Hanum menghela napas lega saat dia keluar dari ruangan Abian. Sebuah ruangan yang sangat mencekik baginya. Dia kini berjalan dengan riang seolah tanpa beban. Saat bertemu dengan Fitra pun dia malah menyunggingkan senyuman yang sangat manis dan terlihat Bahagia. Hal itu membuat Fitra dan sekretaris lain yang kebetulan sedang bertugas menatap Hanum dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Apa sudah selesai?” tanya Fitra penasaran.
“Sudah! Terima kasih, Kak! Hehe.” Hanum terkekeh seperti orang bodoh.
“Eum … apa kamu tidak apa-apa?”
“Saya?!”
“Iya. Kamu.”
“Memangnya saya kenapa?” Hanum balas bertanya yang membuat Fitra malah menatapnya bingung. Bukannya Hanum melakukan sesuatu yang fatal sampai membuat dirinya dipanggil ke ruangan direktur.
Ah! Fitra baru tersadar, kenapa
“Hei, bohong!” sangkal Devi tidak percaya. “Masa hanya itu saja. Tidak mungkin lah seorang direktur memanggilmu hanya karena mengembalikan kartu identitas.”“Benar! Yang mengembalikan bukan Pak Abian, tapi sekretarisnya,” bohong Hanum.“Oh, kalau itu sih baru mungkin.” Devi kembali menatap layar komputernya.Hanum yang tadi berdiri di depan pintu persis saat ditanyai, dia langsung berlari kecil menuju mejanya. Namun saat dia duduk, sepertinya ada yang janggal. Ya, itu adalah Azila. Tingkah ramah Azila tidak Hanum dapatkan. Biasanya, Azila ini adalah orang yang paling ramah. Namun sekarang dia malah diabaikan oleh Azila. Hanum tidak tahu mengapa Azila bersikap seperti ini.“Kak Azila, Riyan ke mana?” tanya Hanum mencoba mencairkan suasana.Azila yang duduk di sebelah kanan Hanum tiba-tiba menggeser kursinya menjauhi Hanum
“Abian, dengar ibu bicara tidak? Pokoknya nanti kamu harus mengajak Ariana makan malam.”Abian berjalan dengan lunglai menuju kamar tidurnya yang berada di dalam kantor. Hari masih siang dan dia merasakan lelah yang teramat. Berkat tamparan dari Hanum, dia merasa mengantuk dan dia harus segera memanfaatkan momen ini untuk segera tidur.Matanya terasa pegal dan kepalanya semakin pusing saat mendengar perintah ibunya dari balik telepon. Kencan dan kencan adalah topik yang selalu dia bahas saat ibunya menghubunginya. Tidak pernah ada sapaan lain atau sekedar basa-basi menanyakan apa anaknya sudah makan atau belum. Tidak! Seorang Jeina-ibu Abian-tidak akan pernah menanyakan hal itu.“Bu-““Pokoknya sudah ibu pesankan di hotel kita. Jam tujuh. Jangan lupa pakai baju yang menarik.” Jeina tidak akan memberikan kesempatan anaknya untuk menolak. Omongannya berarti titah yan
Para karyawan menunduk hormat saat Abian melewati mereka dan berjalan menuju lobi. Abian balas menganggukan kepalanya sebagai tanggapan penghormatan yang diberikan oleh karyawannya.Abian yang ditatap penuh kekaguman dari salah satu karyawatinya merasa sangat risih. Emosinya kembali naik dan dia langsung memerintahkan Fitra untuk memecat mereka “Pecat para pegawai yang memandangku dengan intens tadi. Dan bawakan aku obat pereda nyeri, kepalaku serasa mau pecah.”“Tidak bisa, Pak. Nanti perusahaan kami bisa dilaporkan pada badan pengawas jika memecat pegawai tanpa alasan yang jelas.” Fitra merasa kewalahan jika emosi atasannya ini kumat. Dia bisa memecat orang tanpa pikir panjang dan tanpa pandang bulu. Kesalahan kecil saja bisa membuat hati abian terasa penuh dengan emosi yang tidak bisa disalurkan lewat tinju. Karena itu, Abian lebih sering menunjukan emosinya lewat kata-kata yang kasar.“A
“Tapi itu tidak bekerja. Saat aku memejamkan mata pada momen mengantuk, aku tetap tidak bisa tidur.”“Oke, lupakan soal tidak bisa tidur. Dari tadi aku penasaran akan satu hal, kenapa kamu meminta untuk ditampar lagi?” Daniel masih bisa melihat dengan jelas bekas merah di pipi Abian. Sepertinya tamparannya sangat keras dan jangan tanyakan soal rasanya. Sudah bisa dipastikan itu pasti sangat sakit.“….”Abian menatap Daniel lama.“Berhenti menatapku, tatapanmu itu seolah berkata ‘Apa maksudmu? Sudah jelas untuk memastikan rasa kantuk’ begitu, bukan?” Daniel mencoba menerjemahkan tatapan tajam Abian.“Tapi apa kamu tidak memikirkan kalau rasa kantuk itu tidak hanya bisa dirasakan lewat tamparan? Misalnya, lewat sentuhan anggota tubuh lain. Bukankah kehadiran sosok Hanum ini juga aneh dan kebetulan? Seolah tubu
“Aku pergi.” Daniel segera pergi meninggalkan Abian yang bahkan tidak memandangnya sama sekali.Abian terus disibukan dengan dokumen. Meskipun sibuk, tapi dia sesekali melirik jam tangannya. Dia adalah orang yang tepat waktu. Baginya membuang waktu sama dengan membuang uang. Dia ini suka uang, maka kesimpulannya dia tidak boleh terlambat dalam hal apapun.Abian datang ke restoran tepat waktu. Dia menunggu dengan tak sabar. Pasalnya, ini sudah lewat sepuluh menit. Dia membuang-buang waktu dengan duduk sendiri di satu-satunya meja yang terisi orang. Ya, seluruh ruangan restoran sudah dikosongkan. Hanya ada Abian sendiri di sana dan pelayan yang sesekali bertanya tentang menu yang ingin dipesan atau ada keperluan lain yang dapat pelayan bantu. Para pelayan sudah di briefing sebelumnya bahwa yang akan makan malam saat ini adalah bos mereka dan mereka harus melakukan pelayanan yang terbaik.“K
Hanum sudah menunggu lama di parkiran bawah tanah. Pesan yang ia kirimkan tadi juga belum terbaca oleh kekasihnya. Sekarang sudah jam tujuh malam lebih dan dia masih dengan sabar menunggu Kevin.Samar-samar dia mendengar gelak tawa. Hanum termangu di tempatnya saat dia melihat tawa itu berasal dari kekasihnya. Awalnya dia ingin menyapa, tapi ia urungkan saat dia melihat Kevin sedang berjalan bersampingan dengan seorang wanita yang sangat cantik dan terlihat anggun. Mereka saling bercanda di sepanjang jalan menuju mobil Kevin. Laki-laki itu awalnya tidak menyadari kehadiran Hanum.“Kak Kevin!” panggil Hanum. Dia jelas tidak memanggil dengan panggilan sayang karena kekasihnya saat ini sedang bersama rekan kerjanya. Dia masih ingat peringatan Kevin soal hubungan yang tidak boleh diketahui oleh orang kantor.“Hanum?!” tanya Kevin kaget. Dia tidak menduga dia akan bertemu Hanum di parkiran.Saat
Hanum menjatuhkan tasnya begitu dia masuk ke dalam rumahnya. Pemandangan di hadapannya kembali ingin membuat Hanum menjerit keras dan menangis sedih.“Apa kamu berkelahi lagi?” keluh Hanum. Kali ini dia tidak bisa membendung air matanya. Hanum memarahi dirinya sendiri karena telah gagal mendidik adik laki-laki satu-satunya.“Kali ini dengan siapa lagi?” Hanum menghampiri Ganesha yang sedang membalut luka di tangannya. Penampilannya ini penuh luka lebam. Wajahnya yang tampan kini terlihat lebih sangar karena dipenuhi oleh luka gores yang darahnya bahkan belum mengering.“Kamu tidak merasa kasihan dengan dirimu sendiri? Hah? Jawab kakak, Ganesha!” raung Hanum. Dia menangis dengan keras kali ini.Ganesha yang melihat kakaknya menangis hanya bisa menundukan kepalanya. Dia merasa bersalah bukan karena berkelahi, tapi merasa bersalah karena membuat Hanum mena
Kevin yang tidak siap dipeluk oleh Hanum hampir tehuyung jatuh, untung saja dia kuat dan bisa menstabilkan posisinya. Dia balas memeluk Hanum mesra. Sudah lama mereka tidak berpelukan manis seperti ini, bertemu dan berkencan saja sebenarnya sudah sangat jarang mereka lakukan. Mereka hanya bisa menghabiskan waktu termanis mereka saat Hanum masih di Universitas dan itupun tetap tidak sesering pasangan yang sedang dimabuk cinta lainnya. Itu karena saat Kevin berkencan dengan Hanum, dia sudah mulai bekerja dan Hanum pun sudah mulai di tahun seniornya yang berada di fase tersibuk.“Aku kira kamu akan menghubungiku lewat telepon. Aku tidak menyangka kamu akan datang langsung seperti ini,” kata Hanum manja.“Ya. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Rasanya tidak pantas jika berbicara di telepon.” Kevin berkata dengan sangat lembut hingga mampu membuat Hanum merasakan kasih sayang lewat kata-katanya.“Um! Aku sangat merindukanmu, Sayang.” Hanum mempererat pelukannya. Kemudian dia mendongak