mengabaikannya dan berpaling keluar jendela memandangi deretan gedung sepanjang jalan yang kami lewati di Madison Ave.Kami baru saja menyelesaikan konferensi pers itu setengah jam yang lalu dan pers release tentang Jason dan aku telah dikeluarkan.Ceritanya adalah aku sebagai kekasih Jason merasa enggan identitasku diketahui banyak orang. Jadi selama ini kami sepakat menyembunyikan hubungan kami, hingga terpergok oleh wartawan di klub malam tempo hari.Semua gosip tentang kebiasaan buruk Jason selama ini sama sekali tidak benar. Sesungguhnya dia selalu pergi dengan
Ada kantung mata berupa memar keunguan di bawah mataku ketika aku bangun pagi ini. Sepanjang malam otakku tak bisa berhenti memutar momen yang terjadi di ballroom hotel itu, lagi dan lagi.Terasa sangat aneh saat aku memikirkannya kembali. Aku tak percaya telah bersekongkol dengan manajemen Jason untuk membuat kebohongan publik. Apa yang akan kulakukan bila nanti tiba-tiba terjadi sesuatu yang salah?Aku mengerang sambil memeluk lututku dan meringkuk seperti bayi. Ini bakal jadi tiga bulan yang sangat lama. Seharusnya aku tak pernah datang ke klub itu.Atau mengikuti Jason ke rumahnya kemudian membuat kesepakatan dengan manajernya. Mengapa Hemingway’s harus begitu penting hingga aku rela menuruti rencana mereka?Semua pikiran-pikiran itu terus saja membusuk di kepalaku hingga terdengar suara lantang yang sanggup merontokkan jantungku.Datangnya dari arah koridor. Ibuku!
“Hati-hati, pertengkaran kalian bisa kedengaran sampai radius satu mil,” kelakar Thomas. Ia mengenakan pakaian yang lebih formal daripada Jason. Setelan jas biru gelap di atas kemeja berwarna merah marun serta sepatu derby yang mengilap. "Thomas? Kenapa kau bisa ada di sini?" Ia berjalan menghampiri kami dengan senyum terkembang. "Tadinya aku sedang mencari auditorium, tapi sepertinya aku tersesat." "Tempat itu tepat di sebelah sana," sahut Jason dingin sambil menuding arah gedung auditorium. "Apa kau buta sampai tak bisa melihatnya saat pergi melewatinya tadi?" "Kau terlihat sangat cantik dengan gaunflorall-mu Mia." Thomas mengomentari penampilanku, terang-terangan mengabaikan Jason. "Uh, terima kasih." "Apa maumu Tom?" Thomas menoleh pada Jason yang tampak terganggu. Tatapannya mengejek. "Tenanglah, aku datang ke sini cuma untuk memenuhi undangan workshop di kampus kalian." "... sekaligus untuk melihat pacarmu,
Aku sedang membantu Joe mengerjakan tugas trigonometri di ruang keluarga saat bel pintu depan tiba-tiba berbunyi. "Biar aku saja!" seru Joe sambil melesat secepat peluru. Sedetik kemudian terdengar jeritan melengking yang membuat bulu kudukku berdiri. Buku yang kupegang sontak terlempar ke udara. Tanpa memedulikan kesopanan aku meloncat dari sofa lalu berlari tunggang langgang mengejarnya. "Kenapa?! Ada apa?!" seruku panik saat mencapai ruang tamu. "King Odyssey datang mencarimu!" Joe menoleh padaku dengan wajah berseri-seri, lalu ia memandang takjub pada Jasonyang berdiri di ambang pintu. Demi Tuhan, bocah ini benar-benar … “Apa kau akan tinggal lebih lama untuk membantuku mengerjakan pe-er?” Joe meraih tangan Jason, menariknya turun. “Mia bilang kau sangat pintar.” Aku ingin sekali membungkamnya. Jason tersenyum padanya. “Aku tidak akan menyangkalnya, tapi sayangnya aku kemari untuk menjemput kakakmu, mungkin lain kali, sobat.”