******
Prangg!
Pria bertanduk hitam serta sayap hitam itu membanting kotak berukiran bunga dandelion tepat di depan wanita bersayap putih yang tengah menatapnya datar.
"Kenapa? Kenapa kau biarkan dia kemari?!" Teriaknya marah membuat wanita di depannya itu terkekeh pelan.
"Kau takut?" Tandasnya dengan sisa-sisa tawa lirih.
Rahang pria itu mengeras dan giginya bergemelutuk menandakan dia kesal dengan wanita di depannya itu.
"Kau bilang kutukan itu hanya bualan semata, tapi lihatlah kali ini kau pun takut sendiri." Wanita itu tersenyum kiri membuat pria yang merupakan bagian dari keluarganya itu makin merasa dipermalukan.
Wanita itu adalah Freya dengan Orazio yang berada di depannya.
"Kau ingin membuat kakakmu sendiri menemui ajalnya?" Ujar Orazio menurunkan nada bicaranya.
Seketika wanita itu merubah rautnya, mata Freya menajam kearah pria itu. "Kau bukan saudaraku lagi sejak kau
*******"Semua yang ada di sini tidak akan mati kecuali dimatikan."Itu bukan suara mereka. Melainkan suara seseorang dari belakang mereka.Kedua anak laki-laki itu menoleh kebelakang kala suara berat terdengar menyahut dari sana. Terlihat sosok laki-laki berambut orange dengan netra yang sama seperti rambutnya sedang menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuhnya sambil menatap kearah Felix dan Gazza. "Paman James?" Ucap Gazza."James?" Tanya Felix menatap Gazza kebingungan.Gazza mengalihkan pandangannya kearah Felix, baru ingat jika anak itu baru tiba di tempat ini. "Ah, dia teman ayahku," jawabnya membuat Felix mengangguk-angguk mengerti.Pria itu meliriknya sekilas lalu kembali menatap Gazza, "ayahmu mencarimu.""Iya paman, setelah ini aku akan pulang," balas Gazza dibalas senyuman dan usapan pelan di kepala oleh pria itu."Hati-hati saat melewati hutan cahaya," ucapnya lagi dengan seseka
*******Jlebb!"Felix!" Keempatnya berteriak secara bersamaan ketika anak panah itu mengenai bahu kanan Felix bagian atas.Felix meringis melihat darah yang mulai mengucur deras dari bahu bagian depannya. Dia menatap penuh emosi kearah ketiga peri penjaga perbatasan yang kini menatapnya puas. Dengan menahan mati-matian sakit yang ada di bahunya, dia memunculkan cahaya biru pada kedua tangannya yang masih baik-baik saja dan mengarahkannya pada ketiga peri tersebut.Frank, Dean, Hardwin dan Gazza sukses terkejut dengan yang dilakukan Felix kepada ketiga peri hitam itu.Mereka diselimuti bongkahan es sekarang.Bruk!Kelimanya menoleh kearah sumber suara, tampak seorang peri bersayap hitam tengah turun dari pohon. Dengan sigap tangan Frank bergerak memunculkan akar dari tanah yang mengikat kaki peri tersebut hingga tersungkur.Sudah dapat ditebak, itu pasti orang yang mencoba memanah mereka
******"Dari mana kau tahu?" Tanya James kepada Felix yang tengah duduk di ruang tamu rumahnya bersama anak-anak lainnya.James meletakkan teh buatannya di hadapan mereka berlima. Tampak Gazza, Frank, Hardwin dan Dean mengernyit menatap teh yang kini berada di hadapan mereka. Felix mengabaikan reaksi mereka yang ia rasa seperti sedang jijik dengan minuman itu, dia kembali melihat James yang duduk di hadapannya, terlihat sedang menunggu jawaban darinya."Dari mimpi," ucapnya serius.Frank yang sedang meminum teh sontak menyemburkannya kearah Gazza yang kini berada di depannya."Hei, kau bercanda?" Ucapnya dengan mata melotot.Sudah terpaksa minum teh yang rasanya seperti air comberan, ditambah kaget karena pengakuan Felix yang tidak masuk akal. Oh, ayolah, dia meminumnya hanya untuk menjaga kesopanan, karena tidak mau bermasalah dengan peri bermata orange. Dan jika Felix hanya bercanda seperti ini, sia-sia saja d
*****"Akh! Kubun—"Brakk!Keenam peri itu sontak menoleh kearah pintu yang dibuka secara kasar oleh seseorang, bahkan Felix pun menggantungkan teriakannya karena terkejut.Tampak seorang anak yang berambut sama seperti James sedang menatap pria itu panik. Terlihat dari deru napasnya yang tak teratur. "Ayah, mereka menyerang warga lagi!"Mendengar berita itu James langsung berlari kearah luar meninggalkan ruangan itu disusul anak perempuan tadi. Hal itu membuat Felix dan yang ketiga temannya bertanya-tanya, kecuali Gazza tentunya."Haruskah kita mengikuti mereka?" Tanya Hardwin menatap satu persatu temannya."Jangan. Itu diluar kemampuan kita," balas Gazza."Lalu, haruskah kita melanjutkan misi kita?" Ucap Frank yang dibalas anggukan serta senyuman kiri oleh Dean, Gazza dan Hardwin.Sedangkan Felix memiringkan kepalanya sembari menatap mereka berempat, bingung apa yang dibicarakan oleh
***** "Siapa di sana?" Suara berat laki-laki yang menggema di goa itu membuat ketujuh anak peri itu terkesiap dan saling memandang satu sama lain. Seolah mata mereka menjadi pengganti mulut sebagai alat berkomunikasi untuk saat ini. Cahaya dari obor yang mungkin dibawa oleh si pemilik suara itu makin terlihat jelas di depan mereka. Mereka memejamkan matanya kala bayangan orang itu tampak mendekat kearah mereka bertujuh. "Kalian? kenapa di sini?" Suara yang terasa sangat tidak asing di telinga mereka itu terdengar menginterogasi, membuat Felix, Dean, Hardwin, Gazza, Frank, Lavender, dan Vancy membuka mata mereka, terkejut melihat siapa yang kini berada di hadapan mereka. "Ayah?" Frank menatap Edward bingung sekaligus terkejut karena tak mengerti mengapa ayahnya itu berada di sini. Namun tak lama, anak laki-laki bernetra hijau emerald itu menundukkan kepalanya kala mata Edward menatapnya tajam.
***** "Tidakk!" Kelopak mata dengan netra biru itu terbuka lebar, napas anak itu memburu serta keringat dingin yang sudah membanjiri wajahnya. Mimpi buruk lagi. Tapi tunggu, memangnya tadi dia mimpi apa? Aneh, kenapa dia tidak mengingatnya sama sekali kali ini. Biasanya, dia akan selalu mengingatnya. Namun, untuk wajah orangnya dia tidak bisa ingat sama sekali. Dia menoleh ke samping, sedikit terkejut kala melihat ibunya tertidur di sampingnya. Untung saja, teriakannya tidak membangunkan wanita itu. Melihat wajah ibunya, membuat potongan ingatan tentang mimpinya yang sempat ia lupakan kembali. Sekelebat ingatan tentang ibunya yang tak sadarkan diri sedang disandera di sebuah kursi dengan sebuah sihir dan kedua orang pria yang sedang bertarung hebat. Salah satunya tampak sedang melindungi ibunya. Tubuhnya menegak kala melihat itu. Entah kenapa, dia merasa bahwa itu
***** "Kau yakin?" Ucap Frank menatap khawatir kearah anak bersurai pirang platina dengan burung merah di bahunya itu. "Kau mengkhawatirkanku?" Tanyanya sambil menaik-turunkan alisnya menggoda anak laki-laki bernetra hijau emerald itu. Frank menatap datar anak laki-laki di depannya. Membuat yang ditatap tertawa. "Sepertinya kau terlalu banyak bergaul dengan Dean dan Hardwin." Frank menyerahkan semprotan tak kasat mata kepada Felix. Anak laki-laki bernetra biru itu terkekeh pelan, "tidak juga." Begini maksudnya, semprotan tak kasat mata adalah nama sebuah benda. Semprotan ini mengandung sihir yang jika disemprotkan ke tubuh seseorang ataupun benda, maka seseorang maupun benda itu akan menjadi tak terlihat. Semprotan ini tidak ada di kalangan peri bermata manapun selain kalangan peri bermata hijau. Dengan kata lain, hanya peri bermata hijau yang bisa membuatnya. Frank menyerahkan semprotan itu kepada
*****Felix, Gazza, dan Lavender memandangi Air Terjun yang berada jauh di dalam hutan. Tentu saja mereka dengan susah payah sampai ke tempat ini."Kalian memikirkan hal yang sama denganku?" Tanya Lavender yang berada di tengah-tengah sambil menatap depan.Felix dan Gazza saling menolehkan kepalanya kearah anak perempuan itu, lalu perlahan mengangguk pelan.Sebenarnya, mereka sedang berpikir di mana letak peta itu. Iya, di Air Terjun. Tapi di bagian mana? Beginilah jika memberi petunjuk secara setengah-setengah. Membebani pikiran saja."Apakah dibuat tidak terlihat seperti kita?" Tanya Felix yang dihadiahi pukulan pelan di lengan anak itu oleh Lavender."Kau ini bodoh atau bagaimana? Jelas-jelas Frank bilang jika pengaruh dari Semprotan Tak Kasat Mata hanya beberapa jam, tidak ada yang lebih kuat dari itu," balas Lavender menatap Felix sengit. Sedang yang ditatap hanya cengo, padahal, kan, dia hanya berpendapat.