Share

Chapter 4 - Pembacaan Warisan

"Kamu nggak jadi ikut?" Gaby melirik Vania yang baru saja menutup sambungan ponselnya.

Vania menggeleng lemah. "Kamu tahu 'kan? Aku sangat ingin ikut tapi ada klien yang mendadak datang dan menunggu ku di kantor."

"Oke." Gaby mengangguk paham lalu menepuk pundak sahabatnya. Ia membuka pintu dan melompat turun.

"Sampai nanti," pamit Vania sambil melambaikan tangan.

Begitu mobil Vania meninggalkan area parkiran rumah keluarga Deuremham, sebuah sedan hitam bergerak masuk.

Gaby terpaku sesaat sebelum akhirnya sadar dan mempercepat langkahnya melewati perkarangan rumah.

"Gaby." Panggil Mike yang turun dari dalam mobil. "Kamu baru pulang?"

Langkah Gaby terhenti, ia meringis bingung. "Ya," sahutnya tanpa berbalik.

Sebisa mungkin dia menghindar beradu pandang dengan Mike. Peristiwa semalam sayup-sayup terngiang kembali di ingatannya. Membuatnya kembali menyesali sembari mengutuk kebodohannya.

"Kamu harus lebih sering pulang ke rumah, Gaby," kata Mike. "Mama Natasha khawatir padamu."

"Hmm," sahut Gaby bergumam sambil melanjutkan langkahnya hingga ke depan pintu utama.

Gaby mengangkat tangannya hendak mengetuk, tapi pintu itu tiba-tiba tersentak dengan kasar.

"Kenapa kalian datang bersama?"

Kening Gaby berkerut bingung karena Erika menyambutnya dengan pertanyaan bernada ketus. Wanita itu menatap tak senang karena kemunculan Gaby bersama suaminya.

"Kami ketemu di depan," balas Gaby canggung. Ia memijat tekuknya demi mengurai ketegangan.

Penjelasan Gaby tak membuat kecurigaan Erika surut. Wanita itu beralih pada Mike yang tampak enggan untuk membahas apapun yang berkaitan dengan masalah ini. Pria dingin itu memilih masuk dan meninggalkan kedua wanita.

"Cepat masuk, Paman Samuel menunggu kita untuk membacakan surat wasiat Papa," ujar Erika ketus dan berbalik untuk mengejar Mike yang telah lebih dulu menuju ruang tengah mansion megah keluarga Darenharm.

Gaby mendesah pelan lalu mengikuti langkah pasangan suami istri itu, menuju ruang tengah dimana seluruh keluarga inti berkumpul.

Selepas mengantarkan jenazah Papa, riak risuh mulai santer terdengar. Mempertanyakan kemana harta benda sang almarhum akan beralih.

Apakah Gaby yang notabene anak kandung sekaligus pemegang tanduk kuasa nama besar Deuremham ataukah Natasha dan Erika, istri kedua dan putri bawaan yang selama lima tahun terakhir mendampingi sang pimpinan DH Grup.

"Gaby, duduk sini." Natasha melambaikan tangannya, meminta Gaby untuk duduk di sofa yang sama—disampingnya dan Erika.

Gaby melirik tangan Erika yang melingkar di lengan Mike, membuatnya enggan untuk mendekat. Ia lebih memilih sofa single yang letaknya berseberangan dengan sosok pengacara keluarga Deuremham.

"Bukankah ini terlalu cepat, Paman Samuel. Jenazah Papa baru beberapa hari yang lalu masuk ke liang lahat," sindir Gaby.

Samuel tersenyum maklum. Bukan rahasia umum lagi di kalangan keluarga inti, bagaimana watak keras Gaby—anak semata wayang yang mengikuti garis keturunan keluarga Deuremham.

"Tidak ada gunanya menunggu lama, Gaby." Samuel berdeham pelan. "Papamu memintaku menyegerakan pembacaan surat wasiat sebelum kamu kembali kabur."

Gaby mendengus malas. "Kalau begitu persingkat saja masalah ini. Aku tidak tertarik berlama-lama di tempat ini."

"Sombong sekali," desis pria paruh baya berseragam, yang duduk disamping Natasha.

Gaby menanggapinya dengan tawa sinis. Matanya menatap tajam pada Frans, sepupu Natasha. Pejabat rendahan yang berhasil naik pangkat setelah menjilat petinggi untuk mendapatkan kekuasaan.

"Apa yang anda lakukan disini, Paman Frans? Seingat ku, anda bukan bagian dari keluarga ini."

Frans meradang marah. "Anak kurang ajar!" Tukasnya dengan telunjuk teracung ke wajah Gaby.

"Jaga mulutmu, Frans," potong Samuel tegas hingga berhasil membuat pria berwajah merah padam itu menutup mulut rapat-rapat dan kembali duduk.

Samuel kembali beralih pada Gaby. "Sayangnya kamu tidak akan bisa pergi semudah itu, Gaby."

Gaby menautkan alisnya. "Kenapa?"

'Jangan … Jangan!'

Pengacara itu membuka map bersegel rapat lalu mengeluarkan lembaran kertas dari sana.

"Karena kamu pewaris sah atas semua aset Deuremham," tutur Samuel lugas. Membuat suara-suara sumbang segera terdengar.

'Seperti yang di tebak,' decak Gaby kesal dalam hati. 'Tua Bangka itu tak akan melepaskan ku dengan mudah.'

"Semua?" Seru Erika kaget. "Papa tidak—"

Natasha menarik tangan putrinya, meminta Erika untuk tetap duduk dengan tenang. Melerai pertikaian yang mulai meletup.

"Lalu apa yang ditinggalkan tua bangka itu untuk istri dan anaknya yang lain?" Celetuk Frans.

Gaby melotot marah. "Bukan hak mu untuk mempertanyakan keputusan Papaku," sentaknya.

"Hei, bocah! Kamu tidak tahu apa yang terjadi pada kakakku selama kamu kabur," sambut Frans menantang. "Tua bangka itu hanya terus mengeluh dan mengeluh tentang putrinya yang keras kepala."

"Frans, hentikan," cegah Natasha.

"Tidak, Kak. Kamu tidak boleh diinjak-injak oleh bocah ingusan itu."

Gaby tertawa keras. "Apa yang membuatmu begitu ngotot?" tanyanya dengan nada mengejek. "Apa kamu takut tak bisa lagi mendapatkan dukungan untuk karir politik kotor mu itu?"

"Ka-kamu …" Frans kehabisan kata hingga menyentak tangannya dan beranjak dari kursi.

"Cukup, Frans!" sela Natasha sambil menarik adik sepupunya untuk kembali duduk. "Gaby, Mama minta maaf atas sikap Pamanmu. Bisakah kamu berlapang hati dan menyudahi masalah ini?"

Gaby menatap sejenak wajah lelah ibu sambungnya lalu mendesah panjang. "Paman Samuel, aku tidak ingin membahas masalah ini sekarang. Bisakah kita menundanya sampai beberapa waktu?"

Samuel menghela napas panjang. "Baiklah. Kita akan membahasnya lagi saat prosesi pelayatan Papa mu selesai."

"Baiklah." Gaby mengangguk patuh dan bangkit dari sofa untuk kembali ke kamarnya.

"Bocah itu semakin tidak terkendali," dengus Frans kesal.

Samuel mendengus keras, membuat semua orang terdiam seketika terdiam. Mereka memilih segera bubar sebelum Samuel sempat melontarkan kritik pedasnya.

Sang pengacara menatap punggung wanita muda yang bergerak menjauh. Matanya beralih pada sosok yang juga terpaku pada pemandangan yang sama.

Samuel menangkap sinyal bahaya saat menyadari kedua hati itu masih saling terpaut meski rentang waktu telah berlalu cukup lama. Jurang diantara mereka terlalu lebar hingga sulit untuk saling mengapai.

'Aku harus melakukan sesuatu, sebelum semuanya kembali terlambat,' pikirnya.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status