Ratih hanya bisa menghela napas. Bagaimana tidak, baru pukul enam pagi ia justru harus hadir di sebuah apartemen elit. Selain masih sangat enggan untuk bertemu Suga, ia paling malas untuk bangun lebih pagi. Rasanya sungguh memuakkan, tetapi Ratih tidak bisa berbuat apa-apa. Suga selalu mengancamnya dengan dua milyar sebagai ganti rugi jika Ratih menolak perintah dari pria itu.
Lalu-lalang beberapa orang yang tidak dikenal oleh Ratih menghiasi suasana pagi ini. Mereka merupakan pemilik sekaligus penghuni unit-unit dari gedung apartemen itu. Tentu saja, mereka orang-orang kaya yang memiliki banyak harta. Oleh sebab itu, Ratih menjadi ciut hati. Ia merasa seperti pasir di antara berlian yang bersinar.Kebiasaannya yang sering mengumpat masih saja dilakukan, meski Ratih hanya sebatas menggumamkan. “Aku sangat membenci dirinya. Demi Tuhan! Oh, Si Culun Sugantara!” ucapnya.“Hei!” Tiba-tiba suara berat dan dingin terdengar dari belakang posisi Ratih.Seruan itu sukses membuat Ratih terkejut Sesaat setelah menyadari mengenai sosok pemilik suara itu, Ratih berangsur menelan saliva. Sudah pasti orang yang ia benci pelakunya. Gilanya, Suga datang ketika ia selesai mengatakan kalimat kebencian pada pria itu.“Aku bahkan enggak peduli pada kebencianmu padaku, tapi seenggaknya hormati aku sedikit saja,” ucap Suga di samping Ratih.Wanita itu melirik diam-diam tanpa memberikan jawaban. Dari ekor matanya, Ratih mendapati Suga tengah menatap lurus ke depan. Kedua tangan kekar milik pria itu dimasukkan ke dalam kantong celana.“Aku tampan?”Ratih reflek memberikan cibiran melalui bibir tipisnya. “Enggak! Selamanya enggak akan,” jawabnya ketus.Suga tersenyum sinis. “Lihat saja nanti, kamu akan terpesona padaku.”“Justru Anda yang akan terpesona pada saya, Pak Suga. Bukan sebaliknya.”“Hmm ... sayangnya, aku bukan manusia yang diberi izin untuk bisa terpesona pada seseorang. Apalagi jika orang itu adalah dirimu.”Jawaban Suga membuat Ratih reflek mengerutkan dahi. Ia merasa heran, tetapi tidak bisa bertanya lebih jauh. Sebab selain gengsi, Suga pasti akan menyangka jika dirinya hendak ikut campur urusan orang lain. Oleh karena itu, Ratih berusaha menyimpan rasa penasaran. Harga dirinya terlalu tinggi untuk kembali dijatuhkan oleh Suga.Beberapa detik kemudian, Suga mulai mengambil langkah. Sikapnya lantas diikuti oleh sekretaris barunya tersebut. Mereka berjalan dengan jarak satu meter untuk menuju area dalam gedung apartemen itu.Sekitar tiga menit setelah berjalan, Suga dan Ratih lantas memasuki elevator yang telah terbuka sekaligus kosong. Layaknya seorang CEO dan sekretaris pada umumnya, Ratih meminta Suga masuk terlebih dahulu. Kemudian, ia mengikuti dan berdiri di belakang dari atasannya itu.“Hei,” ucap Suga yang dimaksudkan untuk memanggil Ratih.Ratih menghela napas. “Saya punya nama, Pak!” tandasnya.“Aku tahu, tapi aku enggak peduli.”“Ya, ya, terserah Anda saja, Pak.”“Memang seharusnya begitu. Kamu enggak perlu mengingatkanku," ucap Suga. Detik berikutnya, ia mulai bertanya, "Jadi, apa kamu memiliki keluarga, Ratih?”“Tentu punya.”“Benarkah? Di kartu keluargamu hanya tertulis namamu saja.”“Apa Bapak hendak merendahkan saya hanya karena hal itu?”“Enggak, aku hanya penasaran.”Ratih terdiam, lebih tepatnya memilih diam. Sebab, membicarakan keluarga hanya akan membuat hatinya seakan dicabik belati tajam. Terlebih, ketika yang menanyakan hal itu adalah sosok Sugantara, Ratih khawatir jika harga dirinya kembali direndahkan.Tak berselang lama, mereka sampai di lantai enam dari gedung apartemen itu. Ratih semakin terperangah atas indahnya ornamen yang ada di dalam sana. Bahkan pada atap lorong saja, terdapat lampu kristal yang indah. Benar-benar apartemen elit yang bahkan baru ia pijaki untuk pertama kali dan di saat ini.Gila sih! Terlepas dari kebencianku padanya, tapi dia yang ngasih aku kesempatan untuk menyambangi apartemen bak istana dongeng ini, pikir Ratih.Ya, kadang kala hidup memang seimbang. Ada nestapa yang memberikan keberuntungan, begitupun sebaliknya. Oleh sebab Suga merekrut Ratih menjadi sekretaris pribadi, kini Ratih mendapat pengalaman baru. Namun lagi-lagi, Ratih harus tetap menahan keterpanaan itu agar Suga tidak menghinanya dengan anggapan bahwa dirinya sangat kampungan.“010110 itu pasword apartemen ini, Sekretaris Ratih,” ucap Suga memberitahukan akses masuk ke dalam kediaman keduanya tersebut.Ratih mengernyitkan dahi. “Kenapa Bapak memberi tahu saya? Dan apa itu 010110? Norak sekali,” timpalnya.“Jaga mulutmu, Nona Sekretaris. Bahkan, gayamu menatap lampu kristal jauh lebih kampungan.”Sontak saja Ratih menelan saliva. Ia tidak menyangka bahwasanya Suga mengetahui rasa takjub yang ia rasakan beberapa detik yang lalu.“Dan ingat kamu ini sekretaris pribadi, kamu harus datang pagi untuk mengurus keperluan atasan. Aku enggak setiap hari tidur di tempat ini. Jadi kamu perlu tahu sandi itu untuk menangani beberapa urusan yang tidak bisa aku lakukan sendiri ketika sedang tidak ada di tempat ini.”Sembari memasuki unit apartemen itu, Suga kembali berkata, “Seperti katamu angka itu sangat norak. Dengan kata lain bagi sebagian besar orang angka itu dirasa enggak cukup aman. Sehingga mereka memutuskan untuk menggunakan password dengan susunan angka lebih rumit, siapa yang akan menyangka jika seorang CEO menggunakan dua jenis angka dan sesederhana itu.”Luar biasa! Kayaknya aku enggak perlu tanya lagi kenapa dia mempercayakan sandi itu padaku. Yah, mungkin dia memang sudah menghapal sifat-sifatku, lagian aku nggak mungkin mencuri. Ratih pintar, tetapi Suga jauh lebih jenius. Kendati terkesan sederhana, nyatanya Ratih tidak memikirkan akan kemungkinan itu. Tampilan culun Suga ternyata tidak seburuk sifatnya. Rumor mengenai kecermelangan otak pria itu memang benar adanya.Setelah memasuki ruang utama, Suga lantas menjatuhkan dirinya pada sofa besar di bagian ruang tamu. Ia menghirup udara dengan bebas. Kemudian, ia melepas kacamatanya sembari menyibak rambut poninya.Melihat sikap atasannya itu, Ratih tertegun dalam sesaat. Beberapa detik kemudian, ia bertanya, “Kenapa Bapak selalu lepas kacamata di hadapan saya? Bapak mau menggoda saya?”Kedua mata Suga sempat memicing, tetapi kini ia berangsur menegakkan badan.“Aku ....” Suga tidak melanjutkan perkataannya. “Ah! Kamu terlanjur mengetahui wajahku, jadi buat apa lagi aku harus memakai kacamata sialan ini lagi ketika hanya sedang bersamamu?”“Oh gitu? Iya sih, tapi saya bakal lebih hapal sama wajah Bapak, lho. Saya ini penghapal paling hebat.”“Sekretaris Ratih, bisakah kamu memulai tugasmu saja? Menyiapkan keperluanku dan memeriksa jadwal hari ini dari Belinda? Daripada bertanya yang enggak perlu seperti itu.”“O-oh ... ba-baik, Pak.”Suga menunjuk sebuah ruang. “Ruang pakaian ada di sana. Di samping ruangan itu ada kantor pribadiku.”“Mm... Bapak punya rumah lagi?”Suga menatap Ratih dengan nanar. “Aku ini kaya, rumahku enggak hanya satu. Dan bisakah kamu segera bergerak, Nona Jelek?”“Je-jelek? Aaah! sh ... sabar!” Wanita cantik itu lantas mengelus dadanya. “Camkan satu kalimat ini, Pak!Seorang Selena Gomez saja kalah cantik dari saya!”Ratih menjulurkan lidah sebagai bentuk cibiran. Karena tidak ingin mendengar ucapan Suga yang kejam, ia pun memilih pergi untuk melaksanakan tugas yang perlu ia kerjakan. Sementara itu, Suga hanya bisa menghela napas. Namun sikap Ratih dalam menjaga harga diri itu mampu membuatnya tersenyum heran.Dengan lirih Suga bergumam, “Kemarin, aku ingin menyiksanya. Kini, entah mengapa aku justru lega karena aku bisa bergerak leluasa ketika berada di hadapannya. Setidaknya, aku bisa menjadi diriku di depan satu orang. Kebebasan seperti ini tentu sangat jarang untuk aku miliki.”“Ratih!” Sedetik kemudian, Suga menyerukan nama Ratih sembari berdiri. Diayunnya sepasang kakinya untuk menghampiri wanita itu.Di dalam ruang kerja pribadi, Ratih tampak sibuk memili-milih blazer untuk Suga. Wanita itu begitu lihai kendati baru pertama kali menyandang status sebagai seorang sekretaris pribadi. Tak berselang lama, Ratih memindahkan fokus matanya ke arah layar tablet yang sudah ia genggam. Ia sedang memeriksa jadwal.“Jangan sampai ada kesalahan. Kalau sampai itu terjadi akan kupotong jari-jarimu,” celetuk Suga mengancam.Tentu saja, Ratih tersentak. “Kasih kesempatan saya beradaptasi dong, Pak!” jawabnya.“Kamu bukan anak kecil yang perlu dipapah lagi, 'kan?”“Hih?! Dasar, CEO gil—”“Oh, ternyata kamu mau dipotong lidahnya bukan jari-jarimu ya?!” potong Suga.Ratih mendengkus kesal. “Jahat banget sih ngomongnya? Seseorang yang culun biasanya gaptek dan baik hati. Enggak ketus kaya gitu lho!”“Penampilan enggak selalu menggambarkan sifat seseorang, Nona Sekretaris. Bahkan, kamu perlu hati-hati terhadapku meski katamu aku ini culun dan terlihat bodoh. Nyatanya aku jauh lebih jenius dan ... bisa saja aku ini adalah seekor monster.”Tepat ketika Suga menyelesaikan ucapannya, Ratih lantas menatap. Dan akhirnya tatapan mata mereka bertaut satu sama lain. .Sebenarnya, dia ini apa? batin Ratih tidak mengerti. Untuk saat ini ia hanya bisa menahan dan bertahan sembari menunggu bulan depan. Waktu di mana ia bisa meminta libur selama lima hari meski hanya mendapat tiga hari untuk menghadiri pernikahan Robi. Yah, setidaknya Ratih memiliki jeda untuk menghindari tekanan dari Sugantara.***Dengan setia Ratih mendampingi Suga di mana pun pria itu berpijak, dan tentu saja untuk urusan pekerjaan. Kendati masih terbilang baru, nyatanya, Ratih sudah mampu mengatasi semua pekerjaan sekaligus kendala beberapa kendala. Dan saat ini ia mencoba untuk tidak memikirkan perihal niat menolak mengenai jabatan barunya itu. Ratih berupaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik pada sang tuan, alih-alih terus merengek. Ratih segera berdiri dari duduknya ketika mendapati Suga baru saja keluar dari ruangan kerja pribadi. Dengan lebih profesional Ratih memutuskan untuk merundukkan badan sebagai bentuk rasa hormatnya. Melihat sikap Ratih yang begitu tunduk, Suga lantas tersenyum bangga seolah sudah mendapatkan kemenangan secara penuh.Bagaimana tidak, musuhnya itu kini dapat ia kendalikan sesuka hati.Suga merasa dirinya sudah mampu mengendalikan wanita yang pemberani itu. “Jadwal selanjutnya? Kamu nggak laporan padaku?” tanya Suga.Ratih menghela napas, kemudian menjawab, “Sore nanti sudah
Ketika mobil yang Suga tumpangi bersama sang sopir dan sekretarisnya sampai di depan gerbang utama perusahaan, suasana ternyata sudah cukup sepi. Padahal, mereka meninggalkan tempat itu belum terhitung lama. Nurma dan Gatra juga tak lagi nampak di sana. Sepertinya mereka sudah berangkat ke tempat acara makan bersama.Suga menghela napas, seiring dengkusan kesal yang ia lakukan. Keadaan itu membuatnya mau tidak mau harus kerepotan.“Kasih tahu alamat acara itu pada nomor 081,” titah Suga pada Ratih.Ratih tersentak. “No-nomor?” tanyanya heran.Suga menelan saliva, merasa getir karena baru saja keceplosan. “Maksudku Bapak Sopir.”“Oh ... mm, tapi maksud Pak Suga alamat apa?”“Memangnya kamu pengen ke mana sekarang?”Ratih terdiam sembari memikirkan apa keinginannya yang tampaknya sudah Suga ketahui. Dan keinginannya saat ini hanyalah ingin menyelesaikan pekerjaan. Mengenai alamat tersebut, rasanya hanya satu alamat yang berkaitan, yakni alamat restoran di mana Ratih ingin bergabung di da
Hanya makan-makan apanya? Itulah yang dipikirkan oleh Suga saat ini. Setelah selesai menyambangi sebuah restoran, ia justru diseret untuk singgah di sebuah pusat perbelanjaan. Tadinya ia ingin menolak, tetapi Nurma dan Egy memintanya untuk ikut saja, tanggung alasannya. Seperti yang Suga sangka bahwa Ratih dan Gatra akan sangat tidak menyukai kehadirannya, seperti acara sebelumnya. Namun apa boleh buat, mereka harus terima tepat ketika Suga mengiyakan ajakan itu. Benar, Suga memang sengaja. Selain hendak mengintimidasi Ratih saat ini, rasanya akan lebih menantang jika ia melakukan sesuatu yang wanita itu benci.“Ngapain sih ke sini segala!” pekik Ratih tiba-tiba setelah asyik menggumamkan umpatan teruntuk Suga yang ada di sampingnya sej
Di dalam apartemen, Suga masih memikirkan sikap baik Ratih pada dirinya dengan perasaan heran. Pasalnya, ketika Ratih benar-benar membencinya, beberapa saat yang lalu Ratih justru memberikan pertolongan untuknya. Bahkan Ratih segera membawa Suga untuk pulang. Dan kini, Ratih tampak sibuk di dapur menyajikan sesuatu, Suga pun tidak tahu.Sekian detik kemudian, akhirnya Ratih menampakkan diri lagi setelah keluar dari dapur mewah milik sang atasan. Ia membawa sebuah nampan berisi teko antik dan satu cangkir kosong. Suga lantas menatap ke arah lain karena ia tidak mau jika Ratih salah paham apalagi sampai menganggapnya sedang memperhatikan.“Saya rasa secangkir teh bisa membuat Anda merasa tenang,” ucap Ratih sembari meletakkan nampan itu di atas meja. Kemudian, ia menyajikan teh dari teko ke dalam cangkir untuk ia berikan Suga.“Apa maumu?” Suga justru melontarkan pertanyaan itu. “Kenapa kamu membantu orang yang kamu benci? Apa ini upayamu agar aku melepaskan dirimu dan mengembalikanmu ke
Masih menggunakan mobil yang sama, Ratih dan Suga tengah bersama. Kecanggungan menyisip di antara mereka, menimbulkan kebisuan tanpa suara selain hela atau embusan napas saja. Sementara, laju kendaraan menggunakan kecepatan standar, tidak cepat ataupun lambat. Sesekali, entah Ratih atau Suga saling melirik. Jika tak sengaja berbarengan, keduanya kompak membuang muka dan kembali didera salah tingkah. Dari Ratih yang cukup tidak nyaman, sekalipun Suga memberikan sikap baik. Tetap saja, hanya sebuah balasan atas pertolongan yang Ratih berikan, jadi tidak mungkin Suga begitu cepat dalam berubah.Sebab, orang sekaku Suga tidak mungkin berubah dalam waktu yang cepat, bahkan beberapa saat yang lalu justru masih mengawasinya dengan tatapan elang.Rintik hujan yang turun di bulan Desember turut menemani kebersamaan tanpa suara itu. Pendingin mobil yang tidak dimatikan atau sekedar dikecilkan oleh Suga, menyebabkan rasa dingin mendera tubuh Ratih. Ingin meminta tolong, Ratih sangat enggan, lebih
Malam ini suasana sangat dingin. Kerap terdengar embusan angin terdengar cukup kencang. Dan Gatra sedang terdiam sembari meringkuk di atas ranjang di dalam kamarnya. Benaknya kembali teringat akan kejadian tadi sore, saat dirinya berkumpul dengan Nurma, Egy, Ratih, sekaligus pria culun yang merupakan CEO dari perusahaan di mana Ratih bekerja. Sejujurnya, Gatra merasa sangat terganggu, terlepas dari fakta bahwa pria culun itu merupakan atasan dari wanita pujaannya. Namun hatinya tetap merasa bahwa sosok Sugantara bukanlah pria biasa, terlepas dari jabatannya sebagai seorang CEO. Pria berkaca mata tebal itu jika diamati lebih saksama ternyata memiliki tatapan mata yang tajam. Wajah Sugantara pun begitu halus tanpa jerawat satu pun, lalu sikap dingin semakin membuat Gatra merasa curiga pada Sugantara. Belum lagi mengenai kejadian di mal tadi, yang mana Suga justru limbung hanya karena insiden kecil. Dan Ratih menjadi penyelamat bagi pria itu. Gatra benar-benar bingung, sepertinya ada ra
Pagi hari ini cukup cerah. Ratih pun sudah terbangun dan sedang sibuk berkutat dengan make-up untuk merias wajahnya di hadapan cermin rias. Senyumnya terulas di bibir tipis berwarna merah muda miliknya itu. Ratih yang memiliki harga diri setinggi langit memang kerap memuji kecantikan wajah yang ia miliki, begitu pun dengan semua kekuatan serta kecerdasan yang ia asah selama ini. Bangga? Tentu saja! Sesaat setelah memastikan riasan wajahnya untuk terakhir kali, Ratih memutuskan untuk berdiri. Ia memundurkan kursi tanpa sandaran yang ia duduki sejak tadi. Kemudian, Ratih berjalan menuju lemari yang memiliki cermin besar di bagian pintunya. “Wuuaah! Aku emang cantik pakai ini!” ucap Ratih dengan perasaan yang berdecak senang sembari menatap pantulan dirinya yang terbalut setelan elegan yang merupakan hadiah dari Sugantara. Sejujurnya Ratih memang sempat merasa bimbang. Haruskah ia memakai pakaian itu hari ini atau esok hari saja. Namun, Suga yang sangar sudah pasti akan mempertanyakan
Di hadapan Suga, Ratih berdiri terpaku. Ada rasa bimbang di hatinya untuk memulai pembicaraan, setelah sebelumnya sempat mendengar sedikit percakapan pria itu dengan dengan sang adik. Namun, di sisi lain, ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya sebagai seorang sekretaris yang perlu mengurus atasannya itu. Dengan gerak ragu, Ratih mendekati Sugantara yang sejak tadi sibuk menghela napas berkali-kali dan duduk di sofa tanpa beranjak. Kemudian, lebih dekat dengan pria itu, Ratih berdeham. “Tinggal 30 menit lagi, Pak,” ucapnya. Suga berangsur menatapnya. Tajam dan seolah menusuk dada Ratih. “Ya," jawabnya singkat, serta terkesan malas. “Mohon segera bersiap, karena setelah ini ada rap—” “Aku tahu, jangan cerewet!” sahut Suga keras dan tegas. Ratih mendengkus kesal. “Kalau tahu, ya jangan duduk terus dong!” Ia membungkam bibirnya dengan segera. “Ups, maaf, Pak,” lanjutnya tanpa rasa bersalah. Suga mengembuskan napasnya dengan kasar. Namu