Share

Bab 6. Terlalu Egois

"Bu ... tadi pinjamannya nggak banyak. Cuma dapat tiga juta," ujar Mas Dennis.

Apa? Mas Dennis meminjam uang tanpa sepengetahuanku? Dengan siapa dia meminjam uang sebanyak itu? Di dalam kamar, pikiranku sibuk menerka-nerka. Demi makan enak untuk aku dan anak-anaknya saja dia tidak mau, akan tetapi demi ibunya ...

"Kok cuma tiga juta? Tapi yaudahlah, mana uangnya? Ibu lagi butuh sekarang, besok sore ada arisan di rumah jadi subuh besok ibu udah mulai siapin semuanya."

"Dennis cuma bisa ngasih segini, Bu,"

"Apa? Cuma 500rb? Kok sedikit, 'kan kamu minjamnya tiga juta," pekik ibu tak terima. "Kamu kasih ke Hanindia ya?" tuduh mertua.

"Sebagian dari pinjaman kubelikan Erlyn tas, Bu. Sisanya untuk pegangan sebelum aku gajian. Stok kebutuhan masak juga nggak ada, Bu," jelas Mas Dennis.

"Bener 'kan dugaanku, tas yang ada di story WA Erlyn tadi harganya sejutaan. Sebegitu spesialkah Erlyn di matamu, Mas?"

Ada perih di dada ini. Sakit dan sangat sakit bagiku. Aku menyeka air mata, lagi dan lagi jatuh tanpa permisi.

"Yaudah, tambah lagi 300rb. Besok itu banyak yang ikut arisan lagian nggak mungkin juga ibu ngasih makanan yang ecek-ecek, malu dong."

"Lagian kamu juga Er, pake minta dibeliin tas segala, jadi kurang 'kan jatah ibu,"

"Ya mau gimana, Bu. Aku suka daripada sold out tasnya," jawab Erlyn manja.

"Satu lagi, kamu jangan boros-boros ngasih Hanindia, suruh dia berhemat dikit, lagian dia 'kan di rumah saja, nggak ngapain-ngapain juga. Ingat, Dennis. Kamu itu harus bisa membahagiakan ibumu sendiri jangan kebalik!"

"Iya, Bu."

Deg!

Darahku menggelegak mendengar ucapan ibu, apa dia lupa akan tugas anaknya untuk menafkahiku lahir bathin? Dia pikir patung yang merawat cucu-cucunya ini.

Jika dia tidak siap anaknya menikah, kenapa tidak dibiarkan saja Mas Dennis menjadi perjaka sampai tua?

"Yaudahlah, ibu dan Erlyn pulang dulu. Kamu, baik-baik di rumah. Ini ibu bawakan makan malam untuk kamu. Ingat, cuma untuk kamu. Nggak cukup buat dibagi-bagi. Ibu nggak mau kamu sakit, Den."

Tak lama kemudian mereka pamit, kuseka airmata yang masih menetes, biarlah semoga Allah mudahkan rezekiku, jika tidak melalui Mas Dennis, mungkin Allah akan menitipkan rezekiku lewat yang lain.

Aku yang menderita itu mungkin sudah biasa, toh sejak kecil sudah banyak lika-liku hidup yang ku jalani, ulah punya ayah yang tak bertanggung jawab. Namun, aku tidak ingin Haseena dan Almeer merasakan pahit seperti yang kurasakan semasa kecil.

Tak ingin rasanya larut dalam kesedihan, kuputuskan untuk berselancar di aplikasi hijau mengecek apakah ada yang memesan baju dan outer yang kupasang di story WA. Mataku berbinar tatkala banyak pesan masuk di aplikasi yang berwarna hijau itu. Kubuka satu per satu, "Ya Allah, alhamdulillah," syukurku.

Pesan pertama kubuka dari Loli, dia memesan dua buah gamis, belum lagi Noni dia juga memesan satu buah outer, ada sekitar 5 pesan lagi dengan total orderanku hari ini ada 10 buah baju plus outer. Jika dihitung, 10 helai dikalikan 20rb keuntungan yang kudapatkan sebanyak 200rb. "Masya Allah, alhamdulillah Ya Allah," tak henti aku mengucapkan syukur. Ini seperti mimpi, dengan berbinar-binar aku sibuk melayani pembeliku hari ini.

Aku berharap jualan onlineku ini berjalan lancar dan terus berkembang. Sehari saja aku sudah mendapat keuntungan 200rb, senyumku mengembang.

***

Esok paginya ...

"Han ... ini uang untuk beli keperluan masak," ucap Mas Dennis saat aku sedang menyapu rumah.

"Kamu beli saja sendiri keperluan masak untuk kami, aku takut membelikan uangmu yang tak seberapa itu, Mas!" jawabku tanpa menoleh sedikit pun.

"Apa? Coba ulangi lagi! Apa yang kamu bilang barusan?" Mas Dennis mendekatkan telinganya ke mulutku.

"Mulai hari ini aku nggak akan pegang sepersen uang dari kamu, silakan kamu beliin sendiri mulai dari kebutuhan masak, kebutuhan kamar mandi, pokoknya kebutuhan seisi rumah ini." jelasku dengan menatapnya tajam.

"Wah ... penjelasan yang detail. Oke! Baguslah dari sekarang aku yang handle semuanya jadi kamu tidak akan ada celah buat korupsi uangku." 

"Iya, memang bagus karena berkurang juga tugasku walaupun sedikit. Setidaknya jika uangmu cepat habis aku pun juga idak menjadi sasaran mulutmu yang kasar itu." cecarku. 

"Oh ... hebat ... hebat ..." Mas Dennis menepuk tangan, bibirnya tertawa mengejek. 

"Kamu baru tahu kalau aku hebat?"

"Apa? Kamu hebat? Hebat apanya, mengurus rumah dan anak saja nggak becus, masak apalagi, rasa sampah!"

"Terserahlah, percuma ngelandenin orang gila kayak kamu,"

"Udah makin berani ya kamu sekarang, Han. Atau ... ini ada hubungannya dengan Julio. Apa karena dia sudah mentransfermu sejumlah uang yang banyak. Iya? Apalagi gagal kemarin ngasihnya secara langsung," tuduh lelaki berkulit putih tinggi bak tiang listrik itu, lalu dia  menyandarkan tubuhnya di dinding, tangan kirinya melipat di bagian atas perut sedangkan tangan memukul-mukul ringan pada hidungnya.

"Memangnya kenapa? Kok kepo banget sama urusanku dan Julio. Gimana rasanya lihat laki-laki lain membantuku dengan ikhlas, sakit? Kemana saja kamu selama ini, hah?" emosiku memuncak. Kami berdua sama-sama hilang kontrol, bersahutan bagai musuh yang saling menerkam.

"Enggak lah, memang dasar kamu saja yang mur*h*n,"

"Mur*h*n mana antara aku dan Erlyn?" tantangku dengan tatap tajam.

"Eh ... kenapa nama Erlyn dibawa-bawa?" tanyanya, gerak-geriknya mulai kelihatan gugup.

"Aku tidak suka, itu urusanku kamu tidak perlu ikut campur,"

"Jelas aku ikut campur, ingat Erlyn itu hanya anak yang diangkat oleh ibumu, kenapa dia jadi lebih diistimewakan ketimbang Haseena dan Almeer?" protesku.

"Erlyn tidak bisa kamu bandingkan dengan anak-anak. Erlyn sudah banyak berjasa pada ibu. Jadi wajar saja aku royal padanya."

"Oooooohh ... termasuk membelikan dia tas dengan harga jutaan ketimbang membelikan anak-anakmu makanan enak, menurutmu itu tidak boleh dibandingkan? Iya? Harusnya dulu aku mendengarkan kata-kata Paman untuk tidak menerima pinanganmu.

"Ingat, Erlyn hanya berjasa pada ibu bukan padamu, Mas!" tambahku.

"Sama saja, ibu 'kan orangtuaku."

"Kamu jangan seperti kacang bak lupa sama kulitnya. Kalau tidak siap menikah jangan melamar dulunya, ingat anak itu titipan yang musti dipertanggungjawabkan di akhirat nanti," tampikku. Aku bertolak ke dapur untuk mencuci piring.

"Halah ... nggak usah berkedok sok fitnah Erlyn lah kamu Han. Jangan jadikan Erlyn untuk menutupi hubungan gelapmu dengan Julio. Bilang saja kamu juga tidak terima aku royal pada ibu 'kan?" tuduhnya lagi.

"Untuk uang arisan kamu pikir saja sendiri penting mana yang arisan ketimbang makanan yang lebih sehat untuk anak-anakmu, jangan cuma bikin saja yang bisa. Jangan juga dulu sok ngelarang aku pakai KB," cecarku.

"Hahaha dasar nggak waras ngelantur kemana-mana. Dasar stres. Oh iya satu lagi, kamu nggak usah datang di acara arisan ibu, ngerepotin dan bikin aku malu juga," ucapnya dari belakangku, ternyata dia mengekoriku.

"Kamu pikir aku mau diajakin ke rumah ibumu? Kamu pikir aku akan bangga jalan sama kamu? Tidak!" aku membalikkan badan ke arahnya. Tangannya mengudara.

Terkadang kita perlu berterima kasih pada luka yang tak berdarah (Hanindia, 2021)

Pantengin terus kisah Hanindia yah 💜

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status