Share

Jebakan

Blug!

Kulempar tas selempang yang semula dikenakan ke sembarang arah, lalu merebahkan diri di atas ranjang setibanya di kamar kosan.

Ck, bagaimana bisa umpan yang kulemparkan pada Om Adrian malah disantap Om Lian.

Sebenarnya apa yang dia inginkan setelah menghilang lebih dari setahun tanpa kepastian?

Pernikahan? Seminggu dari sekarang? Apa-apaan.

Aku benar-benar tak menyangka dia bisa mengambil langkah untuk menikahiku demi menyelamatkan reputasi keluarganya. Sebenarnya apa yang disembunyikan lelaki itu? Bagaimana mungkin dia bisa tahu banyak tentangku? Bahkan tentang Om Adrian yang kemungkinan besar adalah Ayah kandungku!

"Aaargh." Kuacak rambut frustrasi. Ini melenceng jauh dari perkiraan.

Kupikir tragedi sembilan belas tahun lalu akan terulang kembali persis seperti yang diceritakan Tante Sarah. Namun, nyatanya tidak. Kehadiran Om Lian menghancurkan semuanya.

Bahkan sejak pergi tanpa alasan setahun lalu, lelaki itu masih saja berhasil mengusik hidupku.

Lian Fahlevi, seandainya saja kau bukan adik kandung dari wanita sundal bernama Lidia. Mungkin pernikahan ini cukup untuk membuatku bahagia memiliki figur seorang ayah sekaligus suami.

Sayangnya aku bahkan tak tahu skenario apa yang tengah dia rancang dalam pernikahan kita nanti.

***

Kutatap pantulan diri dalam cermin seukuran badan yang terpampang di hadapan. Entah ini anugerah atau kutukan. Wajah cantik dan tubuh proporsional dengan kulit seputih porselen. Dengan modal inilah aku bisa mendapatkan tiga Sugar Daddy di umur yang bahkan belum genap dua puluh tahun sekarang. Tak ada cela, semua mulus tanpa noda padahal aku sangat jarang melakukan perawatan.

Bila bisa memilih, sebenarnya aku ingin terlahir biasa saja. Wajah cantik dan tubuh indah terkadang membebani. Tak jarang aku mendapati tatapan lapar para lelaki yang seolah menelanjangi. Padahal pakaian yang kukenakan masih terbilang sopan.

Kehormatanku pertama kali hilang di usia enam belas tahun lebih delapan bulan, oleh Sugar Daddy pertamaku. Aku terpaksa melakukannya karena Tante Sarah sudah tak sanggup membiayai segala kebutuhan adiknya di rumah sakit jiwa. Saat itu aku bahkan sempat putus asa dan membawanya menempati sebuah kontrakan di daerah pinggiran. Namun, karena kondisi gangguan kejiwaan Mama yang terkadang masih sulit dia kendalikan, Mama pun kabur saat kutinggal kerja paruh waktu. Aku kelabakan mencarinya sampai 2 x 24 jam hingga menemukannya tengah jadi tontonan saat mandi di kali tanpa sehelai pun pakaian.

Hatiku nyeri. Serasa ditusuk ribuan jarum panas yang langsung diangkat dari arang yang membara, ketika mendapati wanita yang begitu kucinta ditertawakan dan dipermalukan depan umum tanpa dia sadari.

Ketika kesabaranku mulai tandas, saat itulah semua terbongkar. Hal yang membuat Mama begitu terguncang dan ada di posisi sekarang. Tante Sarah, satu-satunya kerabat kami yang tersisa juga saksi hidup Mama menceritakan semua yang terjadi sembilan belas tahun lalu. Saat kebahagiaan dirampas keserakahan dan nafsu binatang. Kedudukan sebagai ratu pun digulingkan, semua miliknya direbut paksa, lalu dia dibuang tanpa perasaan.

Talak dijatuhkan, perceraian disahkan. Semua orang menutup mata saat wanita malang itu meraung-raung di depan gerbang mengabarkan tentang janin yang tumbuh tanpa disadarinya. Fitnah keji dilontarkan, teriakan menghinakan mengudara. Wanita itu pun berakhir gila.

Ya, semua kekejian itu dialami Nita Safitri, ibu kandungku.

Satu-satunya hal yang kusayangkan di sini adalah ... aku terlahir dari rahim wanita yang begitu rapuh dan tak berdaya. Wanita yang bertekuk lutut atas nama cinta hingga rela mengorbankan segalanya. Segala yang dia punya untuk lelaki yang bahkan tak bisa disebut manusia.

Terkadang aku sering membayangkan bagaimana rasanya diperlakukan sebagai seorang anak sesungguhnya. Merasakan hangatnya dekapan Ibu atau menyenangkannya bercanda dengan Ayah. Namun, sayang semua itu hanya angan yang harus ditelan kejamnya realita kehidupan. Pada kenyataannya, aku hanya anak yang tak diinginkan.

Namun, tragedi itulah yang membuatku bangkit, hingga akhirnya ada di posisi ini.

Hanya ini yang bisa kulakukan untuk mengembalikan kehormatan Mama. Meski caranya salah, tapi aku tak akan menyerah sebelum para iblis itu musnah.

Kusambar tas sama seperti yang sudah dikenakan kemarin di atas gantungan. Sejenak menatap barang-barang mahal yang selama ini hanya kujadikan pajangan di dalam etalase pojok kamar.

Semua itu pemberian para Sugar Daddy-ku tanpa diminta. Aku menerimanya, tapi tak pernah menggunakannya. Satu-satunya pemberian mereka yang kupakai hanya uang. Itu pun hampir semua kugunakan untuk kebutuhan Mama, sebagian lagi untuk biaya kuliah.

Karena aku melakukannya bukan untuk memenuhi gaya hidup, tapi untuk kebutuhan hidup yang harus kupenuhi.

***

Motor matix berwarna biru terparkir di halaman belakang Rumah Sakit Jiwa Barokah. Kulepas helm dan jaket yang melekat, lalu berjalan menuju bangsal Mama.

Beberapa perawat dan keluarga pasien menyapaku saat kami berpapasan. Aku mengenal hampir seluruh crew di rumah sakit ini. Tak heran memang, aku lahir dan tumbuh di sini. Elea bahkan nama yang diberikan salah satu dokter yang menangani Mama. Sementara Kenanga kebetulan adalah Bunga kesukaan Mama.

Miris, bukan? Nama yang seharusnya diberikan seorang Ayah, justru dipersembahkan orang lain sebagai bentuk keprihatinan.

Tiba di bangsal Mama, dahiku mengernyit saat tak mendapati beliau di sana.

Jangan-jangan Mama masuk ruang isolasi lagi? Kebetulan di sini beliau termasuk pasien dengan gangguan jiwa berat yang paling sering membuat keributan.

"Sus, Mama di mana, ya?" Kuhentikan langkah Suster Yuyun yang baru saja hendak berjalan ke arah taman.

"Ah, kebetulan Mbak Lea. Ini baru mau ke tempat Bu Nita, udah saatnya mandi. Beliau lagi ada di taman. Lagi makan coklat."

Dahiku mengernyit. "Coklat, siapa yang kasih, Sus?"

"Loh, Mbak Lea masa baru tahu. Seminggu sekali, kan Bu Nita dikunjungin Babang Tampan. Dia suka datang bawa macam-macam makanan, kadang dibagikan ke suster-suster yang lain. Cuma sama Mbak Lea, Bu Sarah, terus Babang itu doang loh Mama Mbak mau diajak bicara. Ya, walaupun nggak nyambung juga."

"Sebentar!" Aku menginterupsi ucapan Suster Yuyun.

"Ya?" Dengan polosnya dia mengerjapkan mata dan menunggu ucapanku tanpa peduli dengan pernyataannya yang membuatku cukup tercengang.

Babang Tampan? Berarti seorang lelaki. Sejak kapan?

"Siapa yang izinin Mama dikunjungi orang lain selain saya dan Tante Sarah, Suster!" bentakku tanpa sadar.

Suster Yuyun ternganga. "Ng, itu, anu ...."

"Suster Yuyun!" Suara lain tiba-tiba menginterupsi. Kulihat Suster Dini yang bertugas mengawasi Mama berjalan cepat menghampiri kami.

Sebelum tersenyum kikuk ke arahku dia sempat mencubit lengan Suster Yuyun.

"Saya yakin Suster Dini mungkin tahu jawabannya. Suster, kan yang lebih banyak habiskan waktu dengan Mama. Jadi, kasih tahu saya siapa orang yang dimaksud!"

Kulihat Suster Dini menelan ludah.

"Ng, anu. Sebenarnya saya juga nggak tahu, Mbak Lea. Beliau nggak pernah kasih tahu kita siapa namanya. Tapi, seinget saya orangnya tinggi kekar, kadang brewokan, umurnya sekitar akhir tiga puluh atau awal empat puluhan. Kulitnya cokelat terang, dan ganteng kebangetan. Mirip-miriplah sama Hamish Daun, suaminya Rais--"

"Hamish Daud," koreksi Suster Yuyun sembari menyenggol lengan teman seprofesinya.

Aku terdiam. Dalam benakku hanya ada satu orang tersangka sekarang.

Yaitu Om Lian.

Dering ponsel yang berbunyi di dalam tas menginterupsi kami. Hal itu digunakan Suster Yuyun dan Suster Dini sebagai kesempatan untuk melarikan diri. Mereka pun berlalu setelah pamit buru-buru.

Nama Om Adrian tertera di layar. Ah, ternyata dia sudah membuka blokirannya. Baiklah, kita lupakan tentang Om Lian sejenak.

Kira-kira apa alasan Om Adrian tiba-tiba menghubungi?

Mungkin saja dia ingin mencaci-makiku karena berani lancang datang ke rumahnya, atau bahkan dia butuh penjelasan tentang hubunganku dengan adik iparnya? Entahlah.

"Ha--"

"Kamu di mana El? Om udah di depan kosan! Om butuh penjelasan tentang hubunganmu dan Lian." Ucapan tak sabar terdengar dari seberang sebelum sempat aku menyelesaikan kalimat.

Ternyata tebakanku yang kedua benar. Dia penasaran tentang hubunganku dan adik iparnya.

"Tunggu setengah jam lagi. Aku ke sana," tukasku langsung pada intinya.

"Lama banget, Om nggak punya waktu."

Aku memutar bola mata mendengar protesnya.

Ya, begitulah Om Adrian. Berbeda dengan Om Lian yang tenang, lelaki berusia empat puluh empat tahun itu memang tak sabaran.

"Ya, terserah. Siapa juga yang perlu. Aku nggak peduli Om mau nunggu atau pergi," tandasku penuh penekanan.

Terdengar dengkusan panjang dari seberang sana.

"Oke, oke. Setengah jam. Buruan!"

Panggilan pun diputuskan sepihak. Kumasukan kembali ponsel ke dalam tas, menyisir rambut panjang yang dibiarkan tergerai menggunakan tangan, lalu berjalan menuju taman belakang.

Di sebuah bangku panjang yang hanya cukup memuat dua orang, kulihat Mama tengah dibujuk Suster Yuyun agar beranjak dari tempatnya dan pergi mandi. Namun, beliau seolah enggan beranjak dari sana. Di genggaman tangan kanannya terdapat sebatang coklat yang melekat, sementara tangan kirinya berpegangan erat pada sandaran bangku saat Suster Yuyun mulai memaksanya bangkit.

Sebenarnya ini adalah pemandangan biasa di rumah sakit jiwa, tapi entah kenapa perasaanku masih saja sesak menyaksikannya. Tingkah Mama yang selalu berubah-ubah memang sering kali membuatku gundah dan gelisah. Apakah Tuhan masih bermurah hati mengembalikan kewarasannya, atau seumur hidup aku harus menyaksikan Mama dalam kondisi yang begitu mengkhawatirkan.

Tak banyak yang kupinta. Aku hanya ingin Mama mengenali siapa aku ini.

Setelah cukup lama larut dalam lamunan. Kakiku mulai melangkah menghampiri mereka.

"Biar sama saya saja, Sus!" Kutahan tangan Suster Yuyun yang menggenggam pergelangan tangan Mama.

Suster berusia empat puluh tahun itu mengangguk, lalu pamit untuk menangani pasien yang lain.

Aku duduk di samping Mama. Kemudian mengulurkan tangan membersihkan sisa coklat yang memenuhi hampir setiap sisi wajahnya. Blues yang dikenakannya pun ikut terkotori. Bau keringat tercium dari tubuhnya. Sepertinya sudah dua hari Mama tidak mandi. Padahal tiga hari lalu kujenguk beliau masih wangi.

Terkadang aku heran apa kurangnya Mama yang membuat Om Adrian begitu kejam mencampakkannya. Bahkan dari foto-foto yang ditunjukkan Tante Sarah, dilihat dengan kasat mata pun Mamaku dulu masih jauh lebih unggul daripada Tante Lidia. Mama bahkan bersedia menerima Om Adrian apa adanya meski dia tak punya apa pun.

Hanya satu kekurangan Mama, dia mudah dib0dohi. Hingga tak menyadari bahwa telah membuka celah bagi para pengkhianat untuk beraksi. Beliau tak menyangka bahwa sahabat yang dikenalkan pada sang suami ternyata mempunyai niat busuk menggantikan posisinya sebagai istri.

Tak cukup sampai di situ. Harta Mama habis digerus lelaki yang begitu dia cintai. Sertifikat tanah, rumah, bahkan ruko yang merupakan satu-satu aset miliknya ikut dirampas. Semua itu Om Adrian gunakan sebagai modal untuk mencapai keuntungan yang lebih besar dengan menikahi anak sulung pengusaha sukses, yaitu Lidia Fahlevi. Wanita kejam yang begitu pongah karena merasa memiliki kekuasaan.

Kudengakkan kepala saat sesuatu mulai terasa mengalir dari sudut mata. Kemudian menghela napas dalam-dalam.

"Tunggu sebentar, Ma. Lea janji akan mengembalikan kehormatan juga hak-hak Mama yang sudah dirampas Om Adrian dan keluarga Fahlevi!"

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status