"Sekarang kau mengerti, kan, Ayana? Kenapa kamu harus mendengarkan aku. Aku mengatakan ini padamu karena kasihan. Kau tak tahu apa-apa tentang Dindar." Aham berkata dengan tatapan yang begitu serius. Seolah ingin memperlihatkan pada Ayana bahwa apa yang dikatakannya adalah sebuah keberan.Sejenak Ayana masih termangu dengan kata-kata Aham, namun untuk selanjutnya ia menggelengkan kepala."Tidak. Kau salah. Kau yang tak tahu apa-apa tentang Dindar. Dan sekarang aku sudah tahu. Aku tahu kenapa dia punya sifat seperti itu," ucap Ayana penuh keyakinan."Aku sudah sangat percaya padanya. Dan seharusnya aku kemarin tak percaya sama kamu," ucap lagi Ayana."Kau harus lebih percaya aku, Ayana.""Kau siapa. Kenapa aku harus percaya kamu," tanggap Ayana. Sengit. "Aku tidak kenal kamu.""Lalu apa kau kenal Dindar.""Dia suamiku.""Suami akan memberikan surga untuk istrinya tapi dia akan memberikan neraka untukmu, Ayana.""Aku tidak percaya kata-katamu lagi. Aku tidak tahu ada masalah apa kamu s
Jika saja Ayana punya keberanian, sedikit saja. Tentu ia akan menghampiri Dindar dan menanyakan tentang status wanita yang bersamanya. Ayana benar-benar tak menyangka bahwa ia akan diselingkuhi oleh Dindar. Ia kira Dindar hanya punya sikap kasar terhadapnya, namun ternyata Dindar juga menduakan dirinya.Ayana memilih pulang dengan membawa hati yang terluka. Entah nasib apa yang ia punya hingga segitu buruk kisah hidup yang ia alami.Setibanya di rumah, Ayana segera mencuci muka sebersih-bersihnya untuk menghilangkan air matanya yang terus mengalir. Ia benci dengan air mata yang terus mengalir karena Dindar. Lebih-lebih karena diselingkuhi Dindar. Seharusnya Ayana tak merasa sakit hati hingga harus menangis sebab diselingkuhi pria kasar sepertinya. Karena Ayana mengakui sendiri bahwa rasa cinta untuk Dindar sudah mulai memudar tatkala pria itu mulai berlaku kasar pada dirinya.Namun naluri keistriannya yang membuat Ayana merasa tak terima dikhianati Dindar. Walau bagaimanapun Ayana
Ayana segera mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Sekuat mungkin ia menahan diri agar sampai tak menangis dan mengeluarkan air mata.Dindar segera menghampiri Ayana yang terduduk di lantai. Sambil berjongkok, tangan kekar Dindar menarik rambut Ayana dan menghadapkan wajah Ayana pada Dindar."Akhh…!" Ayana meringis kesakitan tatkala Dindar semakin kuat menarik rambut Ayana."Kenapa kau menunjukkan wajah jelekmu?" Gigi Dindar bergemeletuk. "Apa kau tak menyukaiku, heum?" Tarikan tangan Dinar semakin kuat di rambut Ayana."Jawab, Ayana. Kenapa kau menampakkan raut wajah masam?" bentak Dindar."Bukankah, kau sudah ada wajah cantik lain yang tentunya lebih sedap dipandang oleh dirimu?""Apa?" Mata Dindar melotot. Otaknya mulai mencerna apa yang dikatakan Ayana."Aku sudah tahu perselingkuhanmu, Mas!" ucap Ayana tanpa ada ketakutan sama sekali dalam dirinya."Oh, jadi kau—""Iya, Mas. Aku tahu semua. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Mas Dindar bercumbu mesra dengan wanita selingku
"Akhh…!" teriak Ayana.Namun bersamaan dengan itu, tubuh Ayana tertarik keluar oleh seseorang hingga terjatuh ke tanah dengan tubuh tertindih.Ayana segera menatap ke wajah orang yang menariknya keluar dari kandang harimau."Mas Dindar!" seru Ayana dengan mata melebar. Sedikit tak percaya Dindar akan melakukan hal itu.Dindar tersenyum menyeringai seraya menarik Ayana untuk berdiri."Kau takut akan hukumanku, Aya. Namun kau masih berani untuk melawan ku,"ucap Dindar dengan masih menatap Ayana yang tampak masih gemetaran. Ayana hanya diam dengan tubuh gemetar. Rasa takut dan panik nya belum juga hilang dari dirinya. Bahkan kali ini ketakutan pada Dindar semakin menjadi dalam diri wanita itu.Tanpa berkata-kata Dindar menarik tangan Ayana kembali kedalam rumah dan mendudukkannya di sofa.Sedangkan Dindar pergi sebentar dan kembali ke sofa dengan tangan sudah membawa kotak obat."Kemarikan kakimu!"Ayana sempat tercengang dengan titah Dindar."Cepat!" Dindar melotot."Tapi—"Kata-kata Ay
"Iya. Kau bukanlah yang pertama, Ayana. Tapi yang kedua." Ayana membekap mulutnya. Air matanya mengalir dengan deras. Bukan karena ia cemburu atau merasa terkhianati, melainkan Ayana merasa tertipu oleh Dindar. Kenyataan itu benar-benar membuat Ayana lemah hingga tubuhnya ambruk jatuh terduduk ke sofa. Sungguh, banyak sekali ternyata kebohongan dari Dindar. Tiba-tiba Ayana teringat dengan kata-kata Aham."Jika sudah ada kamu…lalu kenapa ia masih menikahiku?" tanya Ayana di sela-sela isakannya."Karena dia terobsesi dengan dirimu. Ia hanya memiliki hasrat padamu.""Apa!"Lidya mengangguk. Lalu ikut duduk di samping Ayana. "Aku sebenarnya sahabat Dindar sedari kecil. Aku yang mengetahui semua tentang Dindar. Sebuah peristiwa membuat ia membenci akan semua wanita. Kecuali diriku. Namun ia tak pernah tertarik padaku."Kening Ayana mengernyit. Tidak tertarik namun menikah?"Dindar menikah denganku sebab ia merasa aman bersamaku. Namun ia merasa nyaman denganmu." Lidya berucap seolah men
"Iya, Ayana. Aku datang untukmu!"Ayana terkejut dan segera terbangun dari tidurnya saat mendengar suara yang seperti suara Aham.Ayana mendesah seraya mengusap wajahnya kasar. Ternyata tadi ia hanya mimpi. Mimpi kedatangan Aham. Ia tersenyum kecut. Bisa-bisanya dia memimpikan pria yang pernah menculiknya itu.Namun Ayana sempat heran, bisa-bisanya dia bermimpi tentang Aham yang seperti peduli dan ingin menolongnya.Ayana segera menggelengkan kepalanya berusaha melupakan mimpinya tersebut.Saat ia masuk ke kamarnya ia langsung mendapatkan pesan dari nomor yang tak dikenal.[ Jangan bilang pada Dindar kalau tadi aku datang menemuimu. Untuk akhir-akhir ini mungkin Dindar akan sedikit lebih sibuk dan akan jarang pulang. Ia lagi sibuk dengan jabatan dan bisnisnya.]Ayana hanya membaca pesan itu tanpa ada niatan untuk membalasnya. Ayana juga sudah tahu tanpa bertanya kalau yang mengirim pesan adalah Lidya.Saat hendak meletakkan kembali, tiba-tiba pesan Lidya kembali masuk.[ Aku sudah m
Perlahan Ayana menoleh kebelakang menatap Aham."Kau tak perlu minta maaf. Aku sudah melupakan kejadian waktu itu. Juga ucapanmu." Setelah berucap, Ayana melanjutkan langkahnya. Namun Aham kembali mengejarnya."Tunggu." Aham menahan lengan Ayana."Apa itu artinya kau memaafkanku, Ayana?" Ah, entahlah. Kenapa tiba-tiba Aham merasa ingin dekat dengan Ayana. Dan tiba-tiba saja ia ingin peduli gitu dengan Ayana.Ayana tak menjawab. Ia menarik tangannya dan berlalu pergi dari hadapan Aham begitu saja.Melihat itu, Aham semakin greget dengan Ayana.*****Entah sebuah ketepatan atau takdir, Ayana ternyata satu angkatan dengan Aham. Dan yang lebih membuat herannya lagi, kursi kosong yang tersedia tepat di samping Aham.Aham melambaikan tangannya pada Ayana.Awalnya ragu. Namun mau tak mau Ayana melangkah dan duduk di kursi sebelah Aham."Kenapa kita seolah ditakdirkan untuk kembali bertemu, Ayana!" Aham berbisik di telinga Ayana.Ayana tak menjawab. Namun tiba-tiba ia kepikiran dengan mimpi s
"Aku lah yang mengirim Dokter Althan ke rumahmu!""Apa!"Sontak, Ayana dan Aham menoleh ke arah sumber suara.Althan tersenyum ke arah Ayana dan Aham. Ayana segera mengelus dadanya yang sempat berdebar-debar menahan takut. Takut kalau yang datang dan mendengarkannya tadi adalah Dindar. Namun ternyata Althan.Dengan masih tersenyum, Althan melangkah menuju tempat dimana Aham dan Ayana saat ini berdiri.Aham menyambut Althan dengan senyuman. Sedangkan Ayana memandangi Aham dan Althan secara bergantian. Mereka berdua tampak akrab. Bahkan sangat akrab. Terlihat sekali dari cara mereka mengobrol. Meskipun usia Aham jauh lebih muda dari Althan.Selanjutnya Althan menoleh ke arah Ayana."Saya diberi tugas sama Tuan Dindar untuk menjemput Bu Ayana," ucap Althan pada Ayana.Ayana hanya mengangguk tanpa berkata-kata. Selanjutnya ia melangkah ke arah tempat dimana mobil Althan terparkir. Walaupun sebenarnya Ayana masih sangat penasaran dengan cerita Aham, dan banyak juga pertanyaan-pertanyaan A