Adrian dan Wandi masih tergelak meski menyadari jika kondisi mereka tidak bersahabat. Beruntung kamar Adrian yang berlantai porselin berwarna gelap hingga masih terlihat tetesan air kencing tergenang di lantai. Namun posisi keduanya yang berada di pojok kamar lebih memudahkan air tidak melebar ke mana- mana. Dapat dibayangkan jika hal itu terjadi meski airnya tidak banyak namun bau pesing pasti menyebar penuh di dalam kamar.“Gila ... ini napa kita sampai ngompol gini? Kurang asem, gara-gara suara kagak bener nih!”Wandi menggerutu sambil memegang kolormya yang sudah basah. Demikian juga dengan Adrian. Keduanya masih tetap menempelkan telinga sesekali ke dinding kamar. Tentu suara dari sebelah kamar dapat mereka dengar dengan jelas, tidak ada plafon terpasang di dua kamar tersebut. Adrian yang biasanya galak dengan Wandi kini terlihat bengong seperti bukan sosok yang dikenal Wandi selama ini.“Lu kenapa jadi rada konslet sih. Biasanya juga gue yang eror, apa jangan-jangan ini bawaan d
Suara Wandi terdengar lumayan keras dari luar kamar. Adrian yang baru saja keluar dari kamar mandi merasa heran. Ini bukan yang peetama kali Wandi berteriak ketakutan. Bergegas dia berlajan ke kamarnya melupakan celana basah yang masih tergantung di pintu kamar mandi.Adrian tiba-tiba masuk dan memukul kepala Wandi dengan keras. Kalau dihitung, seharian tadi Wandi sudah menerima pukulan beberapa kali. Untungnya kepala Wandi seperti batu, hingga tidak mungkin bonyok meski dipukul berkali-kali. Pukulan Adrian juga tidak serius seperti preman atau jago silat. Hanya ingin membuat Wandi jera saja, tapi ternyata meleset. Wandi tidak pernah takut kepada Adrian yang sudah dianggapnya seperti saudara.“Astaga! Lu jangan kelewatan! Ini kepala ... bikan batu, enak aja main pukul.”“Hehh ... lu ngapain? Cepet ganti celana! Udah bau kemana-mana itu.”“Iyee ... gue juga udah risih, gara-gara elu sih ini. Jadi gue terus yang dia gangguin.”“Apa? Lu ngomong apa? Yang jelas! Jangan ambigu gitu, udah c
Semakin dekat mereka dari kamar kedua orang Adrian untuk mencari sumber suara, semakin ke arah kamar kedua orang tua Adrian. Keduanya berhenti dan saling memandang. Telunjuk jari tangan mereka masing-masing berada di bibir, saling memberi isyarat untuk diam. Sedangkan telinga mereka tempelkan di pintu kamar. Tidak sadar jika mereka terlalu keras menempelkan telinga ke pintu, hingga pintu terdorong. “Astaga ....! Lu gimana sih? Main dorong aja,” bentak Adrian mendorong tubuh Wandi lebih masuk ke dalam kamar.Keduanya melihat ke sekeliling ruangan kamar, tidak ada tanda-tanda orang melakukan aktifitas yang seperti mereka bayangkan. Ranjang juga rapi, sudut ruang juga terlihat bersih. Mata Adrian melihat benda hitam kecil yang ada di atas meja. Terdengar suara gemerisik dari sudut ruangan. Perlahan mendekat dengan tetap berjingkat ke sumber suara agar tidak ketahuan.Dua anak itu saling menatap, Adrian menggelengkan kepala memberi isyarat pada Wandi untuk mengikutinya. Suara yang mereka
Kedua pemuda itu berdiri diam mematung di depan pintu, sambil menggigit jari. Untuk beberapa saat lamanya mereka terdiam. Melihat sosok yang sudah ada di depannya dengan perasaan yang tidak dapat digambarkan.“Ya-Yan, lu kagak t-takut?”Dengan berani Wandi berbicara sambil meraih tangan Adrian untuk digenggam. Kontan hal ini menimbulkan kejutan buat sahabatnya. Dia tidak pernah sembarangan dipegang oleh orang lain. Biasanya Wandi menjadi bulan-bulanan sikap jahilnya.“T-tidak, na-napa? Kagak ada apa-apa,” kilah Adrian berusaha untuk menepis tangan Wandi. Namun tidak dapat dia pungkiri jika persaan takut menyerang saat ini. Terlihat dari bahasa tubuhnya yanga gemetar.Wandi melotot melihat ke arah Adrian, tawa renyah mengembang dari bibir tebalnya.“Hahaha .... apa an, katanya gak takut. Tuh kali lu! Napa gemetaran kayak gitu?”Adrian menoleh ke arah Wandi, “Opo opo? Ngomong aja lu!”Segera melangkahkan kakinya duduk kembali di ruang tamu diikuti Wandi. Tawa renyah masih terdengat dari
Kucing Hitam sudah semakin dekat dengan Wandi. Jarak hanya satu meter membuat Wandi semakin menggigil ketakutan. Bibirnya terkunci rapat tidak dapat mengeluarkan suara. Hingga kucing mulus berwarna hitam itu tepat berdiri di kakinya yang berselonjor. Nyala tajam dari mata kucing membuat Wandi menutup matanya. Dia sudah pasrah dengan keadaan yang membuatnya tersudut.Wandi yang semakin ketakutan tidak dapat menahan diri dan akhirnya pingsan. Sedangkan kucing hitam itu tiba-tiba menghilang bersama dengan asap putih yang tiba-tiba muncul. Entah ke mana makhluk jadian itu pergi setelah menatap ke arah Wandi agak lama. Suasana seketika hening mencekam. Wandi tergeletak di lantai, tanpa ada yang tahu. Adrian yang sedang di dapur mencari air minum, merasakan suasana agak aneh. Sepi sunyi seperti kuburan yang tak berpenghuni. Rumah Adrian terasa mencekam di mata Wandi. Kedua orang tuanya belum juga pulang hingga malam larut seperti ini.“Eh, kenapa jadi merinding kayak gini ya?” ucap Adrian
Wandi berteriak kencang membuat Adrian yang sedang berada di dalam kamar mandi sontak membuka pintu. Untung sudah selesai buang hajatnya, bisa berbahaya jika harus itahan. Dia melihat ke arah Wandi yang berdiri sambil berkacak pinggang menatap ke arah meja makan. Dia heran dengan sikap temannya. Apa yang sebenarnya sudah dilihat oleh sahabatnya. Tidak ada makhluk tak kasat mata seperti yang diceritakan oleh temannya itu di atas meja. Kosong, namun ia melihat dari sorot mata kawannya tetap mengarah tajam ke arah yang berbeda. Berjalan dengan pelan Adrian maju dan berdiri di samping Wandi. Menyenggol bahu yang lebih kecil dari dirinya, hingga membuat sang pemilik terkejut.“Itu ... itu yang gue ceritakan tadi,” ucap Wandi menengkeram tangan Adrian.“Itu? Itu apa? Mana ....? Gue kagak liat apa-apa. Please deh, lu jangan berhalusinasi kaya gini. Tidak ada hantu di rumah gue,” bentak Adrian dengan keras.“Ya ampun ... ternyata benar, cuma gue yang bisa liat. Apes bener nasib gue,” ucap
Satu persatu baju kotor masuk ke mesin cuci. Waktu sudah lewat tengah malam, pukul 02.00. Jamilah sudah kembali ke kamarnya, sementara Adrian ditemani dengan Wandi masih mengerjakan tugasnya yang lalai tadi pagi. Hingga saat akan memasukkan celana pendek yang dipakai Adrian tadi pagi, Wandi melihat hal yang aneh. Celana berwarna krem itu ada warna merah di bagian sisinya. Wandi meraih celana pendek yang dipegang Adrian sebelum masuk ke mesin cuci.“Bentar Yan! Memang celana kamu kayak gitu? Kog cuma sebelah yang beda?”“Apanya? Oh ... iya, waduh, bisa kena marah Emak nih,” ucap Adrian kelihatan panik.“Masa kena kotoran sampe begitu? Coba periksa dulu deh!”Adrian menurunkan celana pendek yang sudah hampir masuk ke bibir mesin cuci. Melihat ada yang aneh dengan warna celananya. Tangannya kemudian masuk ke dalam kantong saku celana dan mengambil sesuatu dari dalam kantong. Matanya melotot, demikian juga dengan Wandi. Sebuah kain yang ada noda darah itu hingga membekas ke celana Adrian.
Pagi hari kedua orang tua Adrian terbangun, heran melihat kamar anaknya masih tertutup. Harusnya dia pergi ke sekolah pagi ini. Ayah Adrian yang bernama Jumari itu menggedor pintu kamar anaknya dengan sangat keras. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB, dan kedua anak itu belum juga bangun. Jamilah akhirnya tidak tahan, akhirnya menyuruh Jumari suaminya mendobrak pintu kamar.Mendorongnya dengan keras hingga pintu terbuka. Nampak dua anak masih terlentang seperti mayat dengan muka pucat. Sontak kedua orang tua Adrian gugup dan tergopoh menghampiri kedua anak itu. Setelah memastikan tubuh mereka masih hangat, Jumari lantas menelpon tetangga minta bantuan untuk memanggilkan bidan. Hanya bidan, petugas medis yang terdekat di desa itu. Rasa khawatir menyelimuti hati kedua orang tua yang masih muda itu. Anak mereka satu-satunya tertimpa masalah. Sedikit saja tidak pernah sampai melakukan hal yang buruk pada anaknya.“Ini gimana bisa jadi seperti ini Dik? Tadi malam gue denger suara beris