Pov Nita
Aku beranjak meninggalkan Duta yang masih terdiam di kamarku. Rasanya aku sudah lega meluapkan seluruh emosiku. Tanpa sadar aku mengingatkan kedudukannya, mengungkit masalalunya. Biar, yang terpenting aku merasa lega.
Hal yang sangat kubenci darinya adalah, mengabaikanku dan asik berVC yang tak seronok. Menjijikan, dia begitu menikmati setiap perlakuan Vira. Seorang Duta yang kusangaka baik, ternyata sama dengan bajingan lain, hanya saja Duta bermuka dua. Untung saja aku memergokinya, aku berpura-pura tidur nyenyak, betapa sakitnya aku malam itu, aku meringkuk di sebelahnya menangis tanpa suara, kubiarkan mereka, berharap Duta akan berubah, namun semakin menjadi.
Dulu aku menolak puluhan pria sukses, hanya untuk menikah dengannya, bahkan aku tak menyangka, jika aku yang begitu diidolakan banyak pria, justru harus mengalami penghianatan. Sungguh nasib telah mempermainkanku. Aku yang sudah merasa sempurna. Namun tidak dengan cinta.
Ponselku bergetar, saat kulihat nama yang tertera disitu senyumku mengembang.
Brata, kebetulan sekali. Entah, melihat namanya tertera di ponsel saja membuatku tersenyum. Bagaimana kalau di hati?
"Nit, weekend nee. Jalan yuk sama Adnan. Aku kangen." Agh, kok aku kesenangan begini membaca pesan darinya.
"Oke, jemput aku." Tanpa menunggu lama kubalas pesan darinya. 'yesss…!'
Aku kembali masuk ke kamar mengambil tas yang tertinggal. Duta masih termenung di sana, biar saja, masa bodoh. 'Tidak ada lagi secuil rasa untukmu. Setampan apa pun kamu dimataku kini sudah mirip badut gentayangan.'
"Vira … Adnan mana?" tanyaku santai, seperti biasa, wajah tenang tanpa ada sedikit gundah. Justru pesan dari Brata membuat aura positif.
"Di kamar, Mbak." Vira menjawab dengan sedikit bingung, mungkin dia berpikir, bukankah tadi sedang bertengkar dengan Duta? Pasti jiwa kepo pelakor itu meronta-ronta. 'Ups, sory aku bilang Vira plakor.'
"Oke, Vir makasih," ucapku nylonong meninggalkannya dan masuk ke kamar Adnan.
"Adnan, ayok, kita jalan sama Om tampan," ajakku pelan.
"Yes … bener, Ma?" tanyanya sedikit tak percaya.
"Iya … bener, Om sudah tunggu di luar yuk!" ajakku.
Tak lama kemudian terdengar notifikasi dari ponsel. Sebuah pesan masuk.
[Serius Nit? Suami kamu gimana?]
[Biar saja, tak masalah, lagi pula kita kan hanya teman.]
[Oke, aku sudah di depan, jangan lama."]
Aku menggandeng tangan Adnan, kulihat Mas Duta dan Vira sedang berbicara. Mungkin membahas tentang pertengkaran tadi. Dapat kulihat raut wajah Vira sedikit masam. Agh masa bodo. Dengan santai aku melewatinya, sengaja pintu rumah kubuka lebar, supaya mereka melihat tamuku. Di luar sana Brata melambaikan tangan padaku, setelan santai dan mobil mewah, membuatnya semakin mempesona. Jujur enggak kalah tampan sama Duta.
Adnan berlari memeluknya, aku berjalan menghampirinya. Pintu masih kubuka, biar mereka dapat melihat dan ikut merasakan kebahagiaan kami. Brata membuka pintu mobil depan untukku, dan Adnan duduk di belakang. Soal Duta itu urusan nanti, tidak ada hak untuk melarang.
Brata memacu kecepatan mobilnya dengan santai, dia bilang ingin membawa kami ke tempat yang indah untuk berekreasi.
🖤🖤🖤
"Sudah sampai," ucap Brata. Adnan terlonjak senang.
"Beautiful, Papa!" Ah ... aku terperanjat, seketika bibirku kelu. 'Adnan ada-ada saja, manggil Brata dengan sebutan Papa.' Kelewatan ni anak'
"Ma, apakah aku akan memiliki dua papa dan Mama?" Hah … sekali lagi Adnan membuat mukaku mirip kepiting rebus.
"Maksud Adnan?" tanya Brata.
"Mama, sering melamun, Om, Adnan punya Mama baru, tapi Adnan gak mau sebut dia Mama," ungkap Adnan. Aku masih terdiam, entah apa yang harus aku jawab. Punya anak mulutnya gak bisa di-rem.
"Ya udah, Adnan maen di sana, ingat di pinggir pantai aja ya, gak boleh di tengah, Om mau ngobrol sama Mama." Ucapan Brata seketika membuatku menelan ludah.
"Oke, Om." Adnan berlari ke pinggir pantai.
"Nit, betul ucapan Adnan?" tanyanya penasaran.
"Iya, betul, tapi aku gak tau kedepannya harus gimana, aku masih bingung," paparku.
"Tinggalkan saja suamimu itu dan menikahlah denganku. Aku akan membahagiakan kamu. Aku sudah lama menyukaimu. Itulah sebabnya hingga saat ini aku masih melajang." 'Ih Brata cerai ajah belum, udah di ajak nikah aja, aku kan galau' batinku
"Sejak kapan kamu menyukaiku?" tanyaku.
"Sejak masuk SMK, saat lulus aku kuliah di tempat yang sama denganmu. Namun, kudengar kamu sudah menjalin hubungan dengan Duta, jadi aku mundur. Untuk menghilangkan rasa sakit, aku melanjutkan kuliah di luar negri. Dan sekarang aku telah kembali," ungkap Brata.
'Brata to the point banget sih, secepat ini mengungkapkan perasaan, aku aja masih menjadi istri Duta'
"Bagaimana, Nit?" kau bersedia?"
Sebenarnya aku juga ada sedikit rasa. Namun, aku trauma dengan yang namanya laki-laki. Lagi pula aku mampu hidup sendiri, karirku bagus dan memiliki segalanya.
"Nit, bagaimana?" Brata bertanya lagi.
"Nanti akan kupikirkan. Lagi pula aku masih menjadi istri Duta," jawabku.
"Oke, aku akan terus menunggumu, Nit,"lirihnya.
"Brata, aku ingin membalas dendam pada Duta, agar Duta merasakan apa yang aku rasakan, apa kamu bersedia membantuku?"
tanyaku lirih.
"Apa itu, Nita?" Dia balik bertanya.
"Aku ingin kau berpura-pura menjadi kekasihku," paparku pada Brata.
"Kau gila? mana mungkin! Konyol ide kamu,Ta!" tolaknya cepat.
"Mungkin, Brata! Sebelum aku menikah dengannya aku sudah mengikat janji, sudah kukatakan padanya, jangan pernah menghianatiku! Jika itu terjadi maka, aku akan membalas sakitnya berkali lipat. Kesalahan lain aku masih bisa memaafkan, tapi untuk perselingkuhan, maaf aku tidak bisa." Tak ada respon dari Brata, aku harap dia mau membantuku.
"Brata aku mohon, berkorbanlah untukku, jika kau benar mencintaiku." lanjutku lagi.
"Baik aku bersedia," ucap Brata.
"Setelah itu aku akan bercerai dengannya."
"Apa kamu serius,Ta?"cetuknya.
"Aku serius, aku tidak mau diduakan, melihatnya keluar dari kamar maduku dengan wajah yang cerah setelah puas, itu sangat menjijikan!"
Aku berterima kasih padanya karena dia mau membantuku. Dia tersenyum dan mengusap lembut rambutku. Adnan masih asik bermain pasir, sementara aku dan Brata terduduk di bawah pohon kelapa, menikmati tiupan angin yang begitu menenangkan.
Kami memperhatikan Adnan dan sesekali saling bertatap juga tersenyum. Rasanya hari ini begitu indah. Ingin rasanya aku bersandar di bahu pria ini.
'Pembalasan dimulai Duta Mahendra! Aku akan membuatmu merasakan apa yang aku rasakan. Seperti yang sudah kubilang, pembalasanku akan lebih menyakitkan'
"Ma, aku lapar," cetus Adnan."
"Yuk kita makan," ucap Brata.
Kami beranjak meninggalkan pantai yang sejuk, untuk mengisi perut yang kosong.
🖤🖤🖤
Kenyang, Om," ucap Adnan mengelus perutnya yang sudah penuh terisi makanan favoritnya.
Aku hanya tersenyum. Kemudian, mengajak mereka pulang. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Adnan terus bergurau dengan Brata. Aku menikmati kebersamaan ini. Sungguh, rasa hatiku yang sudah hampir mati, kini seperti tumbuh kembali.
Empat puluh lima menit berlalu, kini aku sudah sampai di depan garasi rumahku. Aku menyuruh Brata untuk masuk, walaupun dia menolak, aku terus memaksa, hingga akhirnya dia pun pasrah dan tidak dapat menolak.
Adnan membuka pintu, ternyata tidak terkunci. Brata masih di belakang pintu belum menampakkan wajah. Kusuruh Adnan untuk masuk ke kamar, dia menggangguk dan dengan cepat berlari menuju kamarnya.
Kulihat Duta keluar dari kamar Vira dengan keringat bercucuran, entah apa yang telah mereka lakukan. Kemudian disusul Vira yang bergelayut manja di pundaknya. Dengan cepat aku menyuruh Brata masuk, kugandeng tangannya ke ruang tamu, melewati kedua makhluk itu. Duta dan Vira terlihat melotot bak bom atom yang siap meledak. Aku mengabaikannya.
"Maaf aku menggandengmu," bisikku pada Brata. Dia hanya tersenyum dan mengelus mesra rambutku. Kulihat Mas Duta mukanya memerah, lalu melepas kasar genggaman tangan Vira.
Aku tahu, Duta akan pergi, lalu aku berbisik di telinga Brata, "Maaf." Namun, aku tahu jika dilihat dari sudut pandang Vira dan Duta, aku seperti tengah mencium mesra pipi lelaki ini. Harum parfumnya membuatku merasa tenang. Baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Brata.
Vira menatapku, sedangkan Duta pergi membanting pintu. Kemudian dia terdengar membuka pintu mobilnya dan memacu kendaraan itu dengan cepat. Entah dia mau pergi kemana. Ah dasar pria bajingan! Setelah menikmati madunya, ketika tiba lebah penghasil madu, dengan mudah dia pergi mengabaikan sang madu. Kasihan sekali kamu, Vira.
Brata berpamitan setelah mengantarku sampai di depan pintu kamar, sepertinya dia sangat puas ikut serta dalam permainan ini. Aku melambaikan tangan pada Brata, kemudianmentatap Vira sambil tersenyum.
Aku beranjak ke kamar dan membanting pintu.
Puas rasanya hari ini.
POV DutaKacau! Kacau! Otakku kacau. Nita tidak sedang menggeretaku. Dia benar-benar melakukannya. Tuhan … aku tidak mau kehilangan istriku. Bagaimana ini? Aku sangat mencintainya. Aku tak mau kehilangan Nita. 'Maafkan aku Nita, aku khilaf.'Pikiranku kalang kabut. Aku menyesal telah menghianatinya. Namun, percuma penyesalanku tidak akan merubah segalanya. Bagaimana ini? aku tidak mau kehilangan Nita. Nita harus tetap menjadi miliku
Nita meninggalkan Duta dalam keadaan terpuruk. Air mata hampir tumpah, tapi dia tahan. Nita kasian melihat Mas Duta, tapi ini memang sudah jadi pilihan terbaik.Nita resmi meninggalkannya. Dia sudah resmi terlepas dari suaminya. Walaupun hari terasa sakit. Namun, dia tidak mampu menerima madunya. Seberapa pun kuat dia berusaha, tapi tetap tak bisa.Dari pada menambah banyak dosa karena hubungan rumah tangga yang tak sehat, lebih baik Nita melepaskannya."Adnan maafin, Mama ya?" ucap Nita sambil mengusap wajah putranya."Jangan sedih, Ma." Adnan memeluknya erat. Mengusap air matanya yang terjatuh.'Ya Allah anakku, aku tidak pernah menyesal menikah dengan Mas Duta. Aku bersyukur karena memiliki Adnan. Tanpa ada Mas Duta, tidak mungkin terlahir seorang Adnan,' batinnya."Ma, kita mau kemana?"
Pov ViraMbak Nita pergi dari rumah, tidak membawa sedikit pun hartanya. Hanya membawa anak tiriku saja. Baguslah aku juga tidak menginginkannya. Lebih baik mengurus anak kandung sendiri. Siapa yang gak seneng, sebagai wanita kedua namun mampu memiliki suami seutuhnya, ditambah Mbak Nita tidak menuntut harta apa pun. Otomatis aku yang menguasainya, memang takdir baik ada pada diriku.Belakangan ini, Mas Duta hanya mengurung diri di kamar Mbak Nita, membuatku muak atas sikapnya. Dia seperti tidak menganggap aku ada. Isi otaknya hanya Nita, Nita, dan Nita. Rasanya aku seperti tidak dihargai. Walau bagaimanapun, aku ini juga istrinya, seharusnya dia memikirkan perasaanku juga, jangan hanya sibuk dengan mantan istrinya. Menyebalkan sekali, ingin rasanya menunjukkan sikap ketidaksukaan, tapi aku tahu diri, tidak mungkin menunjukkannya sekarang. Jenuh juga melihat sikap Mas Duta yang seperti itu.Aku mencoba mengetuk kamar Mba Nit
POV DutaPembalasan yang setimpal dari Nita. Aku yang mengira akan mendapat maaf justru mendapat surat perpisahan. Entah kapan Nita mengurusnya. Pantas saja dia tidak mau kusentuh, ternyata dia telah menggugatku di pengadilan.Tiba-tiba seorang pengacara datang untuk mengantarkan surat perpisahan dari pengadilan. Nita tidak menuntut apa pun, dan memiliki bukti perselingkuhan dari aplikasi whtahsap yang di sadapnya, sehingga sidang tidak terlalu rumit. Ketika Adnan di tanya, dia memilih untuk ikut dengan mamanya.Smart Nita! Diam-mu penuh teka- teki.Tidak ada lagi yang mampu untuk kuucapkan, selain menerima perpisahan ini. Aku akan berusaha menjalani hidup dengan normal, semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya pasrah menjalani kehidupan dan berusaha menerima Vira. Semoga kamu bisa bahagia dengan caramu, Nita.Perpisahan ini memang menyakitkan, sakit yang tak bisa di ungkapkan dengan sebuah kata. Namun,
POV BrataTidak mungkin juga aku berjodoh dengan Nita. Ya Allah, rasanya menyakitkan sekali. Aku kira Nita tidak ada kabar, karena telah kembali pada suaminya, ternyata dugaanku salah. Saat itu, saat terakhir bertemu dengannya, baru saja kuungkapkan perasaan cinta yang telah lama tersimpan. Namun, aku sendiri yang mengakhiri cinta itu tanpa menunggu jawaban dari seorang Nita. Aku salah, aku kira Nita kembali pada Duta, bagaimana ini, kenapa cinta serumit ini.Nita di mana kamu? Kenapa menghilang tanpa jejak? Andai kutahu dirimu tidak kembali pada Duta, tidak akan aku menerima dia. Sehari setelah aku mengikuti permainannya, dia hilang tanpa kabar. Seminggu, sebulan, dua bulan, berlalu, membuatku berpikir, mungkin Nita kembali pada Duta.Saat itu datang Nanda, anaknya teman Mama. Mama memperkenalkan dia padaku. Dia bilang, aku sudah sepantasnya menikah, karena usiaku sudah menginjak 30 tahun. Tidak mungkin aku terus mengharapkan
POV AdnanAduh … buku diary Adnan mana ya?Oh … ini dia. Buku ini Mama beli untuk Adnan. Kalau Adnan sedih, ingin curhat bisa di buku ini. Saat Mama sedang tidak bisa mendengar kesedihan Adnan.Sekarang Adnan ikut Mama jauh dari Papa. Masih teringat ketika Mama menangis, minta ampun pada Kakek, karena telah membuatnya malu. Kakek tidak marah, Mama pamit untuk sementara waktu. Rasanya Adnan ingin berkata pada Mama, Adnan ingin bertemu dengan Papa, tapi Adnan tidak berani mengatakannya.Jujur perasaan Adnan sangat terluka, walaupun Adnan masih kecil, tapi Adnan tau apa itu pertengkaran, Adnan tau apa itu perpisahan. Ternyata perpisahan Mama dan Papa benar-benar sangat menyakitkan. Tidak pernah menyangka akan seperti ini.Mama memindahkan Adnan dari sekolah yang lama tanpa sepengetahuan Papa. Setelah itu, Mama mengajak pergi jauh. Adnan tidak tahu nama kotanya, Adnan hanya ikut saja.🖤🖤🖤
POV DUTALongkap cerita ….________________________________Lima tahun genap sudah kepergian Nita dan Adnan. Tidak ada kabar hingga Sekarang. Rasa rindu menjalar begitu dalam. Namun, tidak dapat kuungkapkan. Aku mencoba berkomunikasi dengan papa Sanjaya, berusaha mendapatkan simpatinya. Namun, hingga saat ini aku mencoba, papa tidak memberi tahu apapun. Namun, aku selalu mencoba berhubungan baik dengan papa Sanjaya berharap dia akan luluh dengan usahaku."Mas, kenapa bengong?" ucapan Vira mengagetkanku."Tidak apa, Mas, hanya sedikit pusing banyak urusan kantor." Aku mencoba berkilah darinya. Mungkin Vira tahu aku sedang memikirkan Nita dan Adnan, dia tahu dia tidak bisa menggantikan posisi Nita di hatiku."Mas, aku sedang mengandung, dapatkah kau berikan aku perhatian sedikit?" pintanya dengan wajah sedikit memelas."Maaf, Vir …," hanya itu yang terucap dari mulutku kemudian bergagas meninggalkannya.
"Mas …. " Seseorang menepuk pundaku, saat aku menoleh ke arahnya, aku sedikit terperanjat, dengan wajah lusuh dan pakaian penuh darah serta rambut acak-acakan aku menatapnya. "Nanda," mengapa kamu di sini?" tanyaku penasaran. "Aku sedang mengantar calon mertuaku untuk check up, Mas," ucap Nanda. Dia Nanda sahabatku waktu kuliah dulu. Sudah lama kami tidak bertemu. Aku kira dia telah menikah di usianya yang sudah tidak muda lagi. Ternyata dia Baru mau menikah. Aku mengetahui ketika dia mengucap kata calon mertua. "Bagaimana keadaan istrimu, Mas?" tanyanya. "Dia sedang kritis, Nand. Aku takut terjadi sesuatu padanya," ucapku penuh rasa takut. "Jangan cemas, Mas. Istrimu sedang di tangani oleh dokter. Banyak berdoa saja."