“Sayang ....” Mas Irsan memanggil dengan lembut, sebab aku hanya diam sejak tadi. “Maaf, Mas. Aku gak bisa. Udah dulu ya, telfonnya aku matiin.” Aku tetap menolak untuk beralih ke panggilan video. Mata kian terasa memanas di tengah ruang dingin ber-AC. Menahan tangis sejak tadi agar Mas Irsan tidak disinggahi oleh rasa khawatir sama sekali. “Jangan dimatiin dulu, aku masih pengen ngobrol sama kamu. Kamu lanjutin aja tugas kamu, panggilannya jangan diputus.” Mas Irsan berucap dengan penuh harap. Kujauhkan ponsel dari wajah ketika isak tangis akhirnya pecah, tidak sanggup menahan diri untuk menahan sesak lebih lama lagi. Hening, tidak ada suara sama sekali. “Mas, obatnya diminum dulu.” Terdengar samar suara Reviana dari dalam ponsel ketika meminta Mas Irsan untuk meminum obat. Kuhela napas dengan dalam saat dada semakin terasa sesak. Harusnya aku yang berada di sana, mengingatkan dan memberikan ia butiran obat. Mengurus ia dengan sangat baik layaknya istri yang mengabdi pada suam
Celoz mengambil piama berbentuk kimono yang tergantung di lemari, kemudian memasangkannya ke tubuhku. Sebab, aku masih merasa nyeri jika mengenakan baju ketat. Ia benar-benar begitu perhatian. Memandikan, memasangkan baju, lalu menyuapi. Aku benar-benar dirawat dengan sangat baik olehnya. Seolah aku orang yang berharga baginya. Selalu menyempatkan diri untuk merawat di sela kesibukannya dalam bekerja. Entah bagaimana jalan pikiran lelaki itu. Ia yang menyiksa, ia juga yang menyembuhkan lukanya. Aku tidak tahu apa yang salah dengannya. Celoz menoleh jam berkali-kali sejak tadi. Ia menarik napas berat, kemudian berucap. “Aku harus berangkat kerja sekarang. Hubungi aku jika kau membutuhkan sesuatu.” Ia berpesan. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia memberikan kecupan lembut di kening, kemudian beranjak pergi setelahnya. Tidak lupa ia mengunci pintu kamar agar aku tidak bisa ke mana-mana. Dering ponsel berbunyi sesaat setelah Celoz pergi. Aku meraih benda pipih itu, menatap nama
Celoz setengah menyeret menuju kamar. Aku berusaha menahan langkah, menolak saat ia meminta untuk berhubungan badan. Namun, cengkeramannya di pergelangan tangan tidak ingin dilepas sama sekali. “Selangkanganku masih terasa nyeri.” Aku memberikan alasan, berharap ia akan merasa kasihan. Sebab, memang masih tersisa sedikit rasa perih di sana ketika dibawa berjalan. “Aku akan pelan.” Ia membalas seraya terus menyeretku menuju kamar. Aku menggeleng, berusaha kabur saat ia hendak mengunci pintu kamar. Namun, langkahku kalah cepat. Ia mendorongku dengan kasar ke ranjang setelah pintu kamar terkunci dengan rapat. “Celoz, tolong tunggu sampai aku siap kembali.” Aku memohon dengan memelas. Jantung mulai berdegup dengan sangat cepat, disertai debaran dada yang tidak karuan. Kurasakan darah mulai berhenti mengaliri area wajah. Napas terdengar tidak beraturan saat Celoz melepas pakaiannya satu per satu, lalu melemparnya ke sembarang tempat. Aku berusaha turun dari ranjang, merangkak dengan
Celoz tidak menanggapi sama sekali. Ia terdiam cukup lama hingga akhirnya terdengar helaan napas berat berasal darinya. Ia bangkit untuk duduk, turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi tanpa berucap sepatah kata pun. Aku hanya bisa menatap punggungnya hingga ia menghilang di balik pintu. Aku menghela napas dalam, ikut turun dari ranjang dan berdiri di depan kaca besar. Menatap pantulan tubuh di sana. Kesentuh bahu yang terasa nyut-nyutan. Ada luka terbuka di sana, gigitan Celoz membuat kulit bahuku terluka. Aku berjalan menuju nakas. Mencari sisa alkohol yang pernah dibawa oleh Celoz, kemudian membasahi kapas dengan cairan itu dan mengusapkannya tepat pada area yang terluka agar tidak menimbulkan infeksi nantinya. Terasa perih saat cairan alkohol itu menyentuh kulit bahu. Tidak ada kain kasa dan obat merah yang bisa kugunakan untuk menutupi lukanya. Jadi, kubiarkan saja begitu. Berharap bisa pulih sendiri nanti. Cukup lama hingga Celoz keluar dari kamar mandi. Tubuhnya
“Ya sudah, lain kali hati-hati. Aku gak pengen kamu sakit.” Mas Irsan tampak percaya. Wajar saja, sebab yang ia tahu aku selalu berkata jujur padanya. Tidak ada kebohongan seidkit pun yang pernah ia dengar dariku, sebelum pertemuan dengan Celoz terjadi dan akhrinya hanya kebohongan demi kebohongan yang kulontarkan kepadanya. Kami bertukar cerita untuk beberapa saat hingga panggilan diputus setelah saling mengucap kata cinta. Aku beralih menghubungi Reviana, menjelaskan padanya tentang apa yang harus ia lakukan mengenai terapi Mas Irsan. Aku merasa sedikit lega dalam rongga dada setelah berbicara dengan mereka berdua. Terlebih uang yang Mas Irsan butuhkan telah kukirim ke rekening miliknya. Terasa satu beban telah terangkat dari pundak. Aku bangkit berdiri, meraih makanan yang belum tersentuh sejak tadi. Keluar dari kamar seraya menenteng makanan. Di sofa ruang depan tampak Celoz tengah terlelap dalam tidurnya. Ia duduk dengan punggung menyandar pada bahu sofa. Wajahnya mendongak m
Kubuka mata dengan malas saat merasakan kecupan lembut di ubun-ubun. Menggeliat sejenak hingga aku merasa nyeri di seluruh tubuh. Aku bangkit untuk duduk, kemudian mendapati tubuh telah polos tanpa pakaian. Sementara Celoz beranjak menuju pintu keluar kamar dengan pakaian lengkap di badan. Aku memanggil dengan lembut, tapi akhirnya meringis karena merasa perih di sudut bibir. Celoz berbalik. “Kau sudah bangun?” Ia bertanya basa-basi. “Maaf aku tidak bisa menahan nafsu ketika kau pingsan karena mabuk tadi malam.” Ia berucap dengan wajah menyesal. Lagi? Ya Tuhan, sampai kapan aku mendapati tubuh penuh luka begini?! “Aku sudah mengobati, nanti akan pulih sendiri.” Celoz berucap tanpa kutanya. Ia usap pipiku dengan lembut. Aku hanya diam, menyingkirkan tangannya dari pipi. Aku merasa begitu perih di bagian intim. “Kau pakai alat bantu lagi?” Aku protes dengan kesal. Celoz hanya diam. Namun, tanpa ia jawab pun aku sudah bisa menerka. Kurasa bagian dada juga perih, setelah membu
Reviana mengirim foto dan video sebagai bentuk konfirmasi bahwa terapi Mas Irsan telah dilakukan. Aku merasa jauh lebih tenang sekarang, sebab satu per satu beban di pundak terasa sudah diangkat. Satu panggilan video masuk dari Mas Irsan. Aku hanya mendiamkan hingga panggilan itu berhenti dengan sendirinya. Sebab, lagi-lagi tadi malam aku kembali mendapatkan siksaan dari Celoz. Entah sudah kesekian kali ia melakukan hal yang sama. Aku tidak ingat, sebab sepanjang saat tubuh tidak pernah sembuh dari luka. [Kamu sibuk?] Mas Irsan mengirim pesan. Pesannya juga sengaja aku abaikan. Alasan terpeleset di kamar mandi tidak mungkin bisa kembali menjadi alasan untuk wajah yang penuh luka lebam. Tidak mungkin Mas Irsan akan percaya jika aku memberikan jawaban yang sama saat ia melihat mukaku di layar ponsel nanti. Sudah lebih dari seminggu memang tidak ada komunikasi sejak terakhir kali kami berbicara lewat video call waktu itu. Ia pasti sudah sangat rindu ... aku juga. [Jangan lupa istira
“Aku bisa sendiri.” Aku menolak saat Celoz hendak membantu menuju kamar mandi. Aku sudah jauh lebih baik sekarang. Kaki telah bisa diajak untuk berjalan dan menopang berat badan. Celoz tetap memapah. Tidak membiarkan aku berjalan sendirian. “Lepas ...!” Aku meminta dengan lemah, menyingkirkan tangannya dari tubuhku. “Aku hanya ingin membantu.” Ia protes karena tangannya kuenyahkan. “Sudah kukatakan, aku bisa sendiri!” Aku berucap dengan nada tidak bersahabat. “Kau masih marah padaku?” Ia bertanya memastikan. “Bagaimana aku bisa marah padamu, bukankah kau telah membayarku untuk menjadi boneka seksmu?” Aku menatap dengan tajam, menegaskan bahwa aku benar-benar marah sesuai dengan apa yang ia pikirkan. “Aku sudah minta maaf berulang kali setelah aku melakukan itu. Aku merawatmu hingga kau sembuh, aku membayarmu untuk semua yang telah aku lakukan padamu. Kurang apa aku?!” Ia balik bertanya dengan nada yang mulai terdengar kesal. Aku menarik napas kasar. “Harusnya tanpa aku beritah